Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

MARTHA CHRISTINA TIAHAHU

Senin, 28 April 2014

Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusalaut, Maluku, 4 Januari 1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah. Ia lahir dari keluarga Tiahahu dari kelompok Soa Uluputi. Soa dalam bahasa Maluku berarti 'kelompok yang membagi masyarakat berdasarkan marganya sebagai identitas asal-usul keluarga'.

Riwayat Martha Christina Tiahahu

Martha adalah wanita pemberani yang mengangkat tombak untuk melawan Belanda. Seperti yang dituturkan oleh ahli warisnya, Merry Lekahena, berdasarkan kisah turun-temurun yang diceritakan oleh orangtuanya,
Martha dibesarkan oleh ayahnya yang merupakan seorang pemimpin perang karena ibunya meninggal saat ia masih belia. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga membantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.[1]

Martha terkenal sebagai seorang gadis remaja yang memiliki kemauan keras dan pemberani. Parasnya manis, tubuhnya tegap, mata hitam jelita memancarkan berbagai perasaan, garis mulut yang sayu, gigi putih bak mutiara, rambut hitam terurai di punggung, berbaju kain linen biru dan bersarung sampai ke betis, itulah srikandi dari Nusalaut. Ia selalu mengikuti ke mana pun ayahnya pergi, termasuk menghadiri rapat perencanaan perang, sehingga dirinya terbiasa turut mengatur pertempuran dan membuat kubu-kubu pertahanan.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam Perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya. "Kemampuan, sikap keras kepala, dan tekad yang kuat yang membuatnya sejajar dengan laki-laki. Ia bahkan tidak mau meminta pengampunan Belanda terhadap ayahnya meskipun ia sedih sekali," kata Lekahena.[2]

Perang Pattimura

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah), ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran, sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.

Martha Chistina dan ayahnya, Paulus Tiahahu, bersama-sama dengan Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura berhasil menggempur kependudukan tentara kolonial yang bercokol di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah.[2]

"Mereka berhasil membumihanguskan Benteng Duurstede," ujar Lekahena menjelaskan.

Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para raja dan patih bergerak ke Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura, sehingga tindakan Belanda yang akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian.

Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatas-namakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 November 1817, Benteng Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.

Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw. Diantara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja dan Patih dari Nusalaut.

Tanggal 11 November 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.

Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah) terikat di kepala.

Dengan mendampingi sang ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kaum laki-laki di medan pertempuran.

Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut bertempur. Pertempuran semakin sengit ketika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.

Penangkapan

Tanggal 12 November 1817, Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis.[1]

Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.

Martha Christina dan sang ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya.

Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman tembak mati di Nusalaut.

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang ayah. Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia. Ia pun bersumpah untuk tidak menggulung rambutnya sebelum ia mandi dengan darah kompania.

Christina Martha Tiahahu diantarkan keluar, namun ia menolak ditempatkan terpisah. Ia ingin berada disisi ayahnya yang dirantai pada tiang besi. Beberapa hari kemudian pada tanggal 16 November 1817, Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya. Meraka tidak diizinkan pamitan dengan Ahmad Lessy dan kawan-kawan seperjuangannya.[3]

Detik-Detik Pengeksekusian

Tanggal 17 November 1817 pagi, Groot, Verheull dan Residen Neys yang datang bersama Buyskes beberapa hari yang lalu, berangkat dengan sebuah arombai ke Nusalaut. Duabelas kora-kora dengan alifuru Ternate dan Tidore dibawah pimpinan O Tusan dan Dukimi, turut serta tujuhratus orang alifuru berbadan telanjang, bercidaku (cawat) dan berikat kepala disisipi bulu ayam atau bulu burung diturunkan di depan Benteng Beverwijk. Mereka ditugaskan oleh Buyskes untuk melaksanakan hukuman mati dan berjaga-jaga jangan sampai ada serangan yang tidak diduga-duga.

Dipantai mereka bercakalele dengan parang dan salawaku (perisai); berteriak-teriak seolah-olah berada dalam pertempuran. Ngeri, seram dan ganas. Berduyun-duyun rakyat datang dari segala penjuru ketempat pelaksanaan hukuman. Mereka berdiri disekeliling tempat itu, diam, penuh rasa sedih dan duka, putus asa bercampur dengan kebencian. Airmata mengalir membasahi pipi para ibu dan para jujaro. Sanak-saudara Raja Paulus menangis tersedu-sedu. Lantas datanglah Paulus Tiahahu, tangannya terikat, didampingi oleh putrinya. Serentak rakyat berlutut, menundukkan kepala. Hening, sepi, sunyi mencekam, tanda malak'ul maut akan berlalu.[3]

Paulus berhenti, mengangkat kepalanya yang beruban, memandang rakyatnya, hatinya terharu. Paulus maju ketempat yang telah ditunjuk. Seluruh tempat itu dikepung oleh tentara alifuru. Pasukan alifuru lainnya, para algojo, dideretkan pada tempatnya. O Tusan berdiri didepan dengan ujung kelewang tertuju kebawah. Martha Christina Tiahahu ikut mendampingi sang ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa.

Residen Neys maju kedepan lalu mengatakan pada Paulus bahwa saat pelaksanaan hukuman telah tiba. O Tusan, antek penjajah, memandang sekelilingnya bagaikan panglima maut. Sesaat kemudian kelewangnya diangkat. Bedil memuntahkan peluru mautnya. Menyerbulah dengan buas dan ganas pasukan alifuru dan musnahlah tubuh pahlawan Raja Paulus Tiahahu. Ratap-tangis membelah udara, mengiringi nyawa raja yang dicintai.[3]

Detasemen marinir bergerak pulang kebenteng. Sambil melewati jasad Paulus, tubuh yang sudah tidak bernyawa itu ditikam-tikam dengan sangkur. Jenazah pahlawan Nusahalawano, Raja Abubu, Paulus Tiahahu diusung oleh rakyat dan dimakamkan dengan upacara adat sebagai tanda penghormatan dan terima kasih atas pengorbanan yang dipersenbahkannya kepada nusa dan bangsa.

Martha Christina Tiahahu beserta tigapuluhsembilan orang tawanan lainnya dibuang ke Jawa, diberangkatkan menggunakan kapal perang Eversten pada akhir Desember 1817. Sepeninggal ayahnya, jiwanya menjadi sangat tertekan sehingga ia menolak makan dan diobati ketika berada dalam sel. Tubuhnya semakin lemah dan ketika Eversten baru meninggalkan Tanjung Alang, Christina menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya diturunkan dan diserahkan kepada Laut Banda. Seorang srikandi muda telah berkorban demi kebebasan rakyatnya.[3]

Penghargaan

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional. Dan tanggal 2 Januari menjadi Hari Martha Christina.

Pada hari itu, ribuan kelopak bunga dilemparkan ke Laut Banda dalam sebuah upacara resmi yang diselenggarakan setiap tahun untuk merayakan keberanian dalam perjuangan demi kemerdekaan Indonesia.

Monumennya pun dibangun menghadap ke laut Banda di desa kelahirannya yang diresmikan oleh Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu pada 2 Januari 2008 dalam peringatan Hari Martha Christina yang ke-190 tahun.[2]

Sedangkan di Ambon, monumen Martha Christina tegar berdiri dengan sebatang tombak di tangan, Bukit Karang Panjang menghadap ke Teluk Ambon, seakan-akan menyiratkan tekadnya menjaga keutuhan Maluku sebagai daerah kaya berbagai potensi sumber daya alam sebagai bagian kekuatan masa depan untuk kesejahteraan masyarakat.

Konon waktu pendirian patung ini sangat susah diletakkan karena kurang keseimbangan. Telah dicoba beberapa kali ternyata tidak dapat berdiri dengan baik. Patung baru dapat berdiri dengan posisi seimbang ketika menghadap ke Laut Banda, tempat dimana Jenazah Martha Christina Tiahahu dimakamkan ke laut.

Patung Martha Christina Tiahahu itu terletak di Karang Panjang, daerah bukit yang terlihat jelas dari Kota Ambon. Menuju Karang Panjang dari Kota Ambon melewati jalan menanjak dan beberapa tikungan tajam, baru tiba di lokasi Monumen Martha Christina Tiahahu yang bersebelahan dengan Kantor DPRD Maluku.

Tertanam di dasar monumen untuk pejuang kemerdekaan wanita berbunyi: "Martha C. Tijahahu, mutiara Nusa Laut (Pulau), Pahlawan Nasional RI, yang berjuang untuk mengusir penjajah Belanda dari Maluku, jatuh pada Januari 2, 1818."

Dari Patung Martha Christina Tiahahu dapat dilihat secara langsung pemandangan kota Ambon dan lebih indah bila dinikmati pada malam hari. Lokasi ini biasa dijadikan tempat alternatif untuk menikmati suasana santai, terutama para muda-mudi yang ingin menikmati pemandangan kota Ambon.[2]

Meskipun Christina ditampilkan membawa tombak di kedua monumen, dalam pertempuran melawan Belanda, legenda mengatakan bahwa dia benar-benar melemparkan batu ke tentara Belanda ketika pasukannya kehabisan amunisi.

Karena keberanian besarnya dalam melawan senjata api Belanda hanya dengan batu, masyarakat Maluku menyebutnya seorang wanita kabaressi (berani). Namanya juga digunakan sebagai jalan di Karangpanjang, sementara kapal perang Indonesia telah dibaptis dengan nama KRI Martha Christina Tiahahu.

Sejarah lengkap dari perjuangan Christina telah ditulis oleh almarhum Yop Lasamahu dalam bukunya, Bunga Karang Bahasa Dari Nusalaut (The Mekar Karang dari Nusalaut). Penulis adalah mantan ketua Persatuan Wartawan Indonesia Maluku.

Sekelompok perempuan Maluku di Jakarta juga telah mendirikan Yayasan Martha Christina Tiahahu, sebuah yayasan sosial bagi masyarakat Maluku dipimpin oleh Djaelani Mietje Saimima.

Sementara itu, sejumlah aktivis perempuan dan jurnalis di Ambon menerbitkan majalah Martha Christina, yang terinspirasi oleh pejuang kemerdekaan Maluku muda. Publikasi ini juga melibatkan beberapa pejabat seperti Kepala Kantor Informasi lokal, dan Fenno Tahalele, Kepala Kantor Urusan Sosial.

"Nama majalah ini semata-mata dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat perempuan Maluku untuk semangat juang Martha Christina Tiahahu, dan ini memang meliputi urusan perempuan dalam masyarakat," ujar Lies.

Aktivis Rosa Pentury perempuan Maluku mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa semangat perjuangan Christina harus diwarisi oleh setiap generasi perempuan pada masa kini, terlepas dari kondisi yang berbeda yang berlaku saat ini.

"Di masa lalu, Christina memimpin pemberontakan bersenjata terhadap penjajah. Hari ini, perempuan Maluku harus melawan ketidakadilan, kemiskinan dan kesenjangan sosial lainnya. Mereka dalam organisasi birokrasi, legislatif dan sosial juga harus meniru semangat besar Christina untuk perjuangan," tegas Rosa, yang mengepalai Yayasan Pelangi.[2]

DAFTAR PUSTAKA
Soedarmanta, J.B., Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Grasindo, 2007, ISBN 979-759-716-4 ISBN 978-979-759-716-0

Referensi:

[1] Wikipedia ID: Martha Christina Tiahahu
[2] Agama-Islam-Jawa.blogspot.com: MARTHA CHRISTINA TIAHAHU
[3] MalukuEyes.com: Kapitan Pattimura

0 comments:

Posting Komentar