Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

Teungku Fakinah, Sang Mujahidillah Dari Aceh

Jumat, 28 Maret 2014

Menurut catatan pada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh, Teungku Fakinah adalah seorang pahlawan dan juga seorang ulama wanita terkenal di Aceh. Ia lahir pada tahun 1856 M, di Desa Lam Diran, kampung Lam Beunot, Mukim Lam Krak VII, Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Didalam tubuhnya mengalir darah ulama dan darah bangsawan. Ayahnya bernama Teungku Datuk Mahmud seorang pejabat pemerintahan pada jaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa'at yang terkenal dengan nama Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, pesantren tempat Teungku Chik Di Tiro pernah belajar.

Lingkungan Pendidikan

Sejak kecil, Teungku Fakinah diajarkan mengaji oleh kedua orang tuanya, ia tidak pernah menempuh pendidikan formal. Di samping itu, Teungku Fakinah juga diajarkan keterampilan seperti menjahit, membuat kerawang sutera dan kasab oleh ibunya. Dari ketekunan dan kegigihannya belajar ilmu agama Islam (ilmu Tauhid, tafsir, hadits, Bahasa Arab), maka setelah dewasa ia diberi gelar Teungku Faki. Teungku adalah sebutan bagi alim ulama Aceh. Sedangkan Teuku adalah gelar kebangsawanan.

Masa Remaja

Teungku Fakinah adalah sosok wanita yang memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam kehidupannya. Ia hanya mau menerima pinangan dari pemuda yang taat beragama. Hingga pada usianya yang ke 16 tahun, pada tahun 1872, Teungku Fakinah dinikahkan dengan Teungku Ahmad oleh orang kampung Lam Beunot, yang juga merupakan seorang pemuda shalih.

Setelah pernikahannya dengan Teungku Ahmad, Teungku Fakinah membuka sebuah pesantren yang dibiayai Teungku Asahan, yang tidak lain adalah mertuanya. Dalam bukunya "59 Tahun Aceh Merdeka", A. Hasjmi menyebutkan, pesantren tersebut bernama Dayah Lam Diran, yang akhirnya berkembang dan banyak dikunjungi pemuda-pemudi dari daerah lain di sekitar Aceh Besar, dan bahkan dari Cumbok, Pidie.

Menjadi Janda Ketika Usianya Baru Beranjak 17 Tahun

Tatkala pecah perang Aceh untuk pertama kalinya di tahun 1873, tanpa ragu Teungku Ahmad turut berjuang memenuhi panggilan jihad suci bersama Imam Lam Krak. Ia memperkuat barisan pasukan VII Mukim yang dikomandoi oleh Panglima Polim (Panglima Kesultanan Aceh) dan Panglima Besar Rama Setia, guna mempertahankan Pantai Cermin, tepi laut Ulee Lheu dari serangan Belanda.

Dalam perang itu, pada tanggal 8 April 1873, gugurlah Panglima Besar Rama Setia, Imam Lam Krak, serta Tengku Ahmad Anuek Glee suami dari Tengku Fakinah demi membela Tanah Air. Teungku Fakinah pun berduka, ia telah menjadi janda di usia yang sangat muda yaitu 17 tahun. Namun kematian suaminya tidak menjadikannya sosok wanita yang lemah, justru hal tersebut semakin menguatkan dirinya untuk tetap tegar dalam menghadapi segala macam bentuk cobaan dari Allah. Ia kemudian bangkit berjuang di jalan Allah, demi meneruskan perjuangan suaminya.

Maka semenjak itulah Teungku Fakinah membentuk sebuah Badan Amal Sosial untuk menyumbang darma baktinya kepada bangsa dan Tanah Air. Bersama para anggotanya yang terdiri dari para janda dan kaum wanita, ia berkeliling Aceh guna mengumpulkan dana bagi perjuangan rakyat Aceh. Badan amal yang didirikannya tersebut mendapat dukungan dari kaum Muslimat disekitar Aceh Besar.

Badan amal ini kemudian berkembang sampai ke Pidie, dengan kegiatannya meliputi pengumpulan sumbangan berupa beras maupun uang yang digunakan untuk membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Ia juga hilir mudik keseluruh segitiga Aceh Besar untuk menjalankan Diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta zakat dalam rangka membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk. Dan kegiatan yang dilakukannya itu, memperoleh hasil yang lebih besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya peperangan.

Anggota Badan Amal Sosial ini menjadi sangat giat dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang berupa perbekalan berupa padi dan uang. Selain dari anggota yang bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan, bagi anggota-anggota yang tinggai di tempat, mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk orang yang datang dari luar seperti Pidie, Meureudu, Salamanga, Peusangan dan lain-lain untuk membantu korban perang dan menuangkan timah untuk pelor senapan, semua pekerjaan itu dibawah pimpinan Teungku Fakinah. Ia juga mendirikan dapur umum dan tenda darurat bagi mujahidin yang terluka.

Kuta Pertahanan Wanita/Benteng Pertahanan Wanita

Ketika musuh menguasai Kuta Raja (Banda Aceh Sekarang), maka pusat pertahanan berpindah ke Kuta Lam Bhouk, Pagar Aye (Lhung Bata). Tetapi benteng pertahan tersebut tidak bertahan lama, pada tahun 1883, benteng pertahanan itu dapat dikuasai oleh Belanda. Untuk mengantisipasi hal ini maka Tengku Syeikh Saman yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro memperkuat lagi benteng pertahanan Kuta Aneuk Galong bekas benteng Panglima Polem VII Cut Banta, yang dulunya pernah di rampas oleh pihak Belanda pada tahun 1878. Maka dengan demikian secara bersamaan, dari masing-masing pemimpin peperangan pun ikut mendirikan kuta-kuta lainnya, seperti halnya Tengku Empee Trieng (Kuta Karang), Tengku Pante Kulu (Kuta Tuanku), Teungku Mat Saleh (Kuta Lam Sa Yeun), Habib Lhong (Kuta Bak Balee), Teungku Amat (Kuta Bak Garot), dan lain-lain. Tengku Amat merupakan paman Teungku Fakinah, yaitu adik dari Teungku Muhammad Sa’at.

Sementara itu di Lam Krak didirikan 4 buah Kuta (benteng pertahanan) di bawah Komando Teungku Fakinah, yang masing-masing di pimpin oleh seorang komandan bawahan, yaitu:

  1. Kuta Lam Sayun, dipimpin oleh Tengku Pang M. Saleh.
  2. Kuta Cot Garot, dipimpin oleh Tengku Pang Amat.
  3. Kuta Cot Weue, dipimpin oleh Tengku Fakinah sendiri.
  4. Kuta Bak Balee, Dipimpin oleh Habib Lhong.

Tengku Fakinah merupakan satu-satunya panglima perang perempuan. Ia memimpin langsung pembangunan benteng di daerah Cut Weue dan mengerahkan anak buahnya untuk memasang pagar, menggali parit dan memasang ranjau. Ia memiliki pasukan perempuan yang hebat, pasukan perempuan berani mati. Diantaranya:

  1. Cutpo Fatimah Blang Preh,
  2. Nyak Raniah dari Lam Uriet,
  3. Cutpo Hasbi,
  4. Cutpo Nyak Cut, dan
  5. Cut Puteh.

Pernikahan Kedua Teungku Fakinah

Semua pejuang serta rakyat Aceh menghormati dan mencintai Teungku Fakinah. Ia sering menghadiri rapat koordinasi dengan para panglima perang daerah lain. Waktu itu Teungku Fakinah adalah seorang janda. Adat dan tradisi masyrakat Aceh memandang kurang baik apabila seorang perempuan menghadiri pertemuan dengan para panglima laki-laki seorang diri. Atas desakan anak buahnya, akhirnya Teungku Fakinah menikah untuk kedua kalinya dengan Teungku Nyak Badai, seorang pejuang dari kampung Langa, Pidie, yang juga merupakan bekas murid Tanoh Abee.

Setelah perkawinan keduanya itu, maka Teungku Fakinah bertambah giat dalam berusaha untuk mengumpulkan perlengkapan serta persenjataan dan makanan untuk keperluan tentara pengikutnya. Akan tetapi pernikahan mereka pun tidak berumur panjang. Teungku Nyak Badai mati syahid dalam sebuah pertempuran di tahun 1896. Ketika itu Belanda di bawah pimpinan Kolonel J. W Stempoort menyerbu markas Teungku Fakinah. Teungku Nyak Badai beserta istrinya berjuang mati-matian mempertahankan benteng. Akhirnya Teungku Nyak Badai menunaikan janji sucinya untuk menjadi syuhada.

Di antara Pahlawan yang memimpin pasukan di bawah komando Teungku Fakinah, adalah :

  1. Habib Abdurrahman, yang lebih terkenal dengan Habib Lhong, ia Syahid dalam suatu pertempuran.
  2. Tengku M. Saleh, ia juga Syahid.
  3. Tengku Ahmad, yang lebih terkenal dengan Teungku Leupung, ia tidak Syahid, dan masih sempat membantu Teungku Fakinah dalam pembangunan.
  4. Tengku Nyak Badai, suami kedua Teungku Fakinah, dan ia juga Syahid.
  5. Tengku Daud, ia juga Syahid.

Mempengaruhi Cut Nyak Dhien

Sepeninggal suaminya, Teungku Fakinah tidak mundur setapak pun dari jalan perjuangan. Salah satu jasa besar yang tercatat oleh sejarah adalah ketika Teungku Fakinah berhasil mengembalikan Teuku Umar (suami Cut Nyak Dhien) untuk insyaf berjuang kembali melawan kaphee (orang kafir) Belanda.

kaphee (orang kafir) Belanda.
Waktu itu Teuku Umar sempat membelot, memihak kepada Belanda. Ia bahkan dianugerahi gelar Johan Pahlawan oleh Belanda atas jasa-jasanya menumpas pemberontakan rakyat Aceh. Padahal sebelumnya Teuku Umar adalah seorang pejuang yang gigih melawan Belanda. Entah karena alasan taktik atau bukan, Teuku Umar sempat membelot. Rakyat Aceh sangat bersedih dengan keadaan ini, mereka kehilangan sosok Teuku Umar yang selama ini memimpin perjuangan.

Sedangkan Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar adalah sosok wanita yang sudah tidak asing lagi bagi Teungku Fakinah. Sejak perang di Aceh Besar berkecamuk, ia juga sudah dikenal baik oleh Cut Nyak Dhien, baik dalam pertarungan mereka di Montasik, Lamsi maupun ketika kedatangan Cut Nyak Dhien ke Lam Krak yang senantiasa mampir ke rumah Teungku Fakinah, untuk beramah tamah dan meminta bantuan perbekalan perang bagi perjuangan pengikut-pengikut Teuku Umar. Dalam hal ini Teungku Fakinah selalu memberikan bantuan berupa beras, kain hitam dan uang tunai. Dan sebaliknya Teungku Fakinah sering juga datang ke rumah Cut Nyak Dhien di Lampadang/Bitai dan tempat-tempat lain di mana Cut Nyak Dhien tinggal. Dengan demikian perjuangan kedua wanita ksatria ini sangat erat hubungannya. Oleh sebab itu Teungku Fakinah sangat terkejut ketika mendengar bahwa Teuku Umar telah membelot dan bergabung dengan pihak Belanda. Namun Teungku Fakinah tak cukup hanya bersedih, ia segera menyusun siasat agar Teuku Umur mau kembali sadar dan berjuang bersama rakyat kembali.

Sementara itu tersiar berita bahwa Teuku Umar tengah bergerak bersama serdadu Belanda untuk menyerang Kuta Tungkop serta benteng pertahanan di daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh. Untuk mengantisipasi masalah ini maka segera dibangun tiga buah kuta (benteng) yaitu Cut Pring, Cut Raja, dan Cut Ukam. Kemudian itu datang dua orang wanita dari Bitai mengantar nazarnya untuk perang sabil, bahkan sumbangan yang diserahkan kepada Teungku Fakinah bukan hanya dari dua orang saja, tetapi ada kiriman dan beberapa orang lainnya dari Bitai dan Peukan Bada. Melalui ke 2 orang wanita Bitai itu Teungku Fakinah mengirim salamnya kepada Cut Nyak Dhien selaku sahabatnya itu, dengan menyampaikan beberapa kata sindiran sebagai ceumeti yang menusuk dada Cut Nyak Dhien, ia berkata:

"Peugah bak Cut Nyak Dhien haba lon: Yu Jak beureujang lakoe gagnyan Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee".

Artinya: "Sampaikan perkataan saya kepada Cut Nyak Dhien; suruh datang kemari suaminya Teuku Meulaboh, untuk berperang dengan perempuan-perempuan janda dan anak-anak supaya semua orang dapat melihat keberaniannya, sebagai laki-laki yang melawan wanita janda."

Setelah selesai berbicara dengan kedua wanita Bitai itu, maka kedua wanita ini terus pulang sampai ke kampungnya, tetapi tidak langsung menyampaikan kabar itu kepada Cut Nyak Dhien, melainkan memberitahukan kepada wanita lain yang dipercayainya dan sering masuk ke rumah Cut Nyak Dhien. Setelah mendengar kabar ini, Cut Nyak Dhien terdiam, hatinya tertohok. Ia malu mendapati suaminya berpihak kepada musuh, terlebih lagi memerangi janda dan anak-anak bangsanya sendiri. Kemudian ia memanggil kedua wanita utusan Bitai itu melalui wanita kepercayaannya agar bertemu langsung dengannya. Dalam hal ini kedua wanita itu tidak mau datang karena takut ditangkap, selama dua hari Cut Nyak Dhien menunggu, namun mereka tidak kunjung datang.

Secara diam-diam Cut Nyak Dhien datang ke Bitai untuk menemui kedua wanita itu, namun kedua wanita tersebut telah bersembunyi di rumah yang lain. Lalu Cut Nyak Dhien menyampaikan pesan kepada wanita lain bahwa dia perlu bantuan kedua wanita itu untuk menyampaikan kabar balik ke Lam Krak, yang merupakan kabar balasan dari Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah. Maka besok paginya datanglah kedua wanita itu kerumah Cut Nyak Dhien dan keduanya diterima dengan ramah tamah.

Diserambi belakang rumah, mereka duduk bertiga membicarakan kabar yang dibawa dari Lam Krak, kemudian ke dua wanita itu disuruh kembali ke Lam Krak untuk bertemu dengan Teungku Fakinah dengan membawa kabar balasan yang disertai dengan bungong jaroe yaitu; 2 kayu kain hitam untuk celana, 6 potong selendang, 1 kayu kain untuk baju prajurit wanita dan 1 potong kain selimut untuk selimut Teungku Fakinah sendiri, serta uang 200 real untuk membeli kapur dan sirih.

Besok paginya berangkatlah kedua wanita itu dari Bitai menuju Lam Krak. Satu orang menjunjung sumpit yang berisikan beras dan yang satu lagi menjunjung satu berkas tikar mensiang yang berisikan barang-barang kiriman Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah di Lam Krak. Sesampainya di Lam Krak kedua wanita ini, langsung bertemu dengan Teungku Fakinah, dan menyerahkan barang amanah itu. Dalam pertemuan itu juga, disampaikan pula salam dan pesan-pesan Cut Nyak Dhien yang isinya:

"Atee Cut Nyak Dhien mantong lagee soet, lon inseuh keulangkah lakoe lon yang kameuseuruek. Hubungan lidah Nyak Faki nyoe ngon lon yang neuba lee droe neuh mudah-mudahan Tuhan puwoe langkah kamoe lagee soet".

Artinya: "Hati Cut Nyak Dhien seperti sebelumnya, saya minta maaf atas langkah suami saya yang telah keliru. Hubungan lidah Nyak Fakinah ini dengan saya yang saudara bawa, semoga Tuhan mengembalikan langkah kami seperti semula".

Demikianlah kata filsafat dalam pertemuan diplomatik antara kedua pengantar kata, dari hati ke hati antara dua orang Srikandi ulung Pahlawan Tanah Air yakni Teungku Fakinah dari Lam Krak dan Cut Nyak Dhien dari Lam Pisang. Sementara itu, Cut Nyak Dhien juga menasehati suaminya agar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kembali berjuang bersama rakyat Aceh.

Akhirnya Teuku Umur pun tersadar, ia menyadari kekeliruannya dengan berpura-pura tunduk kepada pemerintahan Belanda yang banyak membuat hati rakyat Aceh berduka kecewa. Ia merasa sangat malu mendapati pesan dari Teungku Fakinah untuk memerangi janda dan anak-anak. Teuku Umar pun kembali berjuang bersama rakyat Aceh. Ia melarikan 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 Dollar. Kemudian senapan-senapan tersebut ia bagikan kepada kaum mujahidin. Belanda merasa tertipu, merasa dipermainkan oleh Teuku Umur. Sejak saat itu Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien menjadi buronan nomor wahid oleh pihak Belanda. Hingga akhir hayatnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien tetap setia membela Ibu Pertiwi.

Perjuangan Teungku Fakinah Terus Berlanjut

Sesudah jatuhnya markas pertahanannya di Lam Krak, Teungku Fakinah berpindah-pindah tempat. Mula-mula ia tinggal di Lammeulo. Setelah itu ia tinggal di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini merupakan daerah yang sangat indah dan memiliki lahan yang sangat subur, sehingga ditempat ini dibuka perkampungan dan sekaligus lahan pertanian. Semua sisa harta benda, emas dan perlengkapan senjata diangkut ke daerah baru ini, dan didaerah ini juga Teungku Fakinah sempat membangun dayah (perguruan/pesantren) tempat wanita mengaji Al-Qur'an. Namun pada tahun 1899 perkampungan ini diserang oleh tentara Belanda dan rumah tempat tinggal Teungku Fakinah diobrak abrik dan sebagian emas milik Teungku Fakinah diambil oleh serdadu Belanda, sementara beliau terlepas dari kepungan serdadu tersebut.

Semenjak saat itu Teungku Fakinah tidak lagi membuat kuta (benteng), namun bergerilya bersama-sama Pocut Lam Gugob (kerabat sultan) istri dari Tuanku Hasyim Banta Sultan, Pocut Awan yaitu ibu dari Tengku Panglima Polem dan dengan wanita-wanita lain yang masih aktif bergerilya mengikuti jejak suaminya mengarungi hutan belantara. Berpindah-pindah sampai kepegunungan Pasai, dan Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar, yang saat berada di dalam pengawasan Tengku Nyak Mamat Peureulak.

Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama, terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya dengan cara berpindah-pindah.

Kembali ke Lam Krak

Setelah pasukan Panglima Polem IX dan Sultan Muhammad Daud Syah dapat ditundukkan oleh Jendral Van Heutz, maka pada tanggal 21 Mei 1910 atas permintaan Teuku Panglima Polem IX, Teungku Fakinah akhirnya kembali ke kampung halamannya di desa Lam Krak dalam usia 54 tahun. Kemudian ia mendirikan pesantren pada tahun 1911, yang mendapat sambutan baik dari masyarakat umum. Dalam pembangunan pesantren ini, banyak pihak masyarakat dengan secara sukarela mengeluarkan zakat dan sumbangan pribadi, sehingga pembangunan ini berjalan dengan lancar. Teungku Fakinah pun mengisi hari tuanya dengan mengajar agama di pesantren. Murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru Aceh, seperti: seluruh pelosok 3 sagi Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Timur, Pidie dan Samalanga, terutama janda-janda dan gadis-gadis..

Simpatisan masyarakat terhadap Pesantren Teungku Fakinah ini sedemikian besar, sehingga tempat ini setiap harinya banyak dikunjungi oleh tamu-tamu dari luar mukim Lam Krak. Demikian juga, banyak yang datang mengantar sumbangan sosial untuk biaya hidup bagi murid-murid dayah/pesantren, sehingga murid-murid yang belajar disitu, selain dapat bantuan pangan dari orang tuanya, juga menerima bantuan dari masyarakat umum. Ada juga bentuk sumbangan lainnya yang disumbangkan oleh masyarakat kepada pesantren tersebut seperti Al-Qur'an dan kitab yang diperlukan untuk pelajaran.

Naik Haji

Pada tahun 1914 Teungku Fakinah bertekad untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu naik Haji. Tetapi ia seorang janda, dan tidak diperkenankan seorang janda untuk berangkat haji sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk menikah lagi agar ada muhrim yang menemani perjalanannya naik haji. Teungku Fakinah menikah lagi dengan Ibrahim. Akhirnya pada bulan Juli 1915 mereka menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Waktu itu Teungku Fakinah telah berusia 58 tahun. Di Mekkah beliau menumpang di rumah wakaf Aceh, jalan Kusya Syiah yang diurus oleh Syeikh Abdul Gani yang berasal dari Aceh Besar. Selesai melaksanakan rukun Haji, beliau masih menetap di Mekkah untuk menuntut ilmu pengetahuan sekaligus memperdalam ilmu Fikih pada Teungku Syeikh Muhammad Sa'ad yang berasal dari Peusangan. Kuliah yang diberikan oleh guru-gurunya dilakukan di dalam Masjidil Haram, Mekkah kepada murid-muridnya.

Selama tiga tahun ia tinggal di Mekkah untuk memperdalam ilmunya, ketika memasuki tahun ke-4 di Mekkah, suaminya yaitu Ibrahim meninggal dunia di Mekkah. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah memutuskan untuk kembali ke Aceh. Setibanya di Lam Krak, ia disambut dengan meriah oleh murid-muridnya, dan ketika itu pulalah Teungku Fakinah memimpin kembali pesantren yang selama ini ditinggalkannya, dan mengembangkan semua ilmu pengetahuan yang dituntut di Mekkah kepada murid-muridnya.

Wafat

Ia mengabdikan dirinya di pesantren hingga kematian menjemputnya. Teungku Fakinah menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M. Teungku Fakinah sebagai Pahlawan dan Ulama Wanita Aceh tersebut wafat di rumah kediamannya di kampung Beuha Mukim, Lam Krak di usianya yang ke-75 tahun.

Dengan meninggalnya Teungku Fakinah, maka telah tertanam duka cita yang sangat mendalam khususnya bagi masyarakat Mukim Lam Krak, VII Mukim Ba'et, yang meliputi seluruh murid-muridnya dan simpatisan seluruh Aceh Besar, bahkan daerah Aceh Timur, Aceh Barat, dan Pidie, sehingga berdatangan dari segala penjuru ke rumah duka/dayah untuk menyatakan rasa duka cita dan berlangsung belasungkawa.

Referensi artikel:

  1. http://id.wikipedia.org/Teungku_Fakinah
  2. http://nanggroeaulia.blogspot.com/2013/01/teungku-fakinah-ulama-perempuan-yang.html
  3. http://tajoel-losa.blogspot.com/2010/12/teungku-fakinah.html

0 comments:

Posting Komentar