1. Masjid Saka Tunggal (1288)
Masjid Saka Tunggal terletak di Desa Cikakak, kecamatan Wangon. Dibangun pada tahun 1288 sebagaimana terukir di Guru Saka (Pilar Utama) masjid. Tapi tentang pembuatan masjid ini lebih jelas ditulis dalam buku-buku kiri oleh para pendiri masjid ini, antara lain Kyai Mustolih. Tapi buku-buku ini telah hilang bertahun-tahun yang lalu. Setiap tanggal 27 rajab diadakan ziarah di masjid ini dan pembersihhan makam Kyai Jaro Mustolih.
Masjid ini terletak ± 30 km dari kota Purwokerto. Disebut "saka tunggal" karena pilar utama yang di gunakan sebagai penopang masjid ini hanya satu tiang (tunggal). Yang menurut bapak Sopani, salah satu pengurus masjid adalah bahwa pilar tunggal tersebut melambangkan ALLAH
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Di beberapa tempat terdapat hutan pinus dan hutan lainnya yang dihuni oleh ratusan monyet jinak dan ramah, seperti di Sangeh Bali.
2. Masjid Wapauwe (1414)
Masjid Tua Wapauwe (foto sekitar tahun 1900-1925). |
Hal lainnya yang bernilai sejarah dari masjid tersebut yakni tersimpan dengan baiknya Mushaf Al-Qur'an yang konon termasuk tertua di Indonesia. Yang tertua adalah Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yang selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan tanpa iluminasi (hiasan pinggir). Sedangkan Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada tahun 1590, dan juga tanpa iluminasi serta ditulis tangan pada kertas produk Eropa.
Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama Masjid Wapauwe. Sedangkan Nur Cahya adalah cucu Imam Muhammad Arikulapessy. Mushaf hasil kedua orang ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 dan 1995.
Selain Al-Qur'an, karya Nur Cahya lainnya adalah: Kitab Barzanzi atau syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw, sekumpulan naskah khutbah seperti Naskah Khutbah Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1407 M, sebuah falaqiah (peninggalan) serta manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
Kesemuanya peninggalan sejarah tadi, saat ini merupakan pusaka Marga Hatuwe yang masih tersimpan dengan baik di rumah pusaka Hatuwe yang dirawat oleh Abdul Rachim Hatuwe, Keturunan XII Imam Muhammad Arikulapessy. Jarak antara rumah pusaka Hatuwe dengan Masjid Wapauwe hanya 50 meter.
Masjid Wapauwe berada di daerah yang mengandung banyak peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter dari masjid ke arah utara, di tepi jalan raya terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda yang telah hancur akibat konflik agama yang meletus di Ambon pada tahun 1999 lalu. Selain itu, 50 meter dari gereja ke utara, berdiri dengan kokoh sebuah benteng tua "New Amsterdam". Benteng peninggalan Belanda yang mulanya adalah loji Portugis ini, terletak di bibir pantai ini dan menjadi saksi sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu melalui Perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646).
Masjid yang masih dipertahankan dalam arsitektur aslinya ini, berdiri di atas sebidang tanah yang oleh warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Letaknya di antara pemukiman penduduk Kaitetu dalam bentuk yang sangat sederhana. Konstruksinya berdinding gaba-gaba (pelepah sagu yang kering) dan beratapkan daun rumbia tersebut, masih berfungsi dengan baik sebagai tempat ber-shalat Jumat maupun shalat lima waktu, kendati sudah ada masjid baru di desa itu.
Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter. Tipologi bangunannya berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan asli pada saat pendiriannya tidak mempunyai serambi. Meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu.
3. Masjid Ampel (1421)
Masjid Ampel adalah sebuah masjid kuno yang terletak di kelurahan Ampel, kecamatan Semampir, kota Surabaya, Jawa Timur. Masjid seluas 120 x 180 meter persegi ini didirikan pada tahun 1421 oleh Sunan Ampel, yang didekatnya terdapat kompleks pemakakaman Sunan Ampel.
Masjid yang saat ini menjadi salah satu objek wisata religi di kota Surabaya ini, dikelilingi oleh bangunan berarsitektur Tiongkok dan Arab disekitranya. Disamping kiri halaman masjid, terdapat sebuah sumur yang diyakini merupakan sumur yang bertuah, biasanya digunakan oleh mereka yang meyakininnya untuk penguat janji atau sumpah.
4. Masjid Agung Demak (1474)
Masjid Agung Demak adalah salah satu mesjid tertua yang ada di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam ditanah Jawa yang disebut dengan Walisongo. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi.
Masjid Agung Demak juga telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO semenjak tahun 1995.
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Tiang ini konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat "Pintu Bledeg", bertuliskan Condro Sengkolo, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan Masjid Maha karya abadi yang karismatik ini dengan memberi prasasti bergambar bulus. Ini merupakan Condro Sengkolo Memet, dengan arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 ( satu ), kaki 4 berarti angka 4 ( empat ), badan bulus berarti angka 0 ( nol ), ekor bulus berarti angka 1 ( satu ). Bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana juga terdapat sebuah Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak.
5. Masjid Sultan Suriansyah (1526)
Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah masjid bersejarah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam. Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan Masjid Basirih. Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di tepian kiri sungai Kuin.
Masjid ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.
6. Masjid Menara Kudus (1549)
Masjid Menara Kudus (atau disebut juga sebagai Mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al Manar) adalah masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu dari Baitul Maqdis, Palestina sebagai batu pertama. Masjid ini terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.
7. Masjid Agung Banten (1552-1570)
Masjid Agung Banten th 1880 (lukisan Josias Cornelis Rappard) |
Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda China. Ini adalah karya arsitektur China yang bernama Tjek Nan Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.
Di masjid ini juga terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.
Masjid Agung Banten juga memiliki paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti masjid ini. Paviliun dua lantai ini dinamakan Tiyamah. Berbentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Hendick Lucasz Cardeel. Biasanya, acara-acara seperti rapat, dan kajian Islami dilakukan di sini.
Menara yang menjadi ciri khas sebuah masjid juga dimiliki Masjid Agung Banten. Terletak di sebelah timur masjid, menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas menara ini, pengunjung dapat melihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km.
Dahulu, selain digunakan sebagai tempang mengumandangkan azan, menara yang juga dibuat oleh Hendick Lucasz Cardeel ini digunakan sebagai tempat menyimpan senjata.
8. Masjid Mantingan (1559)
Masjid Mantingan adalah masjid kuno di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah. Masjid ini di dirikan pada masa Kesultanan Demak, terletak 5 km arah selatan dari pusat kota Jepara di desa Mantingan.
Masjid ini juga menyimpan peninggalan kuno sejarah Islam dan menjadi salah satu asset wisata sejarah di Jepara. Karena dahulunya Masjid Mantingan ini merupakan pusat aktivitas penyebaran agama Islam di pesisir utara pulau Jawa, sehingga dapat dipastikan mayoritas penduduk di desa Mantingan adalah pemeluk agama Islam dengan mata pencaharian berasal dari usaha ukir-ukiran.
Didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga dengan undak-undakannya. Semua di datangkan dari Makao. Bangunan atap termasuk bubungan bergaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru, sedang dinding sebelah tempat imam dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa, dan penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.
Di dalam kompleks masjid terdapat makam Sultan Hadiri, suami dari Kanjeng Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) dan adik ipar Sultan Trenggono, penguasa Demak yang terakhir. Selain itu terdapat pula makam Waliullah Mbah Abdul Jalil, yang disebut-sebut sebagai nama lain dari Syekh Siti Jenar.
9. Masjid Al-Hilal Katangka (1603)
Masjid ini dibangun pada tahun 1603 Masehi pada masa pemerintahan Raja Gowa ke 24, Aku Manga'ragi Daeng-Manrabbiakaraeng Lakiung, dengan gelar Sultan Alauddin I. Kemudian pada tahun 1605 Masehi, masjid ini dijadikan sebagai masjid kerajaan dengan nama Masjid Katangka.
Luasnya 174,24 meter persegi. Pada zamannya, masjid ini termasuk besar, mewah, dan dianggap penting karena konstruksinya terbuat dari batu bata. Hanya bangunan penting yang dibuat dari batu bata saat itu, seperti istana dan benteng. Fungsi utamanya tentu sebagai tempat ibadah. Setiap datang waktu salat, masjid ini ramai dipenuhi jamaah. Tetapi, ada beberapa makam di halaman masjid. Itu adalah makam para pemuka agama dan kerabat pendiri masjid. Khusus makam para pendiri masjid memiliki atap di atasnya berbentuk kubah.
Salah satu yang mencirikan masjid ini merupakan bangunan kuno adalah dindingnya. Dinding yang terbuat dari batu bata itu cukup tebal, mencapai 120 centimeter. Struktur atapnya mirip bangunan joglo. Memiliki empat tiang penyangga yang dalam arsitektur Jawa disebut soko guru. Hanya saja terbuat dari susunan batu, bukan kayu. Terdapat dua lapis atap. Atap bagian atas berbentuk segi tiga piramida dengan bahan dari genting. Masjid ini juga memiliki serambi sebagaimana umumnya masjid di Jawa.
Pengaruh kebudayaan China terlihat pada atap mimbar yang mirip bentuk atap klenteng. Di sekitar mimbar juga masih terpasang keramik dari China yang konon dibawa oleh salah satu arsiteknya yang berasal dari sana.
10. Masjid Tua Palopo (1604)
Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu yang berlokasi di kota Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu yang bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 Masehi.
Masjid yang memiliki luas 15 m² ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.
Arsitektur Masjid Tua Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang bersebati (melekat) dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam.
Ukuran bangunan utama Masjid Tua Palopo yaitu 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m, dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi di Jawa.
Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo atau candi-candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya.
Berbagai sumber - Wikipedia Indonesia
0 comments:
Posting Komentar