Sisingamangaraja XII yang lahir tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, di sebuah tempat indah di tepian Danau Toba itu memiliki nama kecil Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Nama Sisingamangaraja sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu 'singa' dan 'mangaraja'. Naik tahta pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.[1]
Ayah Sisingamangaraja XII meninggal dunia akibat epidemi kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Sisingamangaraja II, gelar raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun.[2]
Sisingamanaraja XII sempat merantau ke Aceh guna menjalin persekutuan melawan Belanda. Oleh karena itu, ketika perang meletus, perjuangannya dibantu pasukan dari beberapa suku di Aceh. Ada yang menyebut Sisingamangaraja XII bekerjasama dengan Panglima Nali dari Kerajaan Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Kerajaan Aceh. Persekutuan itulah yang menyebabkan Aceh dan Tanah Batak sulit ditaklukkan Belanda.[3]
Penobatannya sebagai raja di negeri Toba tersebut bersamaan pula dengan dimulainya Open Door Policy (politik pintu terbuka) Belanda, dalam rangka mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.[1]
Asal-usul
Di awal abad ke-20, penduduk Batak Toba hidup berkelompok dengan marga-marga otonom. Setiap daerah diorganisasi secara teratur tidak jauh dari sumber air. Bius atau sistem irigasi menjadi basis pembagian otonomi.[5]
Setiap daerah atau clan otonom tersebut mempunyai raja. Sisingamangaraja adalah pemimpin (religius) yang paling disegani saat itu. Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.[1]
Sosok Kepribadian Sisingamangaraja XII
Sebagaimana dengan Sisingamangaraja I sampai XI, Sisingamangaraja XII dikenal sebagai orang yang anti perbudakan dan penindasan (yang memang masih lazim pada masa itu), ia sangat menghargai hak kemerdekaan hidup. Jika ia pergi ke satu desa (huta), ia selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.
Raja Sisingamangaraja XII pada pecahan uang kertas RI - Rp. 1000, emisi 1987. |
Dengan dasar itulah, ketika pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun 1883, Sisingamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang antara lain terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas juga bermata hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara mereka dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan dengan sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.
Raja Sisingamangaraja XII berjuang menentang kekuasaan Belanda di Tapanuli, Sumatera Utara. Dengan dukungan rakyatnya, tahun 1877 ia menyatakan perang kepada Belanda. Perang panjang pun berlangsung selama 3 dasawarsa yang bermula di Bahal Batu, Humbang dan berikutnya meluas di seluruh Tanah Batak bahkan Belanda mengerahkan pasukannya dari Singkil Aceh.[3]
Perang Tapanuli (1878-1907)
Bermula tahun 1837, setelah Belanda berhasil menang dalam Perang Padri dibawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol, itu merupakan awal untuk melapangkan jalan menguasai Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Perlahan Minangkabau jatuh juga, disusul Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus, dan kawasan Sibolga. Akibatnya, Tanah Batak terpecah menjadi dua, yaitu daerah yang telah direbut Belanda menjadi Gubernemen atau disebut Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden yang dipimpin seorang Residen di Sibolga dan secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Daerah yang belum ditaklukkan Belanda masuk wilayah Tanah Batak atau De Onafhankelijke Bataklandan atau Tanah Batak yang merdeka yaitu meliputi wilayah: Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, dan Samosir.
Pada masa pemerintahannya, kegiatan pengembangan agama Kristen oleh Nommensen dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak lama kemudian, kekuasaan kolonial Belanda mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia mulai mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi.
Pada tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Sisingamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bakkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.[1]
Pada tanggal 6 Februari 1878, pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah, pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu (dekat Truntung).
Pertempuran yang menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Sisingamangaraja mundur. Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan pasukan Sisingamangaraja masih tetap tinggi, terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige, selaku basis pasukan Sisingamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu.
Sebaliknya di pihak Belanda, dengan kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan Sisingamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.
Pada tanggal 14 Maret 1878, datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bakkara yang merupakan pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada tanggal 3 Mei 1878, seluruh Bakkara dapat ditaklukkan, namun Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun Bakkara telah ditaklukkan, Sisingamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.
Antara tahun 1883-1884, Sisingamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara offensif menyerang kedudukan Belanda, di antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883, serta Tangga Batu pada tahun 1884.[1]
Tahun 1883, Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan pasukan Sisingamangaraja XII di hampir seluruh Tanah Batak. Sisingamangaraja XII kemudian membalasnya dengan menyerang Belanda di Balige dari Huta Pardede menggunakan armada laut dari Danau Toba. Sekitar 40 kapal perang (solu bolon) yang panjangnya 20 meter dikerahkan, sehingga perang pun pecah dengan sengit.
Ekpedisi Toba 1878 |
Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Sisingamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi dimana selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda.
Pada kurun waktu itu, Sisingamangaraja XII tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan juga mengunjungi raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk kepada Belanda. Akibatnya, perlawanan oleh raja-raja terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Sisingamangaraja XII.
Sementara itu, Tentara Belanda di Aceh membentuk korps elit untuk melawan aksi militan. Korps revolusioner ini merupakan ide dari J.B. Heutsz dan islamolog C. Snouk Hurgronje. Tentara gerilya Aceh dan Batak diawasi oleh brigade yang terdiri dari maksimal 16 serdadu pribumi di bawah pimpinan komandan dari Eropa. Mereka dipersenjatai dengan karabin dan klewang. Brigade ini beroperasi amat cepat dan akurat. Posisi Aceh semakin terdesak dan perlawanan Aceh dapat dibendung oleh Tentara Hindia Belanda. Tanah Batak kembali menjadi daerah incaran kolonialisme mulai tahun 1904. Ekspedisi mereka di bawah pimpinan Van Daalen berakhir di Gayo dan Alas.[5]
Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan atas Tanah Batak oleh Gubernur Belanda, Van Daalen. Bahkan Sang Gubernur sendiri berjanji akan menyambut kehadirannya dengan seremonial tembakan meriam 21 kali. Akan tetapi, Sisingamangaraja XII menolaknya bahkan semakin gencar melakukan perlawanan. Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan.
Setiap tanah Batak yang mereka lewati dan diperkirakan membahayakan akan dibakar, dijarah dan dibunuh penduduknya. Raja Batak menjadi target terpenting mereka saat itu. Ekspedisi lainnya mulai merambah Pearaja, tempat persembunyian pemimpin perlawanan Bangso Batak itu. Sisingamangaraja XII harus bersembunyi lebih dalam lagi ke hutan belantara bersama keluarga dan pengikutnya.
Gugurnya Sisingamangaraja XII
Tentara Hindia Belanda di bawah pimpinan Hans Christoffel dilengkapi empat brigade bertolak ke kawasan Batak Toba di bulan Maret 1907. Brigade tersebut sebagian besar terdiri dari penduduk Jawa dan Ambon. Mereka ditugasi Christoffel untuk menangkap Sisingamangaraja XII, hidup atau mati.
Meskipun berperawakan kecil, Christoffel dikenal tegas, berani dan tidak mudah ditaklukkan. Selain itu, ia adalah penembak jitu dan berpengalaman melawan gerakan kontra gerilya. Tanpa membuang waktu, ia bersama brigadenya segera menyusuri daerah pesisir barat Danau Toba dan pegunungan di Pusuk Buhit.
Kondisi alam di sana sukar dan dipenuhi jurang dalam serta bukit terjal. Dalam waktu singkat, Christoffel berhasil mengumpulkan informasi mengenai tempat persembunyian Sisingamangaraja. Taktik search-and-destroy Christoffel berakibat tertangkapnya Boru Situmorang dan beberapa anaknya, namun Sisingamangaraja belum dapat disentuh oleh Christoffel. Sampai akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907, salah satu brigade dari Christoffel bertatap muka langsung dengan Sisingamangaraja di dekat sebuah jurang di daerah Parlilitan.[5]
"Ahu Singamangaraja," teriaknya. (Akulah Singamangaraja)
Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini memilih lebih baik mati daripada menyerah.
Singamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907 (pada usia 62 tahun) dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir bukit Aek Sibolbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon (Disebut Si Onom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu, yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun), sekarang perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi.[1] Sebuah peluru menembus dadanya, setelah bertempur dalam jarak dekat dengan pasukan khusus Belanda yang dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel. Diceritakan bahwa Sisingamangaraja XII kebal peluru, namun ketika ia melihat putrinya, Boru Lopian (srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun) tewas tertembak, ia segera berlari merangkul putrinya. Ternyata darah Putri Lopian melumuri badan Raja Sisingamangaraja. Padahal ia berpantang kena darah untuk memelihara kesaktiannya. Dengan demikian kesaktian Raja Sisingamangaraja XII pudar dan dapat ditembak oleh Belanda. Maka Sisingamangaraja XII pun gugur bersama dua orang putranya yang lain yaitu Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung.
Jenazah Sisingamangaraja diusung berkeliling desa supaya rakyat tahu raja mereka telah tiada (Ini taktik Belanda untuk menjatuhkan moril Bangso Batak, supaya lebih mudah dikalahkan dan dijajah). Sisingamangaraja XII dimakamkan oleh Belanda pada tanggal 22 Juni 1907 di sebuah garnisun di Tarutung. Belanda ingin menghindari tempat peristirahatan terakhir Sisingamangaraja menjadi semacam tujuan ziarah. Kemudian anak-anak Sisingamangaraja yang lain dibaptiskan oleh misionaris dari Rijn dan dikirim ke Jawa.[5]
Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Sopo Surung, Balige pada tanggal 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga. Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.
Selain dua putra dan putrinya yang juga gugur, tidak lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika melancarkan perang gerilya. Demikian halnya dengan sang Permaisuri Raja Sisingamangaraja XII, Boru Situmorang, juga telah lebih dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Sisingamangaraja XII, akibat keletihan bergerilya di tengah hutan.
Bahkan, Pulo Batu, cucu yang sangat disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya. Raja Sisingamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya kelak.
Raja Sisingamangaraja XII gugur tertembak ketika berhadapan dengan pasukan Kapten Christoffel, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga negara Belanda.
Kapten Christoffel inilah yang melaporkan gugurnya Raja Sisingamangaraja XII di Tanah Batak kepada Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang -red). Piso Gaja Dompak waktu itu diberi tanda nomor 13425.
Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa kalangan anggota keluarga Raja Sisingamangaraja XII mengklaim, bahwa Piso Gajah Dompak yang sebenarnya masih disimpan oleh anggota keluarga. Sementara yang lain mengatakan bahwa salah seorang dari pihak boru (pihak dari anak perempuan) yang menyimpannya. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu telah menghilang ke langit.
Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm, dengan pegangan yang menyerupai patung gajah. Menurut keluarga Sisingamangaraja dan berdasarkan hasil penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Sisingamangaraja I, yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari pemerintahan Raja Sisingamangaraja I sampai ke XII.
Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Sisingamangaraja XII sendiri. Tapi walaupun Sisingamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Sisingamangaraja XII sendiri.
Di hati rakyat sudah tumbuh semangat kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti yang sudah ditanamkan oleh Sisingamangaraja XII. Namun perlawanan rakyat itu tidak lagi sebesar perlawanan yang dipimpin Sisingamangaraja XII, sebab Belanda sudah semakin banyak menguasai kampung-kampung. Di samping itu, pemimpin perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa menyamai Sisingamangaraja XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di Tapanuli bahkan dari Aceh.
Saat Sisingamangaraja XII memimpin, daerah Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903 masih belum bisa dikuasai Belanda. Namun sepeninggalnya Sisingamangaraja XII, Sumatera Utara bagian pedalaman akhirnya berhasil dikuasai Belanda. Sejak itu, lengkaplah seluruh wilayah Nusantara menjadi daerah jajahan Belanda, sebab Sumatera Utara bagian pedalaman merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda.
Perlawanan rakyat Sumatera Utara yang pecah sejak tahun 1878 itu, akhirnya berakhir. Sejarah mencatat, Sisingamangaraja XII gugur ketika Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz menjadi pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah kolonial di Nusantara, sedangkan Gubernur Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.
Kontroversi Agama Sisingamangaraja XII
Agama yang dianut oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak. Namun sudah sejak zaman Belanda terdengar isu bahwa menjelang tahun 1880-an Sisingamangaraja XII memeluk agama Islam. Yang pertama menyebarkan desas-desus bahwa Sisingamangaraja XII telah menjadi seorang muslim adalah para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft). Mereka tiba pada kesimpulan tersebut karena pada saat itu Sisingamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan pihak Aceh. Hal itu dilakukannya karena ia mencari sekutu melawan para penginjil RMG yang pengaruhnya di Silindung menjadi semakin terasa dan tengah menjalin hubungan erat dengan pemerintah dan tentara Belanda. Namun alasan utama para misionaris RMG menyebarkan isu bahwa Sisingamangaraja telah menjadi seorang muslim adalah untuk meyakinkan pemerintah Belanda untuk menganeksasi (mengambik paksa) Tanah Batak. Atas permintaan penginjil RMG, terutama I.L. Nommensen, tentara kolonial Belanda akhirnya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara dan memasukkan Toba dan Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda.[1]
Kontroversi perihal agama Sisingamangaraja hingga kini tidak pernah reda. Juga sesudah wilayah Batak menjadi bagian dari Hindia-Belanda desas-desus bahwa Sisingamangaraja XII memeluk agama Islam tidak pernah berhenti, sampai ada yang menulis bahwa
"Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren"
"Menurut laporan dari penduduk maka sang raja sekitar lima tahun yang lalu memeluk agama Islam, namun ia tidak menjadi seorang Islam fanatis dan tidak berusaha untuk meyakinkan rakyat supaya turut menggatikan agamanya."
Kemudian dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan), maka Letnan L. van Vuuren dan Berenschot pada tanggal 19 Juli 1907 menyatakan,
"Dat het vaststaat dat de oude S.S.M. met zijn zoons tot den Islam waren overgegaan, al zullen zij wel niet Mohamedanen in merg en been geworden zijn"
"Bahwa sudah pasti S.S.M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keIslaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya."
Selain laporan oleh para misionaris Jerman dan oleh koran-koran Belanda, petunjuk lainnya bahwa Singamangaraja XII beralih agama ke agama Islam antaralain:
- Singamangaraja XII tidak makan babi;
- Pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Sisingamangaraja dalam gambar kelewang, matahari dan bulan; dan
- Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).
Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Sisingamangaraja XII yang tidak boleh makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Sisingamangaraja sebelumnya. Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam melainkan juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu. Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat terpengaruh ajaran agama Hindu.
Untuk butir 2, kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam. Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Sisingamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia meminjamkan lambang yang juga digunakan oleh para raja Melayu.
Khususnya untuk butir 3, cap Sisingamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok. Selain sebuah teks yang memakai surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi; Inilah cap maharaja di negeri Toba kampung Bakkara nama kotanya Hijrat Nabi 1304. Sedangkan dalam aksara Batak pada cap itu tertulis Ahu ma sap tuan Si Singamangaraja tian Bangkara, artinya "Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara." Berdasarkan analisis empat cap Sisingamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada kesimpulan bahwa keempat cap Sisingamangaraja masih relatif baru, dan diilhami oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatera sehingga sangat masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar capnya dapat dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar.[1]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Sisingamangaraja XII telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya Sisingamangaraja XII memang memeluk agama Islam maka pasti ia akan menghimbau agar rakyatnya juga memeluk agama Islam. Laporan para penginjil seperti I.L. Nommensen bahwa Sisingamangaraja telah memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk mendiskreditkan Sisingamangaraja dan untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda.
Bendera Kerajaan Sisingamangaraja
Arti gambar-gambar dalam bendera kerajaan Sisingamangaraja XII:
- Warna putih menggambarkan Partondi Hamalimon yakni mengambarkan tentang agama (Beriman Suci).
- Warna merah merah disebut Parsinabul Dihabonaran adalah berarti menjunjung tinggi kebenaran, atau pembela keadilan dan kebenaran.
- Disebut Sirungnungi na dapot bubu adalah pisau kembar menggambarkan keadilan sosial, juga melepaskan yang terpasung dan memerdekakan yang tertindas.
- Bulat warna putih mengambarkan Mataniari Sidompahon adalah matahari yang tidak bisa ditentang yang menggambarkan kekuasaan Sisingamangaraja.
- Belapan sudut ini mengambarkan delapan penjuru angin (desa Naualu) dukungan dari delapan desa.[4]
Peninggalan
Anda dapat menyusuri jejak sejarah Sisingamangaraja XII dengan mengunjungi Istana Sisingamangaraja yang sudah berumur 103 tahun di Kecamatan Bakti Raja, Humbang Hasundutan. Di areal seluas 100 x 100 meter itu, berdiri istana yang meliputi tiga buah rumah adat, yaitu rumah bolo, sopo parsaktian dan sopo bolon. Ada juga bangunan peninggalan sejarah berupa tempat pemujaan dan lainnya. Temukan juga Batu Siungkap-ungkapan atau Batu Panungkunan Boni di sekitar Istana Sisingamangaraja. Posisinya tepat di sebelah kiri pintu masuk istana. Menurut cerita masyarakat setempat, batu itu digunakan sebagai tempat petani meminta petunjuk untuk waktu turun ke sawah sehingga diharapkan nantinya hasil panen dapat baik dan melimpah.[3]
Terdapat juga Tapak Kaki Gajah Raja Sisingamangaraja dimana menurut cerita masyarakat setempat, Raja Sisingamangaraja menunggangi seekor gajah dan pada titik tertentu, gajahnya menginjak tanah lalu mengakibatkan keluar air. Sampai saat ini air tersebut masih dipercaya oleh sebagian masyarakat (yang masih musyrik -red) dapat membawa berkah dan mengobati berbagai macam penyakit.
Di Desa Bakkara, Kecamatam Bakti Raja, Kabupaten Humbanghasundutan, ada banyak peninggalan Raja Sisingamangaraja. Tempat tersebut sangatlah indah, sejuk dan nyaman. Ada juga Gua Tombak Sulu-sulu yang dulunya adalah tempat menenun ibu Raja Sisingamangaraja XII dan sempat menjadi tempat persembunyian Sisingamangaraja dan pengikutnya saat dikejar pasukan Belanda. Lokasi gua tersebut sekira 500 meter dari perkampungan terdekat.
Di Desa Sinambela, Kecamatan Bakti Raja, ada sebuah pohon hariara yang dipercaya masyarakat setempat sebagai tongkat Raja Sisingamangaraja yang ditancapkan di tanah lalu tumbuh menjadi sebuah pohon. Pohon besar itu tingginya 50 meter dengan diameter 5 meter dan usianya sudah ratusan tahun. Pohon hariara adalah sejenis pohon beringin dan banyak terdapat di Pulau Samosir.[3]
Monumen Nasional Raja Sisingamangaraja XII di Medan. |
Referensi:
[1] Wikipedia ID: Sisinganmangaraja XII
[2] TokohIndonesia.com: Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan
[3] www.IndonesiaTravel: Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak
[4] Wikipedia ID: Bendera Kerajaan Dinasti Sisingamangaraja XII
[5] Napitupulu-Sipakko.blogspot.com: Hutan Tele Samosir - Sitor Situmorang
[2] TokohIndonesia.com: Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan
[3] www.IndonesiaTravel: Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak
[4] Wikipedia ID: Bendera Kerajaan Dinasti Sisingamangaraja XII
[5] Napitupulu-Sipakko.blogspot.com: Hutan Tele Samosir - Sitor Situmorang
8 comments:
terimakasih sob buat infonya dan salam kenal
ok bos infonya dan sangat menarik
makasih gan infonya dan semoga bermanfaat
ok sob infonya dan salam kenal
keren mas buat infonya da semoga bermanfaat
bagus sob artikelnya dan menarik
makasih gan buat infonya dan salam sukses selalu
Slot Machines Casino in Las Vegas - Mapyro
Slots 양주 출장샵 can 양산 출장마사지 be enjoyed at casinos 성남 출장샵 around the world. Read on to find out 경상남도 출장안마 where to play, and which slot machines have the best 수원 출장마사지 odds.
Posting Komentar