Asal-usul
Di Indonesia nama Sailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan, dari tahun 778 Masehi (Sailendragurubhis; Sailendrawansatilakasya; Sailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Sailendrawansatilakena), dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (Dharmmatungadewasyasailendra), prasasti Sojomerto dari sekitar tahun 700 Masehi (Selendranamah) dan prasasti Kayumwunan dari tahun 824 Masehi (Sailendrawansatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan prasasti Nalanda.
Mengenai asal usul keluarga Sailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Sailendra berasal dari Sumatera, dari India, dan dari Funan.
Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Sailendra di Nusantara, baik di Sriwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Sailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hyang. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya.
Teori Funan
George Cœdes lebih condong kepada anggapan bahwa Sailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Sailendra. Namun teori ini tidak terbukti kuat karena beberapa prasasti dan catatan sejarah menyatakan bahwa sebelum bermukim di Jawa, keluarga Sailendra telah bermukim turun-temurun di Sumatera.
Teori Nusantara
Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatera atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Sailendra mungkin berasal dari Sumatera yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.
Menurut beberapa sejarawan, keluarga Sailendra berasal dari Sumatera yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang Kerajaan Tarumanagara dan Ho-ling di Jawa. Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bhumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuna.
Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya Santanu, nama ibunya Bhadrawati, dan nama istrinya Sampula (da pu nta selendra namah santanu nama nda bapa nda bhadrawati nama nda aya nda sampula nama nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal bakal raja-raja keturunan Sailendra yang berkuasa di Mdaŋ (Kerajaan Medang).
Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta Sailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Sailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Sailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Sailendra, asli Nusantara yang menganut agama Siwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Budha Mahayana, raja-raja di Mataram menjadi penganut agama Budha Mahayana juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Rakai Sanjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Siwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Siwa menjadi Budha Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).
Kemudian Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthiranga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sanjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sanjaya.
Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Mataram Kuno), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sanjaya. Raja Sanjaya mulai berkuasa di Medang pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sanjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Raja Mandiminyak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandiminyak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandiminyak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandiminyak.
Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Sailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada dibawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Holing (Kalingga). Penggunaan Bahasa Melayu Kuno pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vasal atau raja bawahan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur.
Berita Tiongkok yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Shima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Medang, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Shima (674-703 Masehi), Mandiminyak (703-710 Masehi), Rakai Sanna (710-717 Masehi), Rakai Sanjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Era Kerajaan Medang
Candi Kalasan, sebagai |
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan Kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.
Berdasarkan penafsiran atas prasasti Canggal (732 M), Sanjaya memang mendirikan Shivalingga baru (Candi Gunung Wukir), artinya ia membangun dasar pusat pemerintahan baru. Hal ini karena raja Jawa pendahulunya, Raja Sanna wafat dan kerajaannya tercerai-berai diserang musuh. Saudari Sanna adalah Sannaha, ibunda Sanjaya, artinya Sanjaya masih kemenakan Sanna. Sanjaya mempersatukan bekas kerajaan Sanna, memindahkan ibu kota dan naik takhta membangun keraton baru di Medang i Bhumi Mataram. Hal ini sesuai dengan adat dan kepercayaan Jawa bahwa keraton yang sudah pernah pralaya, diserang, kalah dan diduduki musuh, sudah buruk peruntungannya sehingga harus pindah mencari tempat lain untuk membangun keraton baru.
Hal ini serupa dengan zaman kemudian pada masa Mataram Islam yang meninggalkan Kartasura yang sudah pernah diduduki musuh dan berpindah ke Surakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ini bukan berarti berakhirnya wangsa yang berkuasa. Hal ini sama dengan Airlangga pada zaman selanjutnya yang membangun kerajaan baru, tetapi ia masih merupakan keturunan wangsa penguasa terdahulu, kelanjutan Dharmawangsa yang juga anggota Wangsa Isyana. Maka disimpulkan meski Sanjaya memindahkan ibu kota ke Mataram, ia tetap merupakan kelanjutan dari Wangsa Sailendra yang menurut prasasti Sojomerto didirikan oleh Dapunta Selendra.
Pada masa pemerintahan Raja Indra (782-812 M), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri Dharmasetu, Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Dewi Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790 M, Sailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun (12 tahun).
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan Raja Samaratungga (812-833 M). Borobudur merupakan monumen Budha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, Samaratungga memiliki putri bernama Pramodhawardhani dan putra bernama Balaputradewa. Balaputradewa kemudian memerintah di Sriwijaya, maka selain pernah berkuasa di Medang, Wangsa Sailendra juga berkuasa di Sriwijaya.
Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan Dinasti Syailendra sebagai berikut:
1) Prasasti Kalasan (778 M)
2) Prasasti Kelurak (782 M)
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti Nalanda (860 M)[2]
Raja-raja Dinasti Syailendra sebagai berikut:
1. Bhanu (752-775 M)
Bhanu berarti matahari. Ia adalah Raja Syailendra yang pertama. Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat Salatiga.
2. Wisnu (775-782 M)
Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti. Pada masa pemerintahannya 770 M, Candi Borobudur mulai dibangun. Setelah meninggal, ia digantikan oleh Indra.
a) Prasasti Ligor B menyebutkan nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan, dan Dewa Karna. Disebutkan pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah berani.
b) Prasasti Kalasan (778 M) menyebutkan desakan Dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.
c) Prasasti Ratu Boko (778 M) menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.
3. Indra atau Dharanindra (782-812 M)
Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna (Candi Lumbung), Vajradhatu (Candi Sewu), dan Trimurti (Candi Roro Jongrang). Pada masa pemerintahannya 790 M, Sailendra menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (sekarang Kamboja), serta menduduki daerah tersebut selama 12 tahun. Setelah meninggal, ia digantikan oleh Samaratungga. Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di Candi Pawon. Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala artinya petir yang menjadi senjata Dewa Indra.
4. Samaratungga (812-832 M)
Raja Samaratungga adalah raja keempat dan raja terakhir dari keturunan Sailendra yang memerintah di Mataram Kuno. Ia menikah dengan Dewi Tara, putri Raja Sriwijaya, Dharmasetu. Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur, monumen Budha terbesar di dunia telah selesai dibangun. Ia juga mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya (Candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.
Raja dan ratu Sailendra pada relief Candi Borobudur. |
Runtuhnya Wangsa Sailendra
Berapa sejarahwan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatera). Selama ini sejarahwan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Budha kalah bersaing dan terusir oleh Wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara Sailendra sang penguasa yang beragama Budha dengan rakyat Jawa yang kebanyakan beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah. Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, Raja Samaratungga menikahkan putrinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Budha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Sailendra berakhir pada tahun 840 M, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Suwarnadwipa yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya Wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz beranggapan berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz beranggapan bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan Banten Girang. Hal ini berdasarkan temuan arca-arca bergaya Jawa Tengahan abad ke-10 di situs Gunung Pulasari, Banten Girang.
Sementara itu, sejarahwan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamca dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam Wangsa Sailendra. Secara tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di Dataran Kedu, dari masa kekuasaan Rakai Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran Slamet Muljana yang menganggap Rakai Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik takhta. Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan Prasasti Sojomerto serta kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan; bahwa masa kekuasaan Wangsa Sailendra berlangsung jauh lebih lama. Dari pertengahan abad ke-7 (perkiraan dituliskannya Prasasti Sojomerto), hingga awal abad ke-11 Masehi (jatuhnya Wangsa Sailendra di Sriwijaya akibat serangan Cholamandala dari India). Dalam kurun waktu tertentu, Wangsa Sailendra berkuasa baik di Jawa Tengah maupun di Sumatera. Persekutuan dan hubungan pernikahan keluarga kerajaan antara Sriwijaya dan Sailendra memungkinkan bergabungnya dua keluarga kerajaan, dengan Wangsa Sailendra akhirnya berkuasa baik di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah sekaligus di Sriwijaya, Sumatera.
Daftar Raja-Raja Sailendra
Beberapa sejarahwan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar silsilah raja-raja Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak sepakat. Misalnya, Slamet Muljana, meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa Wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun tahap awal perkembangan Wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas Prasasti Sojomerto. Sementara Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta penafsiran atas naskah Carita Parahyangan. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul, karena nampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; Kalingga, Medang, dan Sriwijaya. Akibatnya nama beberapa raja nampak tumpang tindih dan berkuasa di kerajaan-kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan keraguan atau dugaan, karena data atau bukti sejarah sahih masih sedikit ditemukan dan belum jelas terungkap.
- Sekitar 650 M: Santanu, bukti: Prasasti Sojomerto (sekitar 670-700 M) ~ Sebuah keluarga beragama Siwa berbahasa Melayu Kuno mulai bermukim di pesisir utara Jawa Tengah, diduga berasal dari Sumatera (?) atau asli dari Jawa tapi di bawah pengaruh Sriwijaya (raja bawahan).
- Sekitar 674 M: Dapunta Selendra, ibukota Batang (pantai utara Jawa Tengah), bukti: Prasasti Sojomerto (sekitar 670-700 M) ~ Dimulainya wangsa keluarga penguasa, pertama kalinya nama 'Selendra' (Sailendra) disebutkan.
- 674-703 M: Shima (?), ibukota Kalingga, di antara Pekalongan dan Jepara. Bukti: Carita Parahyangan, Catatan Tiongkok mengenai kunjungan biksu Hwi-ning di Ho-ling (664 M) dan pemerintahan Ratu Hsi-mo (674 M) ~ Menguasai kerajaan Kalingga.
- 703-710 M: Mandiminyak (?), bukti: Carita Parahyangan.
- 710-717 M: Sanna, bukti: Prasasti Canggal (732 M), Carita Parahyangan ~ Sanna berkuasa di Jawa, tetapi setelah kematiannya kerajaan runtuh dan terpecah-belah akibat pemberontakan atau serangan dari luar.
- 717-760 M: Sanjaya, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Canggal (732 M), Carita Parahyangan ~ Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan keamanan, mempersatukan kerajaan dan naik takhta, sejarahwan lama menafsirkannya sebagai berdirinya Wangsa Sanjaya, sementara pihak lain menganggap ia sebagai kelanjutan Sailendra.
- 760-775 M: Rakai Panangkaran, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Raja Sankhara, Prasasti Kalasan (778 M), Carita Parahyangan ~ Rakai Panangkaran beralih keyakinan dari memuja Siwa menjadi penganut Budha Mahayana, pembangunan Candi Kalasan.
- 775-800 M: Dharanindra, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Kelurak (782 M), Prasasti Ligor B (sekitar 787 M) ~ Juga berkuasa di Sriwijaya (Sumatera), membangun Manjusrigrha, memulai membangun Borobudur (sekitar 770 M), Jawa menyerang dan menaklukan Ligor dan Kamboja Selatan (Chenla) (790 M).
- 800-812 M: Samaragrawira, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Ligor B (sekitar 787 M) ~ Juga berkuasa di Sriwijaya, Kamboja memerdekakan diri (802 M).
- 812-833 M: Samaratungga, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Karangtengah (824 M) ~ Juga berkuasa di Sriwijaya, merampungkan Borobudur (825 M).
- 833-856 M: Pramodhawardhani berkuasa mendampingi suaminya Rakai Pikatan, ibukota Mamrati, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Siwagrha (856 M) ~ Mengalahkan dan mengusir Balaputradewa yang menyingkir ke Sumatera (Sriwijaya). Membangun Candi Prambanan dan Candi Plaosan. Para raja Medang penerus Pikatan, mulai dari Dyah Lokapala (850-890 M) hingga Wawa (924-929 M) dapat dianggap sebagai penerus trah Sailendra, meskipun Dyah Balitung (898-910 M) dalam Prasasti Mantyasih (907 M) hanya merunut leluhurnya hingga Sanjaya, akibatnya menumbuhkan teori Wangsa Sanjaya.
- 833-850 M: Balaputradewa, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Prasasti Siwagrha (856), Prasasti Nalanda (860) ~ Dikalahkan Pikatan-Pramodhawardhani, terusir dari Jawa Tengah, menyingkir ke Sumatra dan berkuasa di Sriwijaya, mengaku dirinya sebagai pewaris sah Wangsa Sailendra dari Jawa, membangun Candi di Nalanda (India).
- Sekitar 960 M: Cri Udayadityavarman, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (960 dan 962 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok.
- Sekitar 980 M: Haji (Hia-Tche), ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (980-983 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok.
- Sekitar 988 M: Sri Culamanivarmadeva, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (988-992-1003 M), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok, Raja Jawa Dharmawangsa menyerang Sriwijaya, membangun Candi untuk Kaisar Tiongkok, pemberian desa perdikan oleh Raja-raja I.
- Sekitar 1008 M: Sri Maravijayottungga, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (1008 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1008 M).
- Sekitar 1017 M: Sumatrabhumi, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (1017 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1017 M).
- Sekitar 1025 M: Sangramavijayottungga, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore ~ Serbuan kerajaan Cholamandala atas Sriwijaya, ibu kota ditaklukan oleh Rajendra Chola.
Referensi:
0 comments:
Posting Komentar