Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

Kerajaan Majapahit I

Rabu, 21 September 2016

Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1527 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kerajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Prabu Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389 M.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Budha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Nusantara bagian timur.

Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat ditemui di reruntuhan Majapahit, sehingga Surya Majapahit mungkin merupakan simbol kerajaan Majapahit.

Riwayat Raja-Raja Majapahit

1. Raden Wijaya (1294-1309) - Sejarah Berdirinya Majapahit

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Pada tahun 1289, ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa Kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa guna menghukum raja Singhasari, Kertanagara.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara dalam tahun 1292. Sedangkan Raden Wijaya yang merupakan menantu Raja Kertanegara berhasil melarikan diri bersama Aria Wiraraja ke Sumenep (Madura) dan di sana ia merencanakan strategi untuk mendirikan kerajaan baru. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Atas anjuran Arya Wiraraja juga, Raden Wijaya berpura-pura tunduk kepada Jayakatwang, sambil meminta sedikit daerah untuk dijadikan tempat wisata perburuan. Jayakatwang yang memang sangat gemar berburu tidak berprasangka apa-apa dan mengabulkan permintaan Raden Wijaya. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah "maja", dan rasa "pahit" dari buah tersebut.

Ketika pasukan Mongol mendarat di Tuban tahun 1293, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya hingga kalang-kabut. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson supaya dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing. Menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa pada tanggal 24 April 1293.

Nararya Sanggramawijaya (atau Raden Wijaya) kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardhana, yang pusat istananya di daerah Trowulan (sekarang di wilayah Kabupaten Mojokerto). Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.

Raden Wijaya dalam Prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Menurut Pararaton, Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa. Jadi, Raden Wijaya adalah keturunan keempat dari Ken Arok dengan Ken Dedes, pendiri Singhasari. Ia dibesarkan di lingkungan Kerajaan Singhasari.

Raden Wijaya kemudian menikah dengan empat puteri dari Raja Kertanegara, yaitu Tribuaneswari (Sri Parameswari Dyah Dewi Tribuaneswari), Narendraduhita (Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita), Pradjnya Paramita (Sri Jayendra Dyah Dewi Pradjnya Paramita), Gayatri (Sri Jayendra Dyah Dewi Gayatri) dan juga menikahi Dara Petak Sri Indreswari yang merupakan putri Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya.

Raden Wijaya dikenal sebagai raja yang tegas dan bijak. Aria Wiraraja yang banyak berjasa ikut mendirikan Majapahit, diberi daerah status khusus di Madura dan diberi wilayah otonom di Lumajang hingga Blambangan. Nambi (putera Arya Wiraraja) diangkat menjadi patih (perdana menteri), Ranggalawe diangkat sebagai adipati Tuban, dan Sora menjadi penguasa Daha (Kadiri). Dijadikannya Nambi sebagai patih membuat Ranggalawe tidak puas, karena ia merasa lebih berhak. Tahun 1295, Ranggalawe mengadakan pemberontakan, namun dapat dipadamkan.

Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura (dekat Blitar) dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa.

2. Jayanegara (1309-1328)

Tampuk kekuasaan Kerajaan Majapahit setelah Raden Wijaya mangkat jatuh ke tangan puteranya, Jayanegara (Pararaton menyebutnya Raden Kalagemet, yang berarti "penjahat lemah") bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara.

Jayanegara adalah putera Raden Wijaya dari Dara Petak yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Dyah Dara Petak Sri Indeswari adalah salah satu dari lima orang istri dari Raden Wijaya, dan hanya ia yang melahirkan anak laki-laki yang dicalonkan menjadi penerus Raden Wijaya sehingga ia diberi gelar Stri Tinuheng Pura yang artinya istri yang dituakan di istana.

Nagarakretagama menyebutkan bahwa Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam Prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.

Pada masa kekuasaan Jayanagara banyak terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Raden Wijaya. Hal ini disebabkan karena Jayanagara berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan keturunan Kertanagara murni. Penyebab lainnya ialah karena ketidakpuasan orang-orang kepercayaan Raden Wijaya yang menilai bahwa jasa yang mereka berikan ketika berjuang bersama Raden Wijaya dulu tidak sepadan dengan kedudukan yang mereka terima begitu Jayanegara naik takhta.

Tahun 1311 terjadi pemberontakan yang didalangi oleh Lembu Sora karena mendapat hasutan dari seorang pejabat Majapahit yang bernama Mahapati. Mahapati sebenarnya juga musuh dalam selimut bagi Raja Jayanegara, yang selalu membuat intrik dan konspirasi dalam Istana. Pemberontakan Lembu Sora dapat digagalkan pihak Istana.

Pararaton juga memberitakan pemberontakan oleh Juru Demung pada tahun 1313 dan Gajah Biru pada tahun 1314. Pemberontakan Nambi pada tahun 1316 di daerah Lumajang, dikarenakan ambisi ayahnya Aria Wiraraja agar Nambi menjadi raja. Sehingga meskipun Nambi sudah diberi kedudukan yang tinggi sebagai Patih istana, tetap saja ia memberontak. Dia bersama ayahnya sempat membuat pertahanan di Pajarakan, tetapi akhirnya dapat dihancurkan juga.

Tahun 1319, pemberontakan yang dipimpin Ra Kuti adalah pemberontakan yang paling berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Majapahit, sehingga Prabu Jayanegara beserta keluarganya terpaksa melarikan diri ke daerah Badander dikawal oleh pasukan Bhayangkari di bawah pimpinan Gajah Mada. Berkat ketangkasan dan siasat jitu dari Gajah Mada, serta didukung kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota, akhirnya kelompok Ra Kuti dapat ditumpas. Gajah Mada menyebarkan rumor sebagai siasat bahwa Raja Jayanegara telah wafat. Rumor ini mengakibatkan rakyat tak menyukai Ra Kuti, hingga akhirnya Kuti keluar dari istana yang kembali diduduki oleh Jayanegara. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan pada tahun 1321 M dan Patih di Daha (Kediri).

Pada tahun 1321 seorang pengembara misionaris Italia bernama Odorico da Pordenone mengunjungi pulau Jawa dan sempat menyaksikan pemerintahan Jayanagara. Ia mencatat pasukan Mongol kembali datang untuk menjajah Jawa, namun berhasil dipukul mundur oleh pihak Majapahit, dan saat itu Daratan Cina masih berada dibawah kekuasaan Dinasti Yuan atau bangsa Mongol. 

Namun hubungan antara Majapahit dengan Mongol kemudian membaik. Catatan dinasti Yuan menyebutkan pada tahun 1325 pihak Jawa mengirim duta besar bernama Seng-kia-lie-yulan untuk misi diplomatik. Tokoh ini diterjemahkan sebagai Adityawarman putra Dara Jingga, atau sepupu Jayanagara sendiri.

Dari Piagam Sidateka yang bertarikh 1323, diketahui Jayanagara menetapkan susunan Mahamantri Katrini dalam membantu pemerintahannya, yaitu sebagai berikut:

  • Rakryan Mahamantri Hino: Dyah Sri Rangganata
  • Rakryan Mahamantri Sirikan: Dyah Kameswara
  • Rakryan Mahamantri Halu: Dyah Wiswanata


Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, yang bernama Israna Ratanca (mpu Tanca). Ratanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.

Menurut Pararaton, Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan, gapura paduraksa Bajang Ratu kemungkinan besar adalah gapura yang tersisa dari kompleks Srenggapura. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi. (baca juga: Jayanagara)

3. Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)

Karena Jayanegara tidak memiliki putra, maka yang seharusnya menggantikannya sebagai penguasa Majapahit ialah ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi Ratu Majapahit yang ketiga, bergelar Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani.

Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara dari Singhasari, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwanatunggadewi.

Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi ialah Dyah Gitarja. Ia memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.

Dyah Gitarja menikah dengan Cakradhara bergelar Kertawardhana atau Bhre Tumapel, yang dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan adik perempuannya Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.

Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta didaerah Besuki pada tahun 1331. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai penghargaan atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih (setingkat perdana menteri) di Majapahit oleh Tribhuanatunggadewi menggantikan Mpu Naga.

Pada saat pelantikannya (1334), Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa dihadapan Ratu dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan Amukti Palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.

Tahun 1343, Majapahit berhasil menaklukkan Raja Pejeng (Bali), Dalem Bedudu, dan kemudian mencaplok Bali sebagai wilayah kekuasaan Majapahit. Tahun 1347, Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.

Kemudian Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa daerah di Semenanjung Malaka. Seperti yang tercantum dalam kitab Nagarakertagama, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat luas, yakni meliputi daerah hampir seluas wilayah Republik Indonesia sekarang.

Menurut Nagarakretagama, Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi turun takhta tahun 1350 bersamaan dengan wafatnya Gayatri, ibundanya. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk dan kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. (baca juga: Tribhuwana Wijayatunggadewi)

4. Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) - Puncak Kejayaan Majapahit

Tribhuanatunggadewi memerintah selama dua puluh dua tahun. Pada tahun 1350, ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara dan ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.

Hayam Wuruk adalah putera pasangan Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara yang lahir pada tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Nama Hayam Wuruk berarti "ayam yang masih muda". Hayam Wuruk naik tahta ketika berusia 16 tahun. Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Paduka Sori putri Wijayarajasa, Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.

Pada masa Prabu Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Dengan dukungan Mahapatih Gajah Mada, ia menaklukkan Logajah, Gurun Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Mengkasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo. Hanya sayang, akibat kesalahan langkahnya terutama dalam "Peristiwa Bubat", Gajah Mada dinonaktifkan sebagai patih pada tahun 1357. Namun diangkat lagi jadi patih tahun 1359.

Setelah Gajah Mada mangkat (1364), di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).
Bidadari Majapahit yang anggun,
arca cetakan emasapsara (bidadari surgawi)
gaya khas Majapahit menggambarkan
dengan sempurna zaman kerajaan
Majapahit sebagai "zaman keemasan"
Nusantara.

Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi kekuasaan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras. 

Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, perkembangan karya tulis sastra Jawa Kuno begitu diperhatikan. Kitab Sutasoma (yang memuat semboyan: Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa) digubah oleh Mpu Tantular, dan Kitab Nagarakertagama digubah oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365.

Tahun 1389, Prabu Hayam Wuruk meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Prabu Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.

5. Wikramawardhana dan Kusumawardhani (1389-1427)

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk (1389), Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikah dengan pangeran Wikramawardhana. Namun kekuasaannya ditentang oleh Wirabhumi, putera Hayam Wuruk dari selir yang juga menuntut haknya atas takhta.

Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana. Sedangkan  Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori.

Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja. Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya.

Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja. Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.

Rajasakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398, Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia.

Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram.

Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit. Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci.

Menurut Pararaton, Wikramawardhana kembali menjadi raja, karena Kusumawardhani meninggal dunia. Kusumawardhani dicandikan di Pabangan, bernama Laksmipura.

Pada tahun 1401 Wikramawardhana berselisih dengan Bhre Wirabhumi, saudara tiri Kusumawardhani. Perselisihan antara penguasa Majapahit Barat dan Majapahit Timur itu memuncak menjadi perang saudara tahun 1404, yang disebut Perang Paregreg. (baca juga: Perang Paregreg)

Pada tahun 1406 pasukan istana barat dipimpin Bhre Tumapel menghancurkan istana timur. Bhre Wirabhumi tewas di tangan Raden Gajah alias Bhra Narapati. Wikramawardhana kemudian memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir.

Perang Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat dan timur sibuk berperang.

Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre Tumapel sang putra mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian meninggalnya istri dan putra Bhre Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker. Wikramawardhana pun akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427 dan dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu. (baca juga: Wikramawardhana)

Pada akhir masa pemerintahan Wikramawardhana (1427), praktis wilayah jajahan Majapahit pecah berantakan. Wilayah Majapahit terbatas hanya di Jawa, bahkan hanya Jawa Timur. Setelah mangkatnya Wikramawardhana, riwayat Majapahit tak banyak diketahui.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430, ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.

6. Prabu Stri Suhita (1427-1447)

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1427, dan diteruskan oleh putrinya, Prabu Stri Suhita, yang memerintah pada tahun 1427 sampai 1447, bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Suhita ialah putri Wikramawardhana dari seorang selir, Bhre Daha yang juga putri kedua Bhre Wirabhumi.

Pada tahun 1433, Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi (kakeknya) dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati.

Nama Suhita juga muncul dalam kronik China dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat China di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.

Pada tahun 1437, Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Prabu Stri Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.

Karena tidak memiliki putra mahkota, Ratu Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.

7. Dyah Kertawijaya (1448-1451)

Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Istri Prabu Sri Kertawijaya bernama Dwarawati, seorang putri Campa (Kamboja) yang juga merupakan bibi Raden Rahmat (Sunan Ampel).

Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel. Kertawijaya wafat tahun 1451, dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan oleh putranya, Rajasawardhana.

8. Sri Rajasawardhana (1451-1453)

Setelah Dyah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja Majapahit yang kedelapan, bergelar Sri Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan (Kediri).

Ada pendapat yang mengatakan bahwa, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447). Dalam prasasti Waringin Pitu juga tertulis bahwa, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana.

Sementara itu, Rajasawardhana Sang Sinagara dalam Pararaton memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabhumi. Jika Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi belum lahir.

Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam berita China. Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke China.

Menurut Pararaton, sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453, Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu.

9. Girisawardhana (1456-1466)

Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Wengker(III) Girisawardhana (adik Rajasawardhana) dan Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya (anak sulung Rajasawardhana). Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja (telung tahun tan hana prabhu, kata Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.


10. Dyah Suraprabhawa (1466-1474)

Dyah Suraprabhawa adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474, bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Tokoh ini identik dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton dan tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa prasasti Pamintihan tahun 1473.

Pararaton tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabhumi. Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang dikeluarkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana wafat tahun 1474.

Girindrawardhana yang menjadi raja Majapahit tahun 1486 mengaku sebagai putra Singhawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam gelar abhiseka Singhawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu raja gunung.

Jadi, pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabhumi melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu.

Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabhumi adalah raja yang menggantikan Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik China dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi (diidentifikasi sebagai Brawijaya V adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478.

Setelah diusir oleh Brawijaya V, Suraprabhawa mendirikan istana "tandingan" yang berpusat di Tumapel (1468-1470), kemudian memindahkannya lagi ke Daha, Kediri (1470-1474). Di Daha, ia digantikan oleh puteranya, Girindrawardhana.

11. Brawijaya (1468-1478)

Pada tahun 1468, Bhre Kertabhumi (atau dikenal dengan Brawijaya V) memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit. Ia adalah putera bungsu Rajasawardhana yang mengklaim dirinya sebagai pewaris sah takhta Majapahit. Bhre Kertabhumi menyerang raja berkuasa Suraprabhawa, hingga memaksanya melarikan diri ke Kediri.

Brawijaya memiliki istri bernama Anarawati, puteri dari Kerajaan Champa (sekarang Kamboja), yang beragama Islam. Tahun 1478, Girindrawardhana (putera Suraprabhawa) menyerang istana Majapahit dan memaksa Raja Brawijaya melarikan diri ke Demak. Raja Brawijaya memiliki putra bernama Raden Patah, yang kelak adalah pendiri Kesultanan Demak.

Ketika Majapahit didirikan, pedagang muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berlandaskan ajaran Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai berdiri di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kerajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

12. Girindrawardhana (1478-1527)

Dyah Suraprabhawa memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kadiri) dan terus memerintah di sana hingga digantikan oleh putranya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478, Ranawijaya mengalahkan Bhre Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik internal kerajaan ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa.

Girindrawardhana adalah raja terakhir Majapahit, ia memerintah sejak tahun 1400 Saka (1478) di Daha. Waktu itu istana Majapahit di Trowulan dikuasai oleh Raja Brawijaya. Baru pada tahun 1478, ia menyerang Brawijaya dan kembali menguasai istana Majapahit. Tahun 1486, Girindrawardhana memindahkan istana Majapahit ke Kediri. Waktu itu Majapahit hanya tinggal puing-puing. Pada masa ini, penduduk Hindu Majapahit banyak yang eksodus ke Bali, seiring dengan semakin menguatnya Islam di Majapahit.

Tahun 1513, Girindrawardhana mengadakan kontak dengan Portugis. Ia juga beraliansi dengan Raja Klungkung (Bali) untuk menyerang Kerajaan Islam Demak, namun serangan tersebut gagal. Pendukungnya melarikan diri ke Bali. Riwayat Majapahit benar-benar tamat ketika Demak menyerang Kediri tahun 1527, dan menyatakan bahwa Sultan Demak, Raden Patah merupakan penerus Majapahit.

Jatuhnya Majapahit

Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 Saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau chandrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.

Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan Majapahit mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa Kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden Patah (kemudian menjadi Sultan Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra Raja Majapahit, Brawijaya V dengan seorang putri Champa.

Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal Kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.

Bibliografi

  1. Mulyana, Slamet (2006). Tafsir Sejarah Nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 122. ISBN 978-979-2552-546.
  2. Komandoko, Gamal (2009). Gajah Mada: Menangkis Ancaman Pemberontakan Ra Kuti: kisah ketangguhan seorang patih Majapahit dalam menjaga keutuhan takhta sang raja (dalam bahasa Indonesia). Penerbit Narasi. hlm. 122. ISBN 978-979-164-145-2.


Pranala luar

  1. Wikipedia: Majapahit
  2. Sejarah 2: SMA/MA Untuk Kelas XI, Semester 1 dan 2 Program Ilmu Pengetahuan Sosial / penulis, Tarunasena M; editor, Agus Mulyana; ilustrator, Tim Redaksi. - Jakarta: Pusat perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

0 comments:

Posting Komentar