Arca Wishnu, berasal dari Kediri, abad ke-12 dan ke-13. Gambar: Wikipedia |
Latar Belakang Kerajaan Kadiri
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang (1540 M) bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.[1]
Menurut Nagarakretagama (1365 M), sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.[1] Prasasti Turun Hyang II (1044) juga menguatkan informasi tentang pembagian kerajaan tersebut, dalam sejarah Kerajaan Kadiri.
Pada masa pemerintahan Airlangga dan raja-raja sebelumnya, jabatan tertinggi sesudah raja adalah rakryan mahamantri. Jabatan ini identik dengan putra mahkota, sehingga pada umumnya dijabat oleh putra atau menantu raja. Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan Airlangga sejak 1021 sampai 1035, yang menjabat sebagai rakryan mahamantri adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Sedangkan, pada prasasti Pucangan (1041) muncul nama baru, yaitu Samarawijaya sebagai rakryan mahamantri.
Sanggramawijaya Tunggadewi identik dengan putri sulung Airlangga yang lahir dari seorang permaisuri. Dalam Serat Calon Arang, ia mengundurkan diri menjadi pertapa bernama Dewi Kili Suci. Dalam kisah tersebut, Dewi Kili Suci diberitakan memiliki dua orang adik laki-laki. Dengan demikian, Samarawijaya dipastikan adalah adik Sanggramawijaya Tunggadewi.[1]
Adanya unsur Teguh dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua orang istri didasarkan pada penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga.
Dalam perjalanan sejarah, prasasti Turun Hyang II merupakan piagam pengesahan anugerah dari Mapanji Garasakan kepada penduduk Desa Turun Hyang karena mereka setia membantu Janggala melawan Panjalu. Oleh karena itu, Desa Turun Hyang ditetapkan sebagai sima swatantra atau perdikan (daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak).
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178 M).
Nama "Kediri" atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata Khadri yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pohon pace atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan tradisional.[1]
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Wilayah dua kerajaan ini dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas. Sedangkan Raja Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa, dan meninggal sekitar tahun 1049 M.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan. Sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga beberapa tahun setelah Airlangga meninggal, pada tahun 1052 M terjadi perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak.[2]
Hal ini dapat terlihat hingga abad ke-12, dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang-bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja-raja antar kedua negara. Panjalu pada awalnya dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042-1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.
Namun peperangan saudara ini berakhir dengan kekalahan Jenggala, kerajaan kembali dipersatukan di bawah kekuasaan Kerajaan Kadiri yang menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah Kerajaan Kadiri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti, yang banyak menjelaskan tentang Kerajaan Kadiri adalah hasil karya berupa kitab-kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri atau Panjalu atas Jenggala.[2]
Perkembangan Kerajaan Kadiri
Dalam perkembangannya Kerajaan Kadiri yang beribukota di Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Janggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Janggala ditaklukkan oleh Kadiri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Janggala. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M, menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala.
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052-1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Raja Samarotsaha adalah menantu Raja Airlangga. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Jayaswara (1104 M) dan Raja Bameswara (1116-1135 M) dari Kediri.[2] Prasasti yang ditemukan antara lain, Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya pemberian status perdikan untuk beberapa desa.
Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kadiri. Setelah Sri Bameswara turun takhta, ia digantikan Sri Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil menaklukkan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.[2]
Pada masa pemerintahan Sri Jayabaya (1135-1159) inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Sri Jayabaya di kemudian hari dikenal sebagai "peramal" Indonesia masa depan. Pada masa kekuasaannya, Kadiri memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan. Pada masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan subordinat di bawah Kadiri. Waktu itu Kadiri memiliki armada laut yang cukup tangguh. Beliau juga terkenal karena telah memerintahkan penggubahan Kakawin Bharatayuddha.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.[1]
Kerajaan Janggala dan Panjalu (Kediri), kemudian bersatu menjadi Kerajaan Kediri. Gambar: Wikipedia |
Raja-Raja Kerajaan Kadiri
Setelah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kadiri) bangkit lagi sekitar tahun 1116 M. Sistem pemerintahan Kerajaan Kadiri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, adapun raja-raja yang pernah berkuasa pada masa Kerajaan Kadiri adalah:
1. Sri Jayaswara Digjaya Shastraprabhu (? -1116)
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa, yang berisi pengesahan desa Marjaya sebagai tanah perdikan atau sima swatantra. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Jayaswara Digjaya Sastraprabhu. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.[2]
2. Rakai Sirikan Sri Bameswara (1116-1136)
Sri Bameswara, adalah raja kedua Kerajaan Kadiri yang memerintah antara tahun 1116-1136 M, dengan gelar abhisekanya adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuawanatushtikarana Sarwwaniwaryawirya Parakarama Digjayatunggadewa. Hal itu disebutkan pada prasasti Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116 M). Prasasti tersebut berisi penetapan desa Padlegan sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak) karena kesetiaan penduduknya dalam membantu perjuangan raja.
Raja Bameswara masih mengeluarkan prasasti lain, yaitu:
- Prasasti Panumbangan berangka tahun 1042 Saka (1120 M), prasati yang dikeluarkan oleh Raja bameswara atas permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.
- Prasasti Geneng berangka tahun 1050 Saka (1128 M)
- Prasasti Candi Tuban berangka tahun 1052 Saka (1130 M)
- Prasasti Tangkilan berangka tahun 1052 Saka (1130 M).
Prasasti lainnya adalah Prasasti Karang Reja berangka tahun 1056 Saka (1136 M), tetapi tidak jelas siapa yang mengeluarkannya. Apakah dikeluarkan oleh Bameswara atau Jayabaya?
3. Sri Jayabaya (1136-1159)
Sri Jayabaya, adalah raja ketiga Kerajaan Kadiri, yang bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa (1135-1159). Pada masa kekuasaannya, Jayabaya bukan hanya berhasil mengembalikan kejayaan pada masa Airlangga melainkan juga berhasil memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan. Pada masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan subordinat di bawah Kadiri. Waktu itu Kadiri memiliki armada laut yang cukup tangguh, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan.
Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti Talan berangka tahun 1508 Saka (1136 M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka) menjadi Prasasti Dinggopala oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Lencana kerajaan yang dipakai adalah Narasingha, tetapi pada Prasasti Talan disebutkan pemakaian lencana Garuda Mukha, simbol Airlangga.
Pada Prasasti Hantang atau Ngantang (1057 Saka atau 1135 M) menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Panjalu Menang. Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.[2] Ia juga meninggalkan prasasti penting lainnya, yaitu Prasasti Desa Jepun (1144 M).[3]
Jayabaya disebut dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Dewasa ini, nama Jayabaya di tanah Jawa juga sering dipakai dalam hal-hal yang berhubungan dengan eskatologi. Selain karena keahliannya sebagai pemimpin politik yang ulung, Jayabaya juga termasyur dengan ramalan-ramalannya. Ramalan-ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul Jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal kebudayaan dan kesusastraan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat, serta visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.[2]
4. Sri Sarweswara (1159-1169)
Pengganti Prabu Sri Jayabaya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Sri Sarweswara memerintah tahun 1159 hingga 1169. Lencana kerajaan yang digunakan adalah Ganesha.[3]
Sebagai raja yang taat beragama, Prabu Sarweswara memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau. Tujuan hidup manusia menurut Prabu Sarweswara yang terakhir adalah moksha, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.[2]
Peninggalan sejarahnya adalah prasasti Padelegan II (1159). Sedangkan yang paling muda adalah prasasti Kahyunan (1161). Dari prasasti-prasasti tersebut diketahui nama pejabat rakryan mahamantri saat itu ialah Mahamantri Halu, Panji Ragadaha dan Mahamantri Sirikan, Panji Isnanendra.
5. Sri Aryyeswara (1169-1181)
Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Sarweswara kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatararijamukha. Masa pemerintahan Raja Sri Aryyeswara berlangsung sampai tahun 1181 dan digantikan oleh Sri Gandra.
6. Sri Gandra (1181-1182)
Berdasarkan prasasti Jaring (1181), raja penerus Kerajaan Kadiri bernama Sri Gandra. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Sri Kroncharyadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayattunggaduwanama Sri Gandra.[1]
Dari namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat mengendalikan diri dalam kepemerintahannya dengan prinsip, sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu), loba (rakus), mada (mabuk), masarya (iri hati).[2]
Isi dari prasasti Jaring adalah pengabulan permohonan penduduk desa Jaring melalui Senapati Sarwajala tentang anugerah raja sebelumnya yang belum terwujud. Dalam prasasti tersebut juga diketahui adanya nama-nama hewan untuk pertama kalinya dipakai sebagai nama depan para pejabat Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Kebo Salawah, Lembu Agra, dan Gajah Kuning dan Macan Putih.
Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal jabatan Senapati Sarwajala (laksamana laut). Dengan jabatan itu, diduga Kediri mempunyai armada laut yang kuat.
7. Kameswara (1182-1185)
Prabu Kameswara memerintah Kerajaan Kadiri tahun 1182-1185, bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Tri Wikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Pada masa pemerintahan Kameswara, seni sastra berkembang pesat. Peninggalan sejarahnya antara lain prasasti Semanding (1182), dan prasasti Ceker (1185).
Dalam masa pemerintahannya, Mpu Dharmaja menulis Kakawin Smaradahana, yang berisi kisah kelahiran Ganesha, yaitu dewa berkepala gajah yang menjadi lambang Kerajaan Kadiri sebagaimana yang tertera pada prasasti-prasasti. Kakawin Smaradahana juga mengisahkan terbakarnya Kamajaya dan Ratih, menjelang kelahiran Ganesha. Pasangan dewa-dewi tersebut kemudian menitis dalam diri Sri Kameswara, Raja Kadiri dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana, putri Janggala.[1]
Sejak berdiri tahun 1042, Kerajaan Kadiri dan Janggala selalu terlibat perang saudara. Pada tahun 1135 Sri Jayabhaya Raja Kadiri berhasil menaklukkan Janggala. Ditambah lagi dengan perkawinan Sri Kameswara dengan Sri Kirana membuat persatuan kedua negara semakin lebih erat lagi. Raja Kameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala.
Kakawin Smaradahana merupakan cikal bakal kisah-kisah Panji yang populer dalam masyarakat Jawa. Tokoh Panji Inu Kertapati Asmarabangun merupakan pangeran Janggala yang menikah dengan Galuh Candrakirana putri Kadiri. Dalam beberapa pementasan ketoprak, tokoh Panji kemudian menjadi Raja Janggala bergelar Kameswara. Hal ini tentu saja kebalikan dari fakta sejarah.[1]
Dalam Kakawin Smaradahana ini, sang raja juga di puji-puji sebagai titisan Dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Pada masa itu, ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kadiri.
8. Kertajaya (1185-1222)
Prabu Kertajaya adalah raja terakhir Kerajaan Kadiri (1185-1222), dengan gelar Sri Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita Srenggalancana Digjayattunggadewanama. Prasasti peninggalannya antara lain, prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), dan prasasti Wates Kulon (1205).
Pada awalnya, Kertajaya tak henti-hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian Prabu Kertajaya menurut para dalang wayang dilukiskan oleh Mpu Prapanca. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, karma, moksha.[2] Namun pada akhirnya, Kertajaya dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan meminta rakyat untuk menyembahnya.
Dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah oleh para pendeta Hindu dan Budha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.
Para brahmana memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu (bupati) di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.
Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.
Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil (administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500-700 prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri dan perampok jika tertangkap dihukum mati.[3]
Karya Seni Sastra dan Budaya
Di bidang kebudayaan yang paling menonjol dari Kerajaan Kadiri adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukkan wayang. Di Kediri dikenal dengan adanya wayang Panji. Beberapa karya sastra yang terkenal adalah:
a. Kitab Baratayyudha
Ditulis pada masa Jayabaya oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh, untuk memberikan gambaran terjadinya perang saudara atara Panjalu melawan Janggala dan digambarkan dengan perang antara Kurawa dan Pandawa yang masing-masing merupakan keturunan Barata. Disamping itu Mpu Panuluh juga menggubah kitab Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya.[3]
b. Kitab Kresnayana
Ditulis oleh Mpu Triguna pada era Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan Kresna dan Dewi Rukmini.
c. Kitab Samaradahana
Ditulis oleh Mpu Dharmaja pada era Kameswara. Menceritakan sepasang suami istri yaitu Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa bertapa. Mereka kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana). Akan tetapi, mereka dihidupkan kembali dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya Sri Kirana.[3]
d. Kitab Lubdaka
Ditulis oleh Mpu Tan Akung pada era Kameswara. Menceritakan pemburu bernama Lubdaka yang sudah banyak membunuh. Roh yang semestinya masuk neraka menjadi masuk surga karena melakukan pemujaan secara istimewa kepada Dewa Syiwa. Disamping itu, Tan Akung juga menulis kitab Wertasancaya.
e. Kitab Mahabarata (Wirataparwa)
Pada masa Dharmawangsa Teguh, berhasil disadur Kitab Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuno yang disebut Kitab Wirataparwa. Selain itu juga disusun kitab hukum yang bernama Siwasasana.[3]
f. Kitab Arjuna Wiwaha
Di zaman Airlangga, disusun Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa.
g. Kitab Sumanasantaka
Kitab Sumanasantaka karangan Mpu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.[3]
Kehidupan Sosial Masyarakat Kerajaan Kadiri
Kehidupan sosial masyarakat Kadiri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat dan masyarakat hidup tenang. Hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai, maka seni dapat berkembang. Dan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang telah di ketahui sampai sekarang.[2]
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kadiri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Rajanya memakai sutera, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit.
Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan:
- Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
- Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
- Golongan masyarakat non pemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.[2]
Kehidupan sosialnya terwujud dalam hal berikut ini:
- Rakyat Kediri pada umumnya memiliki tempat tinggal yang baik, bersih dan rapi.
- Hukuman yang dilaksanakan ada dua macam, yakni hukuman denda (berupa emas) dan hukuman mati (khususnya bagi pencuri dan perampok).[3]
Kondisi Ekonomi Kerajaan Kadiri
Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, Kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya, dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.[2]
Mata pencaharian yang paling penting adalah pertanian dengan hasil utama padi. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang. Hal ini ditopang oleh angkatan laut Kadiri yang cukup tangguh. Di Kediri telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut). Barang perdagangan di Kediri antara lain, emas, perak, gading, kayu, cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat mengenai pajak juga cukup tinggi. Rakyat menyerahakan barang atau sebagian hasil buminya kepada pemerintah.[3]
Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai bawah lutut, rambut diurai, rumah bersih teratur, dan lantainya ubin yang berwarna kuning atau hijau. Rajanya memakai sutera, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit.
Berdasarkan kronik-kronik Cina, maka kehidupan perekonomian rakyat Kediri dapat dikemukakan antara lain:
- Rakyat hidup dari pertanian, peternakan, dan perdagangan;
- Kediri banyak menghasilkan beras;
- Barang-barang dagangan yang laku di pasaran saat itu, antara lain, emas, perak, gading dan kayu cendana;
- pajak rakyat berupa hasil bumi, seperti beras, dan palawija.[3]
Runtuhnya Kadiri
Arca Budha Vajrasattva dari Kadiri, abad ke-10/11, koleksi Museum fur Indische Kunst, Berlin-Danhem, Jerman. Gambar: Wikipedia |
Raja terakhir Kediri adalah Kertajaya (1185-1222). Ia dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan meminta rakyat dan kaum brahmana untuk menyembahnya sebagai dewa. Hal ini ditentang oleh para brahmana.
Sementara itu, di Tumapel (wilayah bawahan Kediri di daerah Malang) terjadi gejolak politik: Ken Arok membunuh penguasa Tumapel, Tunggul Ametung yang kemudian mendirikan Kerajaan Singhasari. Kaum Brahmana menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan meminta perlindungan kepada Ken Arok, Akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.[1]
Ken Arok kemudian memanfaatkan situasi politik di Kediri, ia beraliansi dengan para brahmana, dan lalu menghancurkan Kediri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan berakhirnya masa pemerintahan Kertajaya, berakhir pula masa pemerintahan Kerajaan Kadiri sebagai kelanjutan Dinasti Isyana yang didirikan oleh Mpu Sindok. Kemudian Ken Arok mendirikan kerajaan baru Singhasari, yang mengakhiri riwayat sejarah Kerajaan Kadiri.[3]
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi wilayah bawahan Kerajaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 M, Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271M, Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Jayakatwang, yang merupakan keturunan Raja Kadiri yang selama ini tunduk kepada Singhasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil membunuh Kertanegara, dan membangun kembali Kerajaan Kadiri.
Salah seorang pemimpin pasukan Singhasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan.[2]
Jayakatwang hanya memerintah Kerajaan Kadiri selama satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya tersebut. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
Raja-Raja yang Pernah Memerintah Di Daha
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri:
1. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kerajaan Kahuripan yang masih utuh
Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu. Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
2. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu
- Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
- Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
- Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
- Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
- Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
- Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
- Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
- Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
- Sri Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.
3. Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
- Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok.
- Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng.
- Tohjaya kakak Guningbhaya.
- Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi Raja Singhasari.
4. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 M, ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 M, ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit dengan bantuan dari Kerajaan Mongolia (Tartar).
5. Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 M, Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh Patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:
- Jayanagara (1295-1309), Nagarakretagama.47:2; Prasasti Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.
- Rajadewi (1309-1375), Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
- Indudewi (1375-1415), Pararaton.29:19; 31:10,21
- Suhita (1415-1429) ?
- Jayeswari (1429-1464), Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin Pitu
- Manggalawardhani (1464-1474), Prasasti Trailokyapuri
6. Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513, Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana, Raja Demak tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kadiri lebih terkenal dari pada Daha.
Kepustakaan:
- Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Referensi:
0 comments:
Posting Komentar