Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

RADEN DEWI SARTIKA

Jumat, 28 Maret 2014

Dewi Sartika adalah seorang wanita pejuang pendidikan. Agar anak-anak perempuan bisa memperoleh kesempatan belajar, dia berjuang mendirikan sekolah di Bandung

"Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada negaramu." Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan 'pahlawan' di negaranya.


Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.

Jiwa patriotisme pasangan Raden Somanagara dan Nyi Raden Rajapermas yang merupakan keturunan priyayi Sunda, memang mengalir di dalam diri wanita kelahiran Cicalengka, Bandung, Jawa Barat, 4 Desember 1884 ini. Sejak kecil, Dewi Sartika telah mendapat pendidikan dasar dari orang tuanya dengan disekolahkan di sekolah Belanda. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana.

Setelah ayahandanya wafat, Dewi Sartika kecilpun dirawat oleh pamannya (kaka dari ibunya) yang tidak lain adalah seorang Patih di Cicalengka dan melanjutkan pendidikannya di sana. Ketika itulah, bakat sebagai seorang pendidik muncul dalam diri Dewi Sartika kecil, bila ada waktu senggang, biasanya sepulang sekolah, Dewi Sartika kecil sangat senang bermain sekolah-sekolahan sambil mengajari baca-tulis anak-anak pembantu yang berada lingkungan kepatihan, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Dalam pendidikannya, Dewi Sartika banyak pula mempelajari tentang wawasan kesundaan dari pamannya sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.

Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, telah menjadikan semangat dan cita-cita untuk terus berupaya agar anak-anak dan kaum perempuan pribumi bisa mendapat kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan. Semangat dan cita-cita yang besar tersebut, akhirnya Ia upayakan pula ketika kembali lagi menetap di Bandung, dengan dibantu kakeknya R.A.A. Martanegara dan Den Hamer, selaku Inspektur Kantor Pengajaran kala itu, Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah khusus bagi kaum perempuan yang diberi nama “Sakola Istri” pada 1904 yaitu Sekolah Perempuan  pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang: Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Dewi Sartika Menikah

Di saat yang bersamaan dengan perjalanan perjuangannya ingin mengentaskan kebodohan bagi kaum perempuan pribumi, Dewi Sartikapun menemukan jodohnya yaitu Raden Kanduruan Agah Suriawinata seorang Guru di Sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan guru, yang memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Kemudian mereka menikah pada 1906.

Sekolah Istri terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid-murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas.

Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Isteri sedikit diperbarui menjadi Sakola Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah. Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya.

Diakui, pembangunan sekolah ini, sebelumnya sempat menuai pertentangan, terutama karena budaya ‘pengekangan’ kaum wanita masih kuat dijalankan pada saat itu.  Namun karena niat baik, cita-cita serta kegigihan Dewi Sartika yang tiada putusnya serta kebijakan dari keluarga, maka sekolah tersebut tetap terwujud.

Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.

‘Sekolah Keutamaan Istri’ Banyak Di Dirikan

Sakola Kautamaan Istri
Karena penilaian positif terhadap upaya pengembangan sumber daya kaum perempuan pribumi melalui dunia pendidikan yang di rintis Dewi Sartika begitu besar. Akhirnya banyak diantara kaum perempuan Sunda yang memiliki cita-cita dan harapan yang sama mendirikan ‘Sekolah Keutamaan Istri’ di beberapa tempat. Sekitar 9 sekolah berdiri di Kota Kabupaten se- Pasundan, seperti di daerah Garut, Tasikmalaya maupun Purwakarta. Termasuk yang didirikan di Bukit Tinggi Sumatera Barat oleh Encik Rama Saleh.

Dewi Sartika Dianugrahi Bintang Jasa

Era Perang Dunia I, merupakan masa paling berat bagi Dewi Sartika dalam mengatasi keuangan sekolahnya. Namun upaya kerasnya berhasil mengantarnya melewati itu semua. Bahkan, pada tahun 1929 dalam acara peringatan 25 Tahun berdirinya ‘Sekolah Keutamaan Istri’, Sekolah Keutamaan Isteri sudah memiliki gedung sendiri. Seiring dengan itu, Sekolah Keutamaan Isteri pun berganti nama lagi menjadi Sakola Raden Dewi. Dewi Sartika mendapat penghargaan dari Pemerintah Kerajaan Hindia-Belanda berupa Bintang Jasa (berupa bintang perak -penj) atas jasa-jasanya memperjuangkan hak kaum perempuan pribumi dalam bidang pendidikan terutama di tanah Pasundan.

Terakhir, pada masa perang kemerdekaan, kota Bandung berhasil diduduki oleh pasukan Belanda. Semua rakyat mengungsi. Dewi Sartika pun terpaksa menghentikan kegiatan dan ikut mengungsi ke Cinean.

Raden Dewi Sartika beruntung masih sempat menyaksikan kebebasan bangsanya dari tangan penjajah walaupun ia harus menikmatinya lebih banyak di pengungsian. Saat di pengungsian, beliau meninggal dunia pada usia 62 tahun, persisnya tanggal 11 September 19 47 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.

Mengingat jasa-jasanya dalam membangun putri-putri bangsa, maka pemerintah atas nama negara menganugerahkan gelar kehormatan pada beliau sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut diberikan pada tanggal 1 Desember 1966 dan disahkan melalui SK Presiden RI No.252 Tahun 1966. 

Galeri Dewi Sartika:


Patung Dewi Sartika di taman Balai Kota Bandung.
Dewi Sartika, creative by http://wpapcommunity.com
Sumber referensi: 
  1. http://tokohindonesia.com/
  2. http://kwarcabkotabandung.or.id/2013/01/raden-dewi-sartika-pejuang-pendidikan-kaum-perempuan-dari-tanah-pasundan/
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika

0 comments:

Posting Komentar