Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

Admiral Keumalahayati, Panglima Wanita Yang Gagah

Jumat, 28 Maret 2014

Pernah mendengar nama kapal perang KRI Malahayati? Banyak orang yang tidak tahu, siapakah yang memiliki nama besar dan terhormat itu sehingga diabadikan sebagai nama sebuah kapal perang. Beliau adalah seorang wanita yang agung (grande dame), yang memimpin sebuah laskar pejuang yang terdiri dari para pejuang perempuan dan kebanyakan adalah janda yang ditinggal wafat suami mereka dalam perjuangan melawan penjajah. Malahayati juga seorang janda yang ditinggal syahid suaminya saat berperang melawan Portugis sewaktu akan menguasai selat Malaka, yakni pada pertempuran laut Teluk Haru. Laskar tersebut dinamai Laskar Inong Balee atau yang bermakna Laskar para Janda pahlawan. Beranggotakan 2000 orang prajurit, semuanya perempuan.
Laksamana Keumalahayati merupakan wanita pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Ia lahir pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV. Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M. Belum ditemukan catatan sejarah secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya. Diperkirakan, masa hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.

Laksamana Keumalahayati adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Ia hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Aceh dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun 1589-1604 M.

Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan kerajaan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut. Jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kelak berpengaruh besar terhadap kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya tersebut.

Riwayat Pendidikan

Ketika menginjak usia remaja, Laksamana Keumalahayati mendapatkan kebebasan untuk memilih pendidikan yang diinginkannya. Ketika itu Kesultanan Aceh Darussalam memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Konon akademi militer ini dibangun dengan dukungan Sultan Selim II dari Turki Utsmaniyah serta didukung oleh 100 orang guru pengajar angkatan laut yang sengaja didatangkan dari kerajaan Turki tersebut.

Setelah menempuh pendidikan agamanya di Meunasah, Rangkang, dan Dayah, oleh karena ia ingin mengikuti karir ayahnya sebagai laksamana, maka ia mendaftarkan diri dalam penerimaan taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Ia diterima di akademi ini dan dapat menempuh pendidikan militernya dengan sangat baik. Bahkan, ia berprestasi dengan hasil yang sangat memuaskan.

Sebagai siswa yang berprestasi, Laksamana Keumalahayati berhak memiliki jurusan yang diinginkannya. Ia memilih jurusan Angkatan Laut. Ketika menempuh pendidikan di akademi ini ia pernah berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior (data tentang namanya belum diketahui). Perkenalan tersebut berlanjut hingga mereka berdua menikah, yaitu setelah mereka menyelesaikan studi mereka di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis.

Setelah menamatkan studinya di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, Laksamana Keumalahayati berkonsentrasi pada dunia pergerakan dan perjuangan. Ia diangkat oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil (1589-1604 M) sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam. Jabatan tersebut merupakan kepercayaan sultan terhadap dirinya, sehingga ia perlu menguasai banyak pengetahuan tentang etika dan keprotokolan.

Riwayat Perjuangan

Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, yaitu antara armada pasukan Portugis dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil dan dibantu oleh dua orang laksamana. Pertempuran sengit terjadi di Teluk Haru dan dimenangkan oleh armada Aceh, meski harus kehilangan dua laksamananya dan ribuan prajuritnya yang tewas di medan perang. Salah satu laksamana yang tewas tersebut adalah suami Laksamana Keumalahayati sendiri yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Setelah suaminya meninggal dunia dalam peperangan tersebut, ia berjanji akan menuntut balas dan bertekad meneruskan perjuangan suaminya meski sendirian.

Untuk memenuhi tujuannya tersebut, Laksamana Keumalahayati meminta kepada Sultan Al-Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya adalah wanita-wanita janda karena suami mereka gugur dalam Perang Teluk Haru. Permintaan Keumalahayati akhirnya dikabulkan. Ia diserahi tugas memimpin Armada Inong Balee dan diangkat sebagai laksamananya. Ia merupakan wanita Aceh pertama yang berpangkat laksamana (admiral) di Kesultanan Aceh Darussalam. Armada ini awalnya hanya berkekuatan 1000 orang, namun kemudian diperkuat lagi menjadi 2000 orang.

Teluk Lamreh Krueng Raya dijadikan sebagai pangkalan militernya. Di sekitar teluk ini, ia membangun Benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan. Benteng tersebut menghadap ke barat, ke arah Selat Malaka. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan logistik keperluan perang.

Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumlahayati mengkoordinir pasukannya di laut, mengawasi berbagai pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, dan mengawasi kapal-kapal jenis galey milik Kesultanan Aceh Darussalam. Seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis, mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksanana Keumalahayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki perlengkapan armada laut yang di antaranya terdiri dari 100 buah kapal (galey) dengan kapasitas penumpang 400-500 orang.

Menaklukkan Armada Perang Cornelis de Houtman 

Laksamana Keumalahayati pernah terlibat dalam pertempuran melawan kolonialisme Belanda. Ceritanya, pada tanggal 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda, pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak senjata dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang bersaudara, Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman, berlabuh di ibukota Kesultanan Aceh Darussalam. Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya Sultan Al-Mukammil tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap Sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya. Serangan tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Keumalahayati. Alhasil, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Cornelis de Houtman tewas ditangan Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun). Frederick inilah orang Eropa pertama yang menterjemahkan Bibel kedalam bahasa Melayu.

Keberhasilan Laksamana Keumalahayati merupakan sebuah prestasi yang sungguh luar biasa yang kemudian menginspirasi perubahan PERAN KAUM PEREMPUAN DISELURUH DUNIA. Beliau juga tercatat dalam sejarah sukses menghalau Portugis dan Belanda masuk ke Aceh, sesuai catatan seorang wanita Belanda, Marie Van Zuchtelen, dalam bukunya berjudul “Vrouwlijke Admiral Malahayati” (Malahayati Sang Admiral Wanita).

Kedatangan Rombongan Bangsa Belanda

Pada tanggal 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka. Setelah itu datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana Yacob van Neck. Mereka mendarat di Pelabuhan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601. Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan Al-Mukammil karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya.

Pada tanggal 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan Al-Mukammil. Sebelum surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 golden).

Setelah itu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Aceh berlangsung cukup baik. Kehadiran bangsa Belanda dapat diterima secara baik di istana kesultanan dan mereka diperbolehkan berdagang di Aceh. Sebagai lanjutan dari hubungan baik antara Belanda dan Kesultanan Aceh, maka diutuslah tiga orang untuk menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga orang itu adalah Abdoel Hamid, Sri Muhammad (salah seorang perwira armada laut di bawah Laksamana Keumalahayati), dan Mir Hasan (bangsawan kesultanan). Meski sedang dilanda perang melawan kolonialisme Spanyol, pihak Belanda menyambut utusan Aceh tersebut dengan upacara kenegaraan.

Sebagai Seorang Diplomat Ulung dan Ahli Politik

Keumalahayati ternyata bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, namun ia juga pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana. Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri. Ia sendiri telah menunjukkan bakatnya dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ia memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi berbagai momen perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris. Meski begitu, sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan berbagai perundingan.

Hal ini bermula dari keinginan Inggris untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ratu Elizabeth I (1558-1603 M) mengirim utusan untuk membawa sepucuk suratnya kepada Sultan Aceh al-Mukammil. Rombongan yang dipimpin oleh James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris ini tiba di Pelabuhan Aceh pada tanggal 6 Juni 1602. Sebelum bertemu dengan Sultan Al-Mukammil, Lancaster mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumalahayati. Dalam perundingan itu, Lancaster menyampaikan keinginan Inggris untuk menjalin kerjasama dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ia juga berpesan agar Laksamana Keumalahayati memusuhi bangsa Portugis dan berbaik hati dengan Inggris. Laksamana Keumalahayati meminta agar keinginan tersebut dibuat secara tertulis dan diatasnamakan Ratu Inggris. Setelah surat tersebut selesai dibuat, Lancaster diperkenankan menghadap Sultan Al-Mukammil.

Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.

Menyelesaikan Konfik di dalam Tubuh Kesultanan Aceh

Laksamana Keumalahayati juga berperan besar dalam menyelesaikan intrik kesultanan. Hal ini bermula dari peristiwa penting perihal suksesi kepemimpinan di Kesultanan Aceh Darussalam, pada saat itu Sultan Alaiddin Ali Al-Mukammil telah berumur 94 tahun. Pada tahun 1603 M, Sultan Al-Mukammil menempatkan anak lekaki tertuanya sebagai pendamping dirinya. Namun, rupanya putra tersebut berkhianat 'melaksanakan kudeta' (karena ketidak mampuannya dalam menjalankan sistem pemerintahan -penj) terhadap ayahnya dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M).

Pada masa awal kepemimpinannya, berbagai macam bencana menimpa Kesultanan Aceh Darussalam, seperti kemarau yang berkepanjangan, pertikaian berdarah antar saudara, dan ancaman dari pihak Portugis. Tidak ada keinginan kuat dari Sultan Ali Riayat Syah untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan serius. Maka banyak timbul rasa kekecewaan dari punggawa kesultanan, salah satu di antaranya adalah Darmawangsa Tun Pangkat, kemenakannya sendiri. Darmawangsa ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan.

Pada bulan Juni 1606, Portugis menyerang Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Alfonso de Castro. Ketika itu Darmawangsa masih berada di penjara. Ia memohon kepada Sultan Ali Riayat Syah agar dirinya dapat dibebaskan dan dapat ikut bertempur melawan Portugis. Dengan didukung adanya pemintaan Laksamana Keumalahayati, Darmawangsa akhirnya dapat dibebaskan. Mereka berdua akhirnya berjuang bersama dan dapat menghancurkan pasukan Portugis.

Oleh karena Sultan Ali Riayat Syah dianggap banyak kalangan tidak cakap lagi memimpin kesultanan, maka Laksamana Keumalahayati melakukan manuver dengan cara menurunkan Sultan Ali Riayat Syah dari tahta kekuasaan. Darmawangsa akhirnya terpilih sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasan.

Laksamana Keumalahayati Wafat

Setelah wafat dalam pertempuran di laut Teluk Krueng Raya, Laksamana Malahayati dimakamkan tidak jauh dari Benteng Inong Balee, sekitar 3 Km dari benteng yang berada diatas bukit. Lokasi makam pada puncak bukit, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan. Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa tempat yang tinggi itu suci. Beberapa kompleks makam di daerah lain yang terdapat di puncak bukit antara lain: Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Yogyakarta, makam Sunan Giri di Giri Gresik, Sunan Muria di Kudus, dan Gunung Jati di Cirebon.

Karya

Karya Laksamana Keumalahayati memang tidak berupa buku atau berbagai bentuk tulisan. Namun demikian, segala bentuk perjuangannya dalam melawan kolonialisme dapat juga dianggap sebagai karya-karya nyatanya. Di antara karya-karya yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Ia pernah membangun Benteng Inong Balee dengan tinggi 100 meter dari permukaan laut. Tembok benteng menghadap ke laut dengan lebar 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu teluk.
  2. Ia pernah berhasil membunuh Cornelis de Houtman, salah seorang pemimpin kapal Belanda yang pertama kali tiba di Aceh.
Penghargaan

Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangannya:
  1. Sebuah serial bertajuk “Laksamana Keumalahayati” telah digarap dengan sutradara Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Adhyaksa Dault. Serial ini berisi 13 episode. Episode perdananya telah diputar di Blitz Megaplex (10 November 2007).
  2. Sebuah lagu telah diciptakan oleh Endang Moerdopo yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Iwan Fals yang berjudul "Perempuan Keumala".
  3. Sebuah Novel telah diterbitkan hasil karya pengarang Endang Moerdopo yang berjudul "perempuan Keumala".
Sebagai suatu bangsa yang berdaulat, kita patut berbangga karena kita memiliki banyak pahlawan, tidak ketinggalan para pahlawan wanitanya yang dalam catatan sejarah perjuangannya tidak kalah gigih dari pada kaum prianya sehingga tercatat tak seorangpun dari pahlawan wanita tersebut yang pernah menyerah kepada penjajah.

Sekedar tambahan, dibawah ini beberapa catatan nama-nama pahlawan wanita yang terkenal Indonesia:
  1. Sultanah Aceh Taj Al-Alam ~ 1675 M.
  2. Sultanah Aceh Seri Sultanah Nur Al-Alam Nakiat Ad-Diin Shah ~ 1675 - 1678 M.
  3. Sultanah Aceh Inayat Shah Zakiat Ad- Diin Shah ~ 1678 - 1688 M.
  4. Sultanah Aceh Kamalat Syah ~ 1688 - 1699 M.
  5. Cut Meurah Intan, bangsawan pejuang yang dibuang dan wafat di Blora, Jawa Tengah.
  6. Ratu Kalinyamat, putri dari Sultan Trenggono.
  7. Nyi Ageng Serang, pejuang wanita yang gigih dari Grobogan Sragen.
  8. Cut Nyak Dhien, istri dan penerus perjuangan Teuku Umar yang wafat dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.
  9. Cut Meutia, pahlawan pendidikan dari Aceh.
  10. RA. Kartini, pejuang pendidikan kaum wanita dari Jawa Tengah.
  11. RA. Dewi Sartika (1884-1947 M), pejuang pendidikan kaum wanita dari Bandung, Jawa Barat.
  12. Raden Ayu Lasminingrat, pejuang pendidikan kaum wanita dari Garut, Jawa Barat.
  13. Laksamana Malahayati (abad XV hingga awal abad XVI Masehi), panglima laut yang ditakuti baik oleh Portugis maupun Belanda.
  14. Teungku Fakinah (1856-1938 M), sang mujahidillah dari negeri Serambi Mekkah.
  15. Tak boleh kita lupakan walau dari agama lain yakni Christina Martha Tiahahu, dan masih banyak lagi pejuang atau tokoh wanita yang mungkin tak tercatat atau kurang dikenal oleh masyarakat.
KRI Malahayati (362)
Sekarang, nama Malahayati tersebar di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, sebuah universitas di Bandar Lampung, Akademi Maritim di banda Aceh serta kapal perang, KRI Malahayati (362), satu dari tiga fregat berpeluru kendali MM-38 Exocet.

Referensi artikel:
  1. http://tajoel-losa.blogspot.com/2010/12/laksamana-keumalahayati-singa-samudra_07.html
  2. http://tanbihun.com/sejarah/admiral-malahayati-armadanya-sangat-ditakuti-portugis-dan-belanda/
  3. http://adekrawie.wordpress.com/2008/01/10/laksamana-malahayati-pahlawan-emansipasi-yang-terlupakan

0 comments:

Posting Komentar