Asal-usul Dipanegara
Dipanegara adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang Raja Mataram (Kasultanan Jogyakarta Hadiningrat) di Yogyakarta, yang berarti cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi). Lahir di kraton Jogyakarta pada hari Jum'at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi dengan nama Raden Mas Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan.
Pada tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.[2]
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi sultan. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri.
Meskipun dia dibesarkan di luar tembok kraton, namun sebagai seorang pangeran dia tetap mendapat didikkan ksatria Jawa, mengikuti tradisi kejawen, dan menghayati berbagai ritual keraton, tata cara, perilaku dan tutur bahasa yang sangat hierarkhis. Selain itu dia juga mendapat pendidikan perang seperti ulah kanuragan, olah senjata, menunggang kuda, dan juga ilmu pemerintahan.[2]
Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I, Ratu Ageng Tegalrejo daripada di kraton. Pemberontakannya terhadap kraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822) dimana Pangeran Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui oleh Pangeran Dipanegara.
Riwayat Awal Perjuangan
Sekitar tahun 1820-an campur tangan Belanda dalam persoalan Kesultanan Yogyakarta makin besar. Peraturan tata tertib yang dibuat Pemerintah Belanda sangat merendahkan raja-raja Jawa, para bangsawan diadu domba sehingga dalam istana terdapat golongan yang pro dan yang anti Belanda. Kedua golongan itu saling curiga mencurigai. Sementara itu, tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belanda. Pangeran Diponegoro mulai memperlihatkan perasaan tak senang dan meninggalkan keraton untuk menetap di Tegalrejo.[3]
Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono V (1822), Pangeran Diponegoro tidak menyetujui jika sistem pemerintahan dipegang oleh Patih Danurejo bersama Reserse Belanda. Pemberontakan ini memuncak pada tahun 1825, setelah Belanda membuat jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang melewati halaman rumah beliau (sekarang rel kereta api). Belanda yang tidak meminta izin kepada Pangeran mendapatkan perlawanan dari Pangeran dan laskarnya. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.[4]
Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo untuk memanggil Pangeran Diponegoro ke kraton. Semula Pangeran Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Pangeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Pangeran Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Pangeran Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’at (janji setia perjuangan).[2]
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi untuk memanggil Pangeran Diponegoro ke kraton, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak. Pada tanggal 20 Juli 1825, sebelum para utusan Belanda itu sampai, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang tengah berunding terpaksa menghentikan perundingan mereka, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Pangeran Diponegoro. Belanda mengepung kediaman beliau di Tegalrejo.
Dari luar tembok terdengar letusan senjata tiga kali, perang telah dimulai. Sisi utara, timur dan selatan telah dikepung pasukan Belanda. Laskar yang tinggal di sisi barat melakukan perlawanan keras. Di bawah pimpinan Joyomustopo dan Joyoprawiro, laskar terdesak mundur. Kekuatan berbeda jauh. Seorang pria berjubah putih dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya, dengan tenang dan bijaksana memilih menjebol tembok barat puri. Dengan beberapa kali gebrakan tembok itu jebol. Satu komando untuk menyelamatkan keluarga dan laskar yang tersisa. Dengan seluruh pasukannya, pria berjubah putih itu lebih memilih menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi keselamatan keluarga dan laskarnya.[4]
"Perang sesungguhnya baru saja akan dimulai" batin Pangeran Diponegoro dalam hati.
Karena terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran.
Di Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, menjadi basis Pangeran Diponegoro untuk menyusun strategi gerilya melawan Belanda. Pangeran Diponegoro menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan (beribadah) beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah timur.
Saat itu, Pangeran Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah Perang Sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "Perang Sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong. Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya, Bupati Gagatan.
Gambar Pangeran Diponegoro pada pecahan uang kertas RI, emisi 1975. Sumber: www.banknoteworld.it |
Perang Diponegoro (Perang Jawa, 1825-1830)
Langkah pertama yang ditempuh oleh Pangeran Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi:
"Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudura-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur."
Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat.
Seruan ini disambut baik oleh Kyai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘Perang Sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kyai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang Sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak, membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat.
Pangeran Diponegoro membangun pusat pertahanan baru di Selarong dan perang dilancarkan secara gerilya, gerakan pasukan berpindah-pindah, sehingga sulit dihancurkan. Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Pangeran Diponegoro adalah taktik "serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi", merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal Perang Jawa. Tahun-tahun pertama pasukannya unggul, Belanda menghadapi banyak kesulitan, lalu mengganti siasat. Di tempat-tempat yang sudah dikuasai didirikan benteng-benteng, sehingga gerakan pasukan Diponegoro dapat dibatasi. Selain itu, beberapa orang tokoh perlawanan dibujuk sehingga mereka menghentikan perang.[1]
Berita pecahnya Perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutuskan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia-Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825, Let. Jend. De Kock tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit yang dikirim dari Semarang, di daerah Pisangan dekat Magelang, disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas. Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung menyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar.[2]
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Belanda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Oleh karena operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Pangeran Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Pangeran Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zhalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi pun gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia-Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta, menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengkubuwono V. Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan melumpuhkan pasukan Diponegoro.[2]
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.[1]
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak" melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah (divide at impera) dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Strategi Sistem Benteng Belanda
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga dikarenakan Belanda merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia-Belanda melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan sehingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain. Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.[2]
Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh (Sultan HB II) yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang hebat antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro agar tetap berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto. Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten. Tapi, perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Pangeran Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827, diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumenggung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan lain-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827, pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Pangeran Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Dan ketika dalam perjalanan pulang, pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri. Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Pangeran Diponegoro.
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda. Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha Belanda berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini. Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828, Kyai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 Oktober 1828, perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan keraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 November 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika perundingan gagal, Kyai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantiasa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kyai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kyai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Bron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kyai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kyai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kyai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kyai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pasukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kyai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kyai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kyai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan pertempuran, seperti antara lain Kyai Tuku Mojo, Kyai Badren, dan Kyai Kasan Basari. Kyai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kyai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia.
Raden Alibasyah Sentot Prawirodirdjo. Gambar: Wikipedia |
Pada bulan Februari 1829, Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasyah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasyah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan berpergian bagi Alibasyah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasyah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai. Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara dan Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan berpergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan. Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasyah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka. Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia-Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia-Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan, pada tanggal 7 Juli 1829 ia meninggal dunia, maka praktis pimpinan tertinggi militer Hindia-Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829, pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829, tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Alibasyah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga pasukan Belanda terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran pasukan Belanda. Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829, pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Syaikh Haji Ahmad dan Tumenggung Banuja. Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap "kantong-kantong" persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini dipergunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Pangeran Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur Pangeran Diponegoro. Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasyah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Pangeran Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syeikh Muhammad dan Hasan Usman.
Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro. Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Baisah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold. Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829, Tumenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pula Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.
Pada tanggal 21 September 1829, atas nama pemerintah Hindia-Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang 'hadiah besar' bagi siapa saja yang dapat menangkap hidup atau mati Pangeran Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: "Barangsiapa yang berani menyerahkan Pangeran Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia-Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu gulden) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas". Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829, benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829, Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829, Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta. Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, yang kesemuanya mempunyai hubungan famiIi dengan Pangeran Diponegoro sendiri. Menyerahnya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Pangeran Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro. Apalagi usaha untuk menarik Alibasyah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasyah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan, walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasyah cukup berat; yaitu:
- Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000 gulden;
- Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasyah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam;
- Memberikan 400–500 pucuk senjata api;
- Pasukan Alibasyah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia;
- Mereka bebas menjalankan agamanya,
- Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
- Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar-menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Alibasyah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia-Belanda di Batavia. Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi:
"…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasyah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasyah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasyah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita."
Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia-Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktober 1829, antara lain berbunyi: "Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak."
Melihat isi surat-surat pemerintah Hindia-Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasyah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- gulden dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasyah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lainnya seluruhnya dipenuhi. Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasyah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829, Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829, Alibasyah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Alibasyah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kyai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Pangeran Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyak sababat-sahabatnya yang meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan! Setelah menyerahnya Alibasyah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya, Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Pangeran Diponegoro sendiri). Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Pangeran Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830, berikutnya Patih Pangeran Diponegoro menyerah kepada Belanda.[2]
Pada puncak peperangan ini, Belanda telah mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.[1]
Penangkapan dan Pengasingan
Usaha untuk menghentikan Perang Jawa dengan damai tapi licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasyah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830, telah terjadi pertemuan pertama antara Pangeran Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia-Belanda dalam rangka perdamaian di Remo Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo).
Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Pangeran Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia. Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Pangeran Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang, sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Pangeran Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830, rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai tanggal 5 Maret 1830, Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Pangeran Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda, karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Pangeran Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul Fithri, Pangeran Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggangan yang sangat baik dan uang sebesar £ 10.000.- Gulden. Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Pangeran Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Pangeran Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang. Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Pangeran Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap.
Pada tanggal 28 Maret 1830, perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi, Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Pangeran Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi, Pangeran Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal Marcus De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Pangeran Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Joned, Raden Mas Roub, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kyai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Perron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock. Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Pangeran Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan, bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama jadwal perundingan, menurut Pangeran Diponegoro sebagai pendahuluan ialah menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana menjadi begitu tegang dan panas, sampai-sampai Pangeran Diponegoro terlontar ucapan: "Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari." Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penyerangan yang telah dilakukan oleh Pangeran Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya Pangeran Diponogoro memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain:
"Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa."
Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Pangeran Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Pangeran Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya. Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika perundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Pangeran Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata metoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: "Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas." Mendengar ucapan ini, Pangeran Diponegoro dengan marah menjawab: "Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal." Jenderal De Kock berkata lagi: "Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi." Pangeran Diponegoro menjawab: "Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?" Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Pangeran Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Pangeran Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.
Dengan cepat Pangeran Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps, berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Pangeran Diponegoro dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April 1830. Dan pada tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
Pada tanggal 30 April 1830 keputusan pun keluar. Sebelum dibuang ke Manado, Pangeran Diponegoro disekap di Penjara Bawah Tanah Stadhuis. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno dipindahkan lagi ke Manado.
Pada tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro beserta laskarnya diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan laskarnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834, Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya dipindahkan ke benteng Rotterdam di kota Makasar, Sulawesi Selatan. Dan pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama dua puluh lima tahun. Beliau dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan syariat Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Pangeran Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Kegagalan yang diderita oleh Pangeran Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan metodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkhianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen. Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.
Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang yang dilukiskan kembali oleh Raden Saleh merupakan karya masterpiece yang pernah dibuat di Indonesia. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Pangeran Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak oleh Pangeran Diponegoro.
Dalam peperangan melawan penjajah ini Pangeran Diponegoro dibantu oleh beberapa putranya. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau Bagus Singlon, Diponingrat, Diponegoro Anom, Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu Citrawati, Puteri Bupati Madiun, Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.[2]
Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam-macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Sodewo, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Sedangkan untuk mengumpulkan Keluarga Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo bersama Hasan Budianto membuat facebook grup bernama Klan Diponegoro. Upaya ini berhasil mengumpulkan silsilah anak cucu Pangeran Diponegoro dari 8 putera Pangeran Diponegoro dari seluruh dunia.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di seluruh Dunia, termasuk Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Berakhirnya Perang Jawa, merupakan akhir perlawanan dari bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia-Belanda sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta, Pangeran Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Keraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Pangeran Dipanegara kala itu. Kini anak cucu Pangeran Dipanegara dapat bebas masuk Keraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.[1]
Penghargaan Sebagai Pahlawan
Mata uang kertas IDR 100 bergambar Dipanegara, diterbitkan tahun 1952, setelah kemerdekaan RI. |
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari tahun 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi diberikan juga oleh Dunia, pada tanggal 21 Juni 2013 Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada tahun 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.
Isteri-Isteri Pangeran Diponegoro
Sepanjang hidupnya, tercatat ada delapan wanita yang pernah dinikahi oleh Pangeran Diponegoro.
- Pernikahan pertama, terjadi pada tahun 1803 dengan Raden Ayu (R.A.) Retna Madubrongto, putri Kyai Gedhe Dhadhapan, dari desa Dhadhapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Jogyakarta.
- Kedua, tanggal 27 Februari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang.
- Ketiga, tahun 1808 dengan R.A. Retnodewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta. Baik Madubrongto maupun Retnodewati wafat sewaktu Pangeran Diponegoro masih berada di Tegalrejo.
- Dua tahun kemudian di awal tahun 1810, Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah timur dan menikah untuk yang keempat kalinya dengan Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu istri selir. Tidak lama setelah melahirkan anaknya, Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun. Bayi yang baru saja dilahirkan kemudian dibawa oleh Ki Tembi seorang sahabat Pangeran Diponegoro. Oleh Pangeran Diponegoro bayi tersebut diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh. Dan diberi nama Singlon yang artinya adalah nama samaran sehingga bayi tersebut terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.
- Isteri Kelima, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton pada tanggal 18 Pebruari 1828.
- Keenam, bulan Januari 1828, Pangeran Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
- Ketujuh, R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang, Kepadhangan,
- Dan kedelapan, R.A. Retnakumala, putri Kyai Guru Kasongan.
Silsilah Keturunan Pangeran Diponegoro Versi babad Mangkunegaran
- RM. Abdul Madjid atau RM. Muhammad Ngarip atau Diponegoro Anom (lahir 1803) - ibu kandung: RA. Retna Madubrongto
- RM. Dipoatmaja atau Dipokusuma atau Pangeran Abdul Aziz (lahir 1805) - ibu kandung: RA. Retna Madubrongto
- RM. Suryaatmaja atau Diponingrat (lahir 1807) - ibu kandung: RA. Retnakusuma
- RM. Sodewo atau Singlon atau Pangeran Alip (lahir 1810) - ibu kandung: RA. Citrowati
- RM. Djonet Dipomenggolo atau RM. Junat atau RM. Jemet (lahir 1815) - ibu kandung: RA. Maduretno atau RA. Ontowiryo
- RM. Roub atau RM. Raab (lahir 1816) - ibu kandung: RA. Maduretno atau RA. Ontowiryo
- RA. Impun atau RA. Basah - ibu kandung: RA. Retnodewati
- RA. Joyokusumo - ibu kandung: RA. Supadmi atau RA. Retnakusuma
- RA. Munteng atau RA. Siti Fadilah atau RA. Gusti - ibu kandung: RA. Retnodewati
- RA. Herjuminten - ibu kandung: RA. Retnakumala
- RA. Herjumerot - ibu kandung: RA. Retnakumala
- RA. Hangreni Mangunjaya - ibu kandung: RA. Retnakumala
- RM. Kindar (lahir 1832) - ibu kandung: RA. Retnaningsih
- RM. Sarkuma (lahir 1834) - ibu kandung: RA. Retnaningsih
- RM. Muntawaridin (lahir 1835) - ibu kandung: RA. Retnaningsih
- RA. Putri Munadima (lahir 1836) - ibu kandung: RA. Retnaningsih
- RA. Dulkabi (lahir 1836) - ibu kandung: RA. Retnaningsih
- RM. Rajab (lahir 1837) - ibu kandung: RA. Retnaningsih
- RM. Ramaji (lahir 1838) - ibu kandung: RA. Retnaningsih
- RA. Mangkukusumo - ibu kandung: RA. Retnaningrum
- RA. Padmodipuro - ibu kandung: RA. Retnaningrum
- RA. Poncokusumo - ibu kandung: RA. Retnaningrum
Peninggalan
Bagi yang hendak menikmati pengalaman sejarah Pageran Diponegoro, dapat mengunjungi Museum Sasana Wiratama / Monumen Diponegoro - Jl. HOS Cokroaminoto TR.III/430 Tegalrejo, Yogyakarta.
Terletak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Jogja, tanah seluas 2,5 hektar yang awalnya dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, diserahkan oleh ahli waris Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Kanjangteng Diponegoro, untuk dijadikan Monumen setelah menandatangani surat penyerahan bersama Nyi Hadjar Dewantara dan Kanjeng Raden Tumenggung Purejodiningrat. Di atas tanah yang kini menjadi milik Keraton Yogyakarta itu mulai pertengahan tahun 1968 hingga 19 agustus 1969, dibangun sebuah monumen pada bangunan pringgitan yang menyatu dengan pendopo tepat di tengah komplek yang diprakarsai oleh Mayjen Surono yang saat itu menjabat Panglima Kodam (PANGDAM) serta diresmikan oleh Presiden Suharto. Tempat ini kemudian dinamakan Sasana Wiratama yang artinya tempat prajurit.[4]
Monumen Pangeran Diponegoro merupakan pahatan relief pada dinding pringgitan dengan panjang 20 meter dan tinggi 4 meter, menceritakan keadaan Desa Tegalrejo yang damai dan tentram, perang Pangeran Diponegoro melawan Pemerintahan Belanda hingga tertangkap di Magelang. Monumen ini dipahat oleh seniman patung Drs. Saptoto dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), dibantu Sutopo, Sokodiharjo, dan Askabul. Di kedua sisi monumen terdapat terdapat lukisan diri Pangeran di sebelah barat dan lukisan Pangeran sedang menunggang kuda hitam siap untuk berperang di sebelah timur.
Barang-barang peninggalan mendiang Pangeran Diponogero yang menjadi koleksi Museum Diponegoro berjumlah 100 buah, yang terdiri dari berbagai senjata asli laskar Diponegoro mulai dari senjata perang, koin, batu akik hingga alat rumah tangga. Berbagai senjata seperti tombak, keris, pedang, panah, bandil (semacam martil yang terbuat dari besi), patrem (senjata prajurit perempuan), hingga candrasa (senjata tajam yang bentuknya mirip tusuk konde) yang biasa digunakan telik sandi (mata-mata) perempuan. Sedangkan sejumlah alat rumah tangga buatan tahun 1700-an yang terbuat dari kuningan terdiri dari tempat sirih dan kecohan-nya (tempat mebuang ludah), tempat canting (alat untuk membatik), teko "bingsing", bokor hingga berbagai bentuk "kacip" (alat membelah pinang untuk makan sirih).
Galeri
Berikut ini ditampilkan gambar sketsa tentang Pangeran Diponegoro ketika ia masih muda (mungkin masih belasan tahun). Gambar sketsa ini dibuat menggunakan arang (maklum saat itu alat tulis/gambar memang langka dan mahal). Sketsa ini mungkin dibuat oleh seorang seniman Keraton Yogya saat pernikahan Pangeran Diponegoro dengan istri sahnya yang pertama, yakni putri Bupati Yogya untuk wilayah Panolan, Jawa Timur yang bernama Raden Tumenggung Notowijoyo III yang menjabat bupati sejak 1803-1811. Pernikahan itu sendiri dilaksanakan 25 Februari 1807. Inilah satu-satunya sketsa yang menampilkan Pangeran Diponegoro dalam busana keraton Jawa berupa surjan dan blangkon.
Profil Pangeran Diponegoro Dalam Busana yang Berbeda, 1807: a.sartono. Sumber: http://tembi.net/bale-karya-pertunjukan-seni |
Referensi:
[1] Wikipedia ID: Pangeran Diponegoro
[2] Perang Sabil versus Perang Salib - Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda oleh Abdul Qadir Djaelani, Penerbit: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah - Jakarta, 1420 H / 1999 M
[3] Suara Indonesia Kini: Kegigihan Pangeran Diponegoro Melawan VOC
[4] www.Yogyes.com: Sasana Wiratama
[2] Perang Sabil versus Perang Salib - Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda oleh Abdul Qadir Djaelani, Penerbit: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah - Jakarta, 1420 H / 1999 M
[3] Suara Indonesia Kini: Kegigihan Pangeran Diponegoro Melawan VOC
[4] www.Yogyes.com: Sasana Wiratama
0 comments:
Posting Komentar