Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M. Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan."[1]
Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah rekayasa dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya "Api Sejarah" bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Mansyur Suryanegara berpendapat, bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.[3]
Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku. Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku “Menemukan Sejarah” (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”
Awal Perjuangan Pattimura
Sebelum melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Hindia-Belanda, Ahmad Lussy pernah berkarier dalam militer sebagai mantan Sersan Militer Inggris. Namun akibat terikat dengan Konvensi London, Belanda kembali lagi menjajah tanah Maluku. Konvensi London (13 Agustus 1814) berisi kesepakatan bahwa Pemerintah Inggris akan menyerahkan wilayah Nusantara kepada Belanda termasuk Maluku.[4]
Pada tahun 1816, pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk, serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I, antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa, Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubernur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan.[1]
Perang Pattimura
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Pattimura bangkit memimpin rakyat Maluku menghadapi ambisi penjajah yang membawa misi Gold (emas/kekayaan), Gospel (penyebaran Injil), and Glory (kebanggaan). Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah Belanda seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan VOC. Selain itu, Belanda menjalankan praktik-praktik monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi, yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Alasan lainnya, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.[3]
Pada tanggal 14 Mei 1817 di Saparua, Ahmad Lussy dipilih oleh raja-raja Patih, para kapitan, tua-tua adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sifat kesatria (kabaressi). Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 15 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama para asistennya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan.
Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan menunjuk Laksamana Buyskes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Pattimura.
Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Bergh. Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura.[2] Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya. Dalam Perjuangannya, Patimurra dibantu oleh Paulus Tiahahu dari Nusalaut, Anthony Rhebok wakilnya dari Saparua dan Kapitan Philip Latumahina.
Pattimura Park di Ambon. Gambar by: Jacob D.C Sihasale |
Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Melalui pertempuran sengit, benteng Durstede berhasil dikuasai Belanda lagi. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur hingga ke Siri Tori. Namun pada malam tanggal 10 November 1817, Siri Sori telah berhasil dikuasai oleh Belanda.
Kapitan Pattimura beserta pasukkannya berhasil meloloskan diri dengan mendaki sebuah bukit di hutan Booi. Sementara itu pertempuran di Pantai Ulath dan Ouw antara armada arombai (Belanda) melawan kora-kora (Maluku) berlangsung hingga keesokan harinya. Kapitan Pattimura tidak bisa bergerak bebas karena hutan di Tiouw dan Saparua penuh dengan musuh.[6]
Penangkapan Kapitan Pattimura
Pada malam tanggal 11 November 1817, disebuah rumah dihutan Booi-Haria, Kapitan Pattimura beserta pasukannya terkepung dan ditangkap oleh Belanda. Peristiwa itu terjadi dikarenakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Raja Booi yang telah memberitahukan kepada Belanda tempat persembunyian Kapitan Pattimura beserta pasukannya. Kala itu ditempat persembunyian Kapitan Pattimura tidak diadakan penjagaan, karena lokasinya yang diperkirakan aman, tersembunyi diatas hutan.
Namun berkat petunjuk dari Raja Booi, akhirnya pasukan Belanda berhasil menemukan tempat persembunyian Kapitan Pattimura beserta pasukannya. Raja Booi dengan angkuh berkata: "Pattimura, menyerahlah engkau. Tidak ada gunanya untuk melawan. Rumah ini sudah dikepung, empatpuluh serdadu siap sedia menembak mati kalian." "Terkutuklah engkau, pengkhianat," geram Kapitan Pattimura yang segera digiring keluar, dibawa ke Negeri Booi kemudian diangkut menuju kapal Eversten.
Sebuah ironi didalam perjuangan rakyat Maluku. Seorang panglima perang nan gagah berani yang dengan setia membela tanah airnya, akhirnya jatuh ketangan musuh dikarenakan sebuah pengkhianatan dari seorang raja yang sebelumnya turut mengangkatnya sebagai pemimpin perang.
Malam itu juga Kapitan Lukas Latumahina, seorang Letnan Pattimura tertangkap dan dibawa ke kapal Eversten. Anthony Rhebok dan Patih Tiouw dapat tertangkap pula pada tanggal 13 November 1817. Di kapal Eversten mereka bertemu muka dengan kapitan mereka. Para kapitan dan raja yang tertangkap di Siri Sori, Ouw dan Ulath dibawa pula ke kapal Eversten.
Pada hari yang sama guru Risakotta menyerah kepada Groot di Haria. Ia menyerahkan sebuah laporan berupa buku catatan hariannya. Laporan ini dalam sejarah dikenal dengan nama "Rapport porto". Ia juga menyerahkan suatu daftar nama kaum lelaki di Porto dan Haria yang mengangkat senjata melawan Belanda. Laporan dan daftar ini nantinya dipakai oleh Buyskes untuk menangkap orang-orang itu dan dijadikan bukti dalam proses pemeriksaan didepan pengadilan. Beberapa hari kemudian Johannis Matulessia dan Philip Latumahina tertangkap pula. Mereka ditawan dikapal perang Reygersbergen.[6]
Hukuman Mati
Di dalam kapal perang Eversten beberapa kali Kapitan Pattimura beserta para kapitan dan raja-raja lainnya dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolak. Konsekuansi akan mereka pikul, sekalipun harus berhadapan dengan maut. Pada tanggal 16 Desember 1817, Pattimurra, Anthony Rhebok, Philip Latumahina mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan di depan benteng New Victoria Ambon. Sementara Paulus Tiahahu (ayah Martha Christina Tiahahu), Buyskes menjatuhi hukuman dengan ditembak mati di depan rakyatnya di Nusalaut.
Sepenggal perkataan puitis yang diucapkan oleh Kapitan Pattimura dengan gagah berani dihadapan rakyat yang dibelanya ketika berhadapan dengan tiang gantungan dan disaat tali gantungan telah terlilit dilehernya:[5]
"Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa), saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula). Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya."
Dari ucapan-ucapannya, tampak jelas bahwa sosok Ahmad Lussy adalah seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis (mengungkapkan bahwa dirinya tak akan pernah kalah oleh penjajah).[5]
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan Jasirah Hatawano, Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan pembumi hangusan oleh Belanda. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia diberikan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 087/TK/1973.
Galeri Pattimura
Capitan Pattimura by ngupi |
Perangko bergambar Kapitan Patimura (1782-1817). Gambar: www.scoop.it |
Gambar Pattimura pada uang kertas RI seribu rupiah emisi 2011. |
Referensi:
[1] Wikipedia ID: Pattimura
[2] KisahLawas.blogspot.com: Pahlawan Pattimura
[3] www.VOA-Islam.com: Pattimura Bukan Kristiani Melainkan Muslim Yang Taat
[4] BiografiTeladan.blogspot.com: Biografi Kapitan Patimura
[5] Zakkiaini.blogspot.com: Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad 'Pattimura' Lussy
[6] MalukuEyes.com: Kapitan Pattimura
[2] KisahLawas.blogspot.com: Pahlawan Pattimura
[3] www.VOA-Islam.com: Pattimura Bukan Kristiani Melainkan Muslim Yang Taat
[4] BiografiTeladan.blogspot.com: Biografi Kapitan Patimura
[5] Zakkiaini.blogspot.com: Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad 'Pattimura' Lussy
[6] MalukuEyes.com: Kapitan Pattimura
0 comments:
Posting Komentar