Oleh: Sarah Paradiska
Pada masa penjajahan, Ki hajar Dewantara memiliki cara yang berbeda untuk melawan. Rasa bosan dan muak berada di bawah jajahan bangsa lain menciptakan suatu perasaan yang mendorong Ki Hajar Dewantara untuk berupaya menemukan alat lain untuk berjuang. Kepiawaiannya dalam menulis dimanfaatkan sebagai wadah aspirasinya pada masa itu. Tulisan yang dikaryakan oleh Ki Hajar Dewantara merupakan tulisan aspiratif, komunikatif dan tajam. Dari tulisan-tulisan ini, Ki Hajar Dewantara menanamkan sikap patriotik pada pemuda Indonesia. Keberadaannya sempat dianggap mengancam berlangsungnya pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu, sehingga Ki Hajar Dewantara sempat diasingkan ke beberapa tempat hingga akhirnya diasingkan ke negeri Belanda.
Saat diasingkan ke Belanda, hal tersebut beliau manfaatkan sebagai ajang mencari informasi dan ilmu. Hingga suatu saat Ki Hajar Dewantara pulang ke tanah air dengan mengantongi ilmu dan ijazah resmi dari Belanda. Sejak saat itu, perjuangan Ki Hajar Dewantara berlanjut dalam bidang pendidikan. Pemikirannya timbul bahwa ilmu merupakan senjata terbaik untuk melawan penjajahan. Akhirnya bersama beberapa rekannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa. Sebuah lembaga pribumi yang bergerak dibidang pendidikan. Tidaklah ringan perjuangannya dalam memperjuangkan keeksistensian Taman Siswa.
Selama mengelola perguruan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga masih giat menulis. Pada masa sebelumnya, tulisannya terfokuskan pada peningkatan rasa nasionalisme, akan tetapi setelah berdirinya Taman Siswa fokusnya beralih pada pendidikan dan kebudyaan. Melalui tulisan, Ki Hajar Dewantara memberi "propaganda" tentang pentingnya pendidikan bagi pemuda Indonesia.
Melalui tulisannya pula, Ki Hajar Dewantara mencoba menanamkan tiga gagasan besar sepanjang sejarah pendidikan Indonesia. Tiga semboyan itu adalah "Tut Wuri Handayani" (dari belakang memberikan dorongan dan arahan), "Ing Madya Mangun Karsa" (di tengah menciptakan prakarsa dan ide), dan "Ing Ngarsa Sung Tulada" (di depan memberi teladan atau contoh tindakan baik).
Ing ngarsa sung tulada berarti di depan memberi teladan dan contoh yang baik. Hal ini diibaratkan seorang pendidik harus memberi contoh yang baik bagi semua muridnya. Bila ditelisik, sebenarnya semboyan ini berlaku secara universal dan bukan hanya pada dunia pendidikan. Memaknai gagasan tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara, yang pasti Ki Hajar Dewantara yakin bila berhasil direfleksikan maka akan terbentuk susunan kepribadian yang kuat.
Menjadi teladan bukan sebatas kewajiban pemimpin. Setiap orang harus berusaha menjadi teladan, paling tidak untuk dirinya sendiri. Teladan diasumsikan sebagai contoh, pedoman. Akan tetapi bila ditarik lebih jauh, makna teladan bisa lebih jauh dari pada sekedar sebagai contoh. Dengan membiasakan diri sebagai teladan, semua tindak-tanduk akan menjadi waspada. Waspada bukan berarti takut mencoba dan selalu diliputi rasa khawatir. Waspada dalam konteks ini adalah bagaimana seseorang dapat memperhatikan ucapan, perbuatan serta pola pikirnya. Pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna, pasti ada sisi baik dan sisi buruk.
Ing madya mangun karsa artinya memberi prakarsa atau ide. Bila di adaptasi dalam kehidupan modern, mungkin yang dimaksud dinamisator. Seseorang yang mencoba membuat segalanya menjadi dinamis. Pada bagian ini manusia dituntut untuk menciptakan suatu situasi kondusif agar tercipta sebuah perkembangan dalam segala hal. Bila dikaji lebih jauh, dinamisator harus mampu menjadi kawan sejalan. Kawan sejalan adalah seseorang yang memberikan sumbangsih terbaiknya untuk menciptakan kepribadian yang kuat. Tidak perlu terlalu jauh mengumpamakan orang lain. Seperti yang dikatakan sebelumnya segala sesuatu yang dimulai dari dalam diri lebih berkhasiat. Manusia dinamisator memegang peran untuk memberikan hasil pemikirannya. Hasil pemikiran yang baik dapat menghantarkan pada hal yang positif. Hal yang menjadi kendala adalah terkadang seseorang tersumbat kemampuannya dikarenakan masalah internal ataupun eksternal. Sedangkan disisi lain dinamisator dituntut selalu menjadi kawan sejalan yang selalu mampu menjadikan situasi menjadi kondusif. Kembali lagi, segala langkah yang akan diambil harus dibarengi dengan niat yang baik serta tulus. Niat yang tulus hanya dapat dilakukan bila seorang manusia dapat menyadari hakekat keberadaan dirinya.
Tut wuri handayani diartikan sebagai pemberi dorongan dari belakang. Letak dibelakang bukan bisa terlepas dari berbagai kewajiban, bukan hanya melihat jalannya suatu proses pendewasaan tanpa melakukan apapun. Pola pemaknaan seperti ini sangat salah adanya. Kewajiban yang harus ditanggung berupa kesadaran untuk selalu memberi dorongan baik secara moral, materi atau apapun itu. Sang pendorong harus merupakan motivator handal yang dapat menjadi pemberi motivasi maupun berperan sebagai pengasuh. Pengasuh disini artinya sebagai seseorang yang dapat menjaga, mendorong tanpa mengenal apapun situasi dan kondisi yang dialami bagian lain dari proses pendewasaan tersebut. Konsentrasi pengasuh harus tertuju hampir seluruhnya pada yang diasuh. Saat ketidakmampuan yang dimilki orang lain muncul, pemegang kewajiban ini harus selalu bersedia membantu dan memberi yang terbaik, agar ketidakberdayaan tersebut tidak berlangsung berlarut-larut.
Sebenarnya ketiga semboyan tersebut bukan merupakan elemen yang terpisah. Ketiganya seakan-akan memiliki hubungan erat satu sama lain. Bila direfleksikan secara seimbang maka akan terbentuk hasil perkembangan kepribadian yang utuh. Tampaknya sedikit sulit membayangkan hal tersebut dapat direalisasikan. Tampaknya seseorang yang dapat betul-betul menyeimbangkan ketiganya secara terus-menerus adalah orang yang sangat sempurna, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Akan tetapi, tahap awal cukup membayangkannya dan mencoba untuk merealisasikannya saja itu sudah sangat cukup baik.
Ditinjau lebih jauh, sebagai genarasi penerus bangsa, kita memiliki tanggung jawab melanjutkan perjuangan patriotisme seperti yang dilakukan Ki Hajar Dewantara. Pemaknaan terhadap ketiga pemikiran Ki Hajar Dewantara ini bisa dilakukan oleh siapapun, dan pemaknaannya pasti bertujuan positif, apapun makna yang tercipta setelah itu. Setelah memahami makna positif tersebut, hendaknya kita segera mengambil langkah selanjutnya berupa rencana merealisasikannya pada kehidupan sehari-hari. Mulailah dari organisasi terdekat yaitu diri sendiri secara pribadi.
Sumber: http://www.scribd.com/doc/12898328/Refleksi-Universal-Pemikiran-Ki-Hajar-Dewantara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar