Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

Kerajaan Kalingga

Rabu, 16 April 2014

Arca Ratu Shima-Batara Guru
Arca Ratu Shima (Batara Guru)
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Cho-po (Jawa, tepatnya di Jawa Tengah) sekitar abad ke-6 Masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Semenjak dibawah kepemerintahan Ratu Shima, ditetapkan peraturan bahwa barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.[1]


Letak dan Wilayah Kekuasaan

Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri China. Pada tahun 752 M, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Budha.

Peta Wilayah Kerajaan Kalingga
Peta kerajaan Hindu-Budha Kalingga (Holing), sekitar abad ke-6
sampai ke-7 Masehi. Terletak di suatu tempat di pesisir utara
Jawa Tengah, Indonesia. Gambar: Gunawan Kartapranata

Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.[3]

Kisah Lokal

Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya.

Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.

Carita Parahyangan

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Setelah Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tedjakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.[1]

Fakta

Ratu Shima Wisnu
Ratu Shima (Wisnu)
Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling, Jepara di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof. Gunadi dan empat orang tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.[1]

Berita China

Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari kronik zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.

Catatan dari zaman Dinasti Tang

Cerita China pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut:[1]

  1. Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta-Hen-La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (pulau Bali) dan di sebelah barat terletak To-Po-Teng (pulau Sumatera). Sedangkan Ho-ling disebut dengan istilah Cho-Po (Jawa). Berdasarkan berita China tersebut dapat disimpulkan bahwa letak Ho-ling ada di Jawa khususnya Jawa Tengah.
  2. Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
  3. Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
  4. Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
  5. Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
  6. Catatan dari berita China ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674 M, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana, serta patuh dalam menjalankan hukum-hukum kerajaan. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.

Catatan I-Tsing

Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Budha Hinayana. Di Ho-ling ada seorang pendeta China bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Budha ke dalam Bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Jnanabhadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Budha Hinayana.[1]

Hubungan dengan Negeri Luar

Pada masa Chen-kuang (627-649 M) raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-p’o-teng, menyerahkan upeti ke China. Kaisar China mengirimkan balasan dengan dibubuhi cap kerajaan dan raja To-ho-lo meminta kuda-kuda terbaik dan dikabulkan oleh kaisar China. Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan 768 M. Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan empat budak sheng-chih (jenggi), burung kakatua, dan burung p’in-chiat (?) dan benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan itu mohon supaya gelar tersebut diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan dengan sikap itu dan memberikan gelar kehormatan kepada keduanya.[2] Dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke China. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke China diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti China senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Pengiriman duta Ho-ling ke China menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.[3]

Keagamaan

alas purwo, holing
AlasPurwo, Holing.
Salah satu sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber China yang berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari China dan kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada tahun 664-667 M, pendeta Budha China bernama Hwu-ning dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667 M). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinan besar pelafalan China untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana bagian Nirwana. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke China. Menurut I-tsing, Kitab Suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan Kitab Suci Budha Mahayana.

Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti T’ang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-ning dengan Yun-ki bersama dengan Jnanabhadra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah Jnanabhadra.

Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah.

Isi prasasti tersebut adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:

Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.[3]

Kehidupan Masyarakat 

Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.[1]

Di Kalingga terdapat sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai bledug. Penduduk setempat menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang disebut sebagai bledug tersebut.[2]

Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Shima digambarkan sebagai pemimpin yang 'keras' demi menjalankan hukum kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.[3]

Peninggalan

Peninggalan Kerajaan Ho-ling antara lain:

Prasasti Tukmas

Prasasti Tukmas Kalingga
Prasasti Tukmas.
Gambar: http://deaseptianaputri.blogspot.com
Prasasti Tukmas ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.[1]

Prasasti Sojomerto

Prasasti Sojomerto Kalingga
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

Candi Angin

Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Karena letaknya yang tinggi tapi tidak roboh terkena angin, maka candi ini dinamakan Candi Angin.

Candi Angin Kalingga
Sisi muka Candi Angin. Gambar: http://id.wikipedia.org

Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada Candi Borobudur, Candi Angin di sinyalir adalah peninggalan Kerajaan Kalingga. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.

Candi Bubrah, Jepara

Candi Bubrah Kalingga
Foto sisi depan Candi Bubrah.
Gambar: http://id.wikipedia.org
Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Berjarak sekitar 2 km ke arah puncak, Candi Bubrah bisa dilihat berada di sisi kiri jalur pendakian. Bangunan ini terdiri dari dua kelompok. Satu kelompok di bagian yang lebih rendah, dan satu kelompok lagi berada di bagian yang lebih tinggi. Sedangkan Candi Angin sendiri, dengan bentuk dan karakter yang sama seperti candi Bubrah berada di puncak.

Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Syailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.[1]

Referensi:

[1] Wikipedia ID: Kerajaan Kalingga
[2] Tugas Dari Guru: Kerajaan Kalingga (Holing)
[3] Wacana Nusantara: Kerajaan Kalingga



1 comments:

erection pills viagra online mengatakan...

What a material of un-ambiguity and preserveness of precious experience concerning unexpected emotions.

Posting Komentar