Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

Tuanku Imam Bonjol Sang Pemimpin Kaum Padri

Rabu, 30 April 2014

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat pada tahun 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.

Nama dan Gelar

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku Nan Renceh dari Kamang, salah seorang pemimpin dari Harimau Nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi Kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.[1]

Sebagai Figur Pemimpin

Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang santun. Pribadinya yang santun tersebut didapatnya dari pendidikan agama yang diberikan oleh ayahnya sedari kecil. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya kepada beberapa orang ulama lainya di Sumatera Barat, seperti Tuanku nan Renceh, hingga ia menjadi guru agama di Bonjol. Dari sini ia mulai menyebarkan paham Padri di Lembah Alahan Panjang bahkan sampai ke Tapanuli Selatan.

Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Padri. Kaum Padri merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syiar agama Islam, dalam tatanan masyarakat yang pada zaman dulu populer di tanah Minangkabau terutama pada masa Perang Padri. Sedangkan para penjuang Padri adalah orang-orang yang sangat taat dalam menjalankan agamanya, yang karena hal inilah yang menjadi modal utama perjuangan Tuanku Imam Bonjol.

Kaum Padri ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum syariah Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Padri dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[2]

Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri (Kaum Ulama).

Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Padri sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.

Pemicu Peperangan

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan Kaum Padri (Kaum Ulama) di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Salaf) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunah-sunah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam, dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelanggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.

Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan meminta Tuanku Lintau (Pasaman) untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah), seperti kebiasaan berjudi sabung ayam, minum arak, kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat) dan kebiasaan lainnya yang dianggap merusak moral dan tatanan masyarakat. Sayangnya kebiasaan ini sudah membudaya di raja-raja adat.[3]

Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Perang Padri (1803-1837)

Tak dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa Indonesia. Selama sekitar 18 tahun (1803-1821), perang saudara tersebut bergolak antara sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak pada umumnya. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring hal itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Puncaknya terjadi pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman (nantinya bergelar Tuanku Lintau) menyerang Pagaruyung, dan pecahlah pertempuran di Koto Tengah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1821 guna berperang melawan Kaum Padri. Dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi, Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Serangan ini berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda membangun benteng di Batusangkar dengan nama Fort van der Capellen. Adapun Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada 13 April 1823, Belanda mencoba menyerang Lintau. Namun, Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan sehingga pada tanggal 16 April 1823, Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.[4]

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Padri cukup tangguh, sehingga sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Kembali Bersatu Menghadapi Sistem Kolonialisme Belanda

Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul Kaum Adat. Akhirnya lahir suatu kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah, yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).[4]

Rasa penyesalan yang dirasakan oleh Tuanku Imam Bonjol atas tindakan Kaum Padri terhadap sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya,

"Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana menurut kalian?).[1]

Darisinilah akhirnya Kaum Adat menyadari bahwa mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Maka sejak awal tahun 1833, Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri serta saling bahu-membahu menghadapi sistem kolonialisme Belanda.


Penyerangan dan pengepungan benteng Kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan berlangsung selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837), dibawah kepemimpinan jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah masih bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.[1]

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, dan Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai dengan orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam barisan penyerangan.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut sepoys dan berdinas dalam tentara pemerintahan Hindia-Belanda.

Penangkapan dan Pengasingan

Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih pantang untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai ketiga kalinya Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Peperangan ini sendiri pada akhirnya dapat dimenangkan oleh pihak Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat lama.[1]

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut pada usianya yang ke 92 tahun.

Perang Padri ini membuktikan satu hal penting tentang kemenangan yang gemilang bagi seorang hamba Allah sejati, yang meninggal sebagai seorang syuhada hingga akhir hayatnya, diusianya yang sudah cukup senja. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati dan membalas setiap usahanya dalam membela bangsa dan tanah air tercinta - Indonesia.

Penghargaan

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol adalah apresiasi sikap kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

Gambar Tuanku Imam Bonjol pada pecahan uang kertas RI, emisi 2010.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Di Jakarta namanya diabadikan di poros utarna Menteng, yang menghubungkan Jl. Diponegoro dengan Bundaran HI.


Referensi:

[1] Wikipedia ID: Tuanku Imam Bonjol
[2] Profil Merdeka.com: Tuanku Imam Bondjol
[3] Suara Indonesia Kini: Perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Sumatra
[4] AgungSetyoBudi7.blogspot.com: Tuanku Imam Bonjol

0 comments:

Posting Komentar