Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati (Raja Sunda-Galuh ke-20).
Pembagian Tarumanagara
Kerajaan Galuh adalah penerus dari kerajaan Kendan (bawahan Tarumanagara), yang berdiri pada tahun 536M dengan corak agama Hindu-Wisnu yang berpusat di Garut dengan peninggalan yang tersebar di sekitar Bandung Selatan dan Garut. Pendirinya adalah Resiguru Manikmaya dari India Selatan yang menikahi salah satu putri Tarumanagara (menantu Suryawarman). Kerajaan ini saling berbesanan dengan salah satu Kerajaan Sumatera, serta dengan Kerajaan Kutai di Kalimatan Timur. Keturunannya kemudian menyebar di berbagai tempat di Priangan (Parahyangan). Salah satu turunan termudanya menjadi rajaresi di usia 21 tahun pada 612M, memindahkan kerajaannya ke Kerajaan Galuh di Ciamis.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh terdapat pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi rajaresi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun. Wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur juga Sungai Ci Serayu di sebelah selatan (Banyumas).
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman Raja Tarumanagara yang terakhir. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.
Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman (Raja Tarumanagara ke-3) yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, Tarusbawa mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Pada tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Sang Tarusbawa memiliki pribadi yang cinta damai. la tidak ingin bersengketa dengan Sang Wretikandayun, walaupun Kerajaan Sunda belum tentu kalah berperang melawan Kerajaan Galuh. Prinsipnya, "lebih baik memerintah separuh kerajaan yang tangguh, daripada dipaksakan memerintah keseluruhan dalam keadaan goyah". Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.
Langkah Sang Tarusbawa berikutnya, memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan (Pakuan/Bogor). Di sebuah lemah duwur (ketinggian tanah), Sang Tarusbawa mendirikan lima buah keraton, yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Sedangkan dalam naskah Carita Parahiyangan menyebutnya: Sri Kadatwan Bima‑Punta –Narayana- Madura- Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati (diprebokta) oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa. Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada.
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. |
Berdirinya Kerajaan Sunda-Galuh
Wretikandayun punya tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702), Wretikandayun digantikan oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru. Rahiyang Sempakwaja menikah dengan Nay Pwahaci Rababu dan mempunyai dua putra, yaitu Demunawan dan Purbasora.
Bratasenawa alias Sanna atau Sena ialah penerus sah Kerajaan Galuh yang ketiga, setelah menggantikan ayahnya, Mandiminyak yang berkuasa dalam tahun 702-209 M. Namun, Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora, cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, Raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya, Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan Nay Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, menurut adat budaya kerajaan masa lalu (Hindu-Budha), seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu (Mandiminyak) yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.
Asal Usul Sanjaya
Sementara itu, dikarenakan putera mahkota Kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa wafat mendahului Tarusbawa, maka anak perempuan dari putera mahkota (bernama Tejakancana Ayupurnawangi atau Nay Sekarkancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alias Sena (709-716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus ayah dari Rakeyan Jamri (Sanjaya). Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Rakeyan Jamri sebagai menantunya, yang dalam tahun 723 M menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda kedua. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.
Ibu dari Sanjaya, yaitu Sannaha adalah anak perempuan dari Mandiminyak dan Dewi Parwati, putri dari Ratu Shima dan Raja Kartikeyasingha (Raja Kalingga, di Jepara). Jadi, kedua orang tua Sanjaya adalah saudara kakak beradik satu ayah tapi beda ibu. Oleh karena hal itulah, Sanjaya berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat ayahnya. Hasratnya baru dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Sanjaya dan Balangantrang
Sebelum itu Sanjaya juga telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena (ayahnya), bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melakukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi pamannya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tidak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Jadi saat ini, Sanjaya adalah penguasa di Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, sekaligus pewaris sah kerajaan Kalingga.
Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia memiliki julukan Bagawat Sajalajaya.
Premana, Pangrenyep dan Tamperan
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan Barmawijaya, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin garnizun Sunda di ibukota Galuh.
Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).
Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk menghapus jejak, Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Tamperan Barmawijaya Sebagai Raja
Dalam tahun 732 M, Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dari neneknya (Ratu Shima). Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Kerajaan Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.
Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Ki Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.
Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 M, ketika Sanjaya berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.
Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
Manarah dan Banga
Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723-739 berada dalam satu kekuasaan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabhuwana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.
Keturunan Sunda dan Galuh Selanjutnya
Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783 M (44 tahun). Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun. Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu Linggabumi (813-852 M).
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun (hingga tahun 759) sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766 M).
Dari Dewi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Rakeyan Banga mempunyai putera bernama Rakeyan Medang. Disebut demikian, karena putera Sang Banga tersebut, pernah berguru di Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya). Rakeyan Medang, menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabu Hulukujang. Karena anaknya, Dewi Samatha seorang perempuan, maka Rakeyan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakeyan Hujungkulon atau Prabu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795 M).
Karena Rakeyan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakeyan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakeyan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakeyan Wuwus (Raja Sunda kedelapan), yang menikah dengan puteri dari Sang Walengan (Raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepada Rakeyan Wuwus saat kakak iparnya, Sang Prabu Linggabhumi (813-825), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakeyan Wuwus (dengan gelar Prabu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891. Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).
Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi Sawitri. Sebagai putera laki‑laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).
Sepeninggal Rakeyan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh pada tahun 895 M, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakeyan Windusakti bergelar Prabu Dewageung Jayeng Buana
Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti (Prabu Dewageung Jayeng Buana), memperoleh dua orang putera, Rakeyan Kamuninggading dan Rakeyan Jayagiri. Prabu Dewageung Jayeng Buana wafat pada tahun 913 Masehi, kemudian tampuk kekuasaan lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakeyan Kamuninggading (913). Rakeyan Kamuninggading (bergelar Prabu Pucukwesi) menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri (916).
Di pihak lain, ketika peristiwa perebutan tahta terjadi, tahta Kerajaan Galuh sudah diwariskan kepada Rakeyan Jayadrata, cucu Batara Danghiyang Guruwisuda dari puteri Dewi Sundara.
Pasukan Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Galuh oleh Prabu Wanayasa Jayabuana, diperintahkan untuk merebut keraton Galuh. Akan tetapi, berhasil dikalahkan oleh Rakeyan Jayadrata bersama pasukan Kerajaan Galuh. Serangan kedua pasukan Kerajaan Sunda, yang besar dan lengkap, dikerahkan kemudian, untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan inipun, dapat ditangkis dan dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata. Kerajaan Galuh, membebaskan diri sebagai kerajaan yang merdeka, di bawah naungan Prabu Jayadrata. la adalah kakak ipar Rakeyan Limbur Kancana.
Rakeyan Limbur Kancana ialah putera Rakeyan Kamuninggading (Prabu Pucukwesi), yang dibunuh oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri. Karena Kerajaan Galuh sudah membebaskan diri (merdeka), Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa Jayabuana, hanya memerintah di wilayah Kerajaan Sunda, sebelah barat Citarum. Prabu Wanayasa Jayabuana, berkuasa di kerajaan Sunda sampai tahun 920 Masehi, karena dibunuh dan digulingkan, oleh Rakeyan Limbur Kancana, atas perintah Prabu Jayadrata.
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suami Dewi Ambawati, bergelar Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 954 Masehi. Prabu Limbur Kancana, berputera dua orang, Rakeyan Sundasembawa dan Dewi Somya.
Rakeyan Sundasembawa, berhasil merebut tahta Kerajaan Sunda dari Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, kemudian ia naik tahta, dengan gelar Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau Prabu Medang Gana (964-973). Karena semua puteranya meninggal mendahuluinya, ketika Prabu Munding Ganawirya wafat, ia digantikan oleh Rakeyan Wulung Gadung.
Rakeyan Wulung Gadung adalah suami Dewi Somya, menantu Prabu Limbur Kancana. Rakeyan Wulung Gadung bertahta di Kerajaan Sunda, dari tahun 973 sampai 989 Masehi. Prabu Wulung Gadung, ketika wafat, digantikan oleh puteranya dari Dewi Somya, Rakeyan Gendang, dengan gelar Prabu Brajawisesa (989-1012). Putera Prabu Brajawisesa ada dua orang, Prabu Dewa Sanghiyang, calon pengganti ayahnya; dan Dewi Rukmawati, yang dijadikan permaisuri oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, yang bertahta di Kerajaan Galuh, dari tahun 988 sampal 1012 Masehi.
Pada tahun 1012 Masehi, Prabu Brajawisesa wafat, digantikan oleh Prabu Dewa Sanghiyang (1012-1019). Prabu Dewa Sanghiyang, bekuasa atas Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, bergelar Maharaja. Sebagai wakil dirinya di Kerajaan Galuh, mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027 Masehi.
Sri Jayabhupati
Dari Dewasanghyang, kekuasaan Kerajaan Sunda-Galuh diwariskan kepada puteranya, Prabu Sanghyang Ageng (1019-1030), lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Gelar panjang Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, ialah: Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh (Raja Medang yang terakhir). Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja (Kerajaan Kahuripan).
Prasasti Jayabupati (Sanghyang Tapak)
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D 73: //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-
D 96: gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
D 97: sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan isi prasasti Sanghyang Tapak, adalah sebagai berikut:
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan ghaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) Saka (1030-1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Penerus Kerajaan Sunda dan Galuh Setelah Sri Jayabhupati
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064) yang bergelar Darmaraja Jayamanahen Wisnumurtti Sakalasundabuana. Ketika mengawali masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.
Sang Wikramajaya, berusaha merebut kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan tetapi, pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk jabatan Panglima Angkatan Laut, ditunjuk Sang Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada Maharaja Darmaraja. Dari pernikahannya dengan Dewi Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa orang, tiga di antaranya ialah: Prabu Langlangbumi, putera mahkota calon pengganti ayahnya; Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan; dan Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.
Salah seorang putera Sri Jayabhupati dari Dewi Pertiwi, adalah Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. la berputera beberapa orang, dua di antaranya ialah: Dewi Puspawati dan Dewi Citrawati. Dewi Puspawati dipersiteri oleh Prabu Langlangbumi, sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi isteri Prabu Langlangbumi. Oleh karena itu, timbul hasrat Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya.
Melihat adanya perselisihan di antara kedua puterinya Sang Purnawijaya segera bertindak, mengawinkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarenawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, setelah perkawinannya dengan Dewi Citrawati, Sang Resiguru Sudakarenawisesa menyerahkan tahtanya kepada isterinya. Sang Resiguru Sudakarenawisesa memilih jalan hidupnya mendalami keagamaan.
Di pedesaan antara wilayah Galuh, Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan, akibat ulah kawanan perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan, antara Prabu Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu Dewi Citrawati, yang bergelar Batari Hiyang Janapati.
Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Sebenarnya, Sang Maharaja Langlangbumi, tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, kalau tidak segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun tidak menghendaki, timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.
Tindakan Sang Maharaja Langlangbumi untuk "menjinakan" Batari Hiyang, dengan cara mengadakan pendekatan, melalui Batara Hiyang Purnawijaya (ayahnya Batari Hiyang), bersama Panglima Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi). Kemudian ditempuh jalan damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Perundingan jalan damai tersebut dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarenawisesa, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:
- Sebelah barat sebagai Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.
- Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.
Dari pernikahannya Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi berputera beberapa orang, dua di antaranya: Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur; dan Sang Cakranagara, menjadi mangkubumi.
Prabu Langlangbumi lahir tahun 1038 Masehi, wafat tahun 1155 Masehi. la memerintah di Kerajaan Sunda selama 90 tahun (1064-1154). Kemudian digantikan oleh puteranya, Prabu Menakluhur (1154-1156). Prabu Menakluhur, memperisteri Ratna Satya, dan dijadikan permaisuri. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa.
Ratna Wisesa diperisteri oleh Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa. Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara wafat pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, dipercayakan kepada Prabu Darmakusuma (1156-1175). la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297), dengan gelar Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah (Kuningan) selama 12 tahun, tapi kemudian pada tahun 1187 memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan Pajajaran (Bogor), kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu:
- Puteri Saunggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi;
- Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah;
- Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang Jayagiri atau Rahiyang Jayadarma.
Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan di Jawa Timur. Dari perkawinanrrya dengan Dyah Lembu Tal, Rakeyan Jayadarma memperoleh putera, Rakeyan Wijaya atau Sang Nararya Sanggramawijaya (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya).
Rahiyang Jayadarma, tidak sempat menjadi Raja, disebabkan wafat muda, dalam usia 44 tahun. Oleh karena itu, Dyah Lembu Tal bersama puteranya (Raden Wijaya), pulang ke Tumapel, Jawa Timur. Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakeyan Saunggalah (Prabu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Karena sebelumnya, Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi). Rakeyan Saunggalah, berjodoh dengan Dara Puspa, adiknya Dara Kencana (isteri Prabu Kretanagara raja Singhasari). Dari perkawinannya dengan Dara Puspa, Rakeyan Saunggalah berputera: Citraganda.
Pengganti Prabu Ragasuci, puteranya, Prabu Citraganda. Permaisuri Prabu Citraganda, Dewi Antini, adalah puterinya Prabu Rajapurana. Sedangkan Prabu Rajapurana, adalah putera Prabu Guru Darmasiksa, dari Puteri Saunggalah.
Kemudian Prabu Citraganda digantikan oleh puteranya, Prabu Linggadewata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadewata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340).
Karena, Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan adiknya Prabu Citraganda: Ratna Umalestari. Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan (Bogor) ke Kawali (Ciamis). Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya: Ragamulya Luhurprabawa, atau Aki Kolot; Dewi Kiranasari, diperistri oleh Prabu Arya Kulon; dan Suryadewata, leluhur Kerajaan Telaga (Majalengka).
Setelah Prabu Ajiguna Linggawisesa wafat, kekuasaan Kerajaan Sunda-Galuh dialihkan kepada putera tertuanyanya, Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (1350-1357), yang naik tahta pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 Masehi). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.
Dari Sang Permaisuri Dewi Lara Linsing, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa memperoleh putera: Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 Masehi, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi; dua putera lainnya yang meninggal dalam usia 1 tahun; dan Niskalawastukancana, lahir tahun 1348 Masehi.
Perang Bubat
Tibalah saat yang bahagia, karena Sang Puteri Dyah Pitaloka, menginjak usia 18 tahun, dan dilamar oleh Bhre Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk. Sang Prabu Linggabuana Maharaja Sunda, akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di Majapahit. Demikianlah, menurut keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.
Setiba di sana, puteri mahkota Sunda itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu Majapahit, sebagai isteri persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat bertentangan, dengan janji Bre Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja Sunda, tidak bersedia menyerahkan puterinya.
Sesungguhnya, sebelumnya, Bre Prabu Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri Citraresmi, akan diperisteri (resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi, janji tersebut tidak ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri Sunda di Jawa Barat.
Sesungguhnya, hal itu, hanya ulah dan kehendak Sang Mahapatih Gajah Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk, selalu menyetujui keinginan Mahapatihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang menyakiti hati orang Sunda itu, adalah Sang Mahapatih Gajah Mada.
Utusan Sang Prabu Maharaja Sunda, dengan Sang Mahapatih Gajah Mada, sama‑sama mengeluarkan perkataan yang tidak layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Mahapatih Gajah Mada. la menjadi berang, lalu memerintahkan laskar Majapahit, siap untuk bertempur.
Semua pasukan Majapahit, mengenakan pakaian perang dan membawa berbagai macam senjata. Di antara mereka, ada yang menunggang gajah, ada yang berkuda, ada yang naik kereta, dan beberapa ratus orang berjalan kaki, dengan persenjataan lengkap.
Sang Prabu Maharaja termenung sejenak, lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan ragu‑ragu. Betapapun, tidak mungkin para kesatria Sunda memenangkan pertempuran, melawan angkatan perang Majapahit yang sedemikian besar jumlahnya. Namun seandainya mereka kalah dan gugur, kehormatanlah yang harus dipertaruhkan.
Lalu berkumpullah orang-orang Sunda, semuanya hanya 98 orang, di Panaggrahan (kemah) tempat Sang Prabu Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong musuh. Sang Prabu Maharaja dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh Raja Majapahit.
Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah ujarnya "Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!"
Kemudian, tibalah pasukan besar Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Mahapatih Gajah Mada, sebagai panglima perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama pengiringnya, yang hanya beberapa puluh orang jumlahnya.
Orang Sunda serempak menyongsong lawan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun akhirnya, semua orang Sunda yang ada di sana gugur, oleh Sang Mahapatih Gajah Mada bersama pasukannya. Kemudian, Sang Ratna Citraresmi, melakukan mati‑bela (bunuh diri).
Adapun para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing‑masing ialah: Rakeyan Tumenggung Larang Ageng; Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda) Gempong Lotong; Sang Panji Melong Sakti; Ki Panghulu Sura; Rakeyan Mantri Saya; Rakeyan Rangga Kaweni; Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu); Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali; Rakeyan Juru Siring; Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul); Sang Mantri Patih Wirayuda; Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda); Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan); Ki Juru Wastra; Ki Mantri Sebrang Keling; Ki Mantri Supit Kelingking. Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda, Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.
Tetapi bumi Sunda tidak dikuasai oleh kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana sundhabhumi tan kalindih dening rajya wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan Sunda. Hasrat mereka menyerang Tatar Sunda tidak kesampaian.
Peristiwa orang Sunda di Bubat itu (pasunda bubat), usai terjadi sebelum tengah hari. Semua orang Sunda, yang datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.
Ketika perang di palagan Bubat berlangsung, yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 Masehi, putra mahkota Sang Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9 tahun. Oleh karena itu, pemerintahan Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371), dengan nama gelar: Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.
Akibat dari tragedi Bubat tersebut, sekalipun Hayam Wuruk (Raja Majapahit) telah meminta maaf kepada Sang Prabu Bunisora atas kesalahpahaman yang terjadi, tetapi tetap saja dikalangan kerabat Kerajaan Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda. Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah larangan menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
Dalam menjalankan pemerintahan, Prabu Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Prabu Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang.
Menurut naskah Kropak 630, tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke‑5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke‑7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).
Dari permaisuri Laksmiwati, Sang Bunisora mempunyai putera, di antaranya:
- Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang;
- Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di Jawa Barat, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh;
- Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh; dan
- Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.
Sang Niskala Wastu Kancana, ketika usianya sudah 20 tahun, memperisteri gadis pilihannya, Ratna Sarkati yang berusia 19 tahun, puteri Resi Susuk Lampung dari Sumatera Selatan. Setelah satu tahun, ia memperoleh putera, Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang lahir pada tahun 1369 Masehi. Kemudian pada tahun 1371 Masehi, Sang Niskala Wastu Kancana memperisteri Dewi Mayangsari (usia 17 tahun), puteri bungsu Prabu Mangkubumi Bunisora. Pada tahun yang sama, Sang Bunisora wafat, setelah memerintah di Kerajaan Sunda, selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari.
Prasasti Kawali di Kabuyutan |
Tentang masa pemerintahan Mahaprabu Niskalawastukancana, penulis Carita Parahiyangan memberikan gambaran: "Jangankan manusia. Apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), akasa (langit), serta bu (eter), merasa betah berada di bawah pemerintahannya".
Sang Mahaprabu Niskalawastukancana, memerintah di Kerajaan Sunda-Galuh, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371‑1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453-1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti‑hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum). Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskalawastukancana, dipusarakan di Nusalarang.
Selama masa pemerintahannya, ada dua kejadian penting yang patut dicatat, yaitu kedatangan angkatan laut China, di bawah pimpinan Laksamana Ma Cheng Ho, dan kedatangan seorang ulama Islam (Syaikh Quro) yang kemudian mendirikan pesantren pertama di Karawang, Jawa Barat (Danasasmita, 1984: 42).
Penulis Carita Parahiyangan menganjurkan: "Sugan aya nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan" (Barangkali ada yang akan mengikuti perilaku dia yang dipusarakan di Nusalarang. Untuk hidup lama berjaya di dunia, untuk unggul dalam perang).
Putera sulungnya, Prabu Susuktunggal diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, Niskalawastukancana mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Dewaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Naskah-Naskah Kuno
Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahyang Niskala Watu Kancana. Namun demikian nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.
Ikhwal Kerajaan Sunda lainnya, tercatat dalam kronik China, antara lain sebagai berikut:
Chu‑fan‑chi adalah buku pertama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau ju‑kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San-fo‑tsi (Heuken,1999: 24).
Berita tentang Sunda yang dicatat Chau ju‑kua (1225 Masehi), sesungguhnya kutipan dari catatan Chou Ku‑fei (1178 Masehi), dalam naskah berita Ling wai‑tai‑ta. Ketika Chou Ku‑fei mencatatnya, ataupun ketika Chau-Ju‑kua mengutipnya, yang menjadi penguasa di Kerajaan Sunda adalah: Prabu Guru Dharmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu (1175‑1297 Masehi). Hanya saja, ketika Chou Ku‑fei mencatat tentang Sunda, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda masih di Saunggalah (Kuningan). Sedangkan ketika Chau ju‑kua mengutipnya, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda sudah beralih ke Pakuan (Bogor).
Chau Ju‑kua membubuhkan komentar dalam beritanya, bahwa "Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi". Rupa‑rupanya, catatan Chau ju‑kua itulah, yang sering menjadi sumber dugaan, bahwa "Sunda pernah ditaklukan Sriwijaya", sebagaimana yang dikemukakan Bosch ketika membahas Prasasti Kebonkopi II.
Lain halnya dengan catatan Pangeran Wangsakerta, dalam pustakanya mengemukakan adanya kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Sriwijaya. Salahsatu catatannya mengemukakan, bahwa salah seorang isteri Prabu Guru Dharmasiksa Maharaja Sunda, yaitu Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, merupakan keturunan Raja Sriwijaya Sanggaramawijayatunggawarman (1018‑1027 Masehi).
Catatan Pangeran Wangsakerta lainnya, mengemukakan terjadinya peristiwa pertempuran armada laut Kerajaan Kadiri dengan armada laut Kerajaan Sriwijaya, yang berlangsung seru di perairan Kerajaan Sunda sebelah barat (perairan Banten). Pertempuran tersebut, diakhiri oleh kedua belah pihak, setelah masing masing mengundurkan diri. Kedua-duanya menderita kerusakan berat, tanpa diketahui, siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Dalam masa "gencatan senjata", Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Kadiri, masing‑masing mengirimkan utusan ke negeri China, meminta bantuan dan perlindungan.
Kaisar (Raja) China membalas kedua surat tersebut, dengan isi yang sama, antara lain:
- Kedua pihak harus mengakhiri permusuhan dan menempuh jalan damai;
- Tempat perdamaian ditentukan di Sundapura (Sunda Sambawa, bekas ibukota Tarumanagara); dan
- Perdamaian dipimpin oleh Duta China, serta disaksikan utusan negara sahabat dari kedua pihak yang bersengketa, termasuk saksi tuan rumah: Prabu Guru Dharmasiksa Maharaja Sunda.
Upaya penyelesaian jalan damai, berlangsung di Sundapura (Bekasi) pada tahun 1182 Masehi, dengan hasil persetujuan yang disepakati bersama, bahwa "Sriwijaya dan Kadiri, masing-masing hanya boleh bergerak di kawasan sebelah barat dan timur wilayah Nusantara".
Kemudian Kerajaan Sunda serta kaitannya dengan Banten, dibahas pula oleh para ahli, antara lain sebagai berikut:
Banten dinamakan Sunda selama empat abad berturut‑turut, baik oleh orang China (misalnya dalam teks Chan Ju‑kua dan dalam Sunfeng xiansong, yang menyebut Banten sebagai "wan‑tan" dan "shun‑t'a") maupun oleh orang Arab pada awal abad ke‑16 (misalnya Ibn Majid dan Sulaiman) (Guillot,1996:119).
"Banten dinamakan Sunda", demikian ungkap Guillot, Kalau diberi makna yang lebih jembar (luas), Banten adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sunda. Dalam catatan kaki, Guillot memberikan petunjuk: Hendaknya digarisbawahi bahwa dalam naskah inilah nama tempat "Banten" (wan‑tan), muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan, apapun bahasanya (Guillot,1996:119).
Catatan China lainnya memberitakan tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, antara lain sebagai berikut:
Dalam perjalanan ini dari Shun‑t'a ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal‑kapal menuju arah 97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Chia‑lie‑pa (= kalapa); lalu mereka menyusuri pantai (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat selama empat penjagaan sampal tiba di Che‑li‑wen (Cirebon). Kapal‑kapal dari Wan‑tan (Banten) menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Chia‑liu‑pa (Kelapa), Tanjung Chiao‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon) (Heuken,1999: 107).
China mencatat pelabuhan‑pelabuhan besar dan penting yang ada di Kerajaan Sunda: Wan‑tan (Banten); Chia‑lie‑pa (Kalapa, Jakarta), Tanjung Chio‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon). Pelabuhan Banten dimaksud, dibahas pula oleh Heuken, antara lain sebagal berikut:
Chu‑fan-chi adalah buku perlama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau Ju‑kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi. Pelabuhan yang dimaksud oleh Chau Ju‑kua itu menurut Rouffaer (1921) mungkin merupakan kampung Kapalembangan di Banten (Heuken,1999: 24).
Kapalembangan dimaksud, boleh-jadi sama dengan catatan Portugis, yang tercantum dalam peta tahun ± 1540 Masehi (kini tersimpan dalam herzog August Bibliothek di Wolfenbuttel, Jerman), atas dua nama Palambam dan Palibam di wilayah pesisir barat Banten.
Pasasti Kebonkopi II
Untuk lebih jelasnya, mengenai prasasti Kebonkopi II, pernah dibahas oleh Atja dan Edi S. Ekadjati dalam Carita Parahiyangan, Karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta (1989), antara lain sebagai berikut:
Batutulis ini berbahasa Melayu Kuno, ditemukan di tepi sawah di desa Kebon Kopi, distrik Leuwiliang, Bogor. Batutulis ini kini telah hilang. Bosch (1941) mempelajarinya melalui sebuah foto, yang dimuat dalam Iaporan Kepurbakalaan (O.V 1923, halaman 18, no. 6888).
Prasasti itu dipahatkan pada permukaan sebongkah batu, yang bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4 baris huruf, bunyinya demikian:
// ini sabdakalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panca pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji sun
‑da//
Sebelum memberi terjemahan, terlebih dahulu Bosch mengemukakan catatan, antara lain sebagai berikut: sabdakalanda, adalah kata majemuk tatpurusa; sabda, bunyi, kata, perintah; kala untuk cakakala atau sakakala, saat yang pantas diperingati, sesuatu untuk diperingati; akhiran nda menunjukkan prefix honorifix orang ketiga yang demikian ditemukan pula pada prasasti Talang Tuwo: pranidhananda dan pada prasasti Gandasuli: namanda dan aya‑nda; pangambat, dengan didahului gelar rakryan juru menunjukkan, bahwa ia seorang pembesar istana.
Candrasangkala: kawiraja, sepadan dengan bujangga, bernilai angka 8; panca = 5, dan pasagi, bujur sangkar, bernilai angka 4. Tetapi berlainan dengan candrasangkala yang lazim, Bosch menetapkan tidak dibaca dari belakang ke muka (458), karena mengingat bentuk hurufnya terlalu muda, maka Bosch menetapkan dengan tidak ragu‑ragu, bacaan yang benar adalah 854 Saka, tetapi biarpun demikian Bosch membuat kekeliruan, ia menuliskan tahun 942 Masehi, padahal seharusnya 932 Masehi, sebagaimana juga dikemukakan oleh Satyawati Suleiman (1985).
Setelah memperhatikan terjemahan yang dikerjakan oleh Bosch, maka terjemahan dalam bahasa Indonesia demikian:
Ini tanda peringatan dari Rakyran Juru Pengambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi) menetapkan, bahwa Raja Sunda dikembalikan kepada kedudukannya yang dahulu.
Bunyi prasasti, dianggap oleh Bosch berisi surat perintah dalam bahasa Melayu‑Kuno, karena itu ia mengajukan dugaan, bahwa Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari segi politik tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya (Atja & Ekadjati,1989:186‑187).
Timbulnya perbedaan anggapan, diakibatkan oleh kekisruhan dalam menafsirkan Candrasangkala, "Kawihaji Panca Pasagi" pada Prasasti Kebonkopi II.
- Bosch menampilkan angka tahun 854 Saka atau 942 Masehi;
- Satyawati Suleiman, menampilkan angka tahun 932 Masehi; dan
- Guillot menampilkan angka tahun 932?. Menurut pengakuannya, angka tahun tersebut didapat dari tafsiran Bosch.
Sebagaimana lazimnya pembacaan candrasangkala, seharusnya dibaca dan diterjemahkan dari belakang. Sehingga kawihaji panca pasagi (854), menjadi tahun 458 Saka atau 536 Masehi. Tradisi tersebut masih digunakan dalam naskah‑naskah Sunda Kuno, yang usianya lebih muda dari prasasti Kebon Kopi II. Sebagaimana yang terdapat dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan amanit dari Galunggung, Sewaka Darma.
Peristiwa sejarah, yang ada hubungannya dengan angka tahun 458 Saka atau 536 Masehi, dapat diteliti melalui naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, parwa I sarga 3, halaman 13‑14, antara lain sebagai berikut:
.. // hang pnua sang maharaja candraxuarman makaruck pirang silo / patang silo pantura ring/ prathama sang suryaxuarman ngaran nira/ ikang uehersatu‑luynrc sang candrawarman angenwsi / sira gumantyaken ayayah nira dumadi raja tarumanagara / laumsnya nemlikur umrca / tambaya ning madeg raja yatiku / ing patangatus limang puluh situ / ikang cakakala / tka ring patangatus unualung puluh telu / ikang cakaka!a / rasika lawan namacidam sang mahaburusa bhimaparakrama hariwangca digufijayeng 6huuxcna // putm ping sang candrawarman ikang duritya ya to sang mahisawarnucn nganzn nira dumadi rajyamatya tarumanagrtara / mruang tritiya sang matsyawarman ngaran nira / dumadi senapati saruxcjala muxcng caturduc stri ya to deuri bayusari ngamn ira / pinakstri den ing sang yuunuaraja sakeng rajya pali//
Terjemahannya:
Adapun Sang Maharaja Candrawarman mempunyai anak beberapa orang. Empat orang di antaranya: pertama Sang Suryawarman namanya, yang kelak menggantikan ayahanda Sang Candrawarman sebagai Raja Tarumanagara. la memerintah lamanya 26 tahun, yaitu dari 457 Saka sampai 483 Saka (535‑561 Masehi), dengan gelar abiseka Sang Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa Digwijayeng Bhuwana.
Pada prasasti Kebonkopi II, tertulis pula kalimat "barpulihkan haji sunda", yang terjemahan lainnya antara lain: "pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda". Dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 3 halaman 79, ikhwal "Sunda" dijelaskan, antara lain sebagai berikut:
.... / telus karuhun uncs hang ngaran desya sunda / tatha pi ri sawaka ping rajya taruma// tekwan ringusana kangken ngaran kithcc sundapara//
Terjemahannya: Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura (Kota Sunda).
Dalam prasasti tembaga dari Kabantenan (abad 15 Masehi), daerah Sunda dimaksud adalah Sunda Sambawa (= Sunda asal atau Sunda wiwitan), tempat lahir Sang Tarusbawa.
Dengan demikian, "Barpulihkan Haji Sunda" atau "Pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda", tentunya dilakukan oleh Sri Maharaja Suryawarman, setahun setelah dinobatkan (535 Masehi) menjadi penguasa ketujuh Tarumanagara.
Upacara "barpulihkan" dilakukan di Pasir Muara (Cibungbulang), tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I "telapak kaki gajah" tunggangan Sri Maharaja Purnawarman. Dipilihnya lokasi Pasir Muara, tentu ada nilai‑nilai sakral, sebagai kelanjutan spiritual raja pendahulunya.
Kemudian, digunakannya bahasa Melayu‑Kuno pada Prasasti Kebonkopi II, tidak berarti Sunda "pernah tunduk" kepada Sriwijaya, seperti dugaan Bosch, "bahwa Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari segi politik, tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya". Akan tetapi, lebih disebabkan oleh adanya kekerabatan, antara Raja Tarumanagara dengan Raja Kerajaan Pali. Mengingat "Putra Mahkota Raja Pali" (yang mungkin sudah menjadi "Raja Kerajaan Pali") adalah adik ipar Sri Maharaja Suryawarman, menghadiri upacara "Barpulihkan", dalam posisi terhormat sebagai "Rakryan Juru Pangambat".
Catatan, menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 3, dalam tahun 422 Saka atau tahun 500 Masehi, Kerajaan Pali terletak di pulau Sumatera bagian tengah dan utara. Sedangkan Sriwijaya, pada tahun 536 Masehi, masih merupakan kerajaan kecil di Palembang, di bawah kekuasaan kerajaan Melayu Sribuja. Barulah pada tahun 598 Saka (676 Masehi), Kerajaan Sriwijaya menaklukkan Kerajaan Pali, dan keluarga keraton Kerajaan Pali mengungsi ke pulau Bali. Kerajaan Sriwijaya, berhasil menguasai seluruh wilayah Pulau Sumatera dan Mahasin (Singapura), menjadi kerajaan besar pada tahun 669 Masehi, di bawah pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa.
Sebagai bukti tidak pernah "tunduknya Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Sriwijaya", ada baiknya kembali kepada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantana, parwa 11 sarga 3, halaman 176, yang meriwayatkan kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Sriwijaya, antara lain sebagai berikut:
.... // lawan rajya sunda / rajya criwijaya wus magaway samaya karwanya tan silih anduni nagara nira sawang sawang/ mwang atuntunan tangan ing pamitra nira//matangyan duta criwijaya haneng rajya sunda / mruang duta sunda haneng rajya criwija‑ya// ....
Terjemahannya: Dengan kerajaan Sunda, kerajaan Sriwijaya, telah melakukan perjanjian bersama, untuk tidak saling menyerang negara masing‑masing, dengan menjalin persahabatan, menempatkan Duta Sriwijaya di kerajaan Sunda, juga Duta Sunda di kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 669 Masehi, Sri Maharaja Linggawarman, raja keduabelas Tarumanagara, mengakhiri kekuasaannya. Sebagai pengganti, Sang Tarusbawa, menantu Sri Maharaja Linggawarman, yang menikah dengan Dewi Manasih. Adik Dewi Manasih, yaitu Dewi Sobakancana, diperisteri oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya.
Berakhirnya pemerintahan Sri Maharaja Linggawarman, menandai pula berakhirnya kekuasaan Dinasti Warman di Tarumanagara, karena nama kerajaan tersebut, oleh Sri Maharaja Tarusbawa, diganti sebutannya menjadi Kerajaan Sunda. Pergantian nama kerajaan, disebabkan, Sang Tarusbawa merasa perlu mengabadikan tempat kelahirannya, Sunda Sambawa (Bekasi).
Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019-1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Kerajaan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut Pralaya itu terjadi pada tahun 1019 M.
Hubungan Dengan Berdirinya Majapahit
Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma, dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda sebelum dilantik menjadi raja, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan/Pajajaran. Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi raja pertama Majapahit.
Daftar Raja-Raja Sunda Galuh
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda (masa memerintah) sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah 20 orang:
1. Maharaja Tarusbawa ( 669-723 M)
2. Sanjaya Harisdarma (723-732 M)
3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M)
4. Rakeyan Banga (739-766 M)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M)
6. Prabu Gilingwesi (783-795 M)
7. Pucukbumi Darmeswara (795-819 M)
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M)
9. Prabu Darmaraksa (891-895 M)
10. Windusakti Prabu Dewageng (895-913 M)
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M)
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942 M)
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M)
14. Limbur Kancana (954-964 M)
15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M)
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973-989 M)
17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M)
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019 M)
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019-1030 M)
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M)
Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh (masa memerintah) sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang:
1. Wretikandayun (670-702 M)
2. Rahyang Mandiminyak (702-709 M)
3. Rahyang Bratasenawa (709-716 M)
4. Rahyang Purbasora (716-723 M)
5. Sanjaya Harisdarma (723-724 M)
6. Adimulya Premana Dikusuma (724-725 M)
7. Tamperan Barmawijaya (725-739 M)
8. Manarah (739-783 M)
9. Guruminda Sang Minisri (783-799 M)
10. Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan (799-806 M)
11. Sang Walengan (806-813 M)
12. Prabu Linggabumi (813-852 M)
13. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M)
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh (masa memerintah) setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang:
1. Darmaraja (1042-1065 M)
2. Langlangbumi (1065-1155 M)
3. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (1155-1157 M)
4. Darmakusuma (1157-1175 M)
5. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297 M)
6. Ragasuci (1297-1303 M)
7. Citraganda (1303-1311 M)
8. Prabu Linggadewata (1311-1333 M)
9. Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340 M)
10. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350 M)
11. Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (1350-1357 M) - tewas dalam Perang Bubat
12. Prabu Bunisora (1357-1371 M)
13. Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M)
14. Prabu Susuktunggal (1475-1482 M)
Penyatuan Kembali Sunda-Galuh
Setelah Wastu Kancana wafat, pada tahun 1482 M, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh).
Perpecahan tersebut terjadi dikarenakan ada seorang saudara Prabu Kertabumi (keturunan Majapahit) yang menikah dengan putri Dewa Niskala dari Galuh. Ini membuat marah Raja Susuktunggal dari Pajajaran, yang juga besan Raja Dewa Niskala, karena mereka pernah membuat perjanjian tabu menikahkan dengan turunan Majapahit akibat kejadian Perang Bubat. Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan, kedua raja itu harus turun dari tahta dan menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk. Kedua mantan raja menunjuk orang yang sama Jayadewata, putera Dewa Niskala yang telah dinikahkan dengan Ambetkasih, anak perempuan Susuktunggal, sebagai penerus kekuasaan.
Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, yang berubah nama resmi menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena pakuan atau pakuwuan merupakan bangunan tempat tinggal raja-raja dari semua gabungan kerajaan Sunda-Galuh. Itulah awal resmi Kerajaan (Pakuan) Pajajaran, dengan raja pertamanya Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi).
Sejak abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten. Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
Referensi:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda_Galuh
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh
- http://pardedejabijabi.wordpress.com/2013/09/19/kerajaan-arsipelago-bagian-sunda-galuh-bagian-i/
- Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda (Naskah Wangsakerta)
0 comments:
Posting Komentar