Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

Teungku Chik di Tiro

Senin, 17 Maret 2014

Teungku Muhammad Saman (Teungku Chik di Tiro) adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro dan adik dari Teungku Cik Dayah Cut, ulama terkenal di Tiro. Ia lahir pada tahun 1836M, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh.

Teungku Muhammad Saman menjalani masa kecilnya di ligkungan pesantren. Di tempat-tempat itu ia bergaul dengan para santri. Pelajaran agama mula-mula didapat dari ayahnya dan kemudian dari pamannya. Ibunya mengajarinya menulis huruf Arab. Perhatiannya cukup besar terhadap buku-buku tasawuf karangan Imam Ghazali. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Pelajaran yang diterima dari ayah dan pamannya dirasanya belum cukup. Karena itulah ia pergi belajar pada beberapa guru lain, seperti Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang dan Teungku Cik di Tanjung Bungong. Terakhir ia belajar pada Teungku Cik di Lamkrak. Pulang dari Lamkrak, ia membantu pamannya mengajar agama di Tiro.

Pengetahuannya cukup luas. Teungku Cik Dayah Cut, pamannya, mengharapkan agar Saman kelak mampu menggantikannya sebagai guru agama sesuai dengan tradisi keluarga ulama Tiro. Sesudah mengajar beberapa waktu lamanya, Saman berniat menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, terlebih dulu dikunjunginya bekas guru-gurunya untuk memohon doa restu, yang terakhir dikunjunginya ialah Teungku Cik di Lamkrak, tetapi ternyata guru ini sudah meninggal dunia.

Di Lamkrak, Saman telah menyaksikan suatu perubahan. Para santri hanya belajar siang hari, pada malam hari mereka turut bergerilya menyerang pos-pos tentara Belanda. Demikianlah suasana perang Aceh melawan penindasan Belanda. Mau tak mau Muhammad Saman ikut menyertai mereka. Cukup lama ia tinggal di Lamkrak guna ikut berjuang, hampir saja niat untuk naik haji dibatalkannya.

Latar Belakang Perang Aceh

Abad 19 akhir, politik kolonial Belanda di Pulau Sumatera, khususnya di Aceh, banyak dipengaruhi oleh adanya perjanjian antara Belanda dengan Inggris tahun 1871, sebuah perjanjian tentang pengaruh di daerah Sumatera yang dikenal dengan istilah Traktat Sumatera. Di dalam perjanjian tersebut disebutkan, bahwa Belanda boleh meluaskan pengaruhnya di Sumatera, termasuk Aceh. Dan sebagai gantinya, Inggris diperbolehkan menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan adanya perjanjian demikian, Belanda pun mulai melancarkan serangan ke daerah Sumatera bagian barat termasuk Aceh, setelah sebelumnya sudah menaklukan sebagian besar daerah di Sumatera bagian timur.

Perang Aceh VS Belanda

Pada tahun 1873 Belanda melakukan serangan pertama di Aceh untuk menaklukkan kerajaan tersebut dan menempatkannya di bawah kekuasaannya. Ketika itu, Belanda mengirimkan seratusan lebih perwira dan tiga ribuan serdadu. Pasukan pertama tersebut berhasil dipukul mundur oleh pasukan Aceh. Panglima Belanda, Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, tewas ditembak pasukan Aceh dalam pertempuran.

Sesudah itu, Belanda kembali mengirimkan pasukan yang lebih besar dan kuat. Sementara Pasukan Aceh memperkuat diri dengan memusatkan pertahanannya di sekitar Istana Sultan Mahmud Syah. Namun, lama-kelamaan kekuatan pasukan Aceh mulai lemah dan terdesak. Blokade laut yang dilakukan Belanda menyebabkan Aceh terisolasi dari dunia luar yang menyebabkan semakin melemahkan kekuatan Aceh. Daerah Aceh Besar pun akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

Pada waktu itu perang Aceh-Belanda sedang memasuki masa suram bagi rakyat Aceh. Daerah Aceh Besar seluruhnya sudah jatuh di tangan Belanda. Pejuang-pejuang Aceh banyak yang bersembunyi di daerah pedalaman, dan tetap melakukan serangan kecil-kecilan yang kurang terorganisasi.

Istana jatuh ke tangan Belanda, tetapi beberapa hari sebelumnya, Sultan Aceh sudah menyingkir. Ia meninggal dalam perjalanan karena serangan kolera. Kedudukannya digantikan oleh putranya yang masih kecil. Sultan baru dan seluruh keluarga istana lalu menyingkir ke Keumala Dalam, jauh di daerah pedalaman.

Perlawanan semakin surut dan keadaan itulah yang dilihat Saman di Lamkrak. Serangan gerilya yang dilancarkan oleh pejuang-pejuang yang masih setia seperti para santri di Lamkrak itu, tidak banyak membuahkan hasil. Sebaliknya justru menyengsarakan rakyat. Bila suatu malam sebuah pos Belanda diserang, tak ayal besoknya Belanda mengadakan pembalasan dengan cara membakar kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Saman menyadari hal itu dan ia mulai berpikir tentang perlunya disusun sebuah kekuatan yang cukup besar. Untuk itu diperlukan persatuan semua golongan, menghilangkan perbedaan faham dan curiga-mencurigai.

Menunaikan Ibadah Haji

Dari Tiro datang pesan bertubi-tubi agar Muhammad Saman segera pulang. Atas desakan yang kuat dari pamannya, Teungku Cik Dayah Cut, akhirnya Saman kembali ke Tiro. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, ia pun berangkat ke Mekah. Kesempatan berkunjung ke Tanah Suci dimanfaatkannya untuk bertukar pikiran dengan ulama-ulama terkemuka yang ada disana dan menambah ilmu pengetahuan dan agama. Dalam bertukar pikiran itu tak lupa ia membicarakan masalah perang Aceh-Belanda, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Ia pun menyibukkan diri membaca buku-buku dan majalah-majalah terbitan luar negeri yang menguraikan perkembangan dan perjuangan dunia Islam.

Pulang dari Mekah, perhatian Muhammad Saman tidak sepenuhnya tertumpah kepada tugas-tugas mengajar di pesantren. Pikirannya sewaktu bergerilya di Lamkrak kini muncul kembali. Ia mengetahui pula, bahwa perlawanan rakyat semakin menurun. Kebetulan, pada suatu hari beberapa orang utusan dari Gunung Biram, tempat sebagian kecil gerilyawan Aceh bermarkas, tiba di Tiro. Mereka mengharapkan, agar salah seorang ulama Tiro bersedia memimpin mereka untuk mengobarkan kembali semangat perang melawan Belanda. Teungku Cik Dayah Cut sudah tua dan karena itu ia tak mungkin melakukan tugas tersebut. Muhammad Saman memanfaatkan kesempatan itu.


Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dalam kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.

Memimpin Perjuangan

Ia menyatakan kesediaannya untuk memenuhi permintaan utusan dari Gunung Biram. Niatnya itu mendapat persetujuan dan restu pamannya. Ketika itu Mohammad Saman berusia 44 tahun, berbadan gemuk dan sedikit rabun. Rakyat yang menyangsikan kemampuannya, namun Saman tidak mengindahkan ejekan orang-orang sekitarnya. Dengan ditemani beberapa orang, setelah terlebih dulu menggadaikan sawah untuk bekal, ia pun berangkat ke Gunung Biram.

Kepada anggota rombongan dan juga kepada utusan Gunung Biram ia minta agar kepergiannya dirahasiakan. Tindakan pertama yang dilakukannya ialah menghubungi beberapa orang tokoh yang dianggapnya mampu untuk membantu perjuangannya. Berkat bantuan Tuanku Mahmud, keluarga Sultan Aceh, ia berhasil menghubungi Panglima Polim. Tokoh yang sudah putus asa ini tidak bersedia menerima sembarang orang, namun akhirnya bersedia membantu Mohammad Saman. Ia berjanji akan memerintahkan para ulubalang agar mereka membantu perjuangan, atau sekurang-kurangnya tidak menghalangi rencana Saman. Selain itu dihubunginya pula tokoh lain yang menjanjikan akan memberikan bantuan keuangan.

Pembentukan Angkatan Perang Sabil

Tindak selanjutnya oleh Mohammad Saman ialah mengumpulkan pejuang-pejuang yang masih ada dan tersebar di beberapa tempat. Dengan kekuatan itu ia membentuk sebuah angkatan perang yang dinamakan Angkatan Perang Sabil. Diumumkannya bahwa perang yang akan dilancarkan adalah Perang Sabil melawan kaum kafir.

Di sekeliling Mereu didirikan benteng-benteng pertahanan. Senjata-senjata dikumpulkan dan diangkat pula orang yang akan mengepalai tiap-tiap pasukan. Mohammad Saman pun mengundang Syekh Pante Hulu untuk membantunya. Syekh ini terkenal pandai membacakan syair karangannya sendiri yang berjudul “Hikayat Perang Sabil”. Isinya, anjuran agar rakyat berperang melawan kaum kafir. Orang yang tewas dalam perang itu akan diterima Tuhan di Surga. Pengaruh syair itu cukup besar dan mampu menggerakkan semangat rakyat.

Sementara itu, pada bulan April 1881, di Banda Aceh dilangsungkan serahterima pimpinan penguasa Belanda dari van der Heyden, yang terkenal bertangan besi, kepada Pruys van der Hooven. Pejabat baru ini ingin menyelesaikan masalah Aceh secara damai. Sultan dibujuk agar mau menjadi raja di bawah perlindungan Belanda. Rencana itu ditentang oleh golongan militer, sedangkan pemerintah di Jakarta tidak pula bersedia menambah biaya perangnya.

Dalam laporan Pruys van der Hooven tanggal 10 Mei 1881, dikatakannya bahwa keadaan di Aceh cukup tenang. Laporan itu membuktikan, bahwa Belanda tidak mengetahui samasekali adanya persiapan-persiapan di sekitar Mereu. Dalam bulan itu pula pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda di Lam Baro dan kemudian benteng Belanda di Indrapuri pun direbut oleh Angkatan Perang Sabil. Belanda terkejut, sedang anak buah Syekh Mohammad Saman tambah bersemangat. Sesudah merebut Indrapuri, mereka melanjutkan serangan ke Samahani yang berhasil mereka kuasai pada akhir tahun 1881. Sesudah itu menyusul benteng Aneuk Galong. Dengan jatuhnya benteng ini, berarti Belanda sudah jauh mundur ke tengah Aceh Besar.

Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel), yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya. Daerah Aceh yang mereka kuasai saat itu tinggal kira-kira empat kilometer persegi.

Syekh Mohammad Saman merencanakan sehingga pada akhir tahun 1883, Belanda sudah terusir dari bumi Aceh. Rencana itu tidak tercapai, namun dalam tahun 1883 itu, sebagian besar daerah Sagi XXII dan Sagi XXV dapat dibersihkan dari pasukan Belanda, sehingga jalan ke Ulehleh terbuka. Belanda mundur dari Aneuk Galong ke Lambaro, dari Sagi XXVII mundur ke Lamyong dan dari Sagi XXV mundur ke Keutapang. Karena kemajuan-kemajuan pasukan Sabil itu, maka Belanda lalu membuat garis konsentrasi atau batas yang kuat untuk menahan serangan rakyat. Garis konsentrasi yang terbentang dari Kuta Pahama hingga Keutapang Dua diperkuat sedemikian rupa hingga barisan Sabil tidak sanggup menembusnya.

Penyerangan ke Banda Aceh

Kekuatan Angkatan Perang Sabil telah menjadi kekuatan yang nyata dan yang harus diperhitungkan Belanda dengan sungguh-sungguh. Sementara itu Haji Saman merubah siasatnya dengan maksud menyerang langsung Banda Aceh.

Pada tanggal 12 Juni 1882 pasukan rakyat dipecah menjadi tiga bagian dan digerakkan ke Ulehleh, ke Lok Ngha dan di Lamtong. Dari tiga jurusan itulah Banda Aceh akan diserang, tetapi Belanda mengetahui rencana itu. Mereka lalu mengerahkan kekuatan besar untuk menghadang barisan rakyat. Pertempuran sengit berkobar dan Haji Saman terkepung di Gle Tarom. Waktu pasukan Mayor Rheumpol mau menjebaknya, Haji Saman dan pasukannya telah berhasil melarikan diri ke Krueng Pinang. Pasukan Belanda lalu menyerang Pulau Breuh, namun mengalami kekalahan. Seluruh pasukan dan komandannya tewas. Kemudian dikirim bantuan di bawah komando Kapten Segov, tetapi barisan Haji Saman sudah meninggalkan pulau itu.

Serangannya atas Kutaraja tidak berhasil. Karena kewalahan, maka Belanda merubah siasat dengan memecah belah dan menghasut. Teuku Aris diangkat menjadi panglima perang untuk menghadapi Teungku Cik di Tiro, tetapi usaha itu tidak berhasil sama sekali.


Sultan pun dihasut. Kepada Sultan dikatakan, bahwa ia tidak berkuasa lagi. Teungku Cik di Tiro-lah yang menguasai rakyat. Sultan termakan oleh hasutan itu dan dalam bulan April 1884 ia mengeluarkan maklumat, bahwa dia masih menjadi Sultan yang berkuasa. Dalam bulan Agustus 1884, Haji Muhammad Saman terpaksa membuat pengumuman, bahwa ia tidak bermaksud menduduki singgasana kasultanan, tetapi ia berjuang untuk mempertahankan agama Islam dan mengusir “kafe Belanda”. Pesan demikian pun sampai kepada Sultan, hingga Sultan Daud Syah akhirnya menyadarinya.

Dalam tahun 1885 Cik di Tiro mencatat kemenangan dengan berhasil merebut benteng Aneuk Galong. Benteng di Lambaro yang jaraknya hanya 8 km dari Banda Aceh diserang pula, namun tidak berhasil. Tentara Belanda mundur ke benteng-bentengnya dan tak berani keluar. Banda Aceh dipertahankan dengan sistem benteng-berbenteng, yaitu membangun benteng berlapis-lapis. Untuk merebut Banda Aceh, pasukan Sabil harus merebut beberapa benteng yang dipertahankan sekuat-kuatnya.

Haji Saman lalu menentukan siasat lain. Jalan-jalan ke Banda Aceh ditutup. Rakyat dilarang masuk kota. Rakyat dilarang memasukkan makanan. Di samping itu beberapa pasukan berani mati disusupkan sehingga di dalam kota terjadi beberapa kali orang mengamuk dan membunuh Belanda.

Pada bulan Desember 1885 Pasukan Cik di Tiro mendarat lagi di Pulau Breuh dan Kuala Cangkul untuk menyerang Banda Aceh, namun kali ini pun gagal lagi. Pada tahun 1887, Syekh Saman terpaksa meninggalkan medan perjuangan dan pulang ke Tiro karena paman sekaligus gurunya yang amat mencintainya, Teungku Cik Dayah Cut, pulang ke rakhmatullah. Ia berziarah ke makamnya dan kemudian kembali ke garis depan pertempuran. Dengan meninggalnya pamannya itu, Haji Saman berhak sepenuhnya menyandang gelar Teungku Cik di Tiro.

Siasat Licik Belanda

Tampaknya Belanda tak mungkin mematahkan perlawanan Cik di Tiro dengan kekuatan senjata. Pahlawan Aceh ini hanya mau berdamai bilamana semua orang Belanda masuk Islam. Persyaratan itu dimanfaatkan pula oleh Belanda. Beberapa orang Belanda menghadap Teungku Cik di Tiro untuk menyatakan bersedia masuk Islam, tetapi sebenarnya mereka itu semata-mata datang untuk memata-matai keadaan kekuatan Angkatan Perang Sabil. Teungku Cik di Tiro menjadi marah setelah mengetahui siasat licik itu. Di puncak kemarahannya ia berkata: “Saya mau membunuh semua orang Belanda yang ada di negeri ini.”

Mendengar ancaman itu Belanda menjadi ngeri. Dengan segala daya upaya mereka mengadakan pendekatan sambil mengurung diri dalam benteng-bentengnya. Sementara itu, pada tahu 1884, Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye ke Mekah dengan menyamar sebagai dokter mata dan tukang potret bernama Abdul Gafur. Tugasnya mengumpulkan sebanyak-banyak bahan tentang orang-orang Aceh di luar negeri dan mencari hubungan dengan sebanyak mungkin pihak Aceh dan pihak kaum jemaah untuk dapat melemahkan semangat perang di Aceh.

Sepulangnya dari Mekah, pada tahun 1885, ia diangkat menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda. Penyamarannya itu menghasilkan tiga buah buku yang dipakai Belanda sebagai pedoman dalam menghadapi orang Aceh, yaitu buku-buku:

1). Het Mekaansche feest
2). De Atjehers
3). Nederland en de Islam

Dengan segala macam cara Belanda pun mengadakan pendekatan, sebab orang-orang Aceh tidak dapat dihadapi dengan perang saja. Sultan didekatinya hingga ia bernafsu mengadakan perdamaian dengan Belanda dan mencoba mempengaruhi Teungku Cik di Tiro, namun Panglima Sabil itu tetap tidak bersedia dan berkata, “Damai berarti kalah.” Teungku Cik di Tiro tegak tegap seperti baja yang tak dapat ditundukkan oleh apa dan siapa pun. Terhadap orang kuat itu Belanda yang merasa kewalahan akhirnya mencari muslihat secara licik, yaitu “siasat liuk” dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Mereka menemukan orang yang berambisi menjadi kepala Sagi XXII Mukim. Kebetulan kepala Sagi saat itu, Panglima Polem Raja Kuala, sudah berusia lanjut.

Teungku Cik di Tiro Wafat

Pengkhianat itu meminjam tangan orang lain untuk melaksanakan pembunuhan. Waktu Teungku Cik di Tiro datang di benteng Tui Suilemeng ia pergi ke masjid. Di sana ia dijamu oleh Nyak Ubit, seorang wanita yang diperalat calon pengganti kepala Sagi XXII untuk meracuni Panglima Besar Angkatan Perang Sabil. Nyak Ubit menghidangkan kepada Teungku makanan yang sudah dicampur racun. Setelah memakan hidangan itu tanpa curiga, Teungku Cik di Tiro merasa sakit. Ia dibawa ke benteng Aneuk Galong untuk diobati, namun nyawanya tidak tertolong. Teungku Cik di Tiro wafat pada bulan Januari 1891. Tidak lama kemudian Panglima Polim Raja Kuala pun meninggal dunia. Dengan wafatnya 2 orang pemimpin yang amat kuat dan fanatik itu. Aceh kehilangan tokoh perjuangannya.

Perjuangan Aceh padam sementara waktu hingga tampilnya Teuku Umar di medan perjuangan dengan sama-sama gigihnya, namun berbeda caranya. Teungku Cik di Tiro pada hakekatnya tidak terkalahkan oleh Belanda. Wafatnya disebabkan cara Belanda yang licik dan keji. Perjuangan dan jasa-jasanya tercatat dalam sejarah sepanjang masa. Sebagai salah satu pejuang pertama dari Nanggro Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia yang banyak melahirkan pahlawan, keteguhan pendirian dan kegigihan perjuangan yang ditunjukkan Cik di Tiro ini sangat memberi dorongan dan teladan pada pejuang-pejuang yang lahir belakangan seperti, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia dan lain sebagainya, bahkan kepada generasi penerus hingga sekarang ini.

Pemerintah RI menganugerahi Tengku Cik di Tiro gelar Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan berdasarkan SK Presiden RI No. 87/TK/Tahun 1973 tanggal 6 Nopember 1973. Yang menjabat sebagai Presiden RI ketika itu adalah HM Soeharto.

Bukti Perjuangan

Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. Bukti kehebatan beliau dapat dilihat dari banyaknya pergantian gubernur Belanda untuk Aceh semasa perjuangan beliau (1881-1891) sebanyak 4 kali [1], yaitu:

1). Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
2). Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
3). Henry Demmeni (1884-1886)
4). Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)

Lain-lain

1). Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.[2]

Di Jakarta namanya diabadikan sebagai nama jalan yang terletak di kawasan Menteng, menggantikan nama Jl. Mampangweg.
Referensi:

[1] Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman) : Pahlawan Besar dalam Perang Atjeh (1881-1891)
[2] Kyodo, Indonesia to reopen ties with Sweden following Aceh peace deal, 2 Januari 2006
[3] 'Album pahlawan Bangsa' cetakan ke 18. Penerbit PT Mutiara Sumber Widya
[4] 'Jejak-Jejak Pahlawan' edisi revisi II 2007. Disusun oleh J.B. Soedarmanta

Sumber artikel:

1). http://www.kumpulansejarah.com
2). http://www.tokohindonesia.com
3). http://www.jakarta.go.id

0 comments:

Posting Komentar