Runtuhnya Kerajaan Medang
Raja Kerajaan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1006, Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibu kota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan antara Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh.
Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya, Airlangga yang ketika itu baru berusia 16 tahun, lolos dalam serangan itu ditemani pembantunya yang bernama Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (wanagiri). Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu - Jombang (Jawa Timur).
Airlangga adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana (Raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari wangsa Warmadewa). Ia lahir tahun 990 M dan dibesarkan di istana Watugaluh (Kerajaan Medang) di bawah pemerintahan Raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi Raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Ia disebutkan sebagai seorang yang memerintah Mpu Kanwa untuk menulis Kakawin Arjunawiwaha.[2]
Airlangga Mendirikan Kerajaan
Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang. Karena kota Watan sudah hancur, maka, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.[1]
Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya. Karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yang membebaskan diri, baru setelah Kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Choladewa, Raja Cholamandala dari India tahun 1023. Airlangga merasa leluasa membangun kembali kejayaan Wangsa Isyana.
Peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Airlangga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Airlangga dikenal sebagai model toleransi beragama, sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Budha. Pada tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruh Kahuripan seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya.[1]
Yang pertama dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030, Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa. Pada tahun 1031, putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.[2]
Namun pada tahun 1032, Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa dari daerah Tulungagung. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang. Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup hampir seluruh Jawa Timur.
Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma, Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.[2]
Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Kertanagara.[1]
Masa Pembangunan
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain:
- Membangun Sriwijaya Asrama tahun 1036 M, sebagai tempat pembelajaran agama.
- Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
- Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
- Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
- Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
- Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.
Pemecahan Kerajaan Kahuripan
Pada tahun 1042, Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon raja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi pertapa dari pada naik takhta. Ia dikaitkan dengan legenda Dewi Kilisuci dan Gua Selomangleng di Gunung Klothok, 5 KM arah barat kota Kediri.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra Raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.[2]
Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan, yang keduanya merupakan anak Airlangga yang berasal dari selir. Sedangkan Raja Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa, dan meninggal sekitar tahun 1049.
Tak banyak yang diketahui peristiwa di Kerajaan Janggala, karena Kadiri-lah yang cukup dominan. Raja pertama Kerajaan Janggala adalah Jayanegara. Yang digantikan oleh putranya, Wajadrawa. Janggala kembali dipersatukan dengan Kadiri ketika Raja Kadiri, Bameswara (1116-1136) menikah dengan puteri mahkota Kerajaan Janggala, Kirana (putri Wajadrawa). Dengan demikian, berakhirlah riwayat Kerajaan Janggala.
Akhir Pemerintahan Airlangga
Setelah membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua, Airlangga kemudian menjadi pertapa, dan meninggal tahun 1049. Airlangga semasa hidupnya dianggap titisan Wisnu, dengan lancana kerajaan Garudamukha. Sehingga sebuah arca indah yang disimpan di musium Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu yang menaiki garuda. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian.[2]
Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041), diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut. Kisah Airlangga digambarkan dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan.[2]
Kahuripan Dalam Sejarah Majapahit
Nama Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1293. Raden Wijaya sang pendiri kerajaan tampaknya memperhatikan adanya dua kerajaan yang dahulu diciptakan oleh Airlangga.[1]
Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri alias Daha, dan Janggala alias Kahuripan atau Jiwana. Keduanya oleh Raden Wijaya dijadikan sebagai daerah bawahan yang paling utama. Daha di barat, Kahuripan di timur, sedangkan Majapahit sebagai pusat.
Pararaton mencatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai Bhatara i Kahuripan, atau disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama ialah Tribhuwana Tunggadewi putri Raden Wijaya. Setelah tahun 1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada yang diangkat sebagai patih Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti.[1]
Hayam Wuruk sewaktu menjabat yuwaraja juga berkedudukan sebagai Raja Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha. Setelah naik takhta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat ibunya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan adalah cucunya, yang bernama Surawardhani. Lalu digantikan putranya, yaitu Ratnapangkaja.
Sepeninggal Ratnapangkaja, gelar Bhre Kahuripan disandang oleh keponakan istrinya (Suhita) yang bernama Rajasawardhana. Ketika Rajasawardhana menjadi Raja Majapahit, gelar Bhre Kahuripan diwarisi putra sulungnya, yang bernama Samarawijaya.
Referensi:
- [1] Wikipedia-ID: Kerajaan Kahuripan
[2] PEMECUTAN-BEDUHULU-MAJAPAHIT: Kerajaan Kahuripan
0 comments:
Posting Komentar