Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

Kerajaan Tarumanegara

Selasa, 15 April 2014


Arca Dewa Wisnu
Dua arca Wishnu dari Cibuaya,
 Karawang.
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, dengan pusat kerajaan terletak di Sundapura (dekat Tugu dan Bekasi). Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang banyak meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.[1]

Wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanegara meliputi daerah Banten, Jakarta, sampai perbatasan Cirebon, sehingga dapat diartikan bahwa pada masa pemerintahan Raja Purnawarman wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara hampir menguasai seluruh wilayah Jawa Barat.[2]

Etimologi dan Toponimi

Kata Tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara, sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai (Ci) yang membelah Jawa Barat yaitu Citarum. Pada muara Citarum ditemukan percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Taruma.[1]

Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab, yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati (wilayah Bekasi). Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.

Awal Sejarah

Informasi yang didapat dari naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, halaman 771, antara lain sebagai berikut:

Di negeri India dua keluarga atau dua kerajaan yaitu keluarga Calankayana dan Pallawa telah dikalahkan dalam perang oleh Samudragupta Maharaja Maurya. Sang Gupta lalu menjadi yang paling berkuasa di India. Perangai tidak layak, kejam tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang telah dikalahkannya. Oleh karena itu keluarga, para pembesar dan penduduk dari kedua kerajaan yang kalah perang itu berupaya melarikan diri mencari keselamatan.

Perang itu terjadi pada tahun 267 Saka (345 Masehi). Adapun maharaja Maurya itu, bergelar Samudragupta Mahaprabawa Raja Magada, yang besar kotanya. Sedangkan Raja Calankayana, bergelar Maharaja Hastiwarman dan Raja Pallawa, bergelar Maharaja Wisnugopa. Kedua raja ini bersahabat akrab dan bersatu, lalu bersama‑sama menyerang musuhnya (Samudragupta). Perang itu, berlangsung beberapa bulan lamanya. Akhirnya, kerajaan Pallawa dan Calankayana kalah. Kerajaan Maurya, memperoleh kemenangan.[6]

Sementara itu, rajanya telah kalah, tetapi kerajaannya tidak hilang dari muka bumi. Hanya saja, yang kalah, menjadi bawahan sang pemenang. Semua penduduk Pallawa dan Calankayana, sangat menderita dan banyak yang tewas, karena sang penguasa, yaitu raja Gupta, telah banyak membunuh orang‑orang yang tak berdosa. Telah banyak, tentara dan pemuka negara yang kalah, tewas di medan perang. Oleh karena itu, di kota‑kota negara yang kalah perang, merajalela kaum perampok. Sedangkan raja yang menderita kekalahan, beserta keluarga, pengiring dan para pembesar lainnya, bersembunyi masuk ke dalam hutan atau gunung. Ada juga yang bersama keluarga dan pengiringnya, pergi ke seberang laut, yaitu ke Semenanjung, Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Negeri Yawana, dan sebagainya.

Salah satu kelompok keluarga Pallawa, yang mengungsi ke Pulau Jawa, dipimpin oleh Darmawirya, kelak setelah menikah dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi, menjadi Dewawarman Vlll (raja terakhir Salakanagara). Keluarga Hastiwarman dan Wisnugopa, tersebar ke berbagai negara, terutama yang dahulu menjadi sahabat keluarga mereka. Dinasti Warman (warmanwamca), akhirnya banyak yang menjadi raja di Nusantara, dan negara-negara lainnya.[6]

Naskah Wangsakerta

Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon, Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395 M). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.

Dalam tahun 270 Saka (348 Masehi), ada seorang Maharesi (bernama Jayasingawarman) dari Calankayana. Bersama pengikutnya (sebagai pengiring), tentara, penduduk pria dan wanita, ikut melarikan diri. Mengungsi ke pulau‑pulau di sebelah selatan, karena pihak musuh, selalu berusaha menangkap mereka. Sang Maharesi Jayasingawarman bersama para pengikutnya, tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (barat). Di sebelah barat Sungai Citarum, Sang Maharesi mendirikan perdukuhan, yang kemudian diberi nama Tarumadesya. Wilayah ini (Taruma‑desya), termasuk daerah kekuasaan Sang Prabu Dewawarman VIII. Kelak, Sang Maharesi Jayasingawarman menjadi menantu Sang Prabu Dewawarman VIII.[6]

Kira-kira sepuluh tahun kemudian, desa itu menjadi besar, karena banyak penduduk dari desa-desa lain, datang dan menetap di situ. Beberapa tahun kemudian, desa Taruma itu, telah menjadi nagara. Jayasingawarman terus berusaha, memperbesar negaranya, sampai menjadi sebuah kerajaan, lalu diberi nama: Tarumanagara. la lalu menjadi Rajadirajaguru yang memerintah kerajaannya, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa.

Sang Maharesi Rajadirajaguru menjadi Raja Tarumanagara selama 24 tahun, yaitu dari tahun 280 sampai 304 Saka (358‑382 Masehi). la wafat dalam usia 60 tahun, dan dipusarakan di tepi kali Gomati. la digantikan putera sulungnya yang bernama Rajaresi Darmayawarmanguru. Ia bergelar demikian, karena selain memegang pemerintahan Tarumanagara, ia pun menjadi pemimpin semua guru agama (Hindu).[6]

Tetapi penduduk di desa‑desa kerajaan Taruma, banyak yang tetap menganut pemujaan roh, yaitu memuja roh leluhur (pitampuja) menurut adat yang diwarisi dari nenek moyangnya. Sang Rajaresi, selalu berusaha mengajarkan agamanya kepada penghulu desa‑desa dan penduduk Tarumanagara. Oleh karena itu, Sang Rajaresi mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Walaupun demikian, tidak semua penduduk mau mengikuti agamanya.

Waktu itu, kehidupan penduduk dijadikan empat kasta, yaitu: yang pertama kasta Brahmana, yang kedua kasta Ksatriya, yang ketiga kasta Waisya, dan yang keempat kasta Sudra. Dengan demikian, penduduk itu dibeda‑bedakan antara golongan Nista‑Madya ‑ Utama. Penduduk golongan nista, sangat takut terhadap agama Sang Rajaresi.

Darmayawarmanguru menjadi Raja Tarumanagara hanya 13 tahun, dari tahun 304 sampai tahun 317 Saka (382-395 Masehi). la disebut juga Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga), karena ia dipusarakan di tepi kali Candrabaga (Cibagasasi atau kali Bekasi). Rajaresi Darmayawarmanguru, digantikan oleh puteranya, yang bernama Sang Purnawarman, yang memerintah dari tahun 317 sampai tahun 356 Saka (395‑434 Masehi).[6]

Relief TarumanagaraPurnawarman, dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diangkat sebagai Raja Tarumanagara ketiga, pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan, untuk hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah turun tahta sampai ajal tiba).

Tindakannya yang pertama, ialah memindahkan ibukota kerajaan, ke sebelah utara ibukota lama, yang disebut Jayasingapura yang didirikan oleh kakeknya, Jayasingawarman. Ibukota yang baru itu, diberi nama Sundapura (kota Sunda), dibangun di tepi kali Gomati pada tahun 397 M.

Kira‑kira tiga tahun setelah ia dinobatkan, Purnawarman membuat pelabuhan di tepi pantai. Pembuatannya, dimulai tanggal 7 bagian terang bulan Margasira (15 Desember 398 Masehi) dan selesai pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya (11 November 399 Masehi). Pelabuhan ini, segera menjadi ramai, oleh kapal-kapal perang kerajaan Tarumanagara.[6]

Selama masa pemerintahannya, Purnawarman telah menaklukan kerajaan-kerajaan lain di Jawa Barat, yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang diserangnya, selalu dapat dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai berbagai ilmu dan siasat berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang perkasa dan dahsyat (bhimaparakramoraja). Tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya, karena dalam perang, ia selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala sampai ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan‑lawannya, digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra ring tarumanagara).

Pada tahun 417 M, ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 12 km). Selesai penggalian, sang maharaja mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.

Sebagai pengganti Sri Maharaja Purnawarman, putera sulungnya, Sang Wisnuwarman, dengan gelar: Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati Sang Purandarasutah. la dinobatkan menjadi Raja Tarumanagara keempat, pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 365 Saka (3 Desember 434 Masehi). Memegang pemerintahan di Tarumanagara hingga tahun 377 Saka (455 Masehi).[6]

Digantikan oleh puteranya, Sang Indrawarman, sebagai Raja Tarumanagara kelima, dengan gelar: Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 437 Saka (515 Masehi).

Digantikan oleh puteranya, Sang Candrawarman, sebagai Raja Tarumanagara keenam, dengan gelar: Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 457 Saka (535 Masehi).[6]

Digantikan oleh puterannya, Sang Suryawarman, sebagai Raja Tarumanagara ketujuh, dengan gelar: Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 483 Saka (561 Masehi).

Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat pada tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535-561 M), Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.[1]

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 536 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.

Suryawarman digantikan oleh puteranya, Sang Kretawarman, sebagai Raja Tarumanagara kedelapan, dengan gelar: Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. la, memerintah di Tarumanagara hingga tahun 550 Saka (628 Masehi).[6]

Karena tidak punya keturunan, Kretawarman digantikan oleh adiknya, Sang Sudawarman, sebagai Raja Tarumanagara kesembilan, dengan gelar: Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 561 Saka (639 Masehi).

Digantikan oleh puteranya, Sang Dewamurti, sebagai Raja Tarumanagara kesepuluh, dengan gelar: Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 562 Saka (640 Masehi).

Digantikan oleh puteranya, Sang Nagajaya, sebagai Raja Tarumanagara kesebelas, dengan gelar: Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 588 Saka (666 Masehi).[6]

Digantikan oleh puteranya, Sang Linggawarman, sebagai Raja Tarumanagara keduabelas, dengan gelar: Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 591 Saka (669 Masehi).

la digantikan oleh menantunya, Sang Tarusbawa, sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan gelar; Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Sang Tarusbawa dinobatkan pada tanggal 9 bagian terang bulan Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi). Dalam tahun yang sama, menantu Sang Linggawarman lainnya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.[6]

Sang Tarusbawa bukan keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura), sebagai raja keturunan pribumi di kerajaan daerah Sunda Sembawa. Ketika ia naik tahta, mengganti nama Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa tersebut berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, dengan batas sungai Citarum, memerdekakan diri, menjadi Kerajaan Galuh, di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun.

Mengingat kejayaan Sang Purnawarman, tentu kerajaan bawahannya yang ada di wilayah Banten (Salakanagara, Ujung Kulon, Kosala, dan Rangkas), memegang peranan penting bagi Tarumanagara.[6]

Berita dari China

Berita dari Cina, menyebutkan bahwa seorang pendeta yang bernama Fa Hien terdampar di pantai utara Pulau Jawa (414 M) ketika ia hendak kembali dari India ke Negeri asalnya di China. Dalam catatan perjalanan Fa Hien, ia menyebutkan bahwa di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat telah ditemukan masyarakat yang mendapat pengaruh Hindu India. Masyarakat yang ditemukan diperkirakan menjadi bagian masyarakat Kerajaan Tarumanegara.[2]

  1. Dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi, Fa Hien menceritakan bahwa di Ye-po-ti (Jawadwipa) hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Budha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang sekarang terletak di taman purbakala Pugung Raharjo, meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yangg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa hien.
  2. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.
  3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.

Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.

Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Taruma.

Wilayah Kekuasaan Tarumanagara

Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.[1]

Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159-162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang) sampai ke Purbalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.

Peta Wilayah Kekuasaan Tarumanagara
Wilayah Tarumanagara. Gambar: Gunawan Kartapranata

Halwany Michrob, dalam buku Catatan Masa Lalu Banten, mengemukakan pendapatnya: Dengan ditemukannya Prasasti Munjul, yang terletak di tengah Sungai Cidanghiang, Lebak Munjul, Pandeglang, berita tentang Banten dapat lebih diperjelas lagi. Prasasti ini, yang diperkirakan berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman. Ini berarti bahwa daerah kuasa Tarumanagara sampai juga ke Banten, dan diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan (Michrob,1993: 37).[6]

Menurut Naskah Wangsakerta, pada saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan‑kerajaan yang menjadi bawahannya, adalah sebagai berikut: Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik (Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang), Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung, Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang (Tasikmalaya).

Kehidupan Politik

Berdasarkan tulisan yang terdapat pada prasasti-prasasti, diketahui bahwa raja yang pernah memerintah di Kerajaan Tarumanegara hanyalah Raja Purnawarman. Bahkan, raja-raja yang memerintah sebelum Raja Purnawarman belum diketahui. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya bukti yang menjelaskan mengenai raja-raja yang memerintah selain Raja Purnawarman.

Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyat Kerajaan Tarumanegara. Hal ini dapat dibuktikan dari Prasasti Tugu yang menyatakan Raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali satu saluran air. Penggalian saluran air ini sangat besar artinya, karena saluran air ini dapat mempermudah jalur air persawahan rakyatnya.[2]

Kehidupan Sosial 

Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara sudah teratur rapi, hal ini terlihat dari upaya raja Purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman juga sangat memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai tanda penghormatan kepada para dewa.[5]

Kehidupan Ekonomi

Prasasti Tugu menyatakan bahwa raja Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membangun saluran air di Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau sekitar 12 km. Pembangunan terusan ini mempunyai arti ekonomis yang besar bagi masyarakat, Karena dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah banjir disaat musim penghujan. Selain itu juga digunakan sebagai irigasi pertanian serta sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan antardaerah di Kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar dan daerah-daerah di sekitarnya.[5]

Kehidupan Budaya

Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang ditemukan sebagai bukti kebesaran Kerajaan Tarumanegara, dapat diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu sudah tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti-prasasti tersebut menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan Tarumanegara.[5]

Prasasti yang Ditemukan

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak, Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

Denah lokasi ditemukannya prasasti-prasasti Tarumanagara
Denah lokasi ditemukannya prasasti-prasasti Tarumanagara.
Gambar: http://kelompokenam49.wordpress.com

Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?

Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 M menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).

Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Lahan tempat prasasti-prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.

Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.

Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.[1]

1. Prasasti Ciaruteun


Prasasti Ciaruteun Tarumanagara
Salinan gambar prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda
 Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan
Pajajaran with the Royal Center of Bogor.
Gambar: http://id.wikipedia.org
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran sungai Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Pallawa, berbahasa Sanskerta. Isinya adalah puisi empat baris, dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh yang berbunyi:

vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam

Terjemahannya menurut Vogel:

Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Selain itu, ada pula gambar sepasang padatala (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan -- fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama Rajamandala (raja daerah) Pasir Muhara.[1]

Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:[3]

  1. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
  2. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.

2. Prasasti Jambu atau Prasasti Pasir Koleangkak

Prasasti Jambu Tarumanagara
Di daerah Bogor, ditemukan prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:

shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.

Terjemahannya menurut Vogel:

Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.[1]

3. Prasasti Kebon Kopi (Prasasti Telapak Gajah)

Prasasti Telapak Gajah Tarumanagara
Prasasti Kebon Kopi atau prasasati Tapak Gajah ditemukan di kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan telapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu,[3] serta keterangan satu baris berbentuk puisi yang berbunyi.

jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam

Terjemahannya:

Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra, dewa perang dan penguasa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai huruf ikal yang masih belum terpecahkan bacaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang bhramara (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah, harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.[1]

4. Prasasti Muara Cianten

Prasasti Muara Cianten Tarumanagara

Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Ciampea, Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki.[3]

5. Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi Tarumanagara

Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang/Citeureup, Bogor, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.[3]

6. Prasasti Cidanghiyang

Prasasti Cidanghiyang

Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, ditemukan di tepi aliran Sungai Cidanghiyang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan pada tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.

7. Prasasti Tugu

Prasasti Tugu di Museum Nasional.
Gambar: Bkusmono at id.wikipedia
Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut, antara lain:

  1. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
  2. Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan Phalguna dan Caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April.
  3. Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja Tarumanagara.

Pada prasasti-prasasti tersebut digunakan bahasa Sansekerta dan Pallawa. Namun, karena pada prasasti tidak ditemukan angka tahun, maka untuk menentukan tahun tulisan itu dilakukan perbandingan melalui huruf-huruf pada prasasti yang ditemukan di India. Dari perbandingan tersebut, diperkirakan prasasti  itu ditulis pada abad ke-5 M.

Berakhirnya Masa Pemerintahan Tarumanagara

Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669 M, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, takhta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Seperti yang dijelaskan pada sebuah prasasti (Prasasti Pasir Muara) yang ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan:

ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda

Terjemahannya menurut Bosch:

Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan negara dikembalikan kepada raja Sunda.

Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat pada tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya kerajaan Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari kerajaan Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.

Kerajaan Tarumanagara Pecah Menjadi Dua

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.

Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, menikah dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan kerajaan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.[4]

Raja-Raja Tarumanegara Menurut Naskah Wangsakerta

  1. Rajadirajaguru Jaya Singawarman tahun 358 - 382 M
  2. Dhamayawarman tahun 382 - 395 M
  3. Sri Purnawarman tahun 395 - 434 M
  4. Wisnuwarman tahun 434 - 455 M
  5. Indrawarman tahun 455 - 515 M
  6. Candrawarman tahun 515 - 535 M
  7. Suryawarman tahun 535 - 561 M
  8. Kertawarman tahun 561 - 628 M
  9. Sudhawarman tahun 628 - 639 M
  10. Hariwangsawarman tahun 639 - 640 M
  11. Nagajayawarman tahun 640 - 666 M
  12. Sang Linggawarman tahun 666 - 669 M (Raja terakhir Trumanagara)
  13. Tarusbawa tahun 669 - 670 M (menjadi raja di kerajaan Sunda)

Kepurbakalaan Masa Tarumanagara

Candi Batujaya Karawang
Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya, Karawang.
Gambar: http://id.wikipedia.org

  1. Kampung Muara, ditemukan aftefak berbentuk: Menhir (3), Batu dakon (2), Arca batu tidak berkepala, Struktur Batu kali, Kuburan (tua).
  2. Ciampea, ditemukan aftefak berbentuk: Arca gajah (batu) dalam kondisi rusak berat.
  3. Gunung Cibodas, ditemukan aftefak berbentuk: Arca yang terbuat dari batu kapur, 3 arca duduk, arca raksasa, arca (?) Fragmen, Arca Dewa, Arca Dwarapala, Arca Brahma dalam keadaan duduk diatas angsa (Wahana Hamsa) dilengkapi padmasana, Arca (berdiri) Fragmen kaki dan lapik, (Kartikeya?), Arca singa (perunggu) yang sekarang simpan di Musium Nasional No. 771.
  4. Tanjung Barat, ditemukan aftefak berbentuk: Arca Siwa (duduk) perunggu yang sekarang disimpan di Musium Nasional No. 514a.
  5. Tanjungpriok, ditemukan aftefak berbentuk: Arca Durga-Kali Batu granit yang sekarang disimpan di Musium Nasional No. 296a.
  6. Tidak diketahui, ditemukan aftefak berbentuk: Arca Rajaresi yang sekarang disimpan di Musium Nasional No. 6363.
  7. Cilincing, ditemukan aftefak berbentuk: sejumlah besar pecahan (settlement pattern).
  8. Buni, ditemukan aftefak berbentuk: perhiasan emas dalam periuk (settlement pattern), Tempayan, Beliung, Logam perunggu, Logam besi, Gelang kaca, Manik-manik batu dan kaca, Tulang belulang manusia, dan Sejumlah besar gerabah bentuk wadah.
  9. Batujaya (Karawang), ditemukan aftefak berbentuk: Unur (hunyur) sruktur bata berbentu Percandian, Segaran I, Segaran II, Segaran III, Segaran IV, Segaran V, Segaran VI, Talagajaya I, Talagajaya II, Talagajaya III, Talagajaya IV, Talagajaya V, Talagajaya VI, Talagajaya VII.
  10. Cibuaya, ditemukan aftefak berbentuk: Arca Wisnu I, Arca Wisnu II, Arca Wisnu III, Lmah Duwur Wadon yang berbentuk Candi I, Lmah Duwur Lanang yang berbentuk Candi II, Pipisan batu.[1]

Garis waktu kerajaan-kerajaan di Jawa Barat/Banten

Garis Waktu Kerajaan di Jawa Barat
Gambar: id.wikipedia

Referensi:

[1] id.wikipedia.org - Tarumanagara
[2] RangkumSejarah.blogspot.com - Kerajaan Tarumanegara
[3] feby27febbay.blogspot.com - Prasasti Kerajaan Kutai dan Kerajaan Tarumanagara
[4] Sasadaramk.blogspot.com - Kerajaan Salakanagara
[5] KelompokEnam49.wordpress.com - Kerajaan Tarumanegara by Rahmadanti
[6] Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda

0 comments:

Posting Komentar