tag:blogger.com,1999:blog-81882739159599876192024-03-05T11:50:46.919+07:00Indonesia Tempo DoeloeKembali Mengenang Indonesia di Masa LaluKabilah Book Storehttp://www.blogger.com/profile/02663525296926907303noreply@blogger.comBlogger48125tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-5650820180107047232016-09-21T18:08:00.000+07:002016-09-21T18:08:15.090+07:00Kerajaan Malayapura<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlusIP-je5b4Hnhphdbj0Go-cm72RJZArO850-uzU2n7UP-NIf4J4sM_0wH5J13WEB92KaN-tQNPW9wZYpyCBHK-1VGQ710nGaT4I7RdTqB1bfZ-FXxXZ3qiyluQQw4w046y63WF2c_Os/s1600/463px-Amoghapasa_Padang_Roco_Inscription_Back.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlusIP-je5b4Hnhphdbj0Go-cm72RJZArO850-uzU2n7UP-NIf4J4sM_0wH5J13WEB92KaN-tQNPW9wZYpyCBHK-1VGQ710nGaT4I7RdTqB1bfZ-FXxXZ3qiyluQQw4w046y63WF2c_Os/s200/463px-Amoghapasa_Padang_Roco_Inscription_Back.JPG" width="154" /></a></div>
Malayapura merupakan salah satu dari kata-kata yang dipahatkan pada <i>Arca Amoghapasa</i> oleh <b>Adityawarman</b> pada tahun 1347. Dari kaitan terjemahan teks dari manuskrip tersebut, Malayapura dirujuk menjadi nama kerajaan Melayu yang diproklamirkan oleh Adityawarman di Dharmasraya. Dalam perjalanan sejarah kerajaan ini, Adityawarman kemudian memindahkan ibukotanya ke daerah pedalaman Minangkabau yang kemudian dikenal juga dengan Kerajaan Pagaruyung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut arti katanya, Malayapura terbentuk dari dua kata malaya dan pura, malaya identik dengan melayu sedangkan pura bermakna kota atau kerajaan, sehingga jika digabungkan bermakna Kota Melayu atau Kerajaan Melayu.<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Awal Sejarah</b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada abad XI nama kerajaan Malayu muncul dengan nama Malayapura dengan nama rajanya <b>Suryanaraya</b> yang bergelar Sri Maharaja. Nama Malayapura diketahui dari prasasti yang ditemukan di Ceylon (Srilanka), antara lain menyebutkan pembebasan Ceylon dari penjajahan <b>Rajendra Chola I.</b> Untuk selanjutnya kerajaan Malayu yang muncul pada abad XI dan seterusnya disebut Malayapura/Malayupura. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kerajaan Malayu tua pada sekitar 671 diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Sriwijaya</a> atau disebut pula kerajaan Suwarnabhumi sehingga pusat kerajaannya tergusur kearah pedalaman dan ibu kotanya yang lama di duduki oleh Sriwijaya. Dalam abad XI terjadi perubahan posisi antara Sriwijaya dengan Malayu. <i>Sejarah Dinasti Sung</i> masih mencatat bahwa raja Suwarnabhumi pada tahun 1028 bernama Se-Li-Tich-Hwa merupakan lafal dari nama <b>Sanggrama Wijaya Tungga Warman.</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara itu dalam persaingan dengan Dinasti Chola di India, pihak Dinasti Chola merasa dirugikan. Lalu pada tahun 1015 armada Rajendra Chola I menyerang Suwarnabhumi. Pada tahun 1025, Suwarnabhumi di serang lagi oleh Rajendra Chola I, dan peristiwa ini dicatat dalam <i>prasasti Tanjore</i> tahun 1031. Sejak tahun 1025, aktivitas Suwarnabhumi ada dalam pengawasan dinasti Chola dan ketika terjadi keresahan (pemberontakan) pada tahun 1067, <b>Raja Wirarajendra</b> menyerbu Suwarnabhumi. Kemudian pada tahun 1068, Raja Wirarajendra menempatkan anaknya yang bernama <b>Purnama Rajendra Kulothungga Chola I</b> sebagai raja Suwarnabhumi yang berpusat di Jambi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun raja Suwarnabhumi yang kalah dalam serangan tahun 1067, pindah kepedalaman dan mendirikan kerajaan baru yang disebut Malayapura. Lokasi Malayapura diduga tidak jauh dari <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2016/09/kerajaan-dharmasraya.html" target="_blank">Dharmasraya</a> yang nanti akan menjadi pusat kegiatan agama Budha, yang antara lain ditandai dengan penempatan arca Amoghapasa Lokeswara kiriman <b>Raja Kertanegara</b> dari <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2015/06/kerajaan-singhasari.html" target="_blank">Singhasari</a> pada tahun 1286 kepada raja Melayu Jambi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari <i>kronik Cina</i> juga diberitakan bahwa pada tahun 1079, raja yang memerintah di Suwarnabhumi bernama Rajendra Kulothungga. Nama Kulothungga tercatat dalam <i>prasasti Kanton</i> pada tahun 1079 dengan sebutan Ti-Hwa-Ka-Lo (lafal Cina dari Dewa Kala), nama Ti Hwa Ka Lo tercatat sebagai donator pada pembangunan sebuah kuli Budha aliran Tao yang bernama kuil Tienching mengenai prasasti Sriwijaya dari Kanton tahun 1079.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suwarnabhumi (Sriwijaya) telah kalah pada tahun 1067 dan menyingkir dari pusat kekuasaan yang ada di Jambi ke daerah pedalaman. Sedikitnya hingga tahun 1079 saat Raja Dewakala Kulotungga menjadi donator pembangunan kuil di Kanton, maka Suwarnabhumi dikuasai oleh Dinasti Chola dari India Selatan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terjadinya pendudukan terhadap Kerajaan Suwarnabhumi sejak 1067-1079 telah menjadikan Kerajaan Suwarnabhumi musnah. Pewaris tahta Suwarnabhumi menyingkir dan mendirikan Kerajaan Malayapura. Kekuasaan Raja Dinasti Chola di Suwarnabhumi tidak berlangsung lama, hanya 12 tahun. Raja Malayu bernama Suryanarayana berhasil mengusir Raja Chola dengan gelar Sri Maharaja. Mengenai tokoh Suryanarayana, menurut <b>Pravikana</b> ia pernah menjadi raja di Ceylon tahun 1055-1110. Setelah ia menjadi Raja Malayu, antara tahun 1079-1082 ia memindahkan pusat kekuasaannya dari Palembang ke Jambi sebagaimana dicatat dalam berita Cina. Raja Malayu juga mengirim utusan ke Cina pada tahun 1079 dan 1088 dan meminta Privilese (hak pembebasan diri) kepada Kaisar Cina, sama seperti yang diberikan kaisar kepada utusan Tamil pada tahun 1077.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada tahun 1088 M, Kerajaan Melayu Jambi (Dharmasraya), yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah Majapahit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada abad XII, nama Malayu nyaris tidak muncul kecuali catatan sejarah Cina yang menyebutkan bahwa pada tahun 1157 Raja Malayu Jambi mengirim barang-barang ke Cina. Berita ini juga tidak menyebutkan siapa nama Malayu Jambi tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada abad ke XIII nama Malayu timbul lagi dalam berita Cina yang menyebutkan bahwa Malayu Jambi mengirim utusan ke Cina pada tahun 1281. Kemudian ada utusan lagi pada tahun 1293 karena ada permintaan dari Dinasti Mongol. Kemudian pada tahun1299 utusan Malayu Jambi datang ke Cina atas kemauan sendiri. Selain itu ada berita dari Portugis yang menerangkan bahwa <b>Marcopolo</b> dalam catatannya tahun 1292 menyebut Malayu sebagai pusat perdagangan rempah-rempah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Arca Amoghapasa Lokeswara</b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Arca Amoghapasa Lokeswara, adalah sebuah patung batu yang menggambarkan Amoghapasa, suatu pengejawantahan <i>boddisatwa Awalokiteswara,</i> dan Adityawarman menyatakan bahwa patung ini melambangkan dirinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Arca Amoghapasa ini sebelumnya merupakan hadiah dari Raja Kertanagara, raja Singhasari, untuk <b>Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa</b>, raja Bhumi Melayu di <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2016/09/kerajaan-dharmasraya.html" target="_blank">Dharmasraya</a> pada tahun 1286. Berita ini tersebut dalam manuskrip yang terpahat dalam <i>Prasasti Padang Roco</i> yang merupakan alas dari Arca Amoghapasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Uraian prasasti Padangroco ini memberikan data bahwa eksistensi Malayu cukup besar. Pada abad XIV ini singgasana Kerajaan Malayu Jambi masih diduduki oleh Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Tiba-tiba tahun 1343 muncul nama Adityawarman dalam <i>prasasti Manjusri</i> berangka pada tahun 1343 dan ia mengaku bersaudara dengan <b>Rajapatni,</b> Raja Majapahit. Pada saat itu empat tahun kemudian tepatnya pada tahun 1343, nama Adityawarman muncul lagi dalam <i>prasasti Amoghapasa</i> yang menyatakan diri sebagai Raja Malayu. Kemudian Adityawarman memindahkan pusat kegiatannya dari sekitar aliran sungai Batanghari lebih ke utara yaitu sekitar kota Batusanggkar, provinsi Sumatera Barat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk lebih jelasnya tentang Kerajaan Malayapura silakan baca: <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2016/09/kerajaan-dharmasraya.html" target="_blank">Kerajaan Dharmasraya</a> dan Kerajaan Pagaruyung</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Daftar Pusaka:</b></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ol>
<li><div style="text-align: justify;">
Abdullah, Taufik dan AB Lapian ~ Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 2.Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi (Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.</div>
</li>
</ol>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Referensi:</b></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ol>
<li>Wikipedia Indonesia: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Malayapura" target="_blank">Malayapura</a></li>
<li>Warta Sejarah: <a href="http://wartasejarah.blogspot.com/2013/10/kerajaan-malayapura.html" target="_blank">Kerajaan Malayapura</a></li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.com0Jl. Raya Tlk. Jambe, Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat 41361, Indonesia-6.3329464 107.3125556-6.3487284 107.2923856 -6.3171644 107.33272559999999tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-62535113273056455812016-09-21T17:04:00.001+07:002016-09-21T17:04:15.315+07:00Kerajaan Dharmasraya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigrSQ8ZRWZiqJ20Y4Lt2lsXeAtEkV3m3sQ156l8NmdfyTziuJ5NkH1b0_1VXC-Eqzgtj1VQNfF4YZPN0XxP0KIEAxiYNlvzVnuGIEe_nQTjd4fIlDqVfniv2MrsOThafvCAuoW88-k_iE/s1600/445px-Amoghapasa_Padang_Roco_Inscription_Front.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigrSQ8ZRWZiqJ20Y4Lt2lsXeAtEkV3m3sQ156l8NmdfyTziuJ5NkH1b0_1VXC-Eqzgtj1VQNfF4YZPN0XxP0KIEAxiYNlvzVnuGIEe_nQTjd4fIlDqVfniv2MrsOThafvCAuoW88-k_iE/s200/445px-Amoghapasa_Padang_Roco_Inscription_Front.JPG" width="148" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Kerajaan Malayu</b> adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga Tamwa, dan Kerajaan Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasarkan letak ibu kotanya, Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama Kerajaan Malayu Jambi, sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Awal Mula</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a> runtuh di tahun 1025 karena serangan <b>Rajendra Chola I</b> (Raja Chola dari Koromandel, India), banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari. Mereka kemudian bergabung dengan Kerajaan Melayu Tua yang sudah lebih dulu ada di daerah tersebut, dan sebelumnya merupakan daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, menaklukan Sriwijaya. Situasi jadi berbalik dimana daerah taklukannya adalah Kerajaan Sriwijaya. Pada masa itu Kerajaan Melayu Jambi, dikenal sebagai Kerajaan Dharmasraya. Dharmasraya diambil dari nama ibu kota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera. Lokasinya terletak di selatan Kabupaten Sawah Lunto, Sumatera Barat, dan di utara Jambi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Diantaranya yang cukup terkenal adalah rajanya yang bernama <b>Sri Tribhuwanaraja Mauliwarmadhewa</b> (1270-1297) yang menikah dengan <b>Puti Reno Mandi.</b> Sang raja dan permaisuri memiliki dua putri yang cantik jelita, yaitu Dara Jingga dan Dara Petak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Sumber Berita Cina</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina berjudul <i>T’ang-hui-yao</i> karya <b>Wang P’u.</b> Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pendeta <b>I Tsing</b> dalam perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Dikalahkan Sriwijaya</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Prasasti Kedukan Bukit</i> tahun 683 mengisahkan perjalanan <b>Dapunta Hyang</b> membawa 20.000 orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita penuh kemenangan. <b>Prof. Moh. Yamin</b> berpendapat bahwa prasasti ini merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta Hyang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pendapat Moh. Yamin ternyata tidak sesuai dengan berita dalam catatan I Tsing bahwa pada tahun 671, Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Prof. Slamet Muljana</b> yang telah mengidentifikasi Minanga Tamwa sebagai ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa, prasasti <i>Kedukan Bukit</i> merupakan piagam penaklukan Malayu oleh Sriwijaya. Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit, Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwa, dan meninggalkan kota itu dalam suka cita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683 M. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwa, secara otomatis pelabuhan Malayu pun jatuh ke tangan <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a>. Maka sejak tahun 683 M, Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Munculnya Wangsa Mauli</b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama Raja Mauli adalah <i>Prasasti Grahi</i> tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah <b>Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa</b> kepada bupati Grahi yang bernama <b>Mahasenapati Galanai</b> supaya membuat arca Budha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama <i>Mraten Sri Nano.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu <i>Prasasti Padang Roco</i> tahun 1286. Prasasti ini menyebut Raja Swarnabhumi bernama <b>Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa</b> yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari <b>Kertanagara,</b> Raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dharmasraya dalam <i>Pararaton</i> merupakan ibu kota dari negeri bhumi malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai Raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai Raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan. Dari catatan Cina disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya. Karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Daerah Kekuasaan Dharmasraya</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Tidak diketahui dengan pasti apakah putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi adalah keturunan Rajendra, yang saat itu telah menguasai Sumatra dan Semenanjung Malaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam naskah berjudul <i>Chu-fan-chi</i> karya <b>Chau Ju-kua</b> tahun 1225, disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya, selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur Semenanjung Malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur Semenanjung Malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti <i>Tanyore</i> tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">San-fo-tsi</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam berita Cina yang berjudul <i>Sung Hui Yao</i> disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan <b>Kaisar Yuan Fong.</b> Duta besar tersebut menyampaikan surat dari Raja Kien-pi (Jambi) bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebaliknya, daftar tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang mirip Dharmasraya. Yang disebut adalah Kien-pi, yang mungkin identik dengan Jambi. Sementara itu, Jambi sendiri tidak sama dengan Dharmasraya karena kedua tempat tersebut terletak berjauhan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1025 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar bawahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2016/09/kerajaan-majapahit-i.html" target="_blank">Majapahit</a> dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul <i>Nagarakretagama</i> tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang. Itu artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya, melainkan sebutan umum untuk Pulau Sumatra yang di dalamnya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Ekspedisi Pamalayu</b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam <i>Kidung Panji Wijayakrama</i> dan <i>Pararaton</i> menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara (Raja Singhasari) mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama <i>Ekspedisi Pamalayu 1</i>, yang dipimpin oleh <b>Mahisa Anabrang</b> atau Kebo Anabrang. Kemudian ditahun 1286 (<i>Ekspedisi Pamalayu 2</i>), Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan <i>Arca Amoghapasa</i> yang kemudian dipahatkan pada <i>Prasasti Padang Roco</i> di Dharmasraya ibu kota Bhumi Malayu, sebagai hadiah dari <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2015/06/kerajaan-singhasari.html" target="_blank">Kerajaan Singhasari</a> dalam menjaga hubungan persahabatan (diplomatik) dan kerja sama dalam membendung ekspansi pasukan Mongol dari jalur Malaka. Tim ini kembali ke Pulau Jawa pada tahun 1293, sekaligus membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang bernama Dara Jingga dan Dara Petak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Dara Jingga</b> dinikahi oleh <i>sira alaki dewa</i> (orang yang bergelar dewa) alias Senopati Singhasari Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan <b>Adityawarman</b>, dan kelak menjadi Tuan Surawasa (Suruaso) berdasarkan <i>Prasasti Batusangkar</i> di pedalaman Minangkabau. Adityawarman yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dan sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa sebagai penguasa Kerajaan Dharmasraya berikut kerajaan-kerajaan bawahannya, termasuk eks Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Sedangkan Dara Jingga (ibunya) dikenal juga sebagai <i>Bundo Kandung/Bundo Kanduang</i> oleh masyarakat Minangkabau.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di tahun 1293, Mahisa/Kebo/Lembu Anabrang beserta Dara Jingga dan anaknya, Adityawarman, kembali ke Pulau Jawa. Dara Petak ikut dalam rombongan tersebut. Setelah tiba di Pulau Jawa ternyata <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2015/06/kerajaan-singhasari.html" target="_blank">Kerajaan Singhasari</a> telah musnah, dan sebagai penerusnya adalah Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu <b>Dara Petak</b> dipersembahkan kepada <b>Raden Wijaya</b> (menantu Kertanegara), yang kemudian memberikan keturunan, Raden Kalagemet yang bergelar <b>Sri Jayanegara</b> setelah menjadi Raja Majapahit kedua.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Dalam Kitab Nagarakretagama</b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Kakawin Nagarakretagama</i> yang ditulis tahun 1365, menyebut Bhumi Melayu sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri bawahan <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2016/09/kerajaan-majapahit-ii.html" target="_blank">Kerajaan Majapahit</a>. Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus mengantarkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339, Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang. <i>Kidung Pamacangah</i> dan <i>Babad Arya Tabanan</i> menyebut nama <b>Arya Damar</b> sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu <b>Gajah Mada</b> menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut <b>Prof. C.C. Berg</b>, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Dari Dharmasraya ke Malayapura</b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6vnh0OJu2_bzlGCu_41WSNWWNnoxUzUPH27ackroF55ueTXftiUMXyjo19uXaSeQUtejTw8JFrsw_FnhKjSSDIjzWAkYzEDqK8Dm7R322iuQyKPFZp7gXkOv_mIo_uwJi2ra6FOFLkhk/s1600/330px-Adityawarman.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6vnh0OJu2_bzlGCu_41WSNWWNnoxUzUPH27ackroF55ueTXftiUMXyjo19uXaSeQUtejTw8JFrsw_FnhKjSSDIjzWAkYzEDqK8Dm7R322iuQyKPFZp7gXkOv_mIo_uwJi2ra6FOFLkhk/s320/330px-Adityawarman.jpg" width="176" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Arca Srimat Sri Udayadityawarman<br />
Pratapaparakrama Rajendra Maulimali<br />
Warmadewa</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 Masehi atau 1267 Saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar <b>Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa</b> dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibu kotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungkan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli penguasa Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang Raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, Raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnabhumi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Walaupun ibu kota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya. Tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan ditulis pada zaman Adityawarman.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Dharmasraya Zaman Majapahit</b></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Nagarakretagama</i> menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri bawahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra. Dharmasraya memang telah ditaklukkan oleh Singhasari dan menjalin persaudaraan melalui perkawinan antara Dara Petak dan Raden Wijaya pada akhir abad ke-13. Namun, tidak dapat dipastikan apakah kemudian Dharmasraya tunduk begitu saja terhadap Majapahit sebagai kelanjutan dari Singhasari.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam <i>catatan Dinasti Ming</i>, negeri San-fo-tsi (atau Sumatra) terbagi manjadi tiga dan masing-masing berusaha meminta bantuan Cina untuk lepas dari kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga negeri tersebut masing-masing dipimpin oleh Seng-kia-lie-yulan, Ma-ha-na-po-lin-pang, dan Ma-na-cha-wu-li.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara berturut-turut pada tahun 1375, 1376, dan 1377, ketiganya mengirimkan duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377, tentara She-po menyerang dan menghancurkan San-fo-tsi. Sejak saat itu ketiga negeri di San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya menjadi Chiu-chiang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seng-kia-lie-yulan adalah Adityawarman Raja Malayapura (Pagaruyung). Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina untuk Maharaja Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja Mauli Raja Dharmasraya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Meskipun Adityawarman adalah cucu Srimat Tribhuwanaraja, namun ia tidak memiliki hak atas takhta Dharmasraya karena ia lahir dari Dara Jingga. Adityawarman kemudian mendirikan Kerajaan Malayapura di Pagaruyung, sedangkan Dharmasraya dipegang oleh Maharaja Mauli, yaitu keturunan Tribhuwanaraja lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rupanya setelah Gajah Mada meninggal tahun 1364, negeri-negeri jajahan di Sumatra berusaha untuk memerdekakan diri dengan meminta bantuan Kerajaan Ming di Cina. Akan tetapi, <b>Maharaja Hayam Wuruk</b> yang saat itu masih berkuasa di Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Pagaruyung, Palembang, dan Dharmasraya pada tahun 1377.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Catatan Cina</i> menyebut bahwa setelah pemberontakan tersebut, kerajaan-kerajaan di San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang. Menurut naskah <i>Ying-yai-seng-lan</i>, nama Chiu-chiang sama dengan Po-lin-pang. Itu berarti, setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit di Sumatra dijadikan satu dengan berpusat di Palembang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Daftar Raja-Raja Dharmasraya</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berikut ini daftar nama raja-raja Dharmasraya:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ol>
<li><div style="text-align: justify;">
1183 ~ <b>Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa</b>, beribukota di: Dharmasraya - Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Budha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
1286 ~ <b>Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa</b>, beribukota di: Dharmasraya - Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya sekarang di Sumatera Barat), pengiriman Arca Amoghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Dharmasraya.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
1316 ~ <b>Akarendrawarman</b>, beribukota di: Dharmasraya atau Pagaruyung atau Suruaso - Prasasti Suruaso di Kabupaten Tanah Datar sekarang, dimana Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan yang dibuat oleh raja sebelumnya yaitu Akarendrawarman.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
1347 ~ <b>Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa</b>, beribukota di: Pagaruyung atau Suruaso - Memindahkan pemerintahan ke Pagaruyung atau Suruaso, Manuskrip pada Arca Amoghapasa bertarikh 1347 di Kabupaten Dharmasraya sekarang, Prasasti Suruaso dan Prasasti Kuburajo di Kabupaten Tanah Datar sekarang.</div>
</li>
</ol>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Sumber Referensi:</b></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li>Wikipedia Indonesia: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dharmasraya" target="_blank">Dharmasraya</a></li>
<li>Kerajaan Dharmasraya Blog: <a href="http://amoghapace.blogspot.com/2008/08/kerajaan-malayu-dharmasraya.html" target="_blank">Kerajaan Melayu Dharmasraya</a></li>
</ul>
Unknownnoreply@blogger.com0Jl. Puri Tlk. Jambe, Telukjambe, Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat 41361, Indonesia-6.3332637 107.30886829999997-6.3411547 107.29878329999997 -6.3253727 107.31895329999998tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-75203546543943415932016-09-21T14:05:00.005+07:002016-09-21T17:05:50.469+07:00Kerajaan Majapahit II<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4gceRcjew7lWmVD51N1YDxHzT9nSdjOVzJIkwzYR1VhM91oKNLwh8EHJn2vanPaN74IlQks1FMYdQfoGGP5qew2Mx57RyKkzQ4E91XO5XAYozATo4UlixUz3Nr2Qwqkbfx2atWU3cdAo/s1600/Gapura+Majapahit.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4gceRcjew7lWmVD51N1YDxHzT9nSdjOVzJIkwzYR1VhM91oKNLwh8EHJn2vanPaN74IlQks1FMYdQfoGGP5qew2Mx57RyKkzQ4E91XO5XAYozATo4UlixUz3Nr2Qwqkbfx2atWU3cdAo/s1600/Gapura+Majapahit.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Historiografi</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah <i>Pararaton</i> ('Kitab Raja-Raja') dalam bahasa Kawi dan <i>Nagarakretagama</i> dalam bahasa Jawa Kuno. <i>Pararaton</i> terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, <i>Nagarakertagama</i> merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis oleh punjangga <b>Mpu Prapanca</b> pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan <b>Hayam Wuruk.</b> Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan berbau mitos. Beberapa sarjana seperti <b>C.C. Berg</b> menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Sosial Budaya</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Nagarakretagama</i> menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan <a href="http://feedproxy.google.com/~r/IndonesiaTempoDoeloe/~3/3y2Ztbp2DMg/kerajaan-majapahit-i.html" target="_blank">Majapahit</a> datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<blockquote class="tr_bq" style="text-align: justify;">
<i>"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".</i> — Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari <i>Nagarakertagama.</i></blockquote>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Budha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Budha, Siwa, maupun Wisnu. <i>Nagarakertagama</i> sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgva_CdbMqAPlgDBFpbZyIoxD5bW75vjh-tExdkW87IbYvRDGJ5OGUDMdIxLgGF30IvX30N6qaiyZXVoskcdXhwvIvuTHBqWzVcZS5umgadEEDj9x9gjRZBUwBftQTjXMjZnUnO7E1Okvo/s1600/Kota-Majapahit.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="472" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgva_CdbMqAPlgDBFpbZyIoxD5bW75vjh-tExdkW87IbYvRDGJ5OGUDMdIxLgGF30IvX30N6qaiyZXVoskcdXhwvIvuTHBqWzVcZS5umgadEEDj9x9gjRZBUwBftQTjXMjZnUnO7E1Okvo/s640/Kota-Majapahit.jpg" width="600" /></a></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahit lah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi peninggalan <a href="http://feedproxy.google.com/~r/IndonesiaTempoDoeloe/~3/3y2Ztbp2DMg/kerajaan-majapahit-i.html" target="_blank">Majapahit</a> yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.<br />
<br /></div>
<blockquote class="tr_bq" style="text-align: justify;">
<i>".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya." — </i>Gambaran Majapahit menurut <b>Mattiussi</b> (Pendeta Odorico da Pordenone).</blockquote>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: <i>"Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone"</i>. Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318, ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan Raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan <b>Jayanegara.</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagian hasil karya pemerintahan <b>Hayam Wuruk,</b> antara lain Candi Panataran, Candi Tegalwangi, Candi Sumber Jati, dan bangunan lainnya di daerah Trowulan (Mojokerto) yang menjadi pusat pemerintahan Majapahit. Selain membangun candi, dihasilkan juga pada masa kekuasaannya beberapa hasil karya kesusastraan seperti naskah Negarakertagama, Sutasoma, Arjuna Wijaya, dan sebagainya. Dalam naskah Sutasoma terdapat istilah <i>“Bhinneka Tunggal Ika”</i> yang sekarang menjadi motto negara Indonesia untuk menyatukan persatuan dan kesatuan bangsa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Ekonomi</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html" target="_blank">kerajaan Medang</a> yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008, sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit. Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. <i>Prasasti Canggu</i> yang berangka tahun 1358 menyebutkan, sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa). Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di bidang ekonomi, Hayam Wuruk menaruh perhatian pada pertanian dan perdagangan dengan menjadikan Tuban sebagai salah satu pusat perdagangan Majapahit. Berdasarkan berita China bernama <b>Wang Ta-Yuan</b> yang menggambarkan pulau Jawa yang padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi, lada, garam, kain, dan burung kakatua yang semuanya merupakan barang ekspor, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan <b>Odorico da Pordenone,</b> biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana Raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah Sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya, <b>Prabu Hayam Wuruk</b> berusaha untuk menyejahterakan rakyatnya dengan membuat saluran pengairan, pembuatan bendungan, dan pembukaan tanah baru untuk perladangan. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Nagarakretagama</i> menyebutkan bahwa kemashuran penguasa <i>Wilwatikta</i> telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Arsitektur</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahit lah yang menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan <i>gapura paduraksa</i> (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon, Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Persenjataan</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal sederhana yang disebut Cetbang. Saat ini salah satu koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada di The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Struktur Pemerintahan</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000;">Aparat Birokrasi</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li><div style="text-align: justify;">
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan.</div>
</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam <i>Rakryan Mantri ri Pakira-kiran</i> terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut <i>Bhattara Saptaprabhu.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000;">Pembagian Wilayah</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam pembentukannya, Kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2015/06/kerajaan-singhasari.html" target="_blank">Singhasari</a>, terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh <i>uparaja</i> yang disebut Paduka <i>Bhattara</i> yang bergelar <i>Bhre</i> atau <i>"Bhatara i"</i>. Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ol>
<li><div style="text-align: justify;">
Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan).</div>
</li>
<li>Watek: dikelola oleh wiyasa.</li>
<li>Kuwu: dikelola oleh lurah.</li>
<li>Wanua: dikelola oleh thani.</li>
<li>Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.</li>
</ol>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDMEvmc1rFL9O9KzsuPcXU4eLQcIiuMKQGmXha2-O9LdjBl56RmfFAerIK_sxNtWLNU9yc-htsy-UQhBSzdw35dI5q8N-lGM45xeCpqRcyEzwTXfPTuuXpksnFi9V5w8iC2jhDMW6M1l8/s1600/pembagian_wilayah_majapahit.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="365" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDMEvmc1rFL9O9KzsuPcXU4eLQcIiuMKQGmXha2-O9LdjBl56RmfFAerIK_sxNtWLNU9yc-htsy-UQhBSzdw35dI5q8N-lGM45xeCpqRcyEzwTXfPTuuXpksnFi9V5w8iC2jhDMW6M1l8/s640/pembagian_wilayah_majapahit.jpg" width="600" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk lebih jelasnya mengenai gelar/penguasa berdasarkan silsilah keluarga Majapahit yang tertulis di kitab Pararaton, silakan baca: <a href="http://maulanusantara.wordpress.com/2008/08/29/pararaton-revisited-tafsir-baru-atas-sejarah-keluarga-majapahit/" target="_blank">Pararaton Revisited: Tafsir Baru Atas Sejarah Keluarga Majapahit</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedangkan dalam <i>Prasasti Wingun Pitu</i> (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu: Kahuripan, Daha, Tumapel, Wengker, Matahun, Wirabumi, Kabalan, Kembang Jenar, Pajang, Jagaraga, Keling, Kelinggapura, Singhapura, Tanjungpura.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li><div style="text-align: justify;">
<b>Negara Agung,</b> atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<b>Mancanegara,</b> area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2016/09/kerajaan-majapahit-i.html" target="_blank">Kerajaan Majapahit</a> menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<b>Nusantara,</b> adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam kekuasaan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.</div>
</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li><div style="text-align: justify;">
<b>Mitreka Satata,</b> yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut <i>Negarakertagama</i> pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam). Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.</div>
</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai <i>"mandala"</i>, yaitu kesatuan politik yang ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut. Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Raja-Raja Majapahit</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga <a href="https://indonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2015/06/kerajaan-singhasari.html" target="_blank">Kerajaan Singhasari</a>, yang dirintis oleh <b>Sri Ranggah Rajasa,</b> pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan <b>Rajasawardhana</b> (penguasa ke-8) dan <b>Girishawardhana</b> yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ol>
<li>Raden Wijaya, bergelar: Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309)</li>
<li>Kalagamet, bergelar: Sri Jayanagara (1309-1328)</li>
<li>Sri Gitarja, bergelar: Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)</li>
<li>Hayam Wuruk, bergelar: Sri Rajasanagara (1350-1389)</li>
<li>Wikramawardhana (1389-1429)</li>
<li>Suhita, bergelar: Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447)</li>
<li>Kertawijaya, bergelar: Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana (1448-1451)</li>
<li>Rajasawardhana, bergelar: Sri Rajasawardhana Sang Sinagara (1451-1453)</li>
<li>Girishawardhana, bergelar: Hyang Purwawisesa (1456-1466)</li>
<li><div style="text-align: justify;">
Dyah Suraprabhawa, bergelar: Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta (1466-1468)</div>
</li>
<li>Bhre Kertabumi, bergelar: Brawijaya V (1468-1478)</li>
<li>Girindrawardhana, bergelar: Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (1478-1527)</li>
</ol>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Warisan Sejarah</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000;"><br />
</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Legitimasi Politik</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi (pengakuan) atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, <b>Raden Patah</b>, menurut babad-babad Keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri China, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh <i>Sultan Agung</i> sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga Kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini. Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan. <b>Sukarno</b> juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara. Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut <i>"Dwiwarna"</i> ("dua warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, <i>"Bhinneka Tunggal Ika"</i>, dikutip dari <i>"Kakawin Sutasoma"</i> yang ditulis oleh <b>Mpu Tantular</b>, seorang pujangga Majapahit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kesenian Modern</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Puisi Lama</b><br />
<i><br />
</i></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Serat Darmagandhul,</i> sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena <b>Ki Kalamwadi,</b> namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Budha" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.</div>
</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Komik dan Strip Komik</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li><div style="text-align: justify;">
Serial <i>"Mahesa Rani"</i> karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah Mada), adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.</div>
</li>
<li>Komik/Cerita bergambar <i>Imperium Majapahit</i>, karya Jan Mintaraga.</li>
<li>Komik <i>Majapahit</i> karya R.A. Kosasih.</li>
<li><div style="text-align: justify;">
Strip komik <i>"Panji Koming"</i> karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji Koming.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
Komik <i>"Dharmaputra Winehsuka"</i>, karya Alex Irzaqi, kisah Ra Kuti dan Ra Semi dalam latar peristiwa pemerontakan Nambi 1316 M.</div>
</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Roman/Novel Sejarah</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Sandyakalaning Majapahit</i> (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Pelangi Di langit Singhasari</i> (1968-1974), roman sejarah dengan setting zaman Kerajaan Kediri dan Singhasari, karya S. H. Mintardja.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Bara Di Atas Singgasana</i>, roman sejarah dengan setting zaman Kerajaan Singhasari dan Majapahit, karya S. H. Mintardja.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Kemelut Di Majapahit</i>, roman sejarah dengan setting masa kejayaan Majapahit, karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Zaman Gemilang</i> (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan akhir masa Singhasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar terbunuhnya Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Senopati Pamungkas</i> (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Arus Balik</i> (1995), sebuah epos pasca kejayaaan Nusantara pada awal abad 16, karya Pramoedya Ananta Toer.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit</i> (2005), roman karya Hermawan Aksan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristiwa Bubat.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Gajah Mada</i> (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Jung Jawa</i> (2009), sebuah antologi cerita pendek berlatar Nusantara, karya Rendra Fatrisna Kurniawan, diterbitkan Babel Publishing dengan ISBN 978-979-25-3953-0.</div>
</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b><br />
</b> <b>Film/Sinetron</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Tutur Tinular</i>, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara radio. Kisah ini berlatar belakang Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga Majapahit pada pemerintahan Jayanagara.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Saur Sepuh</i>, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara radio yang populer pada kurun dasawarsa pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih berfokus pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit pula.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Walisanga</i>, sinetron Ramadhan tahun 2003 yang berlatar Majapahit pada masa Brawijaya V hingga Kesultanan Demak di zaman Sultan Trenggana.</div>
</li>
<li><div style="text-align: justify;">
<i>Puteri Gunung Ledang</i>, sebuah film Malaysia tahun 2004, mengangkat cerita berdasarkan legenda Melayu terkenal, Puteri Gunung Ledang. Film ini menceritakan kisah percintaan Gusti Putri Retno Dumilah, seorang putri Majapahit, dengan Hang Tuah, seorang perwira Kesultanan Malaka.</div>
</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Pranala luar</b></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ol>
<li>Wikipedia Indonesia: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit" target="_blank">Majapahit</a></li>
<li><div style="text-align: justify;">
Sejarah 2: SMA/MA Untuk Kelas XI, Semester 1 dan 2 Program Ilmu Pengetahuan Sosial / penulis, Tarunasena M; editor, Agus Mulyana; ilustrator, Tim Redaksi. - Jakarta: Pusat perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009.</div>
</li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.com0Jl. Puri Tlk. Jambe, Telukjambe, Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat 41361, Indonesia-6.3332637 107.30886829999997-6.3411547 107.29878329999997 -6.3253727 107.31895329999998tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-60316632388236457042016-09-21T11:14:00.002+07:002016-09-21T14:10:23.832+07:00Kerajaan Majapahit I<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8uC93ZpdpVSt1QEGPQ57TDWD2z4lqFN-PruBsE5P3heLXUfPH4Cx2OJTFlPjNFMVmUnhhSFbeWyXAUg157yGOhfknnXg8yjRJ6lUpl1-s47IvHJOPFK69eyxuyR1x84OIDiTVvaCRydc/s1600/GAPURA_MAJAPAHIT.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8uC93ZpdpVSt1QEGPQ57TDWD2z4lqFN-PruBsE5P3heLXUfPH4Cx2OJTFlPjNFMVmUnhhSFbeWyXAUg157yGOhfknnXg8yjRJ6lUpl1-s47IvHJOPFK69eyxuyR1x84OIDiTVvaCRydc/s1600/GAPURA_MAJAPAHIT.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;">Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1527 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kerajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Prabu Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389 M.<br />
<a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Budha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut <i>Negarakertagama,</i> kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Nusantara bagian timur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat ditemui di reruntuhan Majapahit, sehingga Surya Majapahit mungkin merupakan simbol kerajaan Majapahit.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b><span style="color: #660000; font-size: large;">Riwayat Raja-Raja Majapahit</span></b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>1. Raden Wijaya (1294-1309) - Sejarah Berdirinya Majapahit</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian <b>Kubilai Khan,</b> penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Pada tahun 1289, ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. <b>Kertanagara,</b> penguasa Kerajaan <a href="http://feedproxy.google.com/~r/IndonesiaTempoDoeloe/~3/7Mb9FSJ4fQY/kerajaan-singhasari.html" target="_blank">Singhasari</a> yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa guna menghukum raja Singhasari, Kertanagara.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketika itu, <b>Jayakatwang,</b> adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara dalam tahun 1292. Sedangkan Raden Wijaya yang merupakan menantu Raja Kertanegara berhasil melarikan diri bersama <b>Aria Wiraraja</b> ke Sumenep (Madura) dan di sana ia merencanakan strategi untuk mendirikan kerajaan baru. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Atas anjuran Arya Wiraraja juga, Raden Wijaya berpura-pura tunduk kepada Jayakatwang, sambil meminta sedikit daerah untuk dijadikan tempat wisata perburuan. Jayakatwang yang memang sangat gemar berburu tidak berprasangka apa-apa dan mengabulkan permintaan Raden Wijaya. <b>Raden Wijaya</b> kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah "maja", dan rasa "pahit" dari buah tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketika pasukan Mongol mendarat di Tuban tahun 1293, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya hingga kalang-kabut. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson supaya dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing. Menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa pada tanggal 24 April 1293.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Nararya Sanggramawijaya (atau Raden Wijaya) kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit bergelar <b>Kertarajasa Jayawardhana,</b> yang pusat istananya di daerah Trowulan (sekarang di wilayah Kabupaten Mojokerto). Menurut <i>Kidung Harsa Wijaya,</i> penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Raden Wijaya dalam <i>Prasasti Balawi</i> tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa. Menurut <i>Nagarakretagama,</i> Raden Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Menurut <i>Pararaton</i>, Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa. Jadi, Raden Wijaya adalah keturunan keempat dari Ken Arok dengan Ken Dedes, pendiri Singhasari. Ia dibesarkan di lingkungan <a href="http://feedproxy.google.com/~r/IndonesiaTempoDoeloe/~3/7Mb9FSJ4fQY/kerajaan-singhasari.html" target="_blank">Kerajaan Singhasari</a>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Raden Wijaya kemudian menikah dengan empat puteri dari Raja Kertanegara, yaitu Tribuaneswari (Sri Parameswari Dyah Dewi Tribuaneswari), Narendraduhita (Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita), Pradjnya Paramita (Sri Jayendra Dyah Dewi Pradjnya Paramita), Gayatri (Sri Jayendra Dyah Dewi Gayatri) dan juga menikahi Dara Petak Sri Indreswari yang merupakan putri <b>Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa,</b> raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Raden Wijaya dikenal sebagai raja yang tegas dan bijak. Aria Wiraraja yang banyak berjasa ikut mendirikan Majapahit, diberi daerah status khusus di Madura dan diberi wilayah otonom di Lumajang hingga Blambangan. <b>Nambi</b> (putera Arya Wiraraja) diangkat menjadi patih (perdana menteri), <b>Ranggalawe</b> diangkat sebagai adipati Tuban, dan <b>Sora</b> menjadi penguasa Daha (Kadiri). Dijadikannya Nambi sebagai patih membuat Ranggalawe tidak puas, karena ia merasa lebih berhak. Tahun 1295, Ranggalawe mengadakan pemberontakan, namun dapat dipadamkan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut <i>Nagarakretagama,</i> Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura (dekat Blitar) dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>2. Jayanegara (1309-1328)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tampuk kekuasaan Kerajaan Majapahit setelah Raden Wijaya mangkat jatuh ke tangan puteranya, Jayanegara (Pararaton menyebutnya Raden Kalagemet, yang berarti "penjahat lemah") bergelar Sri <b>Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara</b>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Jayanegara</b> adalah putera Raden Wijaya dari Dara Petak yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Dyah Dara Petak Sri Indeswari adalah salah satu dari lima orang istri dari Raden Wijaya, dan hanya ia yang melahirkan anak laki-laki yang dicalonkan menjadi penerus Raden Wijaya sehingga ia diberi gelar <i>Stri Tinuheng Pura</i> yang artinya istri yang dituakan di istana.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Nagarakretagama</i> menyebutkan bahwa Jayanagara diangkat sebagai <i>yuwaraja</i> atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam <i>Prasasti Penanggungan</i> tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada masa kekuasaan Jayanagara banyak terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Raden Wijaya. Hal ini disebabkan karena Jayanagara berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan keturunan Kertanagara murni. Penyebab lainnya ialah karena ketidakpuasan orang-orang kepercayaan Raden Wijaya yang menilai bahwa jasa yang mereka berikan ketika berjuang bersama Raden Wijaya dulu tidak sepadan dengan kedudukan yang mereka terima begitu Jayanegara naik takhta.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tahun 1311 terjadi pemberontakan yang didalangi oleh Lembu Sora karena mendapat hasutan dari seorang pejabat Majapahit yang bernama Mahapati. <b>Mahapati</b> sebenarnya juga musuh dalam selimut bagi Raja Jayanegara, yang selalu membuat intrik dan konspirasi dalam Istana. Pemberontakan Lembu Sora dapat digagalkan pihak Istana.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Pararaton</i> juga memberitakan pemberontakan oleh <b>Juru Demung</b> pada tahun 1313 dan <b>Gajah Biru</b> pada tahun 1314. Pemberontakan Nambi pada tahun 1316 di daerah Lumajang, dikarenakan ambisi ayahnya Aria Wiraraja agar Nambi menjadi raja. Sehingga meskipun Nambi sudah diberi kedudukan yang tinggi sebagai Patih istana, tetap saja ia memberontak. Dia bersama ayahnya sempat membuat pertahanan di Pajarakan, tetapi akhirnya dapat dihancurkan juga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tahun 1319, pemberontakan yang dipimpin <b>Ra Kuti</b> adalah pemberontakan yang paling berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Majapahit, sehingga Prabu Jayanegara beserta keluarganya terpaksa melarikan diri ke daerah Badander dikawal oleh pasukan Bhayangkari di bawah pimpinan Gajah Mada. Berkat ketangkasan dan siasat jitu dari Gajah Mada, serta didukung kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota, akhirnya kelompok Ra Kuti dapat ditumpas. <b>Gajah Mada</b> menyebarkan rumor sebagai siasat bahwa Raja Jayanegara telah wafat. Rumor ini mengakibatkan rakyat tak menyukai Ra Kuti, hingga akhirnya Kuti keluar dari istana yang kembali diduduki oleh Jayanegara. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan pada tahun 1321 M dan Patih di Daha (Kediri).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1321 seorang pengembara misionaris Italia bernama <b>Odorico da Pordenone</b> mengunjungi pulau Jawa dan sempat menyaksikan pemerintahan Jayanagara. Ia mencatat pasukan Mongol kembali datang untuk menjajah Jawa, namun berhasil dipukul mundur oleh pihak Majapahit, dan saat itu Daratan Cina masih berada dibawah kekuasaan Dinasti Yuan atau bangsa Mongol. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Namun hubungan antara Majapahit dengan Mongol kemudian membaik. <i>Catatan dinasti Yuan</i> menyebutkan pada tahun 1325 pihak Jawa mengirim duta besar bernama Seng-kia-lie-yulan untuk misi diplomatik. Tokoh ini diterjemahkan sebagai <b>Adityawarman</b> putra Dara Jingga, atau sepupu Jayanagara sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari <i>Piagam Sidateka</i> yang bertarikh 1323, diketahui Jayanagara menetapkan susunan <i>Mahamantri Katrini</i> dalam membantu pemerintahannya, yaitu sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><ul><li>Rakryan Mahamantri Hino: Dyah Sri Rangganata</li>
<li>Rakryan Mahamantri Sirikan: Dyah Kameswara</li>
<li>Rakryan Mahamantri Halu: Dyah Wiswanata</li>
</ul><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, yang bernama <b>Israna Ratanca</b> (mpu Tanca). Ratanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut <i>Pararaton,</i> Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan, gapura paduraksa Bajang Ratu kemungkinan besar adalah gapura yang tersisa dari kompleks Srenggapura. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi. (baca juga: Jayanagara)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>3. Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Karena Jayanegara tidak memiliki putra, maka yang seharusnya menggantikannya sebagai penguasa Majapahit ialah ibu tirinya yaitu <b>Gayatri Rajapatni,</b> akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi Ratu Majapahit yang ketiga, bergelar <b>Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani.</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara dari Singhasari, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwanatunggadewi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Nama asli <b>Tribhuwana Wijayatunggadewi</b> ialah Dyah Gitarja. Ia memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dyah Gitarja menikah dengan Cakradhara bergelar <b>Kertawardhana</b> atau Bhre Tumapel, yang dari perkawinan itu lahir <b>Dyah Hayam Wuruk</b> dan <b>Dyah Nertaja.</b> Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai <i>yuwaraja</i> bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan adik perempuannya Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan <b>Sadeng</b> dan <b>Keta</b> didaerah Besuki pada tahun 1331. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai penghargaan atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih (setingkat perdana menteri) di Majapahit oleh Tribhuanatunggadewi menggantikan <b>Mpu Naga.</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada saat pelantikannya (1334), Gajah Mada mengucapkan <i>Sumpah Palapa</i> dihadapan Ratu dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan Amukti Palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tahun 1343, Majapahit berhasil menaklukkan Raja Pejeng (Bali), Dalem Bedudu, dan kemudian mencaplok Bali sebagai wilayah kekuasaan Majapahit. Tahun 1347, <b>Adityawarman</b> yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa daerah di Semenanjung Malaka. Seperti yang tercantum dalam kitab Nagarakertagama, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat luas, yakni meliputi daerah hampir seluas wilayah Republik Indonesia sekarang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut <i>Nagarakretagama,</i> Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi turun takhta tahun 1350 bersamaan dengan wafatnya Gayatri, ibundanya. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk dan kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam <i>Saptaprabhu,</i> yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. (baca juga: Tribhuwana Wijayatunggadewi)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>4. Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) - Puncak Kejayaan Majapahit</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tribhuanatunggadewi memerintah selama dua puluh dua tahun. Pada tahun 1350, ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh putranya yang bernama <b>Hayam Wuruk.</b> Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar <b>Sri Rajasanagara</b> dan ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hayam Wuruk adalah putera pasangan Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara yang lahir pada tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Nama Hayam Wuruk berarti "ayam yang masih muda". Hayam Wuruk naik tahta ketika berusia 16 tahun. Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Paduka Sori putri Wijayarajasa, Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada masa Prabu Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Dengan dukungan <b>Mahapatih Gajah Mada,</b> ia menaklukkan Logajah, Gurun Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Mengkasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo. Hanya sayang, akibat kesalahan langkahnya terutama dalam "Peristiwa Bubat", Gajah Mada dinonaktifkan sebagai patih pada tahun 1357. Namun diangkat lagi jadi patih tahun 1359.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah Gajah Mada mangkat (1364), di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).</div><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGReXSXolSyvW-yCoEtui7K4iCu-zPeqh0mUhK04pGRd4Hgm_CPr41FWxvMBc9dPMSH8VQlvmMYpKWaNcgxQ-xiNAeBtSBgaJy8koimqDwq0Zf4CbbtGML5VUzhIYF-OYwuHdkgHixT7I/s1600/Bidadari_Majapahit.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGReXSXolSyvW-yCoEtui7K4iCu-zPeqh0mUhK04pGRd4Hgm_CPr41FWxvMBc9dPMSH8VQlvmMYpKWaNcgxQ-xiNAeBtSBgaJy8koimqDwq0Zf4CbbtGML5VUzhIYF-OYwuHdkgHixT7I/s320/Bidadari_Majapahit.jpg" width="123" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="text-align: justify;"><span style="font-size: x-small;">Bidadari Majapahit yang anggun,<br />
arca cetakan emasapsara (bidadari surgawi)<br />
gaya khas Majapahit menggambarkan<br />
dengan sempurna zaman kerajaan<br />
Majapahit sebagai "zaman keemasan"<br />
Nusantara.</span></span></td></tr>
</tbody></table><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kakawin <i>Nagarakretagama</i> yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi kekuasaan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, perkembangan karya tulis sastra Jawa Kuno begitu diperhatikan. <i>Kitab Sutasoma</i> (yang memuat semboyan: Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa) digubah oleh <b>Mpu Tantular,</b> dan <i>Kitab Nagarakertagama</i> digubah oleh <b>Mpu Prapanca</b> pada tahun 1365.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tahun 1389, Prabu Hayam Wuruk meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Prabu Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>5. Wikramawardhana dan Kusumawardhani (1389-1427)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk (1389), Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota <b>Kusumawardhani,</b> yang menikah dengan pangeran <b>Wikramawardhana.</b> Namun kekuasaannya ditentang oleh <b>Wirabhumi,</b> putera Hayam Wuruk dari selir yang juga menuntut haknya atas takhta.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Wikramawardhana dalam <i>Pararaton</i> bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana. Sedangkan Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama <b>Rajasakusuma</b> bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja. <i>Pararaton</i> juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, <b>Suhita,</b> dan <b>Kertawijaya.</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja. Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rajasakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398, Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit. Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa <i>prasasti Katiden</i> (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut <i>Pararaton,</i> Wikramawardhana kembali menjadi raja, karena Kusumawardhani meninggal dunia. Kusumawardhani dicandikan di Pabangan, bernama Laksmipura.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1401 Wikramawardhana berselisih dengan Bhre Wirabhumi, saudara tiri Kusumawardhani. Perselisihan antara penguasa Majapahit Barat dan Majapahit Timur itu memuncak menjadi perang saudara tahun 1404, yang disebut <b>Perang Paregreg.</b> (baca juga: Perang Paregreg)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1406 pasukan istana barat dipimpin Bhre Tumapel menghancurkan istana timur. Bhre Wirabhumi tewas di tangan <b>Raden Gajah</b> alias Bhra Narapati. Wikramawardhana kemudian memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Perang Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat dan timur sibuk berperang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre Tumapel sang putra mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian meninggalnya istri dan putra Bhre Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker. Wikramawardhana pun akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427 dan dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu. (baca juga: Wikramawardhana)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada akhir masa pemerintahan Wikramawardhana (1427), praktis wilayah jajahan Majapahit pecah berantakan. Wilayah Majapahit terbatas hanya di Jawa, bahkan hanya Jawa Timur. Setelah mangkatnya Wikramawardhana, riwayat Majapahit tak banyak diketahui.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut dinasti Ming yang dipimpin oleh <b>Laksamana Cheng Ho,</b> seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430, ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>6. Prabu Stri Suhita (1427-1447)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1427, dan diteruskan oleh putrinya, Prabu Stri Suhita, yang memerintah pada tahun 1427 sampai 1447, bersama suaminya yang bernama <b>Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja</b>. Suhita ialah putri Wikramawardhana dari seorang selir, Bhre Daha yang juga putri kedua Bhre Wirabhumi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1433, <b>Suhita</b> membalas kematian Bhre Wirabhumi (kakeknya) dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Nama Suhita juga muncul dalam <i>kronik China</i> dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat China di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan <b>Arya Teja,</b> kakek Sunan Kalijaga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1437, Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Prabu Stri Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Karena tidak memiliki putra mahkota, Ratu Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>7. Dyah Kertawijaya (1448-1451)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar <b>Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana</b>. Istri Prabu Sri Kertawijaya bernama Dwarawati, seorang putri Campa (Kamboja) yang juga merupakan bibi Raden Rahmat (Sunan Ampel).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel. Kertawijaya wafat tahun 1451, dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan oleh putranya, Rajasawardhana.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>8. Sri Rajasawardhana (1451-1453)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah Dyah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja Majapahit yang kedelapan, bergelar <b>Sri Rajasawardhana</b> dan memerintah di Kahuripan (Kediri).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ada pendapat yang mengatakan bahwa, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447). Dalam <i>prasasti Waringin Pitu</i> juga tertulis bahwa, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, <b>Rajasawardhana Sang Sinagara</b> dalam <i>Pararaton</i> memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabhumi. Jika Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi belum lahir.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam <i>berita China.</i> Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke China.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut <i>Pararaton,</i> sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453, Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>9. Girisawardhana (1456-1466)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Wengker(III) Girisawardhana (adik Rajasawardhana) dan Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya (anak sulung Rajasawardhana). Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja (telung tahun tan hana prabhu, kata Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar <b>Hyang Purwawisesa.</b> Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rujukan: <a href="http://maulanusantara.wordpress.com/2008/08/29/pararaton-revisited-tafsir-baru-atas-sejarah-keluarga-majapahit/" target="_blank">Pararaton Revisited: Tafsir Baru Atas Sejarah Keluarga Majapahit</a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>10. Dyah Suraprabhawa (1466-1474)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dyah Suraprabhawa adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474, bergelar <b>Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta</b>. Tokoh ini identik dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton dan tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa <i>prasasti Pamintihan</i> tahun 1473.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Pararaton</i> tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabhumi. Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam <i>prasasti Trailokyapuri</i> yang dikeluarkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana wafat tahun 1474.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Girindrawardhana yang menjadi raja Majapahit tahun 1486 mengaku sebagai putra Singhawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam gelar abhiseka Singhawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu raja gunung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jadi, pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabhumi melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Pararaton</i> memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabhumi adalah raja yang menggantikan Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam <i>kronik China</i> dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi (diidentifikasi sebagai Brawijaya V adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah diusir oleh <b>Brawijaya V,</b> Suraprabhawa mendirikan istana "tandingan" yang berpusat di Tumapel (1468-1470), kemudian memindahkannya lagi ke Daha, Kediri (1470-1474). Di Daha, ia digantikan oleh puteranya, Girindrawardhana.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>11. Brawijaya (1468-1478)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1468, Bhre Kertabhumi (atau dikenal dengan Brawijaya V) memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit. Ia adalah putera bungsu Rajasawardhana yang mengklaim dirinya sebagai pewaris sah takhta Majapahit. Bhre Kertabhumi menyerang raja berkuasa Suraprabhawa, hingga memaksanya melarikan diri ke Kediri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Brawijaya memiliki istri bernama Anarawati, puteri dari Kerajaan Champa (sekarang Kamboja), yang beragama Islam. Tahun 1478, Girindrawardhana (putera Suraprabhawa) menyerang istana Majapahit dan memaksa Raja Brawijaya melarikan diri ke Demak. Raja Brawijaya memiliki putra bernama <b>Raden Patah,</b> yang kelak adalah pendiri Kesultanan Demak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketika Majapahit didirikan, pedagang muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berlandaskan ajaran Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai berdiri di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kerajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>12. Girindrawardhana (1478-1527)</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dyah Suraprabhawa memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kadiri) dan terus memerintah di sana hingga digantikan oleh putranya <b>Girindrawardhana Dyah Ranawijaya</b> pada tahun 1474. Pada 1478, Ranawijaya mengalahkan Bhre Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik internal kerajaan ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Girindrawardhana adalah raja terakhir Majapahit, ia memerintah sejak tahun 1400 Saka (1478) di Daha. Waktu itu istana Majapahit di Trowulan dikuasai oleh Raja Brawijaya. Baru pada tahun 1478, ia menyerang Brawijaya dan kembali menguasai istana Majapahit. Tahun 1486, Girindrawardhana memindahkan istana Majapahit ke Kediri. Waktu itu Majapahit hanya tinggal puing-puing. Pada masa ini, penduduk Hindu Majapahit banyak yang eksodus ke Bali, seiring dengan semakin menguatnya Islam di Majapahit.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tahun 1513, Girindrawardhana mengadakan kontak dengan Portugis. Ia juga beraliansi dengan Raja Klungkung (Bali) untuk menyerang Kerajaan Islam Demak, namun serangan tersebut gagal. Pendukungnya melarikan diri ke Bali. Riwayat Majapahit benar-benar tamat ketika Demak menyerang Kediri tahun 1527, dan menyatakan bahwa Sultan Demak, <b>Raden Patah</b> merupakan penerus Majapahit.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b><span style="color: #660000; font-size: large;">Jatuhnya Majapahit</span></b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 Saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau <i>chandrasengkala</i> yang berbunyi <i>sirna ilang kretaning bumi. </i>Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut <i>prasasti Jiyu</i> dan <i>Petak,</i> Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan Majapahit mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa Kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden Patah (kemudian menjadi Sultan Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut <i>Babad Tanah Jawi</i> dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra Raja Majapahit, Brawijaya V dengan seorang putri Champa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan <b>Adipati Unus,</b> penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal Kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Bibliografi</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><ol><li>Mulyana, Slamet (2006). Tafsir Sejarah Nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 122. <a href="http://books.google.co.id/books?id=ZdZNN4iMab0C&pg=PA121&dq=sejarah+sumenep&hl=id&sa=X&ei=rnbgT5SnEobUrQewq732DA&ved=0CF8Q6AEwCA#v=onepage&q&f=false" target="_blank">ISBN 978-979-2552-546.</a></li>
<li>Komandoko, Gamal (2009). Gajah Mada: Menangkis Ancaman Pemberontakan Ra Kuti: kisah ketangguhan seorang patih Majapahit dalam menjaga keutuhan takhta sang raja (dalam bahasa Indonesia). Penerbit Narasi. hlm. 122. <a href="http://books.google.co.id/books?id=8oeCIXs8sjkC&pg=PA16&dq=Berdiri+Majapahit&hl=id&sa=X&ei=zCnhT_OmLdHRrQer8sTODg&ved=0CF4QuwUwCDgK#v=onepage&q=Berdiri%20Majapahit&f=false" target="_blank">ISBN 978-979-164-145-2.</a></li>
</ol><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Pranala luar</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><ol><li>Wikipedia: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit" target="_blank">Majapahit</a></li>
<li>Sejarah 2: SMA/MA Untuk Kelas XI, Semester 1 dan 2 Program Ilmu Pengetahuan Sosial / penulis, Tarunasena M; editor, Agus Mulyana; ilustrator, Tim Redaksi. - Jakarta: Pusat perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009.</li>
</ol>Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, East Karawang, Karawang Regency, West Java, Indonesia-6.3054001999999993 107.32023329999993-6.4316626999999995 107.15887179999993 -6.1791376999999992 107.48159479999993tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-72858021737450577002015-06-15T11:09:00.001+07:002015-06-15T11:12:06.942+07:00Kerajaan Singhasari<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBdSDzbUbSbOkWqX8WBntt-Kx4MKF1OOyEfDl_C76_f3rekosCaq3pdlaRQmLSHzSHrCPdb3FR2wTYxzoSx5JvFDQ3skkN8pAb4haFe-ef8U7Y-8tkpf09gHBlDYGr44v21Oa9IScQRCM/s1600/Candi_singosari.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBdSDzbUbSbOkWqX8WBntt-Kx4MKF1OOyEfDl_C76_f3rekosCaq3pdlaRQmLSHzSHrCPdb3FR2wTYxzoSx5JvFDQ3skkN8pAb4haFe-ef8U7Y-8tkpf09gHBlDYGr44v21Oa9IScQRCM/s200/Candi_singosari.jpg" width="200" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Kerajaan Singhasari</span></b><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"> adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. </span><span style="font-size: 10.0pt;">Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Namun, nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari<span style="color: black;">.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Keberadaan Kerajaan Singhasari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul <i>Negarakertagama</i> karangan <b>Mpu Prapanca</b> yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singhasari serta kitab <i>Pararaton</i> yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab <i>Pararaton</i> isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab<i> Pararaton</i>lah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui.</span><br />
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Menurut <i>Nagarakretagama</i>, ketika pertama kali didirikan tahun 1222 M, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan. </span><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Kerajaan Singhasari hanya sempat bertahan 70 tahun sebelum akhirnya mengalami keruntuhan. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan di daerah Singosari, Malang.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Riwayat Berdirinya Singhasari</span></b><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah wilayah kabupaten daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (pangkat penguasa daerah setara bupati) Tumapel saat itu adalah <b>Tunggul Ametung</b>, yang memiliki istri cantik bernama <b>Ken Dedes</b>. Ken Arok seorang rakyat jelata dari desa Pangkur </span><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">yang kemudian menjadi prajurit Tunggul Ametung, berkeinginan untuk menguasai Tumapel.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Ken Arok kemudian membunuh Tunggul Ametung dengan keris yang dipesan dari <b>Mpu Gandring</b>. Ken Arok kemudian menjadi pengganti Tunggul Ametung dengan dukungan rakyat Tumapel. Ken Arok diangkat sebagai Raja Tumapel dengan gelar <b>Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi</b>, dengan Ken Dedes sebagai permaisurinya. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Tak lama kemudian, Ken Dedes melahirkan puteranya hasil perkawinannya dengan Tunggul Ametung, yang diberi nama <b>Anusapati</b>. Dari selirnya yang bernama Ken Umang, Ken Arok memiliki putera bernama <b>Tohjaya</b>.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Pada tahun 1222, terjadi perseteruan antara Kertajaya, Raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri guna meminta perlindungan kepada Ken Arok yang telah mendirikan kerajaan di Tumapel. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel. Kadiri-Kertajaya akhirnya dapat ditaklukkan dan sejak itu Kadiri menjadi bagian dari wilayah Singhasari.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Nagarakretagama</span></i><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"> juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri Kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya, Raja Kadiri.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<i><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Prasasti Mula Malurung</span></i><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"> atas nama Kertanagara tahun 1255 M, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam <i>Nagarakretagama</i> arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, <i>Pararaton</i> juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<h3 class="MsoNormal">
<span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"><span style="color: #bf9000;"><span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;">Raja-Raja Singhasari</span> </b></span></span></span></h3>
<div class="MsoNormal">
<br />
<b><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">A. Ken Arok (1222-1227)</span></b><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjb00UnwF1ogEpbnnV_qeFNEhFxos6NGr6Z-OvmN4Px64hF80xlvEAnwKwm8zC1brHg4x46YwtciHHT3Jt14Mq8_eTtLbxlBApJCrSnW34woc9IawmR0irEYcfoP16NSZ_CQDgrHoLXQKY/s1600/ken-arok.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjb00UnwF1ogEpbnnV_qeFNEhFxos6NGr6Z-OvmN4Px64hF80xlvEAnwKwm8zC1brHg4x46YwtciHHT3Jt14Mq8_eTtLbxlBApJCrSnW34woc9IawmR0irEYcfoP16NSZ_CQDgrHoLXQKY/s320/ken-arok.jpg" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Menurut kitab <i>Pararaton</i>, Ken Arok (atau dieja pula Ken Angrok) dilahirkan di desa Pangkur (yang saat ini adalah Malang) pada abad ke-13. Bayi Ken Arok ditelantarkan oleh <b>Ken Ndok</b> (ibunya) di sebuah pemakaman, hingga akhirnya diasuh oleh seorang pencuri bernama <b>Lembong</b>. Ken Arok muda dikenal sebagai penjudi, hingga membebani orang tuanya hutang yang banyak.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Pada waktu itu, Tumapel merupakan daerah kekuasaan bawahan Kerajaan Kadiri. Kondisi politik Kerajaan Kadiri pada waktu itu sedang kacau. Rajanya, Kertajaya dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan meminta rakyat dan para brahmana untuk menyembahnya, namun keinginannya ditentang keras oleh kaum brahmana.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Ken Arok Merebut Kekuasaan Tunggul Ametung</span></b><span style="color: black; font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Ken Arok kemudian menjadi prajurit yang mengabdi kepada Tunggul Ametung di Tumapel. Dikemudian hari timbul hasrat Ken Arok yang sangat menginginkan menjadi raja dan memperistri Ken Dedes, istri dari Tunggul Ametung. Untuk mewujudkan keinginannya, Ken Arok pun memesan sebuah keris pada <b>Mpu Gandring</b> untuk membunuh Tunggul Ametung. Mpu Gandring menolak menyelesaikan pembuatan keris tersebut dalam waktu yang ditentukan oleh Ken Arok. Tetapi Ken Arok tetap memaksa, hingga pada suatu saat ketika mengetahui pembuatan keris belum juga selesai, Ken Arok datang menemui Mpu Gandring dan menusuk Mpu Gandring dengan keris yang belum jadi itu hingga tewas.</span><span style="font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Dalam kepercayaan para empu, keris yang belum sempurna (dimantrai) dapat membahayakan pemilik dan orang-orang di sekitarnya. Sebelum wafat, Mpu Gandring sempat bersumpah bahwa keris itu akan membunuh tujuh nyawa dari keturunan Ken Arok, termasuk nyawa Ken Arok sendiri.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Sekembalinya di Tumapel, Ken Arok merencanakan strategi selanjutnya. Ken Arok memanfaatkan <b>Kebo Ijo</b>, seorang figur yang suka pamer dan menyombongkan diri. Ken Arok meminjamkan keris buatan Mpu Gandring kepada Kebo Ijo, yang tentu saja kemudian dipamerkan ke setiap orang. Pada suatu saat, Ken Arok menyelinap guna mengambil keris Mpu Gandring tanpa sepengetahuan Kebo Ijo, yang kemudian membunuh Tunggul Ametung, sedangkan rakyat Tumapel menyalahkan Kebo Ijo.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Dalam langkahnya untuk melakukan kudeta terhadap Tunggul Ametung, Ken Arok juga mendapat dukungan dari rakyat Tumapel dan kaum brahmana Hindu-Wisnu yang menganggap Ken Arok dapat mengembalikan kejayaan Hindu-Wisnu.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Tak lama kemudian, Ken Dedes melahirkan putera hasil perkawinannya dengan Tunggul Ametung, yang diberi nama Anusapati. Sementara, hasil perkawinan Ken Arok dan Ken Dedes membuahkan anak bernama Mahesa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya dan Dewi Rimbu. Dari selir bernama Ken Umang, Ken Arok memiliki anak bernama Panji Tohjaya,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Panji Sudhatu, Panji Wergola dan Dewi Rambi.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Langkah selanjutnya adalah penyerbuan ke pusat Kerajaan Kadiri. Ken Arok memanfaatkan situasi politik yang kurang kondusif waktu itu, dan beraliansi dengan para brahmana karena tidak setuju pada kehendak Sri Kertajaya yang ingin mendewakan diri dan disembah selayaknya para dewa. Raja <b>Kertajaya</b> yang juga dikenal dengan nama Prabu Dandang Gendis, akhirnya dapat dikalahkan pada tahun 1222 dalam Perang Ganter, dan sejak itu tamatlah riwayat Kerajaan Kadiri, kerajaan yang didirikan oleh <b>Airlangga</b>. Ken Arok memerintah di Kerajaan Singhasari hanya dalam kurun waktu lima tahun (1222-1227). </span><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singhasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni <b>Dinasti Rajasa</b> (Rajasawangsa) atau <b>Girindra</b> (Girindrawangsa).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Terbunuhnya Ken Arok</span></b><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Ketika Anusapati </span><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">telah cukup dewasa, ia mengetahui bahwa pembunuh ayahnya (Tunggul Ametung) adalah Ken Arok. Melalui tangan seorang pengalasan dari desa Batil, Anusapati memerintahkan pembunuhan terhadap Ken Arok pada tahun 1227, dan kemudian Anusapati membunuh pengalasan tersebut sebagai tindakan untuk menutup mulut. Sang Anusapati kemudian menjadi suksesor Kerajaan Singhasari.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Ken Arok didharmakan di Kagenengan, candi ini merupakan candi tertua diantara duapuluh tujuh candi keluarga wangsa Rajasa, wangsa yang didirikan oleh Ken Arok yang menjadi cikal-bakal raja-raja di tanah Jawa.</span><br />
<br /></div>
<h1>
<span style="font-size: small;"><b><span style="color: black; font-size: 10.0pt; mso-font-kerning: 18.0pt;">B. Anusapati (1227-1248)</span></b></span></h1>
<div class="MsoNormal">
<br />
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Anusapati menjadi raja kedua Singhasari setelah berhasil membunuh ayah tirinya Ken Arok. <b>Anusapati</b> memerintah Singhasari selama 21 tahun (1227-1248), namun d</span><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">alam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke telinga Tohjoyo, putra Ken Arok dari selir bernama Ken Umang yang </span><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">kemudian berkeinginan menuntut balas atas kematian ayahnya</span><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">. <b>Tohjoyo</b> mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo mencabut keris buatan Mpu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. </span><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Tohjaya berhasil membunuh Anusapati dan menjadi Raja Singhasari berikutnya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Menurut <i>Pararaton</i> dan <i>Negarakertagama</i>, Anusapati selanjutnya didharmakan di Candi Kidal sebagai Syiwa.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">C. Tohjaya (1248)</span></b><span style="color: black; font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;"><b>Tohjaya</b> adalah raja ketiga Singhasari (1248). Tohjaya yang merupakan keturunan Ken Arok dari selir bernama Ken Umang menjadi suksesor Kerajaan Singhasari setelah membunuh Anusapati. Namun, pengangkatan Tohjaya mendapat banyak tentangan, karena ia hanyalah anak dari seorang selir yang dianggap tidak berhak menduduki singgasana Singhasari. Tohjaya hanya memerintah selama kurang dari satu tahun, dan gugur dalam sebuah pemberontakan yang menentang dirinya sebagai raja, yang dipimpin oleh Ranggawuni (putera Anusapati) dan Mahesa Cempaka (putera Mahesa Wonga Teleng, putera Ken Arok lainnya dari Ken Dedes).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Dalam penyerangan tersebut, Tohjoyo berhasil melarikan diri, namun kemudian meninggal akibat luka-luka yang dideritanya di Katung Lumbung. Sebagai penggantinya adalah Ranggawuni yang dianggakat sebagai Raja Singhasari dengan gelar <b>Sri Jaya Wisnuwardhana</b>.</span><br />
<br /></div>
<h1>
<span style="font-size: small;"><b><span style="color: black; font-size: 10.0pt; mso-font-kerning: 18.0pt;">D. Sri Jaya Wisnuwardhana (1248-1268)</span></b></span></h1>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br />
<span style="font-size: 10.0pt;">Sri Jaya Wisnuwardhana (Ranggawuni) adalah raja keempat Kerajaan Singhasari setelah mengadakan pemberontakan bersama Mahesa Cempaka dalam menentang Tohjaya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Pada masa kekuasaannya, perseteruan antarkeluarga dalam dinasti Rajasa berakhir dengan rekonsiliasi sebagai upaya meredam persengketaan antar dua kelompok. </span><span style="font-size: 10.0pt;">Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.<span style="color: black;"> Salah satu upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh Wisnuwardhana ialah dengan mengangkat Mahisa Cempaka (putra Mahisa Wongatelang) menjadi Ratu Angabhaya dengan gelar <b>Narasinghamurti</b>. </span></span><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Pemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran bagi rakyat Singhasari.</span><span style="color: black; font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Sri Jaya Wisnuwardhana menikah dengan puteri keturunan eks-Kerajaan Kadiri, yang masuk kedalam wilayah Singhasari setelah ditaklukkan oleh Ken Arok serta memiliki menantu bernama <b>Jayakatwang</b>.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Pada tahun 1254, Wisnuwardhana mengangkat anaknya yang bernama <b>Kertanegara</b> menjadi yuwaraja (raja muda) </span><span style="font-size: 10.0pt;">dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. <span style="color: black;">Wisnuwardhana meninggal pada tahun 1268 dan didharmakan sebagai Siwa di Candi Waleri dan sebagai Budha Amoghapasa di Jajagu atau Candi Jago. Tidak lama kemudian, Mahisa Cempaka juga meninggal dan didharmakan di Kumeper.</span></span><br />
<br /></div>
<h1>
<span style="font-size: small;"><b><span style="color: black;">E. Sri Maharajadhiraja Sri <span style="mso-font-kerning: 18.0pt;">Kertanagara (1268-1292)</span></span></b></span></h1>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br />
<span style="font-size: 10.0pt;">Kertanegara adalah raja terakhir sekaligus yang terbesar dari Kerajaan Singhasari. Kertanagara dianggap sebagai tokoh penguasa yang pertama kali mencetuskan keinginan untuk menyatukan Nusantara. Masa pemerintahan Raja Kertanegara dikenal sebagai masa kejayaan Kerajaan Singhasari.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Usaha-usaha Raja Kertanegara untuk mencapai cita-citanya itu sebagai berikut.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">1) Usaha di dalam negeri</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">a) Untuk memperlancar pemerintahannya, Kertanegara dibantu oleh tiga orang mahamenteri, yaitu I Hino, I Sirikan, dan I Halu. Tugas mereka adalah mengatur dan meneruskan perintah raja melalui tiga menteri pelaksana, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">b) Karena dipandang kurang mendukung gagasan raja, Mahapatih Raganatha diganti oleh Aragani. Namun, agar tidak kecewa, Raganatha diangkat menjadi adhyaka di Tumapel.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">c) Karena dianggap masih punya hubungan erat dengan Kadiri, Banyak Wide diangkat menjadi Bupati Semenep (Madura) dengan gelar Arya Wiraraja.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">d) Angkatan perang, baik prajurit darat maupun armada laut, diperkuat dengan melengkapi peralatan dan persenjataannya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">e) Menumpas segala pemberontakan yang terjadi di dalam negeri, misalnya, Pemberontakan Bhayaraja (1270) dan Pemberontakan Mahesa Rangkah (1280).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">f) Mengajak kerja sama lawan-lawan politik, misalnya, Jayakatwang (keturunan Raja Kadiri) diangkat menjadi raja kecil di Kadiri dan putranya, Ardharaja dijadikan menantu Kertanegara.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">g) Raden Wijaya, putra Mahisa Cempaka, juga dijadikan menantu.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">h) Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari para pemuka agama, diangkatlah seorang kepala agama Buddha dan seorang pendeta Mahabrahma sebagai pendamping raja.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">2) Usaha ke luar negeri</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">a) Setelah armada lautnya kuat, Kertanegara mulai melebarkan sayap ke luar Jawa. Pertama-tama, Kertanegara ingin menguasai Sriwijaya. Pada tahun 1275, Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Melayu (Ekspedisi Pamalayu) untuk menghidupkan kembali Kerajaan Melayu di Jambi agar dapat menyaingi dan melemahkan Kerajaan Sriwijaya. </span><span style="font-size: 10.0pt;">Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua negara</span><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">. </span><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah atau menahan gerak ekspansi prajurit Mongol yang dipimpin Kaisar <b>Kublai Khan</b>.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">b) Pada tahun 1284, Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Bali dan berhasil menanamkan pengaruh dan kekuasaannya di sana.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">c) Pada tahun 1286, Kertanegara mengirimkan sebuah Patung Amoghapasa beserta 14 pengiringnya kepada Raja Melayu, <b>Mauliwamadewa</b>. Hal itu dimaksudkan untuk mempererat dan memperkuat pertahanan Singhasari – Melayu.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">d) Menundukkan Jawa Barat (1289), Pahang di Melayu, dan Tanjungpura di Kalimantan karena daerah-daerah ini sangat strategis untuk menghadang ekspansi tentara Mongol.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">e) Menjalin persahabatan dengan raja-raja di Semenanjung Malaka dan Indocina dengan jalan mengawinkan putri Kertanegara dengan Raja Indocina.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;"></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipVdAAIeHNVVKCxcyhjP4lQN0JmKCzpJFjTomTJ8DKt6rZAcaEUw5-t87H3r-v9hjfaFQHBy3ufPzBwtMna3jrXkstRmBqMjczhDdDr93XkF0ILJ5xahosLLMBQ3jjdI8jUx9Fov9iVMk/s1600/626px-Singhasari_Kingdom_id.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipVdAAIeHNVVKCxcyhjP4lQN0JmKCzpJFjTomTJ8DKt6rZAcaEUw5-t87H3r-v9hjfaFQHBy3ufPzBwtMna3jrXkstRmBqMjczhDdDr93XkF0ILJ5xahosLLMBQ3jjdI8jUx9Fov9iVMk/s1600/626px-Singhasari_Kingdom_id.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="color: black; font-size: xx-small;">Peta kekuasaan Singhasari pada masa Kertanegara. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Singhasari_Kingdom_id.svg" target="_blank">Wikipedia</a> - <a href="http://commons.wikimedia.org/wiki/User:Gunkarta" target="_blank">Gunawan Kartapranata</a></span></td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Pada masa pemerintahannya, di Singhasari telah berkembang pusat agama Buddha aliran Tantrayana. Hal ini terbukti dalam prasasti yang dituliskan pada lapik (alas) "<b>Jaka Dolok</b>" yang ada di Taman Simpang Surabaya. Lapik tersebut menyebutkan bahwa Kertanegara telah dinobatkan sebagai Jiwa atau Dhyani Buddha (Aksobhya). Masa pemerintahan Kertanegara berakhir ketika Kertanegara dibunuh oleh Jayakatwang, raja dari Kadiri.</span><span style="font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-size: 10.0pt;">Keruntuhan</span></b><span style="font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Pada masa kekuasaannya, Kertanagara memindah tugaskan dua tokoh penting Singhasari pada masa Raja Wisnuwardhana: Mpu Raganata (mantan mahapatih) dan Aria Wiraraja (mantan penasihat keamanan). Mpu Raganata dipandang terlalu vokal, karena mengkritisi kebijakan Kertanagara yang lebih mengutamakan ekspedisi luar negerinya dibanding stabilitas politik dalam negeri. Menurut salah satu catatan sejarah <i>Kidung Panji Wijayakrama</i>, salah satu penyebab pemberontakan yang terjadi di Singhasari dipicu oleh ketidaksenangan Aria Wiraraja yang dipindahtugaskan sebagai bupati di Sumenep, Madura.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Pada tahun 1292, pemberontakan lain juga dilakukan oleh<b> Jayakatwang</b> bupati Gelanggelang, yakni menantu Wisnuwardhana serta </span><span style="font-size: 10.0pt;">sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri<span style="color: black;">. Jayakatwang kurang suka dengan peralihan kekuasaan Singhasari ke Kertanagara, karena ia mengklaim sebagai keturunan langsung raja-raja kuno Kadiri, serta ingin melakukan balas dendam terhadap Singhasari yang telah menghancurkan Kadiri. Kekuatan Singhasari yang terfokus pada persiapan pasukan untuk mengantisipasi balasan Mongol, membuat lengah pertahanan dalam negeri. Akibatnya kesempatan ini digunakan oleh Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari. Kertanagara akhirnya gugur dalam pemberontakan tersebut.</span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-size: 10.0pt;">Hubungan dengan Majapahit</span></b><span style="font-size: 10.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan <b>Raden Wijaya</b> cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;">Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZk4G5mxhPqX5K2OH8cVS5yp8DSmWplXYNMlYytqWghnpTV6wrFw0Z89qxIFFME0YGgndO6eYX4EyHvuWIaEbSA26qvMwiMZ7L4N4BpBajvz3B-BEEHqcjbMIMOzNIrTmD24Vzlxmcwqo/s1600/RajakulaRajasa.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="160" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZk4G5mxhPqX5K2OH8cVS5yp8DSmWplXYNMlYytqWghnpTV6wrFw0Z89qxIFFME0YGgndO6eYX4EyHvuWIaEbSA26qvMwiMZ7L4N4BpBajvz3B-BEEHqcjbMIMOzNIrTmD24Vzlxmcwqo/s400/RajakulaRajasa.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: xx-small;">Silsilah Wangsa Rajasa dari sumber prasasti dan naskah kepujanggaan<span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">. Sumber: <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:RajakulaRajasa.jpg&filetimestamp=20111101042644" target="_blank">Wikipedia</a></span></span></td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: 10.0pt;"><b>Referensi:</b></span></div>
<ol>
<li><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Wikipedia: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Singhasari" target="_blank">Kerajaan Singhasari</a></span></li>
<li><span style="color: black; font-size: 10.0pt;">Sejarah: <a href="http://belajar-sejarah21.blogspot.com/2013/11/sejarah-kerajaan-singasari.html" target="_blank">Sejarah Kerajaan Singhasari</a></span></li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-31.668126 72.61273300000002 30.089576 155.22992100000002tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-49129897290721931692014-06-19T23:25:00.000+07:002014-06-19T23:25:43.143+07:00Kerajaan Kadiri<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9LkFemQTOl6qS4wAiszMeg5rkkO6bASZHQi88aOc2aAFoy_C67wfMxUncRPMq6diBDpkd9acGki2l_EJ8MK2anWH-ZKNSQniSV8b2nHZcqxGbPcix7OAH4hyphenhyphenmIMWxBGCRE0har9s9kgI/s1600/318px-Vishnu_Kediri.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9LkFemQTOl6qS4wAiszMeg5rkkO6bASZHQi88aOc2aAFoy_C67wfMxUncRPMq6diBDpkd9acGki2l_EJ8MK2anWH-ZKNSQniSV8b2nHZcqxGbPcix7OAH4hyphenhyphenmIMWxBGCRE0har9s9kgI/s1600/318px-Vishnu_Kediri.jpg" height="200" width="105" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Arca Wishnu, <br />
berasal dari Kediri, <br />
abad ke-12 dan ke-13.<br />
Gambar: Wikipedia</td></tr>
</tbody></table>
<b>Kerajaan Kadiri</b> atau Kediri atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan pecahan dari Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur, yang berkuasa antara tahun 1042-1222. <b>Airlangga</b> membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk menghindari perselisihan dua puteranya, dan ia sendiri turun tahta menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html" target="_blank">Kerajaan Kahuripan</a>. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang.<br />
<a name='more'></a><br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Latar Belakang Kerajaan Kadiri</b></span><br />
<br />
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari <i>Dahanapura</i>, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti <i>Pamwatan</i> yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam <i>Serat Calon Arang</i> (1540 M) bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Menurut <i>Nagarakretagama</i> (1365 M), sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup> <i>Prasasti Turun Hyang II</i> (1044) juga menguatkan informasi tentang pembagian kerajaan tersebut, dalam sejarah Kerajaan Kadiri.<br />
<br />
Pada masa pemerintahan Airlangga dan raja-raja sebelumnya, jabatan tertinggi sesudah raja adalah <i>rakryan mahamantri</i>. Jabatan ini identik dengan putra mahkota, sehingga pada umumnya dijabat oleh putra atau menantu raja. Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan Airlangga sejak 1021 sampai 1035, yang menjabat sebagai rakryan mahamantri adalah <b>Sanggramawijaya Tunggadewi</b>. Sedangkan, pada prasasti <i>Pucangan</i> (1041) muncul nama baru, yaitu Samarawijaya sebagai rakryan mahamantri.<br />
<br />
Sanggramawijaya Tunggadewi identik dengan putri sulung Airlangga yang lahir dari seorang permaisuri. Dalam <i>Serat Calon Arang</i>, ia mengundurkan diri menjadi pertapa bernama <i>Dewi Kili Suci</i>. Dalam kisah tersebut, Dewi Kili Suci diberitakan memiliki dua orang adik laki-laki. Dengan demikian, <b>Samarawijaya</b> dipastikan adalah adik Sanggramawijaya Tunggadewi.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Adanya unsur Teguh dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua orang istri didasarkan pada penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga.<br />
<br />
Dalam perjalanan sejarah, prasasti <i>Turun Hyang II</i> merupakan piagam pengesahan anugerah dari <b>Mapanji Garasakan</b> kepada penduduk Desa Turun Hyang karena mereka setia membantu Janggala melawan Panjalu. Oleh karena itu, Desa Turun Hyang ditetapkan sebagai <i>sima swatantra</i> atau perdikan (daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak).<br />
<br />
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul <i>Ling wai tai ta</i> (1178 M).<br />
<br />
Nama "Kediri" atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata <i>Khadri</i> yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pohon pace atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan tradisional.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Wilayah dua kerajaan ini dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas. Sedangkan Raja Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa, dan meninggal sekitar tahun 1049 M.<br />
<br />
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan. Sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga beberapa tahun setelah Airlangga meninggal, pada tahun 1052 M terjadi perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Hal ini dapat terlihat hingga abad ke-12, dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang-bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja-raja antar kedua negara. Panjalu pada awalnya dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042-1052 M) dalam prasasti <i>Malenga</i>. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu <i>Garuda Mukha</i>.<br />
<br />
Namun peperangan saudara ini berakhir dengan kekalahan Jenggala, kerajaan kembali dipersatukan di bawah kekuasaan Kerajaan Kadiri yang menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah Kerajaan Kadiri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti, yang banyak menjelaskan tentang Kerajaan Kadiri adalah hasil karya berupa kitab-kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab <i>Kakawin Bharatayudha</i> yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri atau Panjalu atas Jenggala.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Perkembangan Kerajaan Kadiri</span></b><br />
<br />
Dalam perkembangannya Kerajaan Kadiri yang beribukota di Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Janggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Janggala ditaklukkan oleh Kadiri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Janggala. Prasasti <i>Turun Hyang II</i> (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga. Prasasti <i>Banjaran</i> yang berangka tahun 1052 M, menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala.<br />
<br />
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan <b>Raja Mapanji Alanjung</b> (1052-1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. <b>Raja Samarotsaha</b> adalah menantu Raja Airlangga. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama <b>Jayaswara</b> (1104 M) dan Raja Bameswara (1116-1135 M) dari Kediri.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup> Prasasti yang ditemukan antara lain, Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya pemberian status perdikan untuk beberapa desa.<br />
<br />
Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kadiri. Setelah <b>Sri Bameswara</b> turun takhta, ia digantikan Sri Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil menaklukkan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti <i>Ngantang</i> (1135), yaitu <i>Panjalu Jayati</i>, atau Panjalu Menang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Pada masa pemerintahan <b>Sri Jayabaya</b> (1135-1159) inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Sri Jayabaya di kemudian hari dikenal sebagai "peramal" Indonesia masa depan. Pada masa kekuasaannya, Kadiri memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan. Pada masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan subordinat di bawah Kadiri. Waktu itu Kadiri memiliki armada laut yang cukup tangguh. Beliau juga terkenal karena telah memerintahkan penggubahan Kakawin Bharatayuddha.<br />
<br />
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul <i>Ling wai tai ta</i> karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkvXo6N4ZqugN1YLO-kIckbRUZTn-AwQn2W7CAl2Ejub1s-ib0giOpqYi_Y9Ur1FQD8GazJgkQqFMLy9EP30yAGi7YoMQgxp1TsbvFLQEb6vJ2IKfHoDCeRiTWyuJecV55V2ERhteD24o/s1600/800px-Kediri_Kingdom_id.svg.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkvXo6N4ZqugN1YLO-kIckbRUZTn-AwQn2W7CAl2Ejub1s-ib0giOpqYi_Y9Ur1FQD8GazJgkQqFMLy9EP30yAGi7YoMQgxp1TsbvFLQEb6vJ2IKfHoDCeRiTWyuJecV55V2ERhteD24o/s1600/800px-Kediri_Kingdom_id.svg.png" height="177" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kerajaan Janggala dan Panjalu (Kediri), kemudian bersatu menjadi <br />
Kerajaan Kediri. Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Kediri_Kingdom_id.svg" target="_blank">Wikipedia</a></td></tr>
</tbody></table>
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Raja-Raja Kerajaan Kadiri</span></b><br />
<br />
Setelah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kadiri) bangkit lagi sekitar tahun 1116 M. Sistem pemerintahan Kerajaan Kadiri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, adapun raja-raja yang pernah berkuasa pada masa Kerajaan Kadiri adalah:<br />
<br />
<b>1. Sri Jayaswara Digjaya Shastraprabhu (? -1116)</b><br />
<br />
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti <i>Sirah Keting</i> tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa, yang berisi pengesahan desa Marjaya sebagai tanah perdikan atau <i>sima swatantra</i>. Nama gelar abhisekanya ialah <b><i>Sri Maharaja Jayaswara Digjaya Sastraprabhu</i></b>. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b>2. Rakai Sirikan Sri Bameswara (1116-1136)</b><br />
<br />
Sri Bameswara, adalah raja kedua Kerajaan Kadiri yang memerintah antara tahun 1116-1136 M, dengan gelar abhisekanya adalah <b><i>Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuawanatushtikarana Sarwwaniwaryawirya Parakarama Digjayatunggadewa</i></b>. Hal itu disebutkan pada prasasti <i>Pandlegan I </i>yang berangka tahun 1038 Saka (1116 M). Prasasti tersebut berisi penetapan desa Padlegan sebagai <i>sima swatantra</i> (daerah bebas pajak) karena kesetiaan penduduknya dalam membantu perjuangan raja.<br />
<br />
Raja Bameswara masih mengeluarkan prasasti lain, yaitu:<br />
<br />
<ul>
<li>Prasasti Panumbangan berangka tahun 1042 Saka (1120 M), prasati yang dikeluarkan oleh Raja bameswara atas permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.</li>
<li>Prasasti Geneng berangka tahun 1050 Saka (1128 M)</li>
<li>Prasasti Candi Tuban berangka tahun 1052 Saka (1130 M)</li>
<li>Prasasti Tangkilan berangka tahun 1052 Saka (1130 M).</li>
</ul>
<br />
Prasasti lainnya adalah Prasasti Karang Reja berangka tahun 1056 Saka (1136 M), tetapi tidak jelas siapa yang mengeluarkannya. Apakah dikeluarkan oleh Bameswara atau Jayabaya?<br />
<br />
<b>3. Sri Jayabaya (1136-1159)</b><br />
<br />
Sri Jayabaya, adalah raja ketiga Kerajaan Kadiri, yang bergelar <b><i>Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa</i></b> (1135-1159). Pada masa kekuasaannya, Jayabaya bukan hanya berhasil mengembalikan kejayaan pada masa Airlangga melainkan juga berhasil memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan. Pada masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan subordinat di bawah Kadiri. Waktu itu Kadiri memiliki armada laut yang cukup tangguh, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan.<br />
<br />
Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti <i>Talan</i> berangka tahun 1508 Saka (1136 M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka) menjadi Prasasti Dinggopala oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Lencana kerajaan yang dipakai adalah <i>Narasingha</i>, tetapi pada Prasasti Talan disebutkan pemakaian lencana <i>Garuda Mukha</i>, simbol Airlangga.<br />
<br />
Pada Prasasti <i>Hantang</i> atau <i>Ngantang</i> (1057 Saka atau 1135 M) menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan <i>Panjalu Jayati</i> yang artinya Panjalu Menang. Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup> Ia juga meninggalkan prasasti penting lainnya, yaitu Prasasti Desa Jepun (1144 M).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Jayabaya disebut dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Dewasa ini, nama Jayabaya di tanah Jawa juga sering dipakai dalam hal-hal yang berhubungan dengan eskatologi. Selain karena keahliannya sebagai pemimpin politik yang ulung, Jayabaya juga termasyur dengan ramalan-ramalannya. Ramalan-ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul <i>Jongko Joyoboyo</i>. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal kebudayaan dan kesusastraan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat, serta visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b>4. Sri Sarweswara (1159-1169)</b><br />
<br />
Pengganti Prabu Sri Jayabaya ialah <b><i>Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama</i></b>. Sri Sarweswara memerintah tahun 1159 hingga 1169. Lencana kerajaan yang digunakan adalah <i>Ganesha</i>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Sebagai raja yang taat beragama, Prabu Sarweswara memegang teguh prinsip <i>tat wam asi</i> yang artinya Dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau. Tujuan hidup manusia menurut Prabu Sarweswara yang terakhir adalah <i>moksha</i>, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Peninggalan sejarahnya adalah prasasti <i>Padelegan II</i> (1159). Sedangkan yang paling muda adalah prasasti <i>Kahyunan</i> (1161). Dari prasasti-prasasti tersebut diketahui nama pejabat rakryan mahamantri saat itu ialah Mahamantri Halu, Panji Ragadaha dan Mahamantri Sirikan, Panji Isnanendra.<br />
<br />
<b>5. Sri Aryyeswara (1169-1181)</b><br />
<br />
Berdasarkan prasasti <i>Angin</i> (1171), Sri Sarweswara kemudian digantikan oleh <b><i>Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatararijamukha</i></b>. Masa pemerintahan Raja Sri Aryyeswara berlangsung sampai tahun 1181 dan digantikan oleh Sri Gandra.<br />
<br />
<b>6. Sri Gandra (1181-1182)</b><br />
<br />
Berdasarkan prasasti <i>Jaring</i> (1181), raja penerus Kerajaan Kadiri bernama Sri Gandra. Nama gelar abhisekanya ialah <b><i>Sri Maharaja Sri Kroncharyadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayattunggaduwanama Sri Gandra</i></b>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dari namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat mengendalikan diri dalam kepemerintahannya dengan prinsip, <i>sad kama murka</i>, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah <i>kroda</i> (marah), <i>moha</i> (kebingungan), <i>kama</i> (hawa nafsu), <i>loba</i> (rakus), <i>mada</i> (mabuk), <i>masarya</i> (iri hati).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Isi dari prasasti <i>Jaring</i> adalah pengabulan permohonan penduduk desa Jaring melalui Senapati Sarwajala tentang anugerah raja sebelumnya yang belum terwujud. Dalam prasasti tersebut juga diketahui adanya nama-nama hewan untuk pertama kalinya dipakai sebagai nama depan para pejabat Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Kebo Salawah, Lembu Agra, dan Gajah Kuning dan Macan Putih.<br />
<br />
Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal jabatan Senapati Sarwajala (laksamana laut). Dengan jabatan itu, diduga Kediri mempunyai armada laut yang kuat.<br />
<br />
<b>7. Kameswara (1182-1185)</b><br />
<br />
Prabu Kameswara memerintah Kerajaan Kadiri tahun 1182-1185, bergelar <b><i>Sri Maharaja Sri Kameswara Tri Wikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama</i></b>. Pada masa pemerintahan Kameswara, seni sastra berkembang pesat. Peninggalan sejarahnya antara lain prasasti Semanding (1182), dan prasasti Ceker (1185).<br />
<br />
Dalam masa pemerintahannya, Mpu Dharmaja menulis <i>Kakawin Smaradahana</i>, yang berisi kisah kelahiran <i>Ganesha</i>, yaitu dewa berkepala gajah yang menjadi lambang Kerajaan Kadiri sebagaimana yang tertera pada prasasti-prasasti. Kakawin Smaradahana juga mengisahkan terbakarnya Kamajaya dan Ratih, menjelang kelahiran Ganesha. Pasangan dewa-dewi tersebut kemudian menitis dalam diri Sri Kameswara, Raja Kadiri dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana, putri Janggala.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Sejak berdiri tahun 1042, Kerajaan Kadiri dan Janggala selalu terlibat perang saudara. Pada tahun 1135 Sri Jayabhaya Raja Kadiri berhasil menaklukkan Janggala. Ditambah lagi dengan perkawinan Sri Kameswara dengan Sri Kirana membuat persatuan kedua negara semakin lebih erat lagi. Raja Kameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut <i>Candrakapala</i>.<br />
<br />
<i>Kakawin Smaradahana</i> merupakan cikal bakal kisah-kisah Panji yang populer dalam masyarakat Jawa. Tokoh Panji Inu Kertapati Asmarabangun merupakan pangeran Janggala yang menikah dengan Galuh Candrakirana putri Kadiri. Dalam beberapa pementasan ketoprak, tokoh Panji kemudian menjadi Raja Janggala bergelar Kameswara. Hal ini tentu saja kebalikan dari fakta sejarah.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dalam Kakawin Smaradahana ini, sang raja juga di puji-puji sebagai titisan Dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Pada masa itu, ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kadiri.<br />
<br />
<b>8. Kertajaya (1185-1222)</b><br />
<br />
Prabu Kertajaya adalah raja terakhir Kerajaan Kadiri (1185-1222), dengan gelar <b><i>Sri Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita Srenggalancana Digjayattunggadewanama</i></b>. Prasasti peninggalannya antara lain, prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), dan prasasti Wates Kulon (1205).<br />
<br />
Pada awalnya, Kertajaya tak henti-hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian Prabu Kertajaya menurut para dalang wayang dilukiskan oleh Mpu Prapanca. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, karma, moksha.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup> Namun pada akhirnya, Kertajaya dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan meminta rakyat untuk menyembahnya.<br />
<br />
Dalam <i>Pararaton</i>, Kertajaya disebut dengan nama <b>Prabu Dandhang Gendis</b>. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah oleh para pendeta Hindu dan Budha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.<br />
<br />
Para brahmana memilih berlindung pada <b>Ken Arok</b>, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi <i>akuwu</i> (bupati) di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar <i>Bhatara Guru</i> (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.<br />
<br />
Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu <b>Mahisa Walungan</b> (adik Dandhang Gendis) dan <b>Gubar Baleman</b> mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.<br />
<br />
Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam kitab <i>Ling-Wai-tai-ta</i> yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada kitab <i>Chu-fan-chi</i> yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil (administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500-700 prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri dan perampok jika tertangkap dihukum mati.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Karya Seni Sastra dan Budaya</span></b><br />
<br />
Di bidang kebudayaan yang paling menonjol dari Kerajaan Kadiri adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukkan wayang. Di Kediri dikenal dengan adanya <i>wayang Panji</i>. Beberapa karya sastra yang terkenal adalah:<br />
<br />
<b>a. Kitab Baratayyudha</b><br />
Ditulis pada masa Jayabaya oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh, untuk memberikan gambaran terjadinya perang saudara atara Panjalu melawan Janggala dan digambarkan dengan perang antara Kurawa dan Pandawa yang masing-masing merupakan keturunan Barata. Disamping itu Mpu Panuluh juga menggubah kitab <i>Kakawin Hariwangsa</i> dan <i>Gatotkacasraya</i>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>b. Kitab Kresnayana</b><br />
Ditulis oleh Mpu Triguna pada era Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan Kresna dan Dewi Rukmini.<br />
<br />
<b>c. Kitab Samaradahana</b><br />
Ditulis oleh Mpu Dharmaja pada era Kameswara. Menceritakan sepasang suami istri yaitu Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa bertapa. Mereka kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana). Akan tetapi, mereka dihidupkan kembali dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya Sri Kirana.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>d. Kitab Lubdaka</b><br />
Ditulis oleh Mpu Tan Akung pada era Kameswara. Menceritakan pemburu bernama Lubdaka yang sudah banyak membunuh. Roh yang semestinya masuk neraka menjadi masuk surga karena melakukan pemujaan secara istimewa kepada Dewa Syiwa. Disamping itu, Tan Akung juga menulis kitab <i>Wertasancaya</i>.<br />
<br />
<b>e. Kitab Mahabarata (Wirataparwa)</b><br />
Pada masa Dharmawangsa Teguh, berhasil disadur Kitab Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuno yang disebut Kitab Wirataparwa. Selain itu juga disusun kitab hukum yang bernama <i>Siwasasana</i>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>f. Kitab Arjuna Wiwaha</b><br />
Di zaman Airlangga, disusun Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa.<br />
<br />
<b>g. Kitab Sumanasantaka</b><br />
Kitab Sumanasantaka karangan Mpu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kehidupan Sosial Masyarakat Kerajaan Kadiri</span></b><br />
<br />
Kehidupan sosial masyarakat Kadiri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat dan masyarakat hidup tenang. Hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai, maka seni dapat berkembang. Dan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang telah di ketahui sampai sekarang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kadiri dapat kita lihat dalam kitab <i>Ling-Wai-Tai-Ta</i> yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Rajanya memakai sutera, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit.<br />
<br />
Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan:<br />
<br />
<ul>
<li>Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.</li>
<li>Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).</li>
<li>Golongan masyarakat non pemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup></li>
</ul>
<br />
Kehidupan sosialnya terwujud dalam hal berikut ini:<br />
<br />
<ul>
<li>Rakyat Kediri pada umumnya memiliki tempat tinggal yang baik, bersih dan rapi.</li>
<li>Hukuman yang dilaksanakan ada dua macam, yakni hukuman denda (berupa emas) dan hukuman mati (khususnya bagi pencuri dan perampok).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup></li>
</ul>
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kondisi Ekonomi Kerajaan Kadiri</span></b><br />
<br />
Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, Kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya, dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab <i>Chi-Fan-Chi</i> dan kitab <i>Ling-wai-tai-ta</i>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Mata pencaharian yang paling penting adalah pertanian dengan hasil utama padi. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang. Hal ini ditopang oleh angkatan laut Kadiri yang cukup tangguh. Di Kediri telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut). Barang perdagangan di Kediri antara lain, emas, perak, gading, kayu, cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat mengenai pajak juga cukup tinggi. Rakyat menyerahakan barang atau sebagian hasil buminya kepada pemerintah.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Menurut berita Cina, dan kitab <i>Ling-wai-tai-ta</i> diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai bawah lutut, rambut diurai, rumah bersih teratur, dan lantainya ubin yang berwarna kuning atau hijau. Rajanya memakai sutera, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit.<br />
<br />
Berdasarkan kronik-kronik Cina, maka kehidupan perekonomian rakyat Kediri dapat dikemukakan antara lain:<br />
<br />
<ul>
<li>Rakyat hidup dari pertanian, peternakan, dan perdagangan;</li>
<li>Kediri banyak menghasilkan beras;</li>
<li>Barang-barang dagangan yang laku di pasaran saat itu, antara lain, emas, perak, gading dan kayu cendana;</li>
<li>pajak rakyat berupa hasil bumi, seperti beras, dan palawija.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup></li>
</ul>
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Runtuhnya Kadiri</b></span><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOfgHfY12SiD1xFLnXbUjZBJcFDi4CjEySJCsSwPpN_jw-EkdN-H3hzuJiEMb3vV8yt5fUrYxfM_mv7XGoqz52ejkdqlssv2e9nWdOCgNH_Nvnq4ODlpN07CYmcbOftUyAJrVBaWBAJrk/s1600/375px-Museum_f%25C3%25BCr_Indische_Kunst_Dahlem_Berlin_Mai_2006_040.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOfgHfY12SiD1xFLnXbUjZBJcFDi4CjEySJCsSwPpN_jw-EkdN-H3hzuJiEMb3vV8yt5fUrYxfM_mv7XGoqz52ejkdqlssv2e9nWdOCgNH_Nvnq4ODlpN07CYmcbOftUyAJrVBaWBAJrk/s1600/375px-Museum_f%25C3%25BCr_Indische_Kunst_Dahlem_Berlin_Mai_2006_040.jpg" height="200" width="125" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Arca Budha Vajrasattva<br />
dari Kadiri, abad ke-10/11,<br />
koleksi Museum fur<br />
Indische Kunst,<br />
Berlin-Danhem, Jerman.<br />
Gambar: Wikipedia</td></tr>
</tbody></table>
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan <b>Kertajaya</b>, dan dikisahkan dalam <i>Pararaton</i> dan <i>Nagarakretagama</i>.<br />
<br />
Raja terakhir Kediri adalah Kertajaya (1185-1222). Ia dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan meminta rakyat dan kaum brahmana untuk menyembahnya sebagai dewa. Hal ini ditentang oleh para brahmana.<br />
<br />
Sementara itu, di Tumapel (wilayah bawahan Kediri di daerah Malang) terjadi gejolak politik: Ken Arok membunuh penguasa Tumapel, Tunggul Ametung yang kemudian mendirikan Kerajaan Singhasari. Kaum Brahmana menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan meminta perlindungan kepada Ken Arok, Akuwu Tumapel. Kebetulan <b>Ken Arok</b> juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Ken Arok kemudian memanfaatkan situasi politik di Kediri, ia beraliansi dengan para brahmana, dan lalu menghancurkan Kediri. Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan berakhirnya masa pemerintahan Kertajaya, berakhir pula masa pemerintahan Kerajaan Kadiri sebagai kelanjutan Dinasti Isyana yang didirikan oleh <b>Mpu Sindok</b>. Kemudian Ken Arok mendirikan kerajaan baru Singhasari, yang mengakhiri riwayat sejarah Kerajaan Kadiri.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi wilayah bawahan Kerajaan Singhasari. Ken Arok mengangkat <b>Jayasabha</b>, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 M, Jayasabha digantikan putranya yang bernama <b>Sastrajaya</b>. Pada tahun 1271M, Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. <b>Jayakatwang</b> memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Jayakatwang, yang merupakan keturunan Raja Kadiri yang selama ini tunduk kepada Singhasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil membunuh Kertanegara, dan membangun kembali Kerajaan Kadiri.<br />
<br />
Salah seorang pemimpin pasukan Singhasari, <b>Raden Wijaya</b>, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh <b>Kaisar Kubilai Khan</b> untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Jayakatwang hanya memerintah Kerajaan Kadiri selama satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya tersebut. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Raja-Raja yang Pernah Memerintah Di Daha</b></span><br />
<br />
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri:<br />
<br />
1. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kerajaan Kahuripan yang masih utuh<br />
<br />
<b>Airlangga</b>, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu. Menurut <i>Nagarakretagama</i>, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.<br />
<br />
2. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu<br />
<br />
<ul>
<li><b>Sri Samarawijaya</b>, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).</li>
<li><b>Sri Jayawarsa</b>, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.</li>
<li><b>Sri Bameswara</b>, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).</li>
<li><b>Sri Jayabhaya</b>, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).</li>
<li><b>Sri Sarweswara</b>, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).</li>
<li><b>Sri Aryeswara</b>, berdasarkan prasasti Angin (1171).</li>
<li><b>Sri Gandra</b>, berdasarkan prasasti Jaring (1181).</li>
<li><b>Sri Kameswara</b>, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.</li>
<li><b>Sri Kertajaya</b>, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.</li>
</ul>
<br />
3. Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari<br />
<br />
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti <i>Mula Malurung</i>, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:<br />
<br />
<ul>
<li><b>Mahisa Wunga Teleng</b> putra Ken Arok.</li>
<li><b>Guningbhaya</b> adik Mahisa Wunga Teleng.</li>
<li><b>Tohjaya</b> kakak Guningbhaya.</li>
<li><b>Kertanagara</b> cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi Raja Singhasari.</li>
</ul>
<br />
4. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri<br />
<br />
<b>Jayakatwang</b>, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 M, ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 M, ia dikalahkan <b>Raden Wijaya</b> pendiri Majapahit dengan bantuan dari Kerajaan Mongolia (Tartar).<br />
<br />
5. Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit<br />
<br />
Sejak tahun 1293 M, Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar <i>Bhre Daha</i> tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh Patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:<br />
<br />
<ul>
<li><b>Jayanagara</b> (1295-1309), Nagarakretagama.47:2; Prasasti Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.</li>
<li><b>Rajadewi</b> (1309-1375), Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.</li>
<li><b>Indudewi</b> (1375-1415), Pararaton.29:19; 31:10,21</li>
<li><b>Suhita</b> (1415-1429) ?</li>
<li><b>Jayeswari</b> (1429-1464), Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin Pitu</li>
<li><b>Manggalawardhani</b> (1464-1474), Prasasti Trailokyapuri</li>
</ul>
<br />
6. Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit<br />
<br />
Menurut <i>Suma Oriental</i> tulisan Tome Pires, pada tahun 1513, Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan <b>Dyah Ranawijaya</b> yang dikalahkan oleh <b>Sultan Trenggana</b>, Raja Demak tahun 1527.<br />
<br />
Sejak saat itu nama Kadiri lebih terkenal dari pada Daha.<br />
<br />
<b>Kepustakaan:</b><br />
<ul>
<li>Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990</li>
<li>Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara</li>
</ul>
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia ID:</b> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kadiri" target="_blank">Kerajaan Kadiri</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>SKOLASTIKA:</b> <a href="http://haristepanus.wordpress.com/masa-hindu-buddha/kerajaan-kediri/" target="_blank">Kerajaan Kediri</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kadiri.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>Dunia Remaja:</b> <a href="http://deboraudania.blogspot.com/2014/01/kerajaan-kediri.html" target="_blank">Kerajaan Kediri</a></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-58060354584933582502014-06-16T00:22:00.000+07:002014-06-16T00:41:29.701+07:00Kerajaan Kahuripan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq12H-G3oULACcGOSWMdqh6cYCRR4b3jaUvEiMwqpTns3XpTPhl_klLo_t2URMO4xLEkEx5FR8o2t_AOC2LKAJx947Kc2PTi0EdciFHPqN11X2zjRtl9T9AdoyHAYh0yOOQIWbmFG0aNw/s1600/Arca+Airlangga.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq12H-G3oULACcGOSWMdqh6cYCRR4b3jaUvEiMwqpTns3XpTPhl_klLo_t2URMO4xLEkEx5FR8o2t_AOC2LKAJx947Kc2PTi0EdciFHPqN11X2zjRtl9T9AdoyHAYh0yOOQIWbmFG0aNw/s200/Arca+Airlangga.jpg" /></a></div>
<b>Kahuripan</b> adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009 M. Kerajaan ini dibangun sebagai kelanjutan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html" target="_blank">Kerajaan Medang</a> yang runtuh pada tahun 1006 M.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Runtuhnya Kerajaan Medang</span></b><br />
<br />
Raja Kerajaan Medang yang terakhir bernama <b>Dharmawangsa Teguh</b>, saingan berat <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a>. Pada tahun 1006, <b>Raja Wurawari</b> dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibu kota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan antara Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh.<br />
<a name='more'></a>Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya, <b>Airlangga</b> yang ketika itu baru berusia 16 tahun, lolos dalam serangan itu ditemani pembantunya yang bernama Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (wanagiri). Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu - Jombang (Jawa Timur).<br />
<br />
Airlangga adalah putera pasangan <b>Mahendradatta</b> (saudari Dharmawangsa Teguh) dan <b>Udayana</b> (Raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari wangsa Warmadewa). Ia lahir tahun 990 M dan dibesarkan di istana Watugaluh (Kerajaan Medang) di bawah pemerintahan Raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.<br />
<br />
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu <b>Marakata</b> (menjadi Raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan <b>Anak Wungsu</b> (naik takhta sepeninggal Marakata). Ia disebutkan sebagai seorang yang memerintah Mpu Kanwa untuk menulis <i>Kakawin Arjunawiwaha</i>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Airlangga Mendirikan Kerajaan</span></b><br />
<br />
Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga membangun kembali <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html" target="_blank">Kerajaan Medang</a>. Karena kota Watan sudah hancur, maka, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya. Karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yang membebaskan diri, baru setelah <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a> dikalahkan <b>Rajendra Choladewa</b>, Raja Cholamandala dari India tahun 1023. Airlangga merasa leluasa membangun kembali kejayaan Wangsa Isyana.<br />
<br />
Peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Airlangga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Airlangga dikenal sebagai model toleransi beragama, sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Budha. Pada tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruh Kahuripan seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Yang pertama dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030, Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa. Pada tahun 1031, putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Namun pada tahun 1032, Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa dari daerah Tulungagung. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang. Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup hampir seluruh Jawa Timur.<br />
<br />
Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma, Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Kertanagara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Masa Pembangunan</span></b><br />
<br />
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain:<br />
<ul>
<li>Membangun Sriwijaya Asrama tahun 1036 M, sebagai tempat pembelajaran agama.</li>
<li>Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.</li>
<li>Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.</li>
<li>Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.</li>
<li>Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.</li>
<li>Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.</li>
</ul>
Di bawah pemerintahan Airlangga, seni sastra berkembang. Tahun 1035, Mpu Kanwa menggubah kitab <i>Arjuna Wiwaha</i>, yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan tentang perjuangan Arjuna, sebagai inkarnasi Wisnu yangmengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari. Kisah Airlangga digambarkan dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan.<br />
<br />
Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Pemecahan Kerajaan Kahuripan</span></b><br />
<br />
Pada tahun 1042, Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut <i>Serat Calon Arang</i> ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut <i>Babad Tanah Jawi</i> ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti <i>Gandhakuti</i> (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.<br />
<br />
Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon raja yang sebenarnya, yaitu <b>Sanggramawijaya Tunggadewi</b>, memilih menjadi pertapa dari pada naik takhta. Ia dikaitkan dengan legenda Dewi Kilisuci dan Gua Selomangleng di Gunung Klothok, 5 KM arah barat kota Kediri.<br />
<br />
Menurut <i>Serat Calon Arang</i>, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra Raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama <b>Mpu Bharada</b> berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II.<br />
<br />
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada <b>Sri Samarawijaya</b>, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada <b>Mapanji Garasakan</b>, yang keduanya merupakan anak Airlangga yang berasal dari selir. Sedangkan Raja Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa, dan meninggal sekitar tahun 1049.<br />
<br />
Tak banyak yang diketahui peristiwa di Kerajaan Janggala, karena Kadiri-lah yang cukup dominan. Raja pertama Kerajaan Janggala adalah <b>Jayanegara</b>. Yang digantikan oleh putranya, <b>Wajadrawa</b>. Janggala kembali dipersatukan dengan Kadiri ketika Raja Kadiri, <b>Bameswara</b> (1116-1136) menikah dengan puteri mahkota Kerajaan Janggala, <b>Kirana</b> (putri Wajadrawa). Dengan demikian, berakhirlah riwayat Kerajaan Janggala.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Akhir Pemerintahan Airlangga</span></b><br />
<br />
Setelah membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua, Airlangga kemudian menjadi pertapa, dan meninggal tahun 1049. Airlangga semasa hidupnya dianggap titisan Wisnu, dengan lancana kerajaan Garudamukha. Sehingga sebuah arca indah yang disimpan di musium Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu yang menaiki garuda. Prasasti <i>Sumengka</i> (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti <i>Pucangan</i> (1041), diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.<br />
<br />
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut. Kisah Airlangga digambarkan dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Kahuripan Dalam Sejarah Majapahit</b></span><br />
<br />
Nama Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1293. <b>Raden Wijaya</b> sang pendiri kerajaan tampaknya memperhatikan adanya dua kerajaan yang dahulu diciptakan oleh Airlangga.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri alias Daha, dan Janggala alias Kahuripan atau Jiwana. Keduanya oleh Raden Wijaya dijadikan sebagai daerah bawahan yang paling utama. Daha di barat, Kahuripan di timur, sedangkan Majapahit sebagai pusat.<br />
<br />
<i>Pararaton</i> mencatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai <i>Bhatara i Kahuripan</i>, atau disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama ialah <b>Tribhuwana Tunggadewi</b> putri Raden Wijaya. Setelah tahun 1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada yang diangkat sebagai patih Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-kahuripan.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b>Hayam Wuruk</b> sewaktu menjabat <i>yuwaraja</i> juga berkedudukan sebagai Raja Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha. Setelah naik takhta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat ibunya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.<br />
<br />
Sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan adalah cucunya, yang bernama Surawardhani. Lalu digantikan putranya, yaitu Ratnapangkaja.<br />
<br />
Sepeninggal Ratnapangkaja, gelar Bhre Kahuripan disandang oleh keponakan istrinya (Suhita) yang bernama <b>Rajasawardhana</b>. Ketika Rajasawardhana menjadi Raja Majapahit, gelar Bhre Kahuripan diwarisi putra sulungnya, yang bernama Samarawijaya.<br />
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<div class="fotenote">
<ol><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia-ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kahuripan" target="_blank">Kerajaan Kahuripan</a> <br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>PEMECUTAN-BEDUHULU-MAJAPAHIT</b>: <a href="http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/kerajaan-kahuripan.html" target="_blank">Kerajaan Kahuripan</a> <br />
</ol>
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-39867264467026154532014-06-13T23:43:00.000+07:002014-06-13T23:43:31.705+07:00Kerajaan Pakuan Pajajaran<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKyR8mUL12ff34NbuOywk7kbj4Q7HaFsFY5y9VCwM15OrYfD4rgiG0kLX7yBNUbHunSqsTU_QYQKhTRFYLiaO9BPj5bTCV33Fbe4JMQ8oqeybCUCDeCwK-c1oinoa3Q0NYjlY4vXRx9qc/s1600/batu-tulis.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKyR8mUL12ff34NbuOywk7kbj4Q7HaFsFY5y9VCwM15OrYfD4rgiG0kLX7yBNUbHunSqsTU_QYQKhTRFYLiaO9BPj5bTCV33Fbe4JMQ8oqeybCUCDeCwK-c1oinoa3Q0NYjlY4vXRx9qc/s1600/batu-tulis.jpg" height="137" width="200" /></a></div>
<b>Pakuan Pajajaran</b> atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Jadi, Kerajaan Pakuan Pajajaran adalah lanjutan dari Kerajaan Tarumanagara dan Sunda-Galuh. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.<br />
<a name='more'></a><br />
Menurut catatan yang dikumpulkan oleh jurutulis Sultan Trenggono (dalam <i>Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 4</i>), pada tahun 1521 Masehi (akhir pemerintahan Sri Baduga Maharaja), penduduk kota Pakuan ada 48.271 orang. Laporan Portugis tahun 1522 Masehi, memperkirakan penduduk Pakuan sebanyak 50.000 orang. Dengan jumlah itu, Pakuan di bawah naungan <b>Sri Baduga Maharaja</b>, merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak (49.197 orang). Pasai, sebagai kota terbesar ketiga, baru berpenduduk 23.121 jiwa.<br />
<br />
Sejak abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Etimologi dan Toponimi</span></b><br />
<br />
Dalam tulisan <i>De Batoe-Toelis bij Buitenzorg</i> (Batutulis dekat Bogor), R. Ng. Poerbatjaraka (1921) menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar" (aanrijen staande hoven).<br />
<br />
Dalam naskah <i>Carita Parahiyangan</i> ada kalimat berbunyi <i>"Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata"</i> (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).<br />
<br />
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterusnya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.<br />
<br />
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya: Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.<br />
<br />
Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan "Pajajaran" untuk nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Lokasi Pakuan</span></b><br />
<br />
Dalam <i>kropak</i> (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, Suradipati.<br />
<br />
<i>"Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa".</i><br />
<br />
Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.<br />
<br />
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Cipakancilan". Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Riwayat Kerajaan Pakuan Pajajaran</span></b><br />
<br />
Sepeninggal <b>Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana</b> (1475 M), kawasan bekas <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanagara</a> (Kerajaan Sunda-Galuh), kembali terbagi dua, di antara dua putera mahkota pewaris Kerajaan Sunda. <b>Sang Haliwungan</b> (Prabu Susuktunggal), putera sulung dari Dewi Sarkati (puterinya Susuk Lampung, Sumatera Selatan), diwarisi wilayah barat dengan batas sungai Citarum, dengan nama yang tetap sama: Kerajaan Sunda, dengan pusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor). Sebelumnya, dari sejak tahun 1382 M, Sang Haliwungan sempat dipercaya oleh ayahnya, menjadi <i>Prabu Anom</i> (Rajamuda atau Yuwaraja), sebagai pemegang tahta perwalian Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dalam <i>Kropak 406 Carita Parahiyangan</i>, tokoh Sang Haliwungan tertulis:<br />
<br />
<i>"inya sang susuktunggal nu munar na pakwan reujeung sanghi‑ yang haluwesi, nu nyaeuran sanghiyang rancamaya. Yang artinya: Dialah Sang Susuktunggal yang merenovasi (memperindah) kota Pakuan, dan memperteguh dua tempat suci: Sanghiyang Haluwesi dan Sanghiyang Rancamaya."</i><br />
<br />
Artinya: Mengenai tempat suci Sanghiyang Rancamaya, yang terletak di bukit Badigul (Bogor), sempat menjadi "sengketa" yang menghebohkan. Kini Sanghiyang Rancamaya dan bukit Badigulnya, tempat diprabukannya Raja-raja Sunda, sirna tanpa bekas, sudah berubah menjadi perumahan mewah Rancamaya.<br />
<br />
Selanjutnya, <i>"sang Susuktunggal inyana nu nyieun palangka sriman sriwacana; nu mikadatwan sri bima‑ punta‑ narayana‑madura‑suradipati."</i> Yang artinya: Sang Susuktunggal yang membuat singasana Sriman Sriwacana dan tinggal di keraton Sri Bima‑Punta‑Narayana‑Madura‑Suradipati.<br />
<br />
Lokasi bekas keraton tersebut, kini sudah menjadi bangunan permanen, berupa villa warisan almarhum Bung Karno (Presiden RI pertama), dengan nama: Ing Puri Bima Sakti.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<i>"Kawekasan sang susuktunggal pawwatanna lemah suksi lemah hadi, mangka premana raja utama, lawasnya ratu saratus tahun."</i> Yang artinya: Peninggalan warisan Sang Susuktunggal, adalah tanah yang suci dan tanah baik (subur), sebagai tanda keutamaan raja. Lamanya menjadi raja 100 tahun (1382‑1482 M).<br />
<br />
Kemudian <b>Sang Ningrat Kancana</b>, putera sulung Dewi Mayangsari (puterinya Mangkubumi Bunisora Suradipati), diwarisi wilayah timur dengan batas sungai Citarum, dengan nama Kerajaan Galuh. Sang Ningrat Kancana menjadi penguasa Kerajaan Galuh, dengan gelar Prabu Dewa Niskala, dengan pusat pemerintahannya di kota Kawali (Ciamis).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dalam <i>Kropak 406 Carita Parahiyangan</i>, tokoh Sang Ningrat Kancana, tercatat sebagai pengganti Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana. la adalah <i>"tohaan di galuh, inya nu surup di guna tiga, lawasnya ratu tujuh tahun, kena salah twah, bogoh ka estri larangan ti kaluaran."</i> Yang artinya: Yang di pertuan di Galuh. Dia yang dipusarakan di Guna Tiga. Lamanya menjadi raja hanya 7 tahun (1475‑1482 Masehi). Akibat salah perilaku, memperisteri perempuan terlarang dari luar.<br />
<br />
Adapun yang menjadi latar belakang peristiwa, hingga Prabu Dewa Niskala memperisteri <i>estri larangan ti kaluaran</i>, adalah akibat terjadinya perubahan politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur.<br />
<br />
Dalam tahun 1473 M, <b>Raden Fatah</b> dihadiahi tanah di Demak oleh ayahnya, <b>Prabu Kertabumi</b> atau Brawijaya V. Ibu kandung Raden Fatah adalah Siu Ban Ci, puteri Syekh Bentong (Tan Go Hwat), seorang ulama China mazhab Hanafi murid Sunan Ampel.<br />
<br />
Siu Ban Ci mengembara ke Palembang, akibat perceraian dengan suaminya, Prabu Kertabumi. Di Palembang, Siu Ban Ci diperisteri oleh Arya Damar, seorang Bupati Majapahit yang ditempatkan di Palembang. Dari ibunya, Raden Fatah mendapat nama Jin Bun, dari ayah tirinya (Arya Damar alias Arya Dillah), diberi nama Raden Praba. Sedangkan nama Fatah (Al Fatah), diterima kemudian dari <b>Sunan Ampel</b>, sebagai guru dan juga mertuanya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Sunan Ampel sendiri, adalah kemenakan Ratu Darwati, salah seorang isteri Prabu Kertabumi. Sunan Ampel yang bernama Ali Rakhmatullah, untuk kepentingan membuka pesantren, atas permohonan Ratu Darawati, dihadiahi tanah Ampel Denta oleh Raja Majapahit. Karena Demak berkembang menjadi kota yang ramai, maka dalam tahun 1475 Masehi, daerah itu dijadikan kadipaten (kadipatian). Kemudian, Raden Fatah, oleh ayahnya dijadikan Adipati Demak bawahan Majapahit.<br />
<br />
Tiga tahun kemudian, Raden Fatah mengerahkan pasukan Demak, menggempur Majapahit. Prabu Kertabumi beserta keluarga keraton Majapahit, meninggalkan ibukota, cerai-berai mengungsi ke berbagai jurusan. Prabu Kertabumi akhirnya tewas di daerah Bukit Sawar, mengakhiri kekuasaan ayahnya. Sebutan Majapahit dirubahnya menjadi Demak, dan Raden Fatah menjadi Sultan yang pertama dengan gelar Sultan Alam Akbar AI Fatah.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Uniknya, peristiwa tragis yang terjadi di Majapahit itu, ada kemiripan dengan kisah proses awal penyebaran Islam Tatar Sunda. Kisah anak ingin mengIslamkan ayahnya, hingga memerangi kerajaan ayahnya, hidup dalam dongeng babad: Prabu Kian Santang.<br />
<br />
Kerajaan Majapahit tidak runtuh, karena masih berdiri di bawah <b>Prabu Girindrawardana</b> (Brawijaya VI), dengan ibukota di Keling. Baru kemudian, dalam masa pemerintahan <b>Prabu Udara</b> (Brawijaya VII), Demak berhasil menghancur‑leburkan Majapahit (1517 Masehi). Menurut versi lain, serangan ke Majapahit tahun 1478 Masehi, yang menyudahi kekuasan Kertabumi, dilakukan oleh Girindrawardana.<br />
<br />
Dari Wandan Bondri Cemara, Prabu Kertabumi mempunyai anak laki‑laki, diberi nama Raden Bondan Kejawan. Dialah pemimpin rombongan pengungsi Majapahit ke Jawa Tengah. Di sana, Raden Bondan Kejawan menikah dengan Dewi Nawangwulan, yang lebih terkenal dengan nama <b>Nyai Lara Kidul</b>. Dewi Nawangwulan adalah Ratu Mataram yang menganut agama Bhudagotama. Dari pernikahannya, memperoleh seorang puteri, kemudian diberi nama Nyai Mas Ratu Angin‑Angin. Kelak, Nyai Mas Ratu Angin‑angin diperisteri oleh Sutawijaya, yang mendirikan Mataram Islam. Nyai Mas Ratu Angin‑Angin adalah penganut setia agama Budhagotama. Oleh karena itu, ia tersamar dalam cerita rakyat, dan lebih dikenal dengan sebutan <b>Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan)</b>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Di antara keluarga keraton Majapahit yang mengungsi, ada juga yang sampai ke Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Rombongan ini dipimpin oleh <b>Raden Baribin</b>, saudara seayah Prabu Kertabumi. Raden Baribin, adalah putera Prabu Sengawikramawardana (Brawijaya IV) dari Endang Sasmitapura. Rombongan pengungsiannya, diterima dengan tangan terbuka, oleh Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh.<br />
<br />
Kemudian, Raden Baribin dijodohkan dengan puterinya, Puteri Ratna Ayu Kirana. Puteri ini adalah adik Banyakcatra (Kamandaka), Bupati Galuh di Pasir Luhur, yang juga adik Banyakngampar, Bupati Galuh di Dayeuh Luhur. Ketiga‑tiganya adalah putera Prabu Dewa Niskala dari isterinya yang lain.<br />
<br />
Selain itu, Prabu Dewa Niskala memperisteri salah seorang wanita pengungsi, yang sudah bertunangan. Dalam pengungsian, wanita itu terpisah dari tunangannya. Menurut hukum waktu itu, baik di Kerajaan Majapahit maupun di Kerajaan Sunda (termasuk Kerajaan Galuh), seorang gadis yang telah bertunangan (rara hulanjar), tidak boleh menikah dengan laki‑laki lain, kecuali jika tunangannya meninggal atau membatalkan pertunangan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dalam hal ini, ratu Galuh Prabu Dewa Niskala telah melanggar dua buah pantangan (purbatisti‑purbajati Sunda):<br />
1. Prabu Dewa Niskala, telah menjodohkan puterinya dengan Raden Baribin, keluarga keraton Majapahit.<br />
2. Prabu Dewa Niskala, memperisteri seorang <i>estri larangan</i> (rara hulanjar).<br />
<br />
Oleh karena itu, Prabu Dewa Niskala, telah dianggap melanggar dua macam <i>tabu</i> (pantangan) keraton. Dari sejak peristiwa <i>tragedi palagan Bubat</i> (1357 Masehi), keluarga keraton Kawali, tabu berjodoh dengan keluarga keraton Majapahit.<br />
<br />
Prabu Susuktunggal, penguasa Kerajaan Sunda, yang juga sebagai kakak seayah Prabu Dewa Niskala, sangat marah. Dalam tindakan terhadap ulah adiknya, ia memutuskan hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Galuh. Tentu saja, konflik kedua pemimpin negara, mengguncangkan rakyat Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Konflik berkembang rnenjadi permusuhan. <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-sunda-galuh.html" target="_blank">Kerajaan Sunda</a> dan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-sunda-galuh.html" target="_blank">Kerajaan Galuh</a>, sama-sama mengerahkan pasukannya, ditempatkan di daerah perbatasan tepi barat dan timur sungai Citarum.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Untuk menyelamatkan keadaan, para Pembesar dari kedua kerajaan yang bermusuhan, mengadakan <i>gotrasawala</i> (musyawarah kekeluargaan), di wilayah netral, yang diduga di Kerajaan Batulayang (Kabupaten Bandung). Hasil musyawarah disepakati oleh kedua belah pihak, dan memutuskan, bahwa:<br />
<br />
1. Prabu Dewa Niskala harus turun dari tahta Kerajaan Galuh;<br />
2. Begitu pula Prabu Susuktungggal, harus turun dari tahta Kerajaan Sunda.<br />
<br />
Selanjutnya, tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, harus diserahkan kepada putera mahkota yang ditunjuk. Kedua mantan raja menunjuk orang yang sama <b>Jayadewata</b>, putera sulung Dewa Niskala yang telah dinikahkan dengan Puteri Kentring Manik Mayang Sunda (Ambetkasih), anak perempuan Susuktunggal, sebagai penerus kekuasaan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Pasasti Batu Tulis</span></b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8in0bcjLie3E3GF7SsWlHnsbdTpmtGmol7trvQImCAt-xne0eNQfHOZhlac_jJOnYuKxsnwzqkWlC1UDjh8fpBOqvNIrJn_4yrhIDZrbXnvZA8KRA_Hks2S49DRSEsxLHdibyIifCQnE/s1600/460px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Beschreven_steen_in_Batoetoelis_de_batu_tulis_TMnr_60016460.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8in0bcjLie3E3GF7SsWlHnsbdTpmtGmol7trvQImCAt-xne0eNQfHOZhlac_jJOnYuKxsnwzqkWlC1UDjh8fpBOqvNIrJn_4yrhIDZrbXnvZA8KRA_Hks2S49DRSEsxLHdibyIifCQnE/s1600/460px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Beschreven_steen_in_Batoetoelis_de_batu_tulis_TMnr_60016460.jpg" height="200" width="153" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Prasasti Batu Tulis.</td></tr>
</tbody></table>
Menurut <i>Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2</i>, Jayadewata mula‑mula bergelar Prabuguru Dewataprana. Kemudian dalam bulan Caitra tahun 1404 Saka (Maret/April 1482 M), ia menerima tahta kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Peristiwa penobatannya di Pakuan, sekaligus menjadikan Jayadewata seorang Maharaja, karena kekuasaan pemerintahannya, meliputi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Peristiwa tersebut, sesuai dengan isi prasasti Batutulis Kota Bogor, berangka tahun 1533 (1455 Saka), yang memberitakan:<br />
<br />
<i>// mwang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diva dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sang sidamokta di gunatiga, incu rahyang niskala waste kancana sang sidamokta ka nusa larang ya siya nu nyian sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun // i sake panca pandawa emban bumi //</i><br />
<br />
Artinya: Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) Prabu Ratu Suwargi. la dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455 'Panca Pandawa Mengemban Bumi' (Danasasmita, 1981: 25).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Prasasti ini dibuat oleh <b>Prabu Sanghyang Surawisesa</b> (putera Sri Baduga Maharaja), berangka tahun 1533 (1455 Saka). Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran. Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Raja-Raja Kerajaan Pakuan Pajajaran</span></b><br />
<br />
<b>1. Sri Baduga Maharaja (1482-1521)</b><br />
<br />
Sri Baduga Maharaja yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, yang berubah nama resmi menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena pakuan atau pakuwuan merupakan bangunan tempat tinggal raja-raja dari semua gabungan kerajaan Sunda-Galuh. Itulah awal resmi Kerajaan (Pakuan) Pajajaran, dengan raja pertamanya Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.<br />
<br />
Penamaan Pajajaran untuk Kerajaan Sunda, sesungguhnya berasal dari penamaan keraton Sri Bima‑Punta Narayana-Madura‑Suradipati yang bentuknya sebangun dan berjajar. Oleh karena keraton tersebut berada di kota Pakuan, masyarakat sering menyebutnya Pakuan Pajajaran. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama berdasarkan sumber cerita Pantun dan Babad, Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. Sedangkan berdasarkan sumber‑sumber Portugis, nama resmi kenegaraan, tetap menggunakan sebutan Kerajaan Sunda.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dalam prasasti <i>Batutulis</i> diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.<br />
<br />
Di Jawa Barat Sri Baduga Maharaja ini lebih dikenal dengan nama <b>Prabu Siliwangi</b>. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam <i>Kropak 630</i> sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan <b>Prabu Niskala Wastu Kancana</b> (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).<br />
<br />
Baca juga: SRI BADUGA MAHARAJA (PRABU SILIWANGI)<br />
<br />
<b>Menyebarnya Islam</b><br />
<br />
Islam mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru dimulai pada abad ke-13 Masehi.<br />
<br />
Sebelum Sri Baduga Maharaja lahir, di Kerajaan Sunda sudah ada penganut agama Islam. Tokoh tersebut adalah <b>Bratalegawa</b>, putera Mangkubumi Bunisora Suradipati. Bratalegawa adalah adik Giridewata alias Ki Gedeng Kasmaya, Raja Cirebon Girang. Bratalegawa lahir tahun 1350 M, dua tahun lebih muda dari Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (kakeknya Sri Baduga Maharaja).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Sebagai saudagar besar yang memiliki banyak kapal layar, Bratalegawa tidak menjadi raja daerah (Ki Gedeng), ia sibuk oleh kegiatan niaga lautnya. Bratalegawa, menikah dengan wanita muslim dari Gujarat, bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian dari Gujarat, bersama isterinya, Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan mendapat nama baru menjadi Haji Baharuddin Al Jawi.<br />
<br />
Setelah kembali ke Kerajaan Galuh, ia lebih dikenal sebagai Haji Purwa Galuh (haji pertama di Galuh). Walaupun berbeda agama, ia tetap hidup rukun dengan saudara‑saudaranya. Kelak, cucunya yang bernarna Hadijah, menjadi isteri Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama mazhab Safi'i, yang memimpin pesantren di Bukit Amparan Jati Cirebon, merupakan pesantren tertua kedua di Kerajaan Sunda.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada tahun 1416, <b>Laksamana Zheng He</b> (Cheng Ho) dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, yang juga dikenal sebagai <b>Syekh Qura</b> yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja yang menganut Islam. Ketiga anaknya, yaitu Pangeran Walangsungsang, Larasantang, dan Raja Sangara, diijinkan memeluk agama Islam yang dianut ibunya. Dalam beberapa <i>Naskah Pangeran Wangsakerta</i>, menggambarkan sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam, dengan kalimat: <i>rasika dharmika ring pamekul agami rasul</i> (bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Islam).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b>Perjanjian Sunda - Portugis</b><br />
<br />
Sesungguhnya, yang dikhawatirkan oleh Sri Baduga Maharaja perihal pertentangannya terhadap Cirebon, bukan karena "Islamnya". Akan tetapi, hubungan politis yang terlalu akrab, antara Cirebon dengan Demak. Tidak kurang dari 4 orang putera-puteri Syarif Hidayat (Cirebon), dijodohkan dengan putera‑puteri Raden Fatah (Demak).<br />
<br />
Karena perkawinan Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor, maka angkatan laut Demak yang dipimpin oleh Sabrang Lor, sebagian ditempatkan di Cirebon. Situasi itulah yang mendorong Sri Baduga Maharaja mengutus Putera Mahkota (Prabu Anom) Ratu Sanghyang Surawisesa, sebagai duta resmi negara, untuk mengadakan hubungan bilateral dengan <b>Alfonso d'Albuquerque</b> (dalam naskah <i>Pangeran Wangsakerta</i>, disebut Laksamana Bungker), raja muda Portugis di Malaka tahun 1512 M.<br />
<br />
Misi tersebut diulang tahun 1521 Masehi. Akan tetapi, pada tahun itu, Sri Baduga Maharaja sudah wafat, kesepakatan perjanjian Kerajaan Sunda (Pajajaran) - Portugis, akhirnya ditanda‑tangani di Pakuan, pada tanggal 21 Agustus 1522 M. Duta Portugis dipimpin <b>Hendrique de Leme</b> (Endrik Bule). Kunjungannya ke Pakuan, sekaligus untuk menghadiri upacara penobatan Prabu Sanghyang Surawisesa, sebagai penguasa Kerajaan Sunda (Pajajaran) pengganti Sri Baduga Maharaja.<br />
<br />
Hubungan internasional bilateral inilah, yang dicurigai para ahli sejarah, bahwa "Pajajaran adalah kerajaan yang memulai mengundang kaum penjajah" ke tanah air Indonesia. Padahal, pedagang Portugis pada waktu itu, masih sebagai pelaut murni. Berbeda dengan pelaut Belanda, yang selalu berambisi, menguasai wilayah perdagangan (kolonialis) yang disinggahinya.<br />
<br />
Persaingan dagang memperebutkan jalur pelayaran Selat Malaka, di antara Kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan Demak, sangat wajar terjadi, karena Pajajaran dengan Demak mempunyai strategi politik dagang masing‑masing. Sangat disayangkan, telaah ke arah itu baru di permukaannya saja, sehingga "sentimen agama Islam"‑lah yang sering dimunculkan.<br />
<br />
<b>2. Sanghiyang Surawisesa (1521-1535)</b><br />
<br />
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Prabu Sanghiyang Surawisesa (putera Sri Baduga Maharaja dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh <i>Carita Parahiyangan</i> dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Wafatnya tokoh Sri Baduga Maharaja, menimbulkan persoalan baru, membangkitkan ambisi Cirebon untuk memperluas wllayah kekuasaannya. Ketika Prabu Sanghiyang Surawisesa naik tahta, konflik dengan Pakungwati Cirebon semakin meruncing, sehingga selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis <i>Carita Parahiyangan</i> memang berkaitan dengan hal ini.<br />
<br />
<i>Nagara Kretabhumi</i> parwa I sarga 2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh <b>Tome Pires</b>, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.<br />
<br />
Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu. Menurut Soekanto (1956), perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan <i>"Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".</i><br />
<br />
Adapun terjemahan dari <b>Sertifikat Perjanjian Sunda‑Portugis</b> tersebut, antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
"Tanggal 21 Agustus 1522 ses. M. hadir di pelabuhan Sunda ini: Amrrique Leme, kapten perjalanan ini, utusan Jorge d'Alboquerque, Kapten Malaka, dengan tugas untuk mengadakan perjanjian dan persetujuan perdamaian serta persahabatan dengan Raja Sunda. Raja Sunda tersebut menyetujui perutusan dan perjanjian persahabatan yang diadakan dengannya oleh A. Leme. Ia (Leme) menganggap baik dan mengerti, bahwa ia diberi izin untuk mendirikan sebuah benteng di atas tanahnya untuk Raja Portugis, Tuan Kami. Untuk maksud ini, ia (Raja Sunda) mengutus pejabat tingkat atas, yang disebut Paduka Tumenggung (mamdarim Padam Tumungo) dan bersama dengannya dua pejabat terhormat (diutus pula), jelasnya yang satu bernama Sang Adipati (Samgydepaty) yang lain Bendahara (Benegar), seperti pula syahbandar dari tempat pabean. Selain itu banyak orang baik. Pejabat-pejabat tersebut diberi kuasa penuh untuk mengambil keputusan, menentukan dan menunjuk tempat, yang dianggap cocok oleh Amrrique Leme tersebut untuk (membangun) benteng bagi Raja Portugis. Paduka Tumenggung bersama pejabat‑pejabat lain dan orang-orang baik yang disebut di atas, bersama dengan Amrrique Leme tersebut pada tanggal itu pada tempat benteng akan dibangun, menegakkan sebatang padrao dari batu; jadi di sebelah kanan muara sungai, seberang awal pelabuhan. Kawasan ini yang disebut Kalapa. Maka, di situ batu peringatan (padrao) ditancapkan dengan lambang Raja, Tuan kami dan dengan sebuah inskripsi."<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBbntKauxY9lhREpI9ynqqwqAHKCjk4FjDiPaQNwDtKRhVOrxd2RfRYyh2lK__3NYoWnQCTirbOwPiRKWCoc_2W2wUE8aQHQ79EAUXaWSh_95vQ-VQOQsX_X_fRX8UJtl66TZQjDQz34Y/s1600/348px-Padrao_sunda_kelapa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBbntKauxY9lhREpI9ynqqwqAHKCjk4FjDiPaQNwDtKRhVOrxd2RfRYyh2lK__3NYoWnQCTirbOwPiRKWCoc_2W2wUE8aQHQ79EAUXaWSh_95vQ-VQOQsX_X_fRX8UJtl66TZQjDQz34Y/s1600/348px-Padrao_sunda_kelapa.jpg" height="200" width="180" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Padrao Sunda Kelapa.</td></tr>
</tbody></table>
Maka, Raja Sunda tersebut menyetujui persetujuan dan kontrak yang diadakannya dengan Amrrique Leme, yakni supaya dengan bebas dan rela setiap tahun pada tanggal pembangunan benteng tersebut dimulai, menghadiahkan kepada Raja, Tuan kami, seribu karung lada sebagai tanda perdamaian dan persahabatan. Karung‑karung seperti dipakai lazim di negeri itu, sehingga setiap karung beratnya 10.600 caxas Java. Maka, beratnya seribu karung itu kurang lebih seratus enam puluh bahar.<br />
<br />
Tentang seluruhnya itu, Amrrique Leme tersebut di atas itu menyuruh saya, Balthasar Memdes, penulis dari kapal San Sebastian, selaku perwira Raja, Tuan kami, membuat dokumen ini. Dengan demikian, saya memberi kesaksian, bahwa isinya menguraikan apa yang berlangsung dan disetujui.<br />
<br />
Untuk buktinya, saya, penulis, mengadakan sertifikat ini dan (kemudian) menyalinnya ke dalam buku saya, yang ditandatangani dengan tandatangan saya yang biasa. Saksi‑saksi adalah Fernco de Almeida, kapten sebuah jung serta pedagang-pedagang pangkat atas Raja. Tuan kami, pada perjalanan ini, dan Franscisco Annes, penulis dan Manuel Mendes dan Sebastian Diaz do Rego dan Francisco Diaz dan Joham Coutinho dan Joham Goncalvez dan Gil Barbosa dan Tome Pinto en Ruy Goncalvez dan Joham Rodriguez dan Joham Fernandez dan Joham da Costa dan Pedro Eannes dan Manuel Fernandez dan Diogo Fernandez, semuanya tentara, dan Diogo Diaz, Afonso Fernandez tentara juga dan Nicolas da Sylva, juru tinggi kapal tersebut dan George de Oliveira, juru mudi dan banyak (orang) lagi.<br />
<br />
Dibuat pada hari, bulan dan tahun seperti tercatat pada kepala (surat) ini. (Lalu tandatangan orang‑orang) (Heuken, 1999: 54).<br />
<br />
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).<br />
<br />
Perjanjian persahabatan antara Pakuan Pajajaran dengan Potugis ini juga tercantum pada Tugu Pajajaran-Portugis, Prasasti Kebon Kopi, dimana Portugis diizinkan untuk membangun benteng dan gudang dagangnya di pelabuhan Sunda Kalapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b>Awal Peperangan (Perang Cirebon-Pajajaran)</b><br />
<br />
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan <b>Sultan Trenggana</b>, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak, guna merebut Banten, Cirebon dan Sunda Kalapa, setelah sebelumnya melumpuhkan Majapahit dan sejumlah kerajaan Hindu lainnya.<br />
<br />
<b>Fadillah Khan</b> adalah seorang panglima asal Gujarat yang memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).<br />
<br />
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).<br />
<br />
<i>Kretabhumi parwa I sarga 2</i> menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku <i>Sejarah Indonesia</i> susunan Sanusi Pane (1950). <i>Carita Parahiyangan</i> menyebut Fadillah dengan Arya Burah.<br />
<br />
Pasukan Falatehan yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Falatehan menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.<br />
<br />
<b>Pangeran Hasanudin</b> kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Falatehan bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Falatehan terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.<br />
<br />
Kelak wilayah-wilayah tersebut akhirnya juga memeluk agama Islam, serta nama Sunda Kelapa dirubah menjadi Jayakarta di bawah Banten, yang kemudian lepas dari Pajajaran menjadi Kesultanan Banten, dengan Hasanuddin sebagai Sultan dan Syeh Maulana Yusuf sebagai putra mahkota.<br />
<br />
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.<br />
<br />
Ekspedisi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De Sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.<br />
<br />
Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Falatehan. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529, Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.<br />
<br />
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon <b>Syarif Hidayat</b>, tetapi dibelakangnya berdiri <b>Pangeran Cakrabuana</b> (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.<br />
<br />
Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.<br />
<br />
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak, tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.<br />
<br />
Sumedang Larang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya <b>Pangeran Santri</b> menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.<br />
<br />
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Falatehan dan Hasanudin (Bupati Banten).<br />
<br />
<b>Perjanjian Damai dengan Cirebon</b><br />
<br />
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.<br />
<br />
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya, karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat <i>sasakala</i> (tanda peringatan) untuk ayahnya. Ditampilkannya di dalamnya karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah <i>Prasasati Batutulis</i> yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.<br />
<br />
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi <i>astatala</i> ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi <i>padatala</i> ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.<br />
<br />
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau <b>Munding Laya Dikusuma</b>. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.<br />
<br />
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres ini bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC, tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg).<br />
<br />
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai <i>sasakala</i> untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.<br />
<br />
<b>3. Ratu Dewatabuanawisesa (1535-1543)</b><br />
<br />
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan <i>tapa pwah-susu</i>, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang vegetarian.<br />
<br />
Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.<br />
<br />
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu, karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam, ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.<br />
<br />
Menurut <i>Carita Parahiyangan</i>, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini, terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).<br />
<br />
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Prabu Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya.<br />
<br />
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sanghiyang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa <b>Banga</b> yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan (Kerajaan Sunda) yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan <b>Manarah</b> di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni parwa I sarga 2 yang isinya antara lain (artinya saja).<br />
<br />
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran".<br />
<br />
<i>Amateguh kedatwan</i> (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.<br />
<br />
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. (Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun Sebelum Masehi). Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.<br />
<br />
Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan <i>huma</i> (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut <i>garuda ngupuk</i>. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon, karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang yang sekarang.<br />
<br />
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa <i>kawikuan</i> yang dilindungi oleh negara.<br />
<br />
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat, karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan <i>manurajasuniya</i> seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis <i>Carita Parahiyangan</i> dengan sindiran (kepada para pembaca):<br />
<br />
<i>"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan" </i>Yang artinya: Maka berhati-hatilah yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa.<br />
<br />
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek <i>"Samangkana ta precinta"</i> (begitulah jaman susah).<br />
<br />
<b>4. Ratu Sakti (1543-1551)</b><br />
<br />
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek, <i>Carita Parahiyangan</i> melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.<br />
<br />
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala, yaitu mengawini <i>"estri larangan ti kaluaran"</i> (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasuruan dan Panarukan.<br />
<br />
<b>5. Ratu Nilakendra (1551-1567)</b><br />
<br />
Nilakendra atau Tohaan di Majaya, naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. <i>Carita Parahiyangan</i> memberitakan sikap petani <i>"Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan"</i> (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.<br />
<br />
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. <i>Sekte Tantra</i> adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki-laki dan perempuan. <b>Sri Kertanegara</b> dari Kerajaan Singhasari juga penganut ajaran ini.<br />
<br />
<i>"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"</i><br />
<br />
Artinya: Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan.<br />
<br />
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (dibalay) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.<br />
<br />
Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan <i>"alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan"</i> (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).<br />
<br />
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Maulana Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Syeh Maulana Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Falatehan wafat 2 tahun kemudian).<br />
<br />
Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.<br />
<br />
<b>6. Raga Mulya (1567-1579)</b><br />
<br />
Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam naskah <i>Wangsakerta</i> disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam <i>Carita Parahiyangan</i> dikenal dengan nama Nusya Mulya.<br />
<br />
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).<br />
<br />
Dari catatan sejarah yang tersebar, Demak yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung kembali menyusun serangan terhadap Pajajaran, dibantu oleh Cirebon dan Bali. Saat menghadapi Demak dan sekutunya, Pajajaran diserang dari belakang oleh pasukan Maulana Yusuf, Sultan Banten. Akhirnya Kerajaan Pajajaran berakhir pada tahun 1579. <b>Sultan Maulana Yusuf</b> sendiri menganggap dirinya sah meneruskan kekuasaan Pajajaran, karena merupakan keturunan dari salah satu puteri Sri Baduga Maharaja.<br />
<br />
Menurut cerita, sisa dari para perwira (punggawa) Pajajaran lainnya akhirnya mengasingkan diri ke hutan di daerah Lebak, Banten. Keturunan dari perwira itu sekarang biasa kita sebut sebagai orang <i>Baduy</i>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Kerajaan Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul Awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M, setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.<br />
<br />
Dalam <i>Pustaka Nusantara parwa III sarga 1</i> dan <i>Kretabhumi parwa I sarga 2</i> disebutkan,<br />
<br />
<i>Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Sakakala</i><br />
<br />
"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka." Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.<br />
<br />
Naskah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam <i>pupuh Kinanti</i> yang artinya,<br />
<br />
"Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".<br />
<br />
Walaupun tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.<br />
<br />
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.<br />
<br />
Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Prabu Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Akhir Kerajaan Pakuan Pajajaran</span></b><br />
<br />
Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482-1579). Itu ditandai dengan diboyongnya <i>Palangka Sriman Sriwacana</i>, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.<br />
<br />
Dalam <i>Carita Parahiyangan</i> diberitakan sebagai berikut:<br />
<br />
<i>Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.</i><br />
<br />
"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."<br />
<br />
Kata "palangka" secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti "tahta". Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).<br />
<br />
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Silsilah Raja-Raja Penguasa Pakuan Pajajaran</span></b><br />
<br />
Masa akhir Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut, sepeninggal Sri Baduga Maharaja Jayadewata (1482-1521), kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisesa (1521-1535), kemudian Prabu Dewatabuanawisesa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakendra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Suryakancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.<br />
<br />
Mengenai raja‑raja penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran, terungkap dalam naskah <i>Kropak 406 Carita Parahiyangan</i>, dari lembar 20 sampai dengan lembar 25, uraiannya adalah sebagai berikut:<br />
<br />
Diganti yaitu oleh Prabu Surawisesa yang dipusarakan di Padaren. Raja gagah perkasa, teguh dan pemberani. Lima belas kali perang tak pernah kalah. Dalam melakukan peperangan menggunakan siasat Bala Sarewu (Pustaka Bala Seribu). Perang ke Kalapa dengan Aria Burah (Falatehan). Perang ke Tanjung. Perang ke Ancol Kiji. Perang ke Wahanten Girang. Perang ke Simpang. Perang ke Gunung Batu. Perang ke Gunung Banjar. Perang ke Padang. Perang ke Pagoakan. Perang ke Muntur. Perang ke Hanum. Perang ke Pager Wesi. Perang ke Medang Kahiyangan. Setelah itu, kembali ke Pakuan lagi. Tidak sampai setahun, meninggal dunia. Lamanya menjadi ratu 14 tahun.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Prabu Ratu Dewata, dialah yang dipusarakan di Sawah Tampian Dalem. Menjalankan kehidupan seperti Rajaresi. Puasa, hanya meminum susu. Disunat, supaya bersih suci dari kotoran. Disunat oleh ahlinya, itulah tradisi orang Sunda. Datang bencana serangan musuh kasar, tidak diketahui identitasnya. Perang di Buruan Ageung (Alun‑alun). Gugur Tohaan Sarendet den Tohaan Ratu Sanghiyang. Ada pendeta sakti dianiaya, pandita di Sumedang. Sang pandita di Ciranjang, dibunuh tanpa dosa, tertimpa tapak kikir. Sang Pandita di Jayagiri, ditenggelamkan ke laut. Ada pendeta sakti tak berdosa Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan ke laut, tidak mati, masih hidup, menghilang tanpa meninggalkan jejak di dunia. Terkenal namanya Hiyang Kalingan. Oleh sebab itu, hati‑hatilah yang hidup di kemudian hari, jangan hidup pura‑pura berpuasa. Begitulah keadaan jaman susah. Prabu Ratu Dewata, lamanya jadi raja 8 tahun, kesembilan tahunnya meninggal dunia.<br />
<br />
Diganti oleh Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan di Tasik. Yaitu yang dipusarakan di Pengpelengan. Lamanya jadi ratu 8 tahun, karena tindakan ratu celaka oleh wanita larangan dari luar dan oleh ibu tiri. Sering membunuh orang tanpa dosa, merampas tanpa perasaan, tidak hormat pada yang tua, menghina pendita. Jangan diikuti oleh generasi belakangan, tindakan ratu seperti itu. Begitulah riwayat Sang Ratu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Tohaan di Majaya kalah perang, oleh sebab itu tidak diam di Kedaton. Dialah yang mencipta Sanghiyang Panji, menghiasi Kedaton, di balai diatur berupa taman mihapitkeun panto larangan. Yang membangun bale bobot 17 jajar, diukir berbaris dibentuk berbagai cerita.<br />
<br />
Dari zaman manusia sejagat tidak mengalami kejahatan disebut zaman kreta. Tidak ada yang menjadikan hancurnya jagat. Dalam zaman Dopra, zaman perunggu, seterusnya diganti dengan zaman kali, zaman besi, Sang Nilakendra, karena terlalu lama dalam suasana senang memperturutkan hawa nafsu. Mempunyai anak, ke dalam hatinya sudah dirasuki bermacam reka perdaya, menurunkari pertapa, cucu tiri. Minuman keras dianggap seperti air bentuknya godaan nafsu. Manusia yang berhuma rakus makannya, tidak gembira kalau tidak bercocok tanam. Lamanya ratu menuruti hawa nafsu dalam makanan, tidak mengikuti adat kebiasaan, dalam menuruti nafsu kesenangan karena menganggap wajar dengan kekayaannya. Lamanya jadi raja 16 tahun.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Diganti oleh Nusia Mulya. Lamanya jadi ratu 12 tahun. Pertama datangnya perubahan. Dunia halus masuk ke yang kasar, timbul kerusakan dari Islam. Perang dengan Rajagaluh, kalah Rajagaluh. Perang dengan Kalapa, kalah Kalapa. Perang dengan Pakuan, perang dengan Galuh, perang dengan Datar, perang dengan Mandiri, perang dengan Patege, perang dengan Jawakapala, kalah Jawakapala. Perang dengan Gegelang. Perang berlayar ke Salajo, semua kalah oleh orang Islam.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Masa Penurunan Versi Kerajaan Sumedang Larang</span></b><br />
<br />
Berdasarkan alur cerita Kerajaan Sumedang Larang yang beribukota di Kutamaya, empat bersaudara Panglima Perang Pajajaran yaitu Jayaperkosa, Sanghyang Hawu, Terong Peot dan Nanganan diperbantukan untuk memperkuat dan membawa amanat agar Kerajaan Sumedang Larang meneruskan pemerintahan Pajajaran apabila Pajajaran berakhir. Pangeran Geusan Ulun adalah putra Pangeran Santri, beserta rakyat Sumedang sudah memeluk Islam sehingga tidak menjadi sasaran Demak (Mataram). Namun keempat Panglima yang menjadi tumpuan membuat Raja Sumedang Larang yang merasa juga sebagai calon Raja Pajajaran terjun ke kancah peperangan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Versi lain menyebutkan bahwa Cirebon menyerang Sumedang Larang dikarenakan Permaisuri Cirebon, Harisbaya, lari ke Sumedang untuk dipersunting Pangeran Geusan Ulun yang tampan, putih dan tinggi. Sampai akhirnya Kerajaan Sumedang Larang diserahkan oleh Pangeran Geusan Ulun kepada Mataram dan pemerintahan diteruskan oleh turunannya dari permaisuri Harisbaya menjadi daerah kebupatian. Versi lainnya adalah Pangeran Geusan Ulun adalah putra Sultan Cirebon yang diculik pada saat bayi oleh keempat Panglima tersebut beberapa tahun sebelumnya. Bayi tersebut adalah anak permaisuri yang Putri China, yang kemudian bernama Harisbaya. Harisbaya berusaha menyusul anaknya ke Sumedang Larang. Pangeran Santri yang dititipi ahli waris Pajajaran yang asal Cirebon, mengangkatnya menjadi Raja Anom Sumedang.<br />
<br />
Pada 1578, Cirebon, Demak dan Bali menaklukan Sumedang Larang, Pangeran Geusan Ulun terbunuh. Berakhirlah kerajaan Sumedang Larang tanpa memiliki keturunan. Pusat kerajaan dipindahkan ke kota Sumedang yang sekarang dan pemerintahan sementara dipegang oleh Raja Bali sampai akhirnya Sumedang diserahkan kepada turunan Permaisuri Sultan Cirebon sebagai kabupatian pada 1620.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Pangeran Geusan Ulun terbunuh sebelum Pajajaran jatuh. Apakah juga keempat Panglima terbunuh? Namun rakyat percaya bahwa keempat Panglima menghindar ke Selatan, yang oleh sebagian rakyat Jawa Barat bersama-sama dengan Prabu Suryakencana menghilang (tilem) ke dalam hutan Sancang.<br />
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<div class="fotenote">
<ol><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda (Naskah Wangsakerta) </b>
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-pakuan-pajajaran.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>Pardede Jabi-Jabi:</b> <a href="http://pardedejabijabi.wordpress.com/2013/09/19/kerajaan-arsipelago-bagian-sunda-galuh-bagian-i/" target="_blank">Kerajaan Arsipelago (Bagian Sunda-Galuh) Bagian I</a></ol>
</div>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-74701686179155359032014-06-04T09:56:00.000+07:002014-06-04T09:56:05.751+07:00Kerajaan Medang (Mataram Kuno)<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpLZ8qYSrzYSoyT-oRY5nuYr-UGdQnnvaO7XJKPfMdZZ5cj1-UQ-DsHjuvyXq8krW_OgXIX7sh-TbO6HXchPpMbwfO2xAG_rHwZpgy7t5zh-vqauWzHQ0NBg5JSC5S20CLIbWx_QG00HI/s1600/800px-Prambanan_Shiva_Temple.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpLZ8qYSrzYSoyT-oRY5nuYr-UGdQnnvaO7XJKPfMdZZ5cj1-UQ-DsHjuvyXq8krW_OgXIX7sh-TbO6HXchPpMbwfO2xAG_rHwZpgy7t5zh-vqauWzHQ0NBg5JSC5S20CLIbWx_QG00HI/s1600/800px-Prambanan_Shiva_Temple.jpg" height="150" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Candi Prambanan (Kuil Siwa).</td></tr>
</tbody></table>
<b>Kerajaan Medang</b> (Mataram Kuno atau Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi, baik yang bercorak Hindu maupun Budha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11 Masehi.<br />
<a name='more'></a><br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Riwayat Kerajaan Medang</span></b><br />
<br />
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.<br />
<br />
Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16 M, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu <b>Sanjaya</b>. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya, sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Budha Mahayana.<br />
<br />
Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a> di Pulau Sumatera. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan menikahi Pramodawardhani, putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia diangkat menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.<br />
<br />
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.<br />
<br />
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 M, yang memuji <b>Rakai Panangkaran</b> sebagai "permata wangsa Sailendra" (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.<br />
<br />
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna "penguasa di". Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan "Penguasa di Panangkaran". Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.<br />
<br />
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/wangsa-sailendra.html" target="_blank">Wangsa Sailendra</a> yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga, yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.<br />
<br />
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isyana yang baru muncul pada "periode Jawa Timur". Dinasti ini didirikan oleh <b>Mpu Sindok</b> yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929 M. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Pusat Kerajaan Medang</b></span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCiD8kSt3sd2mxDD5lYtmIeQm-jrvMLfKV8RAWqTfoOQcDavoNmmsv-H17lyLH5221YiHYxHt2tZv5fCA5ltY-WA2k5APSy6RywVJ1wOo4aM1iqaZ0-C_mK2coyjMcA2VE4HMVe1n1Kvo/s1600/601px-Medang_Kingdom_id.svg.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCiD8kSt3sd2mxDD5lYtmIeQm-jrvMLfKV8RAWqTfoOQcDavoNmmsv-H17lyLH5221YiHYxHt2tZv5fCA5ltY-WA2k5APSy6RywVJ1wOo4aM1iqaZ0-C_mK2coyjMcA2VE4HMVe1n1Kvo/s1600/601px-Medang_Kingdom_id.svg.png" /></a></div>
<br />
Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.<br />
<br />
Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,<br />
<br />
<ul>
<li>Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)</li>
<li>Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)</li>
<li>Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)</li>
<li>Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)</li>
<li>Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)</li>
<li>Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)</li>
<li>Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)</li>
</ul>
<br />
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Daftar Raja-Raja Medang</span></b><br />
<br />
<b>1. Ratu Sanjaya, Pendiri Kerajaan Medang</b><br />
<br />
Prasasti Mantyasih tahun 907 yang dikeluarkan oleh Maharaja nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.<br />
<br />
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732 M, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan tentang pendirian sebuah lingga di bukit Sthiranga untuk keselamatan rakyatnya dan bangunan candi untuk memuja Siwa, di daerah suci Kunjarakunja. Menurut para ahli sejarah, yang dimaksud bukit Sthiranga adalah Gunung Wukir dan yang dimaksud Kunjarakunja adalah Sleman (kunjara = gajah = leman; kunja = hutan). Lingga adalah simbol yang menggambarkan kekuasaan, kekuatan, pemerintahan, lakil-aki, dan dewa Siwa. Sedangkan bangunan candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.<br />
<br />
Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Sepeninggal Sanna keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Pulau Jawa pun tentram kembali.<br />
<br />
Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709-716 M). <b>Bratasenawa</b> alias <b>Sanna</b> atau <b>Sena</b> digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-sunda-galuh.html" target="_blank">Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh</a>) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak dari Sannaha yang merupakan isteri sekaligus saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yang merupakan sahabat ayahnya). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya dan berhasil merebut Kerajaan Galuh dan membunuh Purbasora.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Akhirnya <b>Sanjaya</b> menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M, Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Kalingga Utara (Mataram Kuno) dari neneknya (Ratu Shima). Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.<br />
<br />
Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907 M) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.<br />
<br />
Sementara itu gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Daerah Mataram inilah yang kemungkinan besar dipakai sebagai lokasi ibu kota ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang. Itulah sebabnya, Kerajaan Medang juga terkenal dengan sebutan Kerajaan Mataram. Sementara itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung, ibu kota Kerajaan Medang sudah tidak lagi berada di Mataram, melainkan pindah ke <i>Poh Pitu</i>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya bernama Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian <i>Sanjayawarsa</i> atau kalender Sanjaya. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 717 M. Angka tahun tersebut menimbulkan dua penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya sebagai raja, atau bisa juga merupakan tahun kelahiran Sanjaya.<br />
<br />
Apabila Sanjaya naik takhta pada tahun 717 M, berarti saat prasasti Canggal (732 M) dikeluarkan, Kerajaan Medang sudah berusia 15 tahun. Sementara itu apabila 717 M adalah tahun kelahiran Sanjaya, berarti saat mengeluarkan prasasti Canggal ia masih berusia 15 tahun dan sudah menjadi raja. Dengan kata lain, Sanna mengangkat Sanjaya sebagai kepala daerah Mataram sejak keponakannya itu masih anak-anak (sama seperti Jayanagara pada zaman Majapahit).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b>2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran atau Dharanindra (775-xxx M)</b><br />
<br />
Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan Candi Kalasan (atau Candi Tara, yang didalamnya tersimpan patung Dewi Tara) untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama. Karena terletak di desa Kalasan, maka lebih dikenal dengan nama Candi Kalasan, terletak beberapa kilometer setelah Candi Prambanan, ke arah Kota Yogyakarta. Ia juga membangun Candi Sari untuk dijadikan wihara bagi umat Budha atas permintaan Raja Wisnu dari <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/wangsa-sailendra.html" target="_blank">Dinasti Syailendra</a>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah Dinasti Syailendra yang dipimpin oleh rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan menyerang Wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Di sanalah Wangsa Sanjaya kemudian memerintah. Selain itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke Budha aliran Mahayana. Adapun penerus Wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama Hindu.<br />
<br />
<b>3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan </b><br />
<br />
<b>4. Sri Maharaja Rakai Warak atau Samaragrawira (xxx-812 M)</b><br />
<br />
Dua raja ini tidak memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang cakap dalam memerintah sehingga dimanfaatkan oleh Dinasti Syailendra untuk berkuasa atas Mataram Kuno. Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula, namun karena kedudukannya hanya bersifat sementara maka jarang ada sumber sejarah yang mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>5. Sri Maharaja Rakai Garung atau Samaratungga (812-833 M)</b><br />
<br />
Raja Samaratungga beristana di Dieng, Wonosobo. Menikah dengan Dewi Tara, putri Dharmasetu, Maharaja Sriwijaya. Samaratungga memiliki seorang putri bernama Pramodhawardhani dan seorang putera bernama Balaputradewa.<br />
<br />
Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) dimana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai Patapan Puplar diceritakan dalam prasasti Karang Tengah - Gondosuli).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (833-855 M)</b><br />
<br />
Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya). Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan nama Pikatan, sebagai berikut:<br />
<br />
<ul>
<li>Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan adalah raja yang sebelumnya bergelar Patapan.</li>
<li>Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.</li>
<li>Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk Candi Plaosan menyebutkan nama Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. </li>
</ul>
<br />
Diduga tulisan tersebut merupakan catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani, putri Samaratungga, dari Dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka dikisahkan kembali dalam prasasti Karang Tengah.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti berikut:<br />
<br />
a) Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai penghormatan kepada Syiwa dan penghormatan kepada Kumbhayoni.<br />
b) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya adalah:<br />
<br />
<i>Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti Kedu);</i><br />
<i>Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi Prambanan;</i><br />
<i>Kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).</i><br />
<br />
c) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan.<br />
Ketiga lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun sebelumnya harus menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram Budha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani, putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah, pada tahun 850 M.<br />
<br />
Prasasti Wantil disebut juga prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 856 M. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya.<br />
<br />
<b>7. Sri Maharaja Kayuwangi alias Dyah Lokapala (855-885 M)</b><br />
<br />
Sebenarnya kurang tepat apabila Rakai Kayuwangi disebut sebagai Raja Kerajaan Mataram karena menurut prasasti Wantil, saat itu istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, melainkan sudah dipindahkan oleh Rakai Pikatan (raja sebelumnya) ke daerah Mamrati, dan diberi nama <i>Mamratipura</i>.<br />
<br />
Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani. Nama aslinya adalah Dyah Lokapala (prasasti Wantil) atau Mpu Lokapala (prasasti Argapura). Menurut prasasti Wantil atau prasasti Siwagreha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Teori populer menyebut nama musuh tersebut adalah Balaputradewa karena pada prasasti Wantil terdapat istilah walaputra. Namun, sejarawan Buchari tidak menjumpai prasasti atas nama Balaputradewa pada situs bukit Ratu Baka, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Adapun makna istilah walaputra adalah putra bungsu, yaitu julukan untuk Dyah Lokapala yang berhasil menumpas musuh ayahnya tersebut.<br />
<br />
Jadi, pada akhir pemerintahan Rakai Pikatan terjadi pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri Wangsa Sanjaya. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala alias Sang Walaputra, sehingga ia mendapat dukungan rakyat untuk naik takhta menggantikan ayahnya. Teori pemberontakan Rakai Walaing ini telah membantah teori populer tentang adanya perang saudara antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan sepeninggal Samaratungga.<br />
<br />
Selama masa pemerintahannya, Kayuwangi mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti berikut:<br />
<br />
<ul>
<li>Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat dari tembaga.</li>
<li>Prasasti Surabaya, menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.</li>
<li>Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.</li>
</ul>
<br />
Dalam masa pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang mahapatih.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>8. Sri Maharaja Watuhumalang (894-898 M)</b><br />
<br />
Menurut daftar para raja Kerajaan Medang dalam prasasti Mantyasih, Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan menggantikan Rakai Kayuwangi. Prasasti tersebut dikeluarkan tahun 907 M oleh Dyah Balitung, yaitu raja sesudah Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya. Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 M menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Tidak dapat dipastikan apakah Mpu Teguh identik dengan Rakai Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh yang sama, maka dapat dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg sangat singkat. Pada tahun 896 M ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada tahun 899 (prasasti Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.<br />
<br />
Sebenarnya, selama masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan lama.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang. Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885-887 M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.<br />
<br />
<b>9. Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898-913 M)</b><br />
<br />
Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung. Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, karena sikap kaum bangsawan yang mementingkan diri sendiri dan dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura.<br />
<br />
Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup> Dyah Balitung dikenal sebagai Raja Mataram yang terbesar, karena berhasil mempersatukan kembali Kerajaan Mataram dan memperluas wilayah kekuasaannya dari Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur. Dyah Balitung menggunakan beberapa nama:<br />
<br />
a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),<br />
b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),<br />
c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan<br />
d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah prasasti Telahap tanggal 11 September 899 M. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899 M.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902 M. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang dipegang oleh Mpu Daksa.<br />
<br />
Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 M, berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah dari para penyeberang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 M, berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung.<br />
<br />
Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 M, berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya korban, sedangkan Bali artinya persembahan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Prasasti Mantyasih (Kedu) tanggal 11 April 907 M, berisi tentang anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya. Pada tahun 907 M tersebut Balitung juga memberikan desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.<br />
<br />
Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya. Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung adalah <i>Rakryan i Hino</i> (pejabat tertinggi di bawah raja), <i>Rakryan i Halu</i>, dan <i>Rakryan i Sirikan</i>. Ketiga jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga zaman Kerajaan Majapahit.<br />
<br />
Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>10. Mpu Daksa</b><br />
<br />
Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya dan memerintah dalam tahun 910-919 M. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita China dari Dinasti Tang berbunyi <i>Tat So Kan Hiung</i>, yang artinya "Daksa, saudara raja yang gagah berani".<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Dyah Balitung diperkirakan naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu Daksa pun disebut sebagai putra raja tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah Rakai Watuhumalang yang memerintah sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih. Menurut prasasti Telahap, Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.<br />
<br />
<b>11. Rakai Layang Dyah Tulodhong</b><br />
<br />
Dyah Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa, yang pada masa pemerintahannya (919-924 M), Candi Prambanan selesai dibangun. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Dalam prasasti Lintakan, Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Prasasti Lintakan tanggal 12 Juli 919 M adalah prasasti tertua yang pernah ditemukan dengan menyebut Tulodhong sebagai raja. Dalam pemerintahannya, yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti. Sedangkan yang menjabat Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.<br />
<br />
Prasasti Harinjing, tanggal 19 September 921 M berisi pengukuhan anugerah untuk anak-anak Bhagawanta Bhari yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-mana. Bhagawanta Bhari adalah tokoh yang berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Ia sendiri telah mendapat anugerah dari raja sebelumnya. Prasasti untuk anak-anak Bhagawanta Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927 M, di mana mereka mendapatkan desa Culanggi sebagai <i>sima swatantra</i> (daerah bebas pajak). Pembaharuan tersebut dilakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas saran dari Rakai Sumba yang menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.<br />
<br />
<b>12. Rakai Sumba Dyah Wawa</b><br />
<br />
Dyah Wawa naik takhta menggantikan Dyah Tulodhong. Berkuasa pada tahun (924-928 M). Nama Rakai Sumba tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret 927, menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja. Dyah Wawa tidak memiliki hak atas takhta Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan Medang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Kemungkinan besar kudeta yang dilakukan oleh Dyah Wawa mendapat bantuan dari Mpu Sindok, yang naik pangkat menjadi Rakryan Mapatih Hino. Sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, Mpu Sindok menjabat sebagai Rakryan Halu, sedangkan Rakai Hino dijabat oleh Mpu Ketuwijaya. Peninggalan sejarah Dyah Wawa berupa prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 M, tentang penetapan desa Sangguran sebagai <i>sima swatantra</i> (daerah bebas pajak) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.<br />
<br />
<b>13. Mpu Sindok</b><br />
<br />
Mpu Sindok, adalah raja terakhir dari Dinasti Sanjaya, yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 928-929 M. Diduga karena letusan Gunung Merapi, pada tahun 929 M, Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ibukota baru tersebut adalah <i>Watugaluh</i>, di tepi Sungai Brantas, sekarang kira-kira adalah wilayah Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, melainkan disebut Medang (meski beberapa literatur masih menyebut Mataram). Mpu Sindok juga merupakan pendiri Dinasti Isyana, sehingga kerajaan baru tersebut kadang juga disebut Isyana.<br />
<br />
Mpu Sindok memiliki dua istri, salah satunya bernama Sri Parameswari Dyah Kbi, yang mungkin adalah puteri Dyah Wawa, raja terakhir Mataram di Jawa Tengah. Jadi, Mpu Sindok menjadi suksesor Kerajaan Mataram karena pernikahannya. Sebuah prasasti yang kini disimpan di Museum Calcutta (India), menyebutkan silsilah Mpu Sindok hingga Airlangga.<br />
<br />
Mpu Sindok meninggal pada tahun 947 M, dan digantikan oleh putrinya, Sri Isyana Tunggawijaya.<br />
<br />
<b>14. Sri Isyana Tunggawijaya</b><br />
<br />
Sri Isyana Tunggawijaya, adalah Ratu Kerajaan Medang (947-9xx), pengganti dari Mpu Sindok. Ia menikah dengan Sri Lokapala. Ia kemudian digantikan oleh puteranya, Sri Makutawangsawardhana.<br />
<br />
<b>15. Sri Makutawangsawardhana</b><br />
<br />
Sri Makutawangsawardhana, adalah raja Kerajaan Medang (9xx-985), pengganti dari Sri Isyana Tunggawijaya. Makutawangsawardhana dikenal dengan julukan Matahari Dinasti Isyana. Puterinya, Mahendradatta, menikah dengan Udayana, Raja Kerajaan Bali dari Dinasti Warmadewa. Ia digantikan oleh puteranya, Dharmawangsa.<br />
<br />
<b>16. Dharmawangsa Teguh</b><br />
<br />
Dharmawangsa, adalah raja terakhir Kerajaan Medang (985-1006 M), pengganti dari Sri Makutawangsawardhana. Dharmawangsa dikenal sebagai patron penerjemahan Kitab Mahabharata ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada masa ini pula, Caritha Parahyangan ditulis dalam Bahasa Sunda, yang menceritakan Raja-raja Mataram.<br />
<br />
Dharmawangsa mengadakan sejumlah penaklukan, termasuk Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat. Saudara perempuan Dharmawangsa, Mahendradatta, menikah dengan Raja Dinasti Warmadewa di Bali, Udayana. Selama beberapa periode, Bali mendapat pengaruh kuat atas Jawa.<br />
<br />
Tahun 990 M, Dharmawangsa mengadakan serangan ke <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Sriwijaya</a> dan mencoba merebut Palembang, namun gagal. Serangan Dharmawangsa membuat Raja Sriwijaya, Chudamaniwarmadewa mengirim utusan ke China untuk meminta proteksi. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya melakukan pembalasan, yakni menyerang dan menghancurkan istana Watugaluh. Dharmawangsa terbunuh, dan beberapa pemberontakan mengikutinya dalam beberapa tahun ke depan.<br />
<br />
Airlangga, putera Mahendradatta yang dibesarkan di istana Dharmawangsa dan masih berusia 16 tahun, berhasil melarikan diri dan kelak akan menjadi raja pertama Kerajaan Kahuripan, yang dianggap pelanjut dari Mataram Kuno dan Medang.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Daftar Raja-raja Medang</span></b><br />
<br />
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:<br />
<br />
Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung.<br />
<br />
<ol>
<li>Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang (Mataram Kuno)</li>
<li>Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra</li>
<li>Rakai Panunggalan alias Dharanindra</li>
<li>Rakai Warak alias Samaragrawira</li>
<li>Rakai Garung alias Samaratungga</li>
<li>Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya</li>
<li>Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala</li>
<li>Rakai Watuhumalang</li>
<li>Rakai Watukura Dyah Balitung</li>
<li>Mpu Daksa</li>
<li>Rakai Layang Dyah Tulodong</li>
<li>Rakai Sumba Dyah Wawa</li>
<li>Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur</li>
<li>Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya</li>
<li>Makuthawangsawardhana</li>
<li>Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir</li>
</ol>
<br />
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Struktur Pemerintahan</span></b><br />
<br />
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan <i>Datu</i> yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Ketika Rakai Panangkaran dari <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/wangsa-sailendra.html" target="_blank">Wangsa Sailendra</a> berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.<br />
<br />
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.<br />
<br />
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah <i>Rakeyan Mahamantri i Hino</i> atau kadang ditulis <i>Rakryan Mapatih Hino</i>. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.<br />
<br />
Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah <i>Mahamantri i Halu</i> dan <i>Mahamantri i Sirikan</i>. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isyana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan <i>Mahamantri Wka</i> dan <i>Mahamantri Bawang</i>.<br />
<br />
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah <i>Rakryan Kanuruhan</i> sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan <i>Rakryan Mapatih</i> pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kehidupan Ekonomi Kerajaan Mataram</span></b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdP-2eyZziBK2aAW-aEHJDCHCgXU-bnL80C1JkUQAvT3QSGMSZo-z4bB3BcGkDcoxmtMG8L_lyGxI3gRxq5qW-uKpz6zIMSgeVxOb3lMa9ONpZdGIalJMTGzh_oG8IKYvI0jTRDujy2PA/s1600/Javanese_gold_mas_or_tahil_ingot.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdP-2eyZziBK2aAW-aEHJDCHCgXU-bnL80C1JkUQAvT3QSGMSZo-z4bB3BcGkDcoxmtMG8L_lyGxI3gRxq5qW-uKpz6zIMSgeVxOb3lMa9ONpZdGIalJMTGzh_oG8IKYvI0jTRDujy2PA/s1600/Javanese_gold_mas_or_tahil_ingot.jpg" height="200" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bukti terawal sistem mata uang di<br />Jawa. Emas atau keping tahil Jawa,<br />
sekitar abad ke-9 M.</td></tr>
</tbody></table>
Kerajaan Mataram Kuno merupakan negara agraris yang bersifat tertutup. Akibatnya, kerajaan ini sulit berkembang secara ekonomi, terutama karena segi perdagangan dan pelayaran sangat kering. Kejayaan baru diperoleh pada masa pemerintahan Balitung. Ia membangun pusat perdagangan seperti disebutkan dalam prasasti Purworejo (900 M). Dalam prasasti Wonogiri (903 M) diterangkan bahwa desa-desa yang terletak di kanan-kiri Sungai Bengawan Solo dibebaskan dari pajak dengan syarat penduduk desa tersebut harus menjamin kelancaran hubungan lalu lintas melalui sungai.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Keadaan Penduduk</span></b><br />
<br />
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a> merupakan negara maritim.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Budha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Budha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Konflik Takhta Periode Jawa Tengah</span></b><br />
<br />
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856-880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.<br />
<br />
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Teori van Bammelen</span></b><br />
<br />
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.<br />
<br />
Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929 M. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama <b>Isyanawangsa</b>, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Permusuhan dengan Sriwijaya</span></b><br />
<br />
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 M, yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850-an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.<br />
<br />
<b>Balaputradewa</b> kemudian menjadi Raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut, bahkan ketika Wangsa Isyana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Peristiwa Mahapralaya</span></b><br />
<br />
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006 M, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Raja terakhir Medang adalah <b>Dharmawangsa Teguh</b>, cicit Mpu Sindok. Kronik China dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.<br />
<br />
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh <b>Aji Wurawari</b> dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a>. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa-Bali yang lolos dari <i>Mahapralaya</i> tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Peninggalan Sejarah</span></b><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilDITBL_AqqFuIcYkw6LZx0MnFP_HJaIG7JyM2kNhsI4-hxnQcOR2Ul1Bmf7B7XBt-M1SKo1EJlXADhden29oOq1JbW9HqjgdAJn72yJ8Vav97vQSx5hMmI9Hvf3vvunAxpIQC3ErAxBE/s1600/800px-Museum_f%25C3%25BCr_Indische_Kunst_Dahlem_Berlin_Mai_2006_044.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilDITBL_AqqFuIcYkw6LZx0MnFP_HJaIG7JyM2kNhsI4-hxnQcOR2Ul1Bmf7B7XBt-M1SKo1EJlXADhden29oOq1JbW9HqjgdAJn72yJ8Vav97vQSx5hMmI9Hvf3vvunAxpIQC3ErAxBE/s1600/800px-Museum_f%25C3%25BCr_Indische_Kunst_Dahlem_Berlin_Mai_2006_044.jpg" height="298" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua - Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, <br />12,0x7,5 cm. (Tengah) Chunda lengan-empat - Jawa Tengah, Wonosobo,<br />
Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11x8 cm. (Kanan) Dewi Tantra<br />
lengan-empat (Chunda?) - Jawa Tengah, Prambanan, abad ke-10, perunggu,<br />
15x7,5 cm. Tersimpan di Museum fur Indische Kunst, Berlin-Dahlem.</td></tr>
</tbody></table>
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Budha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Ketika wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng sejak masa Panangkaran hingga Rakai Pikatan, banyak didirikan candi yang kini dikenal sebagai kompleks Candi Dieng. Kompleks candi ini, antara lain: Candi Bimo, Puntadewa, Arjuna, dan Nakula. Adapun di Jawa Tengah bagian selatan ditemukan candi Prambanan (Roro Jonggrang), Sambi Sari, Ratu Boko, dan Gedung Songo (Ungaran) sebagai hasil budaya Mataram Kuno.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmEsKY03rlIRpvFnecOjBb00pbprGxH2wJmA82bazhRXVzp4im6fi_ZL9VHOWxg27_j6J6UF11W6p4t5pzWBBUNWKppTk8cDworx8binwIxqPbZs6lOgAB_JErcXiw921MPy_zK0QeQrQ/s1600/candi-sewu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmEsKY03rlIRpvFnecOjBb00pbprGxH2wJmA82bazhRXVzp4im6fi_ZL9VHOWxg27_j6J6UF11W6p4t5pzWBBUNWKppTk8cDworx8binwIxqPbZs6lOgAB_JErcXiw921MPy_zK0QeQrQ/s1600/candi-sewu.jpg" height="240" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Candi Sewu</td></tr>
</tbody></table>
Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.<br />
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia-Id</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Medang" target="_blank">Kerajaan Medang</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b><span style="color: #f1c232;">SKOLASTIKA</span></b>: <a href="http://haristepanus.wordpress.com/masa-hindu-buddha/kerajaan-mataram-kuno/" target="_blank">Kerajaan Mataram Kuno</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>Belajar-Sejarah21.blogspot.com</b>: <a href="http://belajar-sejarah21.blogspot.com/2013/11/sejarah-kerajaan-mataram-kuno.html" target="_blank">Sejarah Kerajaan Mataram Kuno</a><br />
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-87718017433578972042014-06-04T08:30:00.001+07:002014-06-04T11:54:42.503+07:00Wangsa Sailendra<b>Sailendravamsa</b> atau <b>Wangsa Sailendra</b> adalah nama wangsa atau dinasti raja-raja yang berkuasa di Sriwijaya, pulau Sumatera; dan di <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html" target="_blank">Mdaŋ (Kerajaan Medang)</a>, Jawa Tengah sejak tahun 752 M. Sebagian besar raja-rajanya adalah penganut dan pelindung agama Budha Mahayana. Meskipun peninggalan dan manifestasi wangsa ini kebanyakan terdapat di dataran Kedu, Jawa Tengah, asal usul wangsa ini masih diperdebatkan. Disamping berasal dari Jawa, daerah lain seperti Sumatera atau bahkan India dan Kamboja, sempat diajukan sebagai asal mula wangsa ini.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Asal-usul</span></b><br />
<br />
Di Indonesia nama <i>Sailendravamsa</i> dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan, dari tahun 778 Masehi (Sailendragurubhis; Sailendrawansatilakasya; Sailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Sailendrawansatilakena), dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (Dharmmatungadewasyasailendra), prasasti Sojomerto dari sekitar tahun 700 Masehi (Selendranamah) dan prasasti Kayumwunan dari tahun 824 Masehi (Sailendrawansatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan prasasti Nalanda.<br />
<br />
Mengenai asal usul keluarga Sailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Sailendra berasal dari Sumatera, dari India, dan dari Funan.<br />
<br />
<b>Teori India</b><br />
<br />
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Sailendra di Nusantara, baik di Sriwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Sailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hyang. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya.<br />
<br />
<b>Teori Funan</b><br />
<br />
George Cœdes lebih condong kepada anggapan bahwa Sailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Sailendra. Namun teori ini tidak terbukti kuat karena beberapa prasasti dan catatan sejarah menyatakan bahwa sebelum bermukim di Jawa, keluarga Sailendra telah bermukim turun-temurun di Sumatera.<br />
<br />
<b>Teori Nusantara</b><br />
<br />
Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatera atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Sailendra mungkin berasal dari Sumatera yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.<br />
<br />
Menurut beberapa sejarawan, keluarga Sailendra berasal dari Sumatera yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Kerajaan Tarumanagara</a> dan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html" target="_blank">Ho-ling</a> di Jawa. Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bhumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama <i>Dapunta Hiyaŋ</i>. Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuna.<br />
<br />
Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto itu disebutkan nama <b>Dapunta Selendra</b>, nama ayahnya Santanu, nama ibunya Bhadrawati, dan nama istrinya Sampula (<i>da pu nta selendra namah santanu nama nda bapa nda bhadrawati nama nda aya nda sampula nama nda ..</i>). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal bakal raja-raja keturunan Sailendra yang berkuasa di Mdaŋ (Kerajaan Medang).<br />
<br />
Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta Sailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Sailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Sailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.<br />
<br />
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Sailendra, asli Nusantara yang menganut agama Siwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Budha Mahayana, raja-raja di Mataram menjadi penganut agama Budha Mahayana juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Rakai Sanjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Siwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Siwa menjadi Budha Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).<br />
<br />
Kemudian Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya mendirikan sebuah <i>lingga</i> di bukit Sthiranga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sanjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sanjaya.<br />
<br />
Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html" target="_blank">Mdaŋ (Mataram Kuno)</a>, yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sanjaya. Raja Sanjaya mulai berkuasa di Medang pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sanjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.<br />
<br />
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa <b>Raja Mandiminyak</b> mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandiminyak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandiminyak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandiminyak.<br />
<br />
Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Sailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada dibawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-sunda-galuh.html" target="_blank">Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh</a>. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Holing (Kalingga). Penggunaan Bahasa Melayu Kuno pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vasal atau raja bawahan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Sriwijaya</a> sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur.<br />
<br />
Berita Tiongkok yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Shima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Medang, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Shima (674-703 Masehi), Mandiminyak (703-710 Masehi), Rakai Sanna (710-717 Masehi), Rakai Sanjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Era Kerajaan Medang</span></b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHZTY81mftDgdvQwN8-JZdCzzZisVocWTAzDAqJQjQs8H1QZT-JVkQ0bb6PNH7NNf7FWCO8cf_ALTD2QdFCJGACtzF3D8MfDnUd57Q5q0hdcDYVkiwdLX-OKaVPMk-ERF6E7TqtseXPJw/s1600/Candi+Kalasan+sebagai+tempat+pemujaan+Dewi+Tara.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHZTY81mftDgdvQwN8-JZdCzzZisVocWTAzDAqJQjQs8H1QZT-JVkQ0bb6PNH7NNf7FWCO8cf_ALTD2QdFCJGACtzF3D8MfDnUd57Q5q0hdcDYVkiwdLX-OKaVPMk-ERF6E7TqtseXPJw/s1600/Candi+Kalasan+sebagai+tempat+pemujaan+Dewi+Tara.jpg" height="200" width="150" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Candi Kalasan, sebagai<br />
<div>
<br /></div>
tempat pemujaan Dewi Tara.</td></tr>
</tbody></table>
Selama ini kerajaan Medang dianggap diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Budha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa, pendapat ini pertama kali diperkenalkan oleh Bosch. Pada awal era Medang atau Mataram Kuno, Wangsa Sailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Wangsa Sailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah. Sementara Poerbatjaraka menolak anggapan Bosch mengenai adanya dua wangsa kembar berbeda agama yang saling bersaing ini. Menurutnya hanya ada satu wangsa dan satu kerajaan, yaitu Wangsa Sailendra dan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/06/kerajaan-medang-mataram-kuno.html" target="_blank">Kerajaan Medang</a>. Sanjaya dan keturunannya adalah anggota Sailendra juga. Ditambah menurut Boechari, melalui penafsirannya atas Prasasti Sojomerto bahwa Wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa, sebelum Rakai Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Budha Mahayana.<br />
<br />
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan Kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.<br />
<br />
Berdasarkan penafsiran atas prasasti Canggal (732 M), <b>Sanjaya</b> memang mendirikan <i>Shivalingga</i> baru (Candi Gunung Wukir), artinya ia membangun dasar pusat pemerintahan baru. Hal ini karena raja Jawa pendahulunya, Raja Sanna wafat dan kerajaannya tercerai-berai diserang musuh. Saudari Sanna adalah Sannaha, ibunda Sanjaya, artinya Sanjaya masih kemenakan Sanna. Sanjaya mempersatukan bekas kerajaan Sanna, memindahkan ibu kota dan naik takhta membangun keraton baru di Medang i Bhumi Mataram. Hal ini sesuai dengan adat dan kepercayaan Jawa bahwa keraton yang sudah pernah pralaya, diserang, kalah dan diduduki musuh, sudah buruk peruntungannya sehingga harus pindah mencari tempat lain untuk membangun keraton baru.<br />
<br />
Hal ini serupa dengan zaman kemudian pada masa Mataram Islam yang meninggalkan Kartasura yang sudah pernah diduduki musuh dan berpindah ke Surakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ini bukan berarti berakhirnya wangsa yang berkuasa. Hal ini sama dengan Airlangga pada zaman selanjutnya yang membangun kerajaan baru, tetapi ia masih merupakan keturunan wangsa penguasa terdahulu, kelanjutan Dharmawangsa yang juga anggota Wangsa Isyana. Maka disimpulkan meski Sanjaya memindahkan ibu kota ke Mataram, ia tetap merupakan kelanjutan dari Wangsa Sailendra yang menurut prasasti Sojomerto didirikan oleh Dapunta Selendra.<br />
<br />
Pada masa pemerintahan <b>Raja Indra</b> (782-812 M), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri Dharmasetu, Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Dewi Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790 M, Sailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun (12 tahun).<br />
<br />
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan <b>Raja Samaratungga</b> (812-833 M). Borobudur merupakan monumen Budha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, Samaratungga memiliki putri bernama Pramodhawardhani dan putra bernama Balaputradewa. Balaputradewa kemudian memerintah di Sriwijaya, maka selain pernah berkuasa di Medang, Wangsa Sailendra juga berkuasa di Sriwijaya.<br />
<br />
Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan Dinasti Syailendra sebagai berikut:<br />
1) Prasasti Kalasan (778 M)<br />
2) Prasasti Kelurak (782 M)<br />
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)<br />
4) Prasasti Nalanda (860 M)[2]<br />
<br />
Raja-raja Dinasti Syailendra sebagai berikut:<br />
<br />
<b>1. Bhanu (752-775 M)</b><br />
<br />
Bhanu berarti matahari. Ia adalah Raja Syailendra yang pertama. Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat Salatiga.<br />
<br />
<b>2. Wisnu (775-782 M)</b><br />
<br />
Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti. Pada masa pemerintahannya 770 M, Candi Borobudur mulai dibangun. Setelah meninggal, ia digantikan oleh Indra.<br />
<br />
a) Prasasti Ligor B menyebutkan nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan, dan Dewa Karna. Disebutkan pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah berani.<br />
b) Prasasti Kalasan (778 M) menyebutkan desakan Dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.<br />
c) Prasasti Ratu Boko (778 M) menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.<br />
<br />
<b>3. Indra atau Dharanindra (782-812 M)</b><br />
<br />
Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup <i>Triratna</i> (Candi Lumbung), Vajradhatu (Candi Sewu), dan Trimurti (Candi Roro Jongrang). Pada masa pemerintahannya 790 M, Sailendra menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (sekarang Kamboja), serta menduduki daerah tersebut selama 12 tahun. Setelah meninggal, ia digantikan oleh Samaratungga. Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di Candi Pawon. Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala artinya petir yang menjadi senjata Dewa Indra.<br />
<br />
<b>4. Samaratungga (812-832 M)</b><br />
<br />
Raja Samaratungga adalah raja keempat dan raja terakhir dari keturunan Sailendra yang memerintah di Mataram Kuno. Ia menikah dengan Dewi Tara, putri Raja Sriwijaya, Dharmasetu. Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur, monumen Budha terbesar di dunia telah selesai dibangun. Ia juga mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya (Candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjADA48Rxut58OT-OLskQFTcqBsbBYZdj1Oa6xp1fjt1OcCamq6oQGJonm8k9CUGewetGCrM8EsVEoodiXfSz9SVuxEgZ3qSh34X78Qek8JcPiIU6_t8qpGeskISBWP5ADYdQtSyWRTmg0/s1600/800px-Sailendra_King_and_Queen%252C_Borobudur.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjADA48Rxut58OT-OLskQFTcqBsbBYZdj1Oa6xp1fjt1OcCamq6oQGJonm8k9CUGewetGCrM8EsVEoodiXfSz9SVuxEgZ3qSh34X78Qek8JcPiIU6_t8qpGeskISBWP5ADYdQtSyWRTmg0/s1600/800px-Sailendra_King_and_Queen%252C_Borobudur.jpg" height="205" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Raja dan ratu Sailendra pada relief Candi Borobudur.</td></tr>
</tbody></table>
Nama Samaratungga juga disebutkan dalam prasasti Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani yang berasal dari Wangsa Sanjaya. Kembalilah kekuasaan Wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya, setelah mengusir penerus sah Wangsa Sailendra, yaitu Balaputradewa.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Runtuhnya Wangsa Sailendra</b></span><br />
<br />
Berapa sejarahwan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Sriwijaya</a> (Sumatera). Selama ini sejarahwan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Budha kalah bersaing dan terusir oleh Wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara Sailendra sang penguasa yang beragama Budha dengan rakyat Jawa yang kebanyakan beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah. Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, Raja Samaratungga menikahkan putrinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Budha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Sailendra berakhir pada tahun 840 M, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Suwarnadwipa yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya Wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz beranggapan berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz beranggapan bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan Banten Girang. Hal ini berdasarkan temuan arca-arca bergaya Jawa Tengahan abad ke-10 di situs Gunung Pulasari, Banten Girang.<br />
<br />
Sementara itu, sejarahwan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamca dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam Wangsa Sailendra. Secara tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di Dataran Kedu, dari masa kekuasaan Rakai Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran Slamet Muljana yang menganggap Rakai Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik takhta. Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan Prasasti Sojomerto serta kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan; bahwa masa kekuasaan Wangsa Sailendra berlangsung jauh lebih lama. Dari pertengahan abad ke-7 (perkiraan dituliskannya Prasasti Sojomerto), hingga awal abad ke-11 Masehi (jatuhnya Wangsa Sailendra di Sriwijaya akibat serangan Cholamandala dari India). Dalam kurun waktu tertentu, Wangsa Sailendra berkuasa baik di Jawa Tengah maupun di Sumatera. Persekutuan dan hubungan pernikahan keluarga kerajaan antara Sriwijaya dan Sailendra memungkinkan bergabungnya dua keluarga kerajaan, dengan Wangsa Sailendra akhirnya berkuasa baik di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah sekaligus di Sriwijaya, Sumatera.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Daftar Raja-Raja Sailendra</span></b><br />
<br />
Beberapa sejarahwan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar silsilah raja-raja Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak sepakat. Misalnya, Slamet Muljana, meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa Wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun tahap awal perkembangan Wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas Prasasti Sojomerto. Sementara Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta penafsiran atas naskah Carita Parahyangan. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul, karena nampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html" target="_blank">Kalingga</a>, Medang, dan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Sriwijaya</a>. Akibatnya nama beberapa raja nampak tumpang tindih dan berkuasa di kerajaan-kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan keraguan atau dugaan, karena data atau bukti sejarah sahih masih sedikit ditemukan dan belum jelas terungkap.<br />
<br />
<ul>
<li>Sekitar 650 M: Santanu, bukti: Prasasti Sojomerto (sekitar 670-700 M) ~ Sebuah keluarga beragama Siwa berbahasa Melayu Kuno mulai bermukim di pesisir utara Jawa Tengah, diduga berasal dari Sumatera (?) atau asli dari Jawa tapi di bawah pengaruh Sriwijaya (raja bawahan).</li>
<li>Sekitar 674 M: Dapunta Selendra, ibukota Batang (pantai utara Jawa Tengah), bukti: Prasasti Sojomerto (sekitar 670-700 M) ~ Dimulainya wangsa keluarga penguasa, pertama kalinya nama 'Selendra' (Sailendra) disebutkan.</li>
<li>674-703 M: Shima (?), ibukota Kalingga, di antara Pekalongan dan Jepara. Bukti: Carita Parahyangan, Catatan Tiongkok mengenai kunjungan biksu Hwi-ning di Ho-ling (664 M) dan pemerintahan Ratu Hsi-mo (674 M) ~ Menguasai kerajaan Kalingga.</li>
<li>703-710 M: Mandiminyak (?), bukti: Carita Parahyangan.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span></li>
<li>710-717 M: Sanna, bukti: Prasasti Canggal (732 M), Carita Parahyangan ~ Sanna berkuasa di Jawa, tetapi setelah kematiannya kerajaan runtuh dan terpecah-belah akibat pemberontakan atau serangan dari luar.</li>
<li>717-760 M: Sanjaya, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Canggal (732 M), Carita Parahyangan ~ Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan keamanan, mempersatukan kerajaan dan naik takhta, sejarahwan lama menafsirkannya sebagai berdirinya Wangsa Sanjaya, sementara pihak lain menganggap ia sebagai kelanjutan Sailendra.</li>
<li>760-775 M: Rakai Panangkaran, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Raja Sankhara, Prasasti Kalasan (778 M), Carita Parahyangan ~ Rakai Panangkaran beralih keyakinan dari memuja Siwa menjadi penganut Budha Mahayana, pembangunan Candi Kalasan.</li>
<li>775-800 M: Dharanindra, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Kelurak (782 M), Prasasti Ligor B (sekitar 787 M) ~ Juga berkuasa di Sriwijaya (Sumatera), membangun Manjusrigrha, memulai membangun Borobudur (sekitar 770 M), Jawa menyerang dan menaklukan Ligor dan Kamboja Selatan (Chenla) (790 M).</li>
<li>800-812 M: Samaragrawira, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Ligor B (sekitar 787 M) ~ Juga berkuasa di Sriwijaya, Kamboja memerdekakan diri (802 M).</li>
<li>812-833 M: Samaratungga, ibukota Mataram, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Karangtengah (824 M) ~ Juga berkuasa di Sriwijaya, merampungkan Borobudur (825 M).</li>
<li>833-856 M: Pramodhawardhani berkuasa mendampingi suaminya Rakai Pikatan, ibukota Mamrati, Jawa Tengah. Bukti: Prasasti Siwagrha (856 M) ~ Mengalahkan dan mengusir Balaputradewa yang menyingkir ke Sumatera (Sriwijaya). Membangun Candi Prambanan dan Candi Plaosan. Para raja Medang penerus Pikatan, mulai dari Dyah Lokapala (850-890 M) hingga Wawa (924-929 M) dapat dianggap sebagai penerus trah Sailendra, meskipun Dyah Balitung (898-910 M) dalam Prasasti Mantyasih (907 M) hanya merunut leluhurnya hingga Sanjaya, akibatnya menumbuhkan teori Wangsa Sanjaya.</li>
<li>833-850 M: Balaputradewa, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Prasasti Siwagrha (856), Prasasti Nalanda (860) ~ Dikalahkan Pikatan-Pramodhawardhani, terusir dari Jawa Tengah, menyingkir ke Sumatra dan berkuasa di Sriwijaya, mengaku dirinya sebagai pewaris sah Wangsa Sailendra dari Jawa, membangun Candi di Nalanda (India).</li>
<li>Sekitar 960 M: Cri Udayadityavarman, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (960 dan 962 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok.</li>
<li>Sekitar 980 M: Haji (Hia-Tche), ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (980-983 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok.</li>
<li>Sekitar 988 M: Sri Culamanivarmadeva, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (988-992-1003 M), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok, Raja Jawa Dharmawangsa menyerang Sriwijaya, membangun Candi untuk Kaisar Tiongkok, pemberian desa perdikan oleh Raja-raja I.</li>
<li>Sekitar 1008 M: Sri Maravijayottungga, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (1008 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1008 M).</li>
<li>Sekitar 1017 M: Sumatrabhumi, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Utusan ke Tiongkok (1017 M) ~ Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1017 M).</li>
<li>Sekitar 1025 M: Sangramavijayottungga, ibukota Sriwijaya, Sumatera Selatan. Bukti: Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore ~ Serbuan kerajaan Cholamandala atas Sriwijaya, ibu kota ditaklukan oleh Rajendra Chola.</li>
</ul>
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<ol>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wangsa_Sailendra" target="_blank">http://id.wikipedia.org/wiki/Wangsa_Sailendra</a></li>
<li><a href="http://belajar-sejarah21.blogspot.com/2013/11/sejarah-kerajaan-mataram-kuno.html" target="_blank">http://belajar-sejarah21.blogspot.com/2013/11/sejarah-kerajaan-mataram-kuno.html</a></li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-7821565313477661162014-06-03T12:56:00.003+07:002014-06-03T12:56:50.684+07:00Kerajaan Sunda Galuh<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<b>Kerajaan Sunda Galuh</b> adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Kerajaan Tarumanagara</a>. Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor (Pajajaran), sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten Ciamis.<br />
<a name='more'></a><br />
Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati (Raja Sunda-Galuh ke-20).<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Pembagian Tarumanagara</b></span><br />
<br />
<b>Kerajaan Galuh</b> adalah penerus dari kerajaan Kendan (bawahan Tarumanagara), yang berdiri pada tahun 536M dengan corak agama Hindu-Wisnu yang berpusat di Garut dengan peninggalan yang tersebar di sekitar Bandung Selatan dan Garut. Pendirinya adalah <b>Resiguru Manikmaya</b> dari India Selatan yang menikahi salah satu putri Tarumanagara (menantu Suryawarman). Kerajaan ini saling berbesanan dengan salah satu Kerajaan Sumatera, serta dengan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kutai-martadipura.html" target="_blank">Kerajaan Kutai</a> di Kalimatan Timur. Keturunannya kemudian menyebar di berbagai tempat di Priangan (Parahyangan). Salah satu turunan termudanya menjadi rajaresi di usia 21 tahun pada 612M, memindahkan kerajaannya ke Kerajaan Galuh di Ciamis.<br />
<br />
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh terdapat pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi rajaresi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun. Wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur juga Sungai Ci Serayu di sebelah selatan (Banyumas).<br />
<br />
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman Raja Tarumanagara yang terakhir. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.<br />
<br />
Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman (Raja Tarumanagara ke-3) yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, <b>Tarusbawa</b> mengganti nama Tarumanagara menjadi <b>Kerajaan Sunda</b>. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.<br />
<br />
Dengan dukungan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html" target="_blank">Kerajaan Kalingga</a> di Jawa Tengah, <b>Wretikandayun</b> menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Pada tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.<br />
<br />
Sang Tarusbawa memiliki pribadi yang cinta damai. la tidak ingin bersengketa dengan Sang Wretikandayun, walaupun Kerajaan Sunda belum tentu kalah berperang melawan Kerajaan Galuh. Prinsipnya, "lebih baik memerintah separuh kerajaan yang tangguh, daripada dipaksakan memerintah keseluruhan dalam keadaan goyah". Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.<br />
<br />
Langkah Sang Tarusbawa berikutnya, memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan (Pakuan/Bogor). Di sebuah lemah duwur (ketinggian tanah), Sang Tarusbawa mendirikan lima buah keraton, yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Sedangkan dalam naskah Carita Parahiyangan menyebutnya: Sri Kadatwan Bima‑Punta –Narayana- Madura- Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati (diprebokta) oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa. Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut <i>Panca Persada</i>.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbt4QV5lRbnzQNMrZirfTE83BHXayhY3Wbn5rQmfcyDfabMMt5kKmnx4ktPMrWtkmrbnUfdO7qutk6brm3kG4tciZhBG63uAmvUxFL5_WJzZf1a5-pFU5nHXcWLOJ1NeMkewzxCGDdYPE/s1600/598px-Sunda_Kingdom_id.svg.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbt4QV5lRbnzQNMrZirfTE83BHXayhY3Wbn5rQmfcyDfabMMt5kKmnx4ktPMrWtkmrbnUfdO7qutk6brm3kG4tciZhBG63uAmvUxFL5_WJzZf1a5-pFU5nHXcWLOJ1NeMkewzxCGDdYPE/s1600/598px-Sunda_Kingdom_id.svg.png" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="text-align: start;">Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.</span></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Berdirinya Kerajaan Sunda-Galuh</span></b><br />
<br />
Wretikandayun punya tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702), Wretikandayun digantikan oleh <b>Rahiyang Mandiminyak</b>, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya menjadi resiguru. Rahiyang Sempakwaja menikah dengan Nay Pwahaci Rababu dan mempunyai dua putra, yaitu Demunawan dan Purbasora.<br />
<br />
<b>Bratasenawa</b> alias Sanna atau Sena ialah penerus sah Kerajaan Galuh yang ketiga, setelah menggantikan ayahnya, Mandiminyak yang berkuasa dalam tahun 702-209 M. Namun, Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh <b>Purbasora</b>, cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, Raja Galuh kedua (702-709 M).<br />
<br />
Sebenarnya, Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan Nay Pwahaci Rababu, istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, menurut adat budaya kerajaan masa lalu (Hindu-Budha), seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu (Mandiminyak) yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.<br />
<br />
Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Asal Usul Sanjaya</span></b><br />
<br />
Sementara itu, dikarenakan putera mahkota Kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa wafat mendahului Tarusbawa, maka anak perempuan dari putera mahkota (bernama Tejakancana Ayupurnawangi atau Nay Sekarkancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alias Sena (709-716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus ayah dari Rakeyan Jamri (Sanjaya). Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Rakeyan Jamri sebagai menantunya, yang dalam tahun 723 M menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda kedua. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama <b>Sanjaya</b>.<br />
<br />
Ibu dari Sanjaya, yaitu Sannaha adalah anak perempuan dari Mandiminyak dan Dewi Parwati, putri dari Ratu Shima dan Raja Kartikeyasingha (Raja Kalingga, di Jepara). Jadi, kedua orang tua Sanjaya adalah saudara kakak beradik satu ayah tapi beda ibu. Oleh karena hal itulah, Sanjaya berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat ayahnya. Hasratnya baru dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Sanjaya dan Balangantrang</span></b><br />
<br />
Sebelum itu Sanjaya juga telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.<br />
<br />
Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.<br />
<br />
Sanjaya mendapat pesan dari Sena (ayahnya), bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melakukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi pamannya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.<br />
<br />
Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tidak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Jadi saat ini, Sanjaya adalah penguasa di Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, sekaligus pewaris sah kerajaan Kalingga.<br />
<br />
Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia memiliki julukan Bagawat Sajalajaya.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Premana, Pangrenyep dan Tamperan</span></b><br />
<br />
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.<br />
<br />
Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai <b>Ciung Wanara</b>. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.<br />
<br />
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan Barmawijaya, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin <i>garnizun </i>Sunda di ibukota Galuh.<br />
<br />
Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.<br />
<br />
Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).<br />
<br />
Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.<br />
<br />
Untuk menghapus jejak, Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Tamperan Barmawijaya Sebagai Raja</span></b><br />
<br />
Dalam tahun 732 M, Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dari neneknya (Ratu Shima). Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu <b>Tamperan Barmawijaya</b> alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.<br />
<br />
Kerajaan Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.<br />
<br />
Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.<br />
<br />
Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Ki Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.<br />
<br />
Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 M, ketika Sanjaya berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.<br />
<br />
Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Manarah dan Banga</span></b><br />
<br />
Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.<br />
<br />
Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723-739 berada dalam satu kekuasaan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.<br />
<br />
Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabhuwana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Keturunan Sunda dan Galuh Selanjutnya</span></b><br />
<br />
<b>Manarah</b>, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783 M (44 tahun). Dalam tahun 783 ia melakukan <i>manurajasuniya</i>, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun. Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu Linggabumi (813-852 M).<br />
<br />
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa <b>Rakeyan Banga</b> pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun (hingga tahun 759) sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766 M).<br />
<br />
Dari Dewi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Rakeyan Banga mempunyai putera bernama Rakeyan Medang. Disebut demikian, karena putera Sang Banga tersebut, pernah berguru di Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya). <b>Rakeyan Medang</b>, menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabu Hulukujang. Karena anaknya, Dewi Samatha seorang perempuan, maka Rakeyan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, <b>Rakeyan Hujungkulon</b> atau Prabu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795 M).<br />
<br />
Karena Rakeyan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, <b>Rakeyan Diwus</b> (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakeyan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, <b>Rakeyan Wuwus</b> (Raja Sunda kedelapan), yang menikah dengan puteri dari Sang Walengan (Raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepada Rakeyan Wuwus saat kakak iparnya, Sang Prabu Linggabhumi (813-825), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakeyan Wuwus (dengan gelar Prabu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891. Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).<br />
<br />
Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi Sawitri. Sebagai putera laki‑laki, <b>Batara Danghiyang Guruwisuda</b>, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).<br />
<br />
Sepeninggal Rakeyan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh pada tahun 895 M, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, <b>Rakeyan Windusakti</b> bergelar Prabu Dewageung Jayeng Buana<br />
<br />
Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti (Prabu Dewageung Jayeng Buana), memperoleh dua orang putera, Rakeyan Kamuninggading dan Rakeyan Jayagiri. Prabu Dewageung Jayeng Buana wafat pada tahun 913 Masehi, kemudian tampuk kekuasaan lantas diturunkan pada putera sulungnya, <b>Rakeyan Kamuninggading</b> (913). Rakeyan Kamuninggading (bergelar Prabu Pucukwesi) menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, <b>Rakeyan Jayagiri</b> (916).<br />
<br />
Di pihak lain, ketika peristiwa perebutan tahta terjadi, tahta Kerajaan Galuh sudah diwariskan kepada Rakeyan Jayadrata, cucu Batara Danghiyang Guruwisuda dari puteri Dewi Sundara.<br />
<br />
Pasukan Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Galuh oleh Prabu Wanayasa Jayabuana, diperintahkan untuk merebut keraton Galuh. Akan tetapi, berhasil dikalahkan oleh Rakeyan Jayadrata bersama pasukan Kerajaan Galuh. Serangan kedua pasukan Kerajaan Sunda, yang besar dan lengkap, dikerahkan kemudian, untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan inipun, dapat ditangkis dan dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata. Kerajaan Galuh, membebaskan diri sebagai kerajaan yang merdeka, di bawah naungan <b>Prabu Jayadrata</b>. la adalah kakak ipar Rakeyan Limbur Kancana.<br />
<br />
<b>Rakeyan Limbur Kancana</b> ialah putera Rakeyan Kamuninggading (Prabu Pucukwesi), yang dibunuh oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri. Karena Kerajaan Galuh sudah membebaskan diri (merdeka), Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa Jayabuana, hanya memerintah di wilayah Kerajaan Sunda, sebelah barat Citarum. Prabu Wanayasa Jayabuana, berkuasa di kerajaan Sunda sampai tahun 920 Masehi, karena dibunuh dan digulingkan, oleh Rakeyan Limbur Kancana, atas perintah Prabu Jayadrata.<br />
<br />
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.<br />
<br />
Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke <b>Rakeyan Watuageng</b>, suami Dewi Ambawati, bergelar Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 954 Masehi. Prabu Limbur Kancana, berputera dua orang, Rakeyan Sundasembawa dan Dewi Somya.<br />
<br />
<b>Rakeyan Sundasembawa</b>, berhasil merebut tahta Kerajaan Sunda dari Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, kemudian ia naik tahta, dengan gelar Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala atau Prabu Medang Gana (964-973). Karena semua puteranya meninggal mendahuluinya, ketika Prabu Munding Ganawirya wafat, ia digantikan oleh Rakeyan Wulung Gadung.<br />
<br />
<b>Rakeyan Wulung Gadung</b> adalah suami Dewi Somya, menantu Prabu Limbur Kancana. Rakeyan Wulung Gadung bertahta di Kerajaan Sunda, dari tahun 973 sampai 989 Masehi. Prabu Wulung Gadung, ketika wafat, digantikan oleh puteranya dari Dewi Somya, <b>Rakeyan Gendang</b>, dengan gelar Prabu Brajawisesa (989-1012). Putera Prabu Brajawisesa ada dua orang, Prabu Dewa Sanghiyang, calon pengganti ayahnya; dan Dewi Rukmawati, yang dijadikan permaisuri oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, yang bertahta di Kerajaan Galuh, dari tahun 988 sampal 1012 Masehi.<br />
<br />
Pada tahun 1012 Masehi, Prabu Brajawisesa wafat, digantikan oleh Prabu <b>Dewa Sanghiyang</b> (1012-1019). Prabu Dewa Sanghiyang, bekuasa atas Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, bergelar Maharaja. Sebagai wakil dirinya di Kerajaan Galuh, mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027 Masehi.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Sri Jayabhupati</span></b><br />
<br />
Dari Dewasanghyang, kekuasaan Kerajaan Sunda-Galuh diwariskan kepada puteranya, <b>Prabu Sanghyang Ageng</b> (1019-1030), lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Gelar panjang <b>Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati</b>, ialah: Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya-calakabhuana-mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh (Raja Medang yang terakhir). Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja (Kerajaan Kahuripan).<br />
<br />
<b>Prasasti Jayabupati (Sanghyang Tapak)</b><br />
<br />
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):<br />
<br />
D 73: <i>//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-</i><br />
<br />
D 96: <i>gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.</i><br />
<br />
D 97: <i>sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.</i><br />
<br />
Terjemahan isi prasasti Sanghyang Tapak, adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<i>Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.</i><br />
<br />
Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan ghaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, <i>I wruhhanta kamung hyang kabeh</i> (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).<br />
<br />
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) Saka (1030-1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Penerus Kerajaan Sunda dan Galuh Setelah Sri Jayabhupati</span></b><br />
<br />
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, <b>Dharmaraja</b> (1042-1064) yang bergelar Darmaraja Jayamanahen Wisnumurtti Sakalasundabuana. Ketika mengawali masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sang Wikramajaya, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.<br />
<br />
Sang Wikramajaya, berusaha merebut kekuasaan, dari tangan saudara seayahnya. Akan tetapi, pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a>. Untuk jabatan Panglima Angkatan Laut, ditunjuk Sang Wirakusuma, atas jasa kesetiaannya kepada Maharaja Darmaraja. Dari pernikahannya dengan Dewi Surastri, Sang Maharaja Darmaraja beputera beberapa orang, tiga di antaranya ialah: Prabu Langlangbumi, putera mahkota calon pengganti ayahnya; Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan; dan Wirayuda, menjadi Panglima Angkatan Perang.<br />
<br />
Salah seorang putera Sri Jayabhupati dari Dewi Pertiwi, adalah Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. la berputera beberapa orang, dua di antaranya ialah: Dewi Puspawati dan Dewi Citrawati. Dewi Puspawati dipersiteri oleh <b>Prabu Langlangbumi</b>, sedangkan Dewi Citrawati juga mengharapkan menjadi isteri Prabu Langlangbumi. Oleh karena itu, timbul hasrat Dewi Citrawati untuk membunuh kakaknya.<br />
<br />
Melihat adanya perselisihan di antara kedua puterinya Sang Purnawijaya segera bertindak, mengawinkan Dewi Citrawati kepada Resiguru Sudakarenawisesa, penguasa Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, setelah perkawinannya dengan Dewi Citrawati, Sang Resiguru Sudakarenawisesa menyerahkan tahtanya kepada isterinya. Sang Resiguru Sudakarenawisesa memilih jalan hidupnya mendalami keagamaan.<br />
<br />
Di pedesaan antara wilayah Galuh, Sunda, dan Galunggung, tingkat keamanannya menjadi rawan, akibat ulah kawanan perampok. Kerawanan tersebut menyebabkan perselisihan, antara Prabu Langlangbumi dengan penguasa Galunggung, yaitu <b>Dewi Citrawati</b>, yang bergelar Batari Hiyang Janapati.<br />
<br />
Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.<br />
<br />
Sebenarnya, Sang Maharaja Langlangbumi, tidak ada niat untuk menyerang Kerajaan Galunggung. Akan tetapi, kalau tidak segera diatasi, akan jadi duri dalam daging. la pun tidak menghendaki, timbulnya perpecahan, di antara keturunan Sri Jayabhupati.<br />
<br />
Tindakan Sang Maharaja Langlangbumi untuk "menjinakan" Batari Hiyang, dengan cara mengadakan pendekatan, melalui Batara Hiyang Purnawijaya (ayahnya Batari Hiyang), bersama Panglima Suryanagara (pamannya Sang Maharaja Langlangbumi). Kemudian ditempuh jalan damai, yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Perundingan jalan damai tersebut dihadiri oleh: Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarenawisesa, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.<br />
<br />
Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:<br />
<br />
<ol>
<li>Sebelah barat sebagai Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi.</li>
<li>Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.</li>
</ol>
<br />
<br />
Dari pernikahannya Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi berputera beberapa orang, dua di antaranya: Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur; dan Sang Cakranagara, menjadi mangkubumi.<br />
<br />
Prabu Langlangbumi lahir tahun 1038 Masehi, wafat tahun 1155 Masehi. la memerintah di Kerajaan Sunda selama 90 tahun (1064-1154). Kemudian digantikan oleh puteranya, <b>Prabu Menakluhur</b> (1154-1156). Prabu Menakluhur, memperisteri Ratna Satya, dan dijadikan permaisuri. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa.<br />
<br />
Ratna Wisesa diperisteri oleh Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa. Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara wafat pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, dipercayakan kepada <b>Prabu Darmakusuma</b> (1156-1175). la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.<br />
<br />
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, <b>Prabu Guru Dharmasiksa</b>, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297), dengan gelar Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah (Kuningan) selama 12 tahun, tapi kemudian pada tahun 1187 memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan Pajajaran (Bogor), kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.<br />
<br />
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu:<br />
<br />
<ol>
<li>Puteri Saunggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi;</li>
<li>Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah;</li>
<li>Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang Jayagiri atau Rahiyang Jayadarma.</li>
</ol>
<br />
<br />
Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan di Jawa Timur. Dari perkawinanrrya dengan Dyah Lembu Tal, Rakeyan Jayadarma memperoleh putera, <b>Rakeyan Wijaya</b> atau Sang Nararya Sanggramawijaya (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya).<br />
<br />
Rahiyang Jayadarma, tidak sempat menjadi Raja, disebabkan wafat muda, dalam usia 44 tahun. Oleh karena itu, Dyah Lembu Tal bersama puteranya (Raden Wijaya), pulang ke Tumapel, Jawa Timur. Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.<br />
<br />
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, <b>Rakeyan Saunggalah</b> (Prabu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Karena sebelumnya, Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi). Rakeyan Saunggalah, berjodoh dengan Dara Puspa, adiknya Dara Kencana (isteri Prabu Kretanagara raja Singhasari). Dari perkawinannya dengan Dara Puspa, Rakeyan Saunggalah berputera: Citraganda.<br />
<br />
Pengganti Prabu Ragasuci, puteranya, <b>Prabu Citraganda</b>. Permaisuri Prabu Citraganda, Dewi Antini, adalah puterinya Prabu Rajapurana. Sedangkan Prabu Rajapurana, adalah putera Prabu Guru Darmasiksa, dari Puteri Saunggalah.<br />
<br />
Kemudian Prabu Citraganda digantikan oleh puteranya, <b>Prabu Linggadewata</b> (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadewata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, <b>Prabu Ajiguna Linggawisesa</b> (1333-1340).<br />
<br />
Karena, Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan adiknya Prabu Citraganda: Ratna Umalestari. Pada masa pemerintahannya, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan (Bogor) ke Kawali (Ciamis). Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya: Ragamulya Luhurprabawa, atau Aki Kolot; Dewi Kiranasari, diperistri oleh Prabu Arya Kulon; dan Suryadewata, leluhur Kerajaan Telaga (Majalengka).<br />
<br />
Setelah Prabu Ajiguna Linggawisesa wafat, kekuasaan Kerajaan Sunda-Galuh dialihkan kepada putera tertuanyanya, <b>Prabu Ragamulya Luhurprabawa</b> (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, <b>Prabu Maharaja Linggabuanawisesa</b> (1350-1357), yang naik tahta pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 Masehi). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.<br />
<br />
Dari Sang Permaisuri Dewi Lara Linsing, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa memperoleh putera: Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 Masehi, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi; dua putera lainnya yang meninggal dalam usia 1 tahun; dan Niskalawastukancana, lahir tahun 1348 Masehi.<br />
<br />
<b>Perang Bubat</b><br />
<br />
Tibalah saat yang bahagia, karena Sang Puteri Dyah Pitaloka, menginjak usia 18 tahun, dan dilamar oleh Bhre Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk. Sang Prabu Linggabuana Maharaja Sunda, akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di Majapahit. Demikianlah, menurut keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.<br />
<br />
Setiba di sana, puteri mahkota Sunda itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu Majapahit, sebagai isteri persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat bertentangan, dengan janji Bre Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja Sunda, tidak bersedia menyerahkan puterinya.<br />
<br />
Sesungguhnya, sebelumnya, Bre Prabu Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri Citraresmi, akan diperisteri (resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi, janji tersebut tidak ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri Sunda di Jawa Barat.<br />
<br />
Sesungguhnya, hal itu, hanya ulah dan kehendak Sang Mahapatih Gajah Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk, selalu menyetujui keinginan Mahapatihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang menyakiti hati orang Sunda itu, adalah Sang Mahapatih Gajah Mada.<br />
<br />
Utusan Sang Prabu Maharaja Sunda, dengan Sang Mahapatih Gajah Mada, sama‑sama mengeluarkan perkataan yang tidak layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Mahapatih Gajah Mada. la menjadi berang, lalu memerintahkan laskar Majapahit, siap untuk bertempur.<br />
<br />
Semua pasukan Majapahit, mengenakan pakaian perang dan membawa berbagai macam senjata. Di antara mereka, ada yang menunggang gajah, ada yang berkuda, ada yang naik kereta, dan beberapa ratus orang berjalan kaki, dengan persenjataan lengkap.<br />
<br />
Sang Prabu Maharaja termenung sejenak, lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan ragu‑ragu. Betapapun, tidak mungkin para kesatria Sunda memenangkan pertempuran, melawan angkatan perang Majapahit yang sedemikian besar jumlahnya. Namun seandainya mereka kalah dan gugur, kehormatanlah yang harus dipertaruhkan.<br />
<br />
Lalu berkumpullah orang-orang Sunda, semuanya hanya 98 orang, di Panaggrahan (kemah) tempat Sang Prabu Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong musuh. Sang Prabu Maharaja dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh Raja Majapahit.<br />
<br />
Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah ujarnya <i>"Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!"</i><br />
<br />
Kemudian, tibalah pasukan besar Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Mahapatih Gajah Mada, sebagai panglima perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama pengiringnya, yang hanya beberapa puluh orang jumlahnya.<br />
<br />
Orang Sunda serempak menyongsong lawan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun akhirnya, semua orang Sunda yang ada di sana gugur, oleh Sang Mahapatih Gajah Mada bersama pasukannya. Kemudian, Sang Ratna Citraresmi, melakukan mati‑bela (bunuh diri).<br />
<br />
Adapun para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing‑masing ialah: Rakeyan Tumenggung Larang Ageng; Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda) Gempong Lotong; Sang Panji Melong Sakti; Ki Panghulu Sura; Rakeyan Mantri Saya; Rakeyan Rangga Kaweni; Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu); Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali; Rakeyan Juru Siring; Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul); Sang Mantri Patih Wirayuda; Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda); Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan); Ki Juru Wastra; Ki Mantri Sebrang Keling; Ki Mantri Supit Kelingking. Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda, Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.<br />
<br />
Tetapi bumi Sunda tidak dikuasai oleh kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana sundhabhumi tan kalindih dening rajya wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan Sunda. Hasrat mereka menyerang Tatar Sunda tidak kesampaian.<br />
<br />
Peristiwa orang Sunda di Bubat itu (pasunda bubat), usai terjadi sebelum tengah hari. Semua orang Sunda, yang datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.<br />
<br />
Ketika perang di palagan Bubat berlangsung, yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 Masehi, putra mahkota Sang Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9 tahun. Oleh karena itu, pemerintahan Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi <b>Sang Prabu Bunisora</b> (1357-1371), dengan nama gelar: Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.<br />
<br />
Akibat dari tragedi Bubat tersebut, sekalipun Hayam Wuruk (Raja Majapahit) telah meminta maaf kepada Sang Prabu Bunisora atas kesalahpahaman yang terjadi, tetapi tetap saja dikalangan kerabat Kerajaan Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda. Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah larangan menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).<br />
<br />
Dalam menjalankan pemerintahan, Prabu Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Prabu Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang.<br />
<br />
Menurut naskah Kropak 630, tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. <i>Satmata</i> adalah tingkatan ke‑5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (<i>Suraloka</i>), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke‑7 (<i>Nirawerah</i>), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada <i>Hiyang Batara Tunggal</i> (Tuhan Yang Esa).<br />
<br />
Dari permaisuri Laksmiwati, Sang Bunisora mempunyai putera, di antaranya:<br />
<br />
<ol>
<li>Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang;</li>
<li>Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di Jawa Barat, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh;</li>
<li>Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh; dan</li>
<li>Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.</li>
</ol>
<br />
<br />
<b>Sang Niskala Wastu Kancana</b>, ketika usianya sudah 20 tahun, memperisteri gadis pilihannya, Ratna Sarkati yang berusia 19 tahun, puteri Resi Susuk Lampung dari Sumatera Selatan. Setelah satu tahun, ia memperoleh putera, Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang lahir pada tahun 1369 Masehi. Kemudian pada tahun 1371 Masehi, Sang Niskala Wastu Kancana memperisteri Dewi Mayangsari (usia 17 tahun), puteri bungsu Prabu Mangkubumi Bunisora. Pada tahun yang sama, Sang Bunisora wafat, setelah memerintah di Kerajaan Sunda, selama 13 tahun 5 bulan lebih 15 hari.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggrO2wRpun1Sw2scAyF5vaOzD2xr5_WN1i-uWtHmfFxHhithaI82T7APD3OKhTx3-LpE0F1n5yjJScvf0mJK6wX2V-BhC_GGzlLcb-8RkC3Rct43YDUWMGTrd79tGpUT1aBJ2W_MCjQ1k/s1600/Prasasti+Kawali+di+Kabuyutan+Astana+Ged%C3%A9,+Kawali,+Ciamis.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggrO2wRpun1Sw2scAyF5vaOzD2xr5_WN1i-uWtHmfFxHhithaI82T7APD3OKhTx3-LpE0F1n5yjJScvf0mJK6wX2V-BhC_GGzlLcb-8RkC3Rct43YDUWMGTrd79tGpUT1aBJ2W_MCjQ1k/s1600/Prasasti+Kawali+di+Kabuyutan+Astana+Ged%C3%A9,+Kawali,+Ciamis.jpg" height="186" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Prasasti Kawali di Kabuyutan <div>
<br /></div>
Astana Gede, Kawali, Ciamis.</td></tr>
</tbody></table>
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuanawisesa, Niskalawastukancana (yang kala itu berusia 23 tahun), dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buanatunggaldewata.<br />
<br />
Tentang masa pemerintahan Mahaprabu Niskalawastukancana, penulis Carita Parahiyangan memberikan gambaran: <i>"Jangankan manusia. Apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), akasa (langit), serta bu (eter), merasa betah berada di bawah pemerintahannya".</i><br />
<br />
Sang Mahaprabu Niskalawastukancana, memerintah di Kerajaan Sunda-Galuh, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371‑1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453-1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti‑hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum). Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskalawastukancana, dipusarakan di Nusalarang.<br />
<br />
Selama masa pemerintahannya, ada dua kejadian penting yang patut dicatat, yaitu kedatangan angkatan laut China, di bawah pimpinan Laksamana Ma Cheng Ho, dan kedatangan seorang ulama Islam (Syaikh Quro) yang kemudian mendirikan pesantren pertama di Karawang, Jawa Barat (Danasasmita, 1984: 42).<br />
<br />
Penulis Carita Parahiyangan menganjurkan: "Sugan aya nu dek nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan" (Barangkali ada yang akan mengikuti perilaku dia yang dipusarakan di Nusalarang. Untuk hidup lama berjaya di dunia, untuk unggul dalam perang).<br />
<br />
Putera sulungnya, <b>Prabu Susuktunggal</b> diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, Niskalawastukancana mempunyai putera <b>Ningratkancana</b> (Prabu Dewaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Naskah-Naskah Kuno</b></span><br />
<br />
Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahyang Niskala Watu Kancana. Namun demikian nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.<br />
<br />
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.<br />
<br />
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.<br />
<br />
Ikhwal Kerajaan Sunda lainnya, tercatat dalam kronik China, antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
<b>Chu‑fan‑chi</b> adalah buku pertama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau ju‑kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San-fo‑tsi (Heuken,1999: 24).<br />
<br />
Berita tentang Sunda yang dicatat Chau ju‑kua (1225 Masehi), sesungguhnya kutipan dari catatan Chou Ku‑fei (1178 Masehi), dalam naskah berita Ling wai‑tai‑ta. Ketika Chou Ku‑fei mencatatnya, ataupun ketika Chau-Ju‑kua mengutipnya, yang menjadi penguasa di Kerajaan Sunda adalah: Prabu Guru Dharmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu (1175‑1297 Masehi). Hanya saja, ketika Chou Ku‑fei mencatat tentang Sunda, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda masih di Saunggalah (Kuningan). Sedangkan ketika Chau ju‑kua mengutipnya, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda sudah beralih ke Pakuan (Bogor).<br />
<br />
Chau Ju‑kua membubuhkan komentar dalam beritanya, bahwa "Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi". Rupa‑rupanya, catatan Chau ju‑kua itulah, yang sering menjadi sumber dugaan, bahwa "Sunda pernah ditaklukan Sriwijaya", sebagaimana yang dikemukakan Bosch ketika membahas Prasasti Kebonkopi II.<br />
<br />
Lain halnya dengan catatan Pangeran Wangsakerta, dalam pustakanya mengemukakan adanya kekerabatan Kerajaan Sunda dengan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a>. Salahsatu catatannya mengemukakan, bahwa salah seorang isteri Prabu Guru Dharmasiksa Maharaja Sunda, yaitu Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, merupakan keturunan Raja Sriwijaya Sanggaramawijayatunggawarman (1018‑1027 Masehi).<br />
<br />
Catatan Pangeran Wangsakerta lainnya, mengemukakan terjadinya peristiwa pertempuran armada laut Kerajaan Kadiri dengan armada laut Kerajaan Sriwijaya, yang berlangsung seru di perairan Kerajaan Sunda sebelah barat (perairan Banten). Pertempuran tersebut, diakhiri oleh kedua belah pihak, setelah masing masing mengundurkan diri. Kedua-duanya menderita kerusakan berat, tanpa diketahui, siapa yang menang dan siapa yang kalah.<br />
<br />
Dalam masa "gencatan senjata", Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Kadiri, masing‑masing mengirimkan utusan ke negeri China, meminta bantuan dan perlindungan.<br />
<br />
Kaisar (Raja) China membalas kedua surat tersebut, dengan isi yang sama, antara lain:<br />
<br />
<ol>
<li>Kedua pihak harus mengakhiri permusuhan dan menempuh jalan damai;</li>
<li>Tempat perdamaian ditentukan di Sundapura (Sunda Sambawa, bekas ibukota Tarumanagara); dan</li>
<li>Perdamaian dipimpin oleh Duta China, serta disaksikan utusan negara sahabat dari kedua pihak yang bersengketa, termasuk saksi tuan rumah: Prabu Guru Dharmasiksa Maharaja Sunda.</li>
</ol>
<br />
<br />
Upaya penyelesaian jalan damai, berlangsung di Sundapura (Bekasi) pada tahun 1182 Masehi, dengan hasil persetujuan yang disepakati bersama, bahwa "Sriwijaya dan Kadiri, masing-masing hanya boleh bergerak di kawasan sebelah barat dan timur wilayah Nusantara".<br />
<br />
Kemudian Kerajaan Sunda serta kaitannya dengan Banten, dibahas pula oleh para ahli, antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
Banten dinamakan Sunda selama empat abad berturut‑turut, baik oleh orang China (misalnya dalam teks Chan Ju‑kua dan dalam Sunfeng xiansong, yang menyebut Banten sebagai "wan‑tan" dan "shun‑t'a") maupun oleh orang Arab pada awal abad ke‑16 (misalnya Ibn Majid dan Sulaiman) (Guillot,1996:119).<br />
<br />
"Banten dinamakan Sunda", demikian ungkap Guillot, Kalau diberi makna yang lebih jembar (luas), Banten adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sunda. Dalam catatan kaki, Guillot memberikan petunjuk: <i>Hendaknya digarisbawahi bahwa dalam naskah inilah nama tempat "Banten" (wan‑tan), muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan, apapun bahasanya</i> (Guillot,1996:119).<br />
<br />
Catatan China lainnya memberitakan tentang Kerajaan Sunda dan Bantennya, antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
Dalam perjalanan ini dari Shun‑t'a ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal‑kapal menuju arah 97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Chia‑lie‑pa (= kalapa); lalu mereka menyusuri pantai (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat selama empat penjagaan sampal tiba di Che‑li‑wen (Cirebon). Kapal‑kapal dari Wan‑tan (Banten) menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Chia‑liu‑pa (Kelapa), Tanjung Chiao‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon) (Heuken,1999: 107).<br />
<br />
China mencatat pelabuhan‑pelabuhan besar dan penting yang ada di Kerajaan Sunda: Wan‑tan (Banten); Chia‑lie‑pa (Kalapa, Jakarta), Tanjung Chio‑ch'iang‑wan (Tanjung Indramayu) dan Che‑li‑wen (Cirebon). Pelabuhan Banten dimaksud, dibahas pula oleh Heuken, antara lain sebagal berikut:<br />
<br />
Chu‑fan-chi adalah buku perlama yang menyebut (negeri) Sunda dan pelabuhannya. Menurut Chau Ju‑kua, Sunda pada waktu itu takluk pada Sriwijaya atau San‑fo‑tsi. Pelabuhan yang dimaksud oleh Chau Ju‑kua itu menurut Rouffaer (1921) mungkin merupakan kampung Kapalembangan di Banten (Heuken,1999: 24).<br />
<br />
Kapalembangan dimaksud, boleh-jadi sama dengan catatan Portugis, yang tercantum dalam peta tahun ± 1540 Masehi (kini tersimpan dalam herzog August Bibliothek di Wolfenbuttel, Jerman), atas dua nama Palambam dan Palibam di wilayah pesisir barat Banten.<br />
<br />
<b>Pasasti Kebonkopi II</b><br />
<br />
Untuk lebih jelasnya, mengenai prasasti Kebonkopi II, pernah dibahas oleh Atja dan Edi S. Ekadjati dalam Carita Parahiyangan, Karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta (1989), antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
Batutulis ini berbahasa Melayu Kuno, ditemukan di tepi sawah di desa Kebon Kopi, distrik Leuwiliang, Bogor. Batutulis ini kini telah hilang. Bosch (1941) mempelajarinya melalui sebuah foto, yang dimuat dalam Iaporan Kepurbakalaan (O.V 1923, halaman 18, no. 6888).<br />
<br />
Prasasti itu dipahatkan pada permukaan sebongkah batu, yang bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4 baris huruf, bunyinya demikian:<br />
<br />
<i>// ini sabdakalanda rakryan juru panga</i><br />
<i>mbat i kawihaji panca pasagi marsa</i><br />
<i>ndeca barpulihkan haji sun</i><br />
<i>‑da//</i><br />
<br />
Sebelum memberi terjemahan, terlebih dahulu Bosch mengemukakan catatan, antara lain sebagai berikut: sabdakalanda, adalah kata majemuk tatpurusa; sabda, bunyi, kata, perintah; kala untuk cakakala atau sakakala, saat yang pantas diperingati, sesuatu untuk diperingati; akhiran nda menunjukkan prefix honorifix orang ketiga yang demikian ditemukan pula pada prasasti Talang Tuwo: pranidhananda dan pada prasasti Gandasuli: namanda dan aya‑nda; pangambat, dengan didahului gelar rakryan juru menunjukkan, bahwa ia seorang pembesar istana.<br />
<br />
Candrasangkala: kawiraja, sepadan dengan bujangga, bernilai angka 8; panca = 5, dan pasagi, bujur sangkar, bernilai angka 4. Tetapi berlainan dengan candrasangkala yang lazim, Bosch menetapkan tidak dibaca dari belakang ke muka (458), karena mengingat bentuk hurufnya terlalu muda, maka Bosch menetapkan dengan tidak ragu‑ragu, bacaan yang benar adalah 854 Saka, tetapi biarpun demikian Bosch membuat kekeliruan, ia menuliskan tahun 942 Masehi, padahal seharusnya 932 Masehi, sebagaimana juga dikemukakan oleh Satyawati Suleiman (1985).<br />
<br />
Setelah memperhatikan terjemahan yang dikerjakan oleh Bosch, maka terjemahan dalam bahasa Indonesia demikian:<br />
<br />
<i>Ini tanda peringatan dari Rakyran Juru Pengambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi) menetapkan, bahwa Raja Sunda dikembalikan kepada kedudukannya yang dahulu.</i><br />
<br />
Bunyi prasasti, dianggap oleh Bosch berisi surat perintah dalam bahasa Melayu‑Kuno, karena itu ia mengajukan dugaan, bahwa Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari segi politik tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya (Atja & Ekadjati,1989:186‑187).<br />
<br />
Timbulnya perbedaan anggapan, diakibatkan oleh kekisruhan dalam menafsirkan Candrasangkala, "Kawihaji Panca Pasagi" pada Prasasti Kebonkopi II.<br />
<br />
<ol>
<li>Bosch menampilkan angka tahun 854 Saka atau 942 Masehi;</li>
<li>Satyawati Suleiman, menampilkan angka tahun 932 Masehi; dan</li>
<li>Guillot menampilkan angka tahun 932?. Menurut pengakuannya, angka tahun tersebut didapat dari tafsiran Bosch.</li>
</ol>
<br />
<br />
Sebagaimana lazimnya pembacaan candrasangkala, seharusnya dibaca dan diterjemahkan dari belakang. Sehingga kawihaji panca pasagi (854), menjadi tahun 458 Saka atau 536 Masehi. Tradisi tersebut masih digunakan dalam naskah‑naskah Sunda Kuno, yang usianya lebih muda dari prasasti Kebon Kopi II. Sebagaimana yang terdapat dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahiyangan amanit dari Galunggung, Sewaka Darma.<br />
<br />
Peristiwa sejarah, yang ada hubungannya dengan angka tahun 458 Saka atau 536 Masehi, dapat diteliti melalui naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, parwa I sarga 3, halaman 13‑14, antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
<i>.. // hang pnua sang maharaja candraxuarman makaruck pirang silo / patang silo pantura ring/ prathama sang suryaxuarman ngaran nira/ ikang uehersatu‑luynrc sang candrawarman angenwsi / sira gumantyaken ayayah nira dumadi raja tarumanagara / laumsnya nemlikur umrca / tambaya ning madeg raja yatiku / ing patangatus limang puluh situ / ikang cakakala / tka ring patangatus unualung puluh telu / ikang cakaka!a / rasika lawan namacidam sang mahaburusa bhimaparakrama hariwangca digufijayeng 6huuxcna // putm ping sang candrawarman ikang duritya ya to sang mahisawarnucn nganzn nira dumadi rajyamatya tarumanagrtara / mruang tritiya sang matsyawarman ngaran nira / dumadi senapati saruxcjala muxcng caturduc stri ya to deuri bayusari ngamn ira / pinakstri den ing sang yuunuaraja sakeng rajya pali//</i><br />
<br />
Terjemahannya:<br />
<br />
<i>Adapun Sang Maharaja Candrawarman mempunyai anak beberapa orang. Empat orang di antaranya: pertama Sang Suryawarman namanya, yang kelak menggantikan ayahanda Sang Candrawarman sebagai Raja Tarumanagara. la memerintah lamanya 26 tahun, yaitu dari 457 Saka sampai 483 Saka (535‑561 Masehi), dengan gelar abiseka Sang Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa Digwijayeng Bhuwana.</i><br />
<i></i><br />
<div>
<br /></div>
<i>Putera yang kedua, Mahisawarman namanya, yang menjadi Menteri Tarumanagara. Yang ketiga, Sang Matsyawarman namanya, yang menjadi Panglima pasukan laut (senapati sarwajala). Yang keempat perempuan, yaitu Dewi Bayusari namanya la diperisteri oleh putera mahkota (yuwaraja) Kerajaan Pali.</i><br />
<br />
Pada prasasti Kebonkopi II, tertulis pula kalimat "barpulihkan haji sunda", yang terjemahan lainnya antara lain: "pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda". Dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 3 halaman 79, ikhwal "Sunda" dijelaskan, antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
<i>.... / telus karuhun uncs hang ngaran desya sunda / tatha pi ri sawaka ping rajya taruma// tekwan ringusana kangken ngaran kithcc sundapara//</i><br />
<br />
Terjemahannya: Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura (Kota Sunda).<br />
<br />
Dalam prasasti tembaga dari Kabantenan (abad 15 Masehi), daerah Sunda dimaksud adalah Sunda Sambawa (= Sunda asal atau Sunda wiwitan), tempat lahir Sang Tarusbawa.<br />
<br />
Dengan demikian, "Barpulihkan Haji Sunda" atau "Pengembalian kekuasaan kepada Raja Sunda", tentunya dilakukan oleh Sri Maharaja Suryawarman, setahun setelah dinobatkan (535 Masehi) menjadi penguasa ketujuh Tarumanagara.<br />
<br />
Upacara "barpulihkan" dilakukan di Pasir Muara (Cibungbulang), tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I "telapak kaki gajah" tunggangan Sri Maharaja Purnawarman. Dipilihnya lokasi Pasir Muara, tentu ada nilai‑nilai sakral, sebagai kelanjutan spiritual raja pendahulunya.<br />
<br />
Kemudian, digunakannya bahasa Melayu‑Kuno pada Prasasti Kebonkopi II, tidak berarti Sunda "pernah tunduk" kepada Sriwijaya, seperti dugaan Bosch, "bahwa Sunda pada awal abad ke‑10 Masehi, secara kultural dan juga rupa‑rupanya dari segi politik, tunduk kepada kekuasaan kerajaan Sumatera, Sriwijaya". Akan tetapi, lebih disebabkan oleh adanya kekerabatan, antara Raja Tarumanagara dengan Raja Kerajaan Pali. Mengingat "Putra Mahkota Raja Pali" (yang mungkin sudah menjadi "Raja Kerajaan Pali") adalah adik ipar Sri Maharaja Suryawarman, menghadiri upacara "Barpulihkan", dalam posisi terhormat sebagai "Rakryan Juru Pangambat".<br />
<br />
Catatan, menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 3, dalam tahun 422 Saka atau tahun 500 Masehi, Kerajaan Pali terletak di pulau Sumatera bagian tengah dan utara. Sedangkan Sriwijaya, pada tahun 536 Masehi, masih merupakan kerajaan kecil di Palembang, di bawah kekuasaan kerajaan Melayu Sribuja. Barulah pada tahun 598 Saka (676 Masehi), Kerajaan Sriwijaya menaklukkan Kerajaan Pali, dan keluarga keraton Kerajaan Pali mengungsi ke pulau Bali. Kerajaan Sriwijaya, berhasil menguasai seluruh wilayah Pulau Sumatera dan Mahasin (Singapura), menjadi kerajaan besar pada tahun 669 Masehi, di bawah pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa.<br />
<br />
Sebagai bukti tidak pernah "tunduknya Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Sriwijaya", ada baiknya kembali kepada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantana, parwa 11 sarga 3, halaman 176, yang meriwayatkan kekerabatan Kerajaan Sunda dengan Sriwijaya, antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
<i>.... // lawan rajya sunda / rajya criwijaya wus magaway samaya karwanya tan silih anduni nagara nira sawang sawang/ mwang atuntunan tangan ing pamitra nira//matangyan duta criwijaya haneng rajya sunda / mruang duta sunda haneng rajya criwija‑ya// ....</i><br />
<br />
Terjemahannya: Dengan kerajaan Sunda, kerajaan Sriwijaya, telah melakukan perjanjian bersama, untuk tidak saling menyerang negara masing‑masing, dengan menjalin persahabatan, menempatkan Duta Sriwijaya di kerajaan Sunda, juga Duta Sunda di kerajaan Sriwijaya.<br />
<br />
Pada tahun 669 Masehi, Sri Maharaja Linggawarman, raja keduabelas Tarumanagara, mengakhiri kekuasaannya. Sebagai pengganti, Sang Tarusbawa, menantu Sri Maharaja Linggawarman, yang menikah dengan Dewi Manasih. Adik Dewi Manasih, yaitu Dewi Sobakancana, diperisteri oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya.<br />
<br />
Berakhirnya pemerintahan Sri Maharaja Linggawarman, menandai pula berakhirnya kekuasaan Dinasti Warman di Tarumanagara, karena nama kerajaan tersebut, oleh Sri Maharaja Tarusbawa, diganti sebutannya menjadi Kerajaan Sunda. Pergantian nama kerajaan, disebabkan, Sang Tarusbawa merasa perlu mengabadikan tempat kelahirannya, Sunda Sambawa (Bekasi).<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya</span></b><br />
<br />
Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019-1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.<br />
<br />
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Kerajaan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut Pralaya itu terjadi pada tahun 1019 M.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Hubungan Dengan Berdirinya Majapahit</span></b><br />
<br />
Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma, dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.<br />
<br />
Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda sebelum dilantik menjadi raja, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.<br />
<br />
Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan/Pajajaran. Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi raja pertama Majapahit.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Daftar Raja-Raja Sunda Galuh</b></span><br />
<br />
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda (masa memerintah) sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah 20 orang:<br />
<br />
1. Maharaja Tarusbawa (<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span>669-723 M)<br />
2. Sanjaya Harisdarma (723-732 M)<br />
3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M)<br />
4. Rakeyan Banga (739-766 M)<br />
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M)<br />
6. Prabu Gilingwesi (783-795 M)<br />
7. Pucukbumi Darmeswara (795-819 M)<br />
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
9. Prabu Darmaraksa (891-895 M)<br />
10. Windusakti Prabu Dewageng (895-913 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942 M)<br />
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
14. Limbur Kancana (954-964 M)<br />
15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973-989 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019-1030 M)<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M)<br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
<b>Catatan:</b> Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.<br />
<br />
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh (masa memerintah) sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang:<br />
<br />
1. Wretikandayun (670-702 M)<br />
2. Rahyang Mandiminyak (702-709 M)<br />
3. Rahyang Bratasenawa (709-716 M)<br />
4. Rahyang Purbasora (716-723 M)<br />
5. Sanjaya Harisdarma (723-724 M)<br />
6. Adimulya Premana Dikusuma (724-725 M)<br />
7. Tamperan Barmawijaya (725-739 M)<br />
8. Manarah (739-783 M)<br />
9. Guruminda Sang Minisri (783-799 M)<br />
10. Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan (799-806 M)<br />
11. Sang Walengan (806-813 M)<br />
12. Prabu Linggabumi (813-852 M)<br />
13. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M)<br />
<br />
<b>Catatan:</b> Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).<br />
<br />
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh (masa memerintah) setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang:<br />
<br />
1. Darmaraja (1042-1065 M)<br />
2. Langlangbumi<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span> (1065-1155 M)<br />
3. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (1155-1157 M)<br />
4. Darmakusuma (1157-1175 M)<br />
5. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297 M)<br />
6. Ragasuci (1297-1303 M)<br />
7. Citraganda (1303-1311 M)<br />
8. Prabu Linggadewata (1311-1333 M)<br />
9. Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340 M)<br />
10. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350 M)<br />
11. Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (1350-1357 M) - tewas dalam Perang Bubat<br />
12. Prabu Bunisora (1357-1371 M)<br />
13. Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M)<br />
14. Prabu Susuktunggal (1475-1482 M)<br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Penyatuan Kembali Sunda-Galuh</span></b><br />
<br />
Setelah Wastu Kancana wafat, pada tahun 1482 M, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh).<br />
<br />
Perpecahan tersebut terjadi dikarenakan ada seorang saudara Prabu Kertabumi (keturunan Majapahit) yang menikah dengan putri Dewa Niskala dari Galuh. Ini membuat marah Raja Susuktunggal dari Pajajaran, yang juga besan Raja Dewa Niskala, karena mereka pernah membuat perjanjian tabu menikahkan dengan turunan Majapahit akibat kejadian Perang Bubat. Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan, kedua raja itu harus turun dari tahta dan menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk. Kedua mantan raja menunjuk orang yang sama Jayadewata, putera Dewa Niskala yang telah dinikahkan dengan Ambetkasih, anak perempuan Susuktunggal, sebagai penerus kekuasaan.<br />
<br />
<b>Sri Baduga Maharaja</b> (1482-1521 M) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, yang berubah nama resmi menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena pakuan atau pakuwuan merupakan bangunan tempat tinggal raja-raja dari semua gabungan kerajaan Sunda-Galuh. Itulah awal resmi Kerajaan (Pakuan) Pajajaran, dengan raja pertamanya Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi).<br />
<br />
Sejak abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten. Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.<br />
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<ol>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda_Galuh" target="_blank">http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda_Galuh</a></li>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda" target="_blank">http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda</a></li>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh" target="_blank">http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh</a></li>
<li><a href="http://pardedejabijabi.wordpress.com/2013/09/19/kerajaan-arsipelago-bagian-sunda-galuh-bagian-i/" target="_blank">http://pardedejabijabi.wordpress.com/2013/09/19/kerajaan-arsipelago-bagian-sunda-galuh-bagian-i/</a></li>
<li><b>Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda (Naskah Wangsakerta)</b></li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-75773265678780114362014-05-01T11:09:00.001+07:002014-05-01T11:09:56.405+07:00Ompu Halto - Kesetiaan Pejuang Batak<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXZPDFgznAm95PFlKrBvweR0dAnmSTXieZdIVx-5G4geRLOtfRg2xabUpG7EZJ21-wZpK2Jra5K3_fc5bfw53MDqBlMSJJV1E3Z5MSHFnv90C_v8087cMpHcTfBW3rmEvs1l_0G8JBg04/s1600/1900-1923-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_van_een_dorpshoofd_Karo-Batak_TMnr_10001821.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXZPDFgznAm95PFlKrBvweR0dAnmSTXieZdIVx-5G4geRLOtfRg2xabUpG7EZJ21-wZpK2Jra5K3_fc5bfw53MDqBlMSJJV1E3Z5MSHFnv90C_v8087cMpHcTfBW3rmEvs1l_0G8JBg04/s1600/1900-1923-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_van_een_dorpshoofd_Karo-Batak_TMnr_10001821.jpg" height="200" width="161" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ompu Halto Sang Pejuang</td></tr>
</tbody></table>
Di suatu pagi, angin berhembus dengan perlahan, dan sinar mentari menyinari langkah pasukan Marsose pimpinan Kapt. Christoffel yang tiba di Sibongkare. Pasukan ini sedang mengejar Raja Sisingamangaraja XII, beserta pasukannya. Seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat. Mereka dinterogasi satu persatu tentang keberadaan Raja Sisingamangaraja XII. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang disiksa karena tidak mau menunjukkannya. Melihat situasi ini, <b>Ompu Halto</b> datang menemui sang kapten dan mengatakan bahwa ia adalah penguasa daerah ini. Sang kapten sangat merasa beruntung, karena salah satu dari musuh mereka telah datang menyerahkan diri.<br />
<br />
“Didia Sisingamangaraja?” tanya salah seorang pembantu Kapt. Christoffel yang ternyata berasal dari orang Batak sendiri kepada Ompu Halto.<br />
<a name='more'></a><br />
“Di Bakkara,” jawab Ompu Halto dengan tenang.<br />
<br />
“Didia <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html" target="_blank">Sisingamangaraja</a>?” tanya orang itu dengan suara lebih keras.<br />
<br />
“Sambor nipim parjehe!” jawab Ompu Halto.<br />
<br />
Pembantu Belanda itu memberi isyarat agar Ompu Halto disiksa. Maka, dengan bengis dan tanpa ampun Ompu Halto dipopor, ditendang dan dipukul dengan rotan mallo sebesar ibu jari kaki. Namun ia tetap tegar seakan-akan tidak merasakan sedikitpun siksaan tersebut.<br />
<br />
Memang, Ompu Halto memiliki berbagai ilmu kesaktian. Ia pernah belajar ilmu hadatuon di Barus. Nama Ompu Halto adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepadanya sekalipun waktu itu ia belum beristri dan beranak-cucu. Gelar ini disandangnya, karena ia memiliki ilmu yang dapat membuat badan orang yang memusuhinya menjadi gatal-gatal. Rasa gatal itu bukan merupakan gadam, karena kalau gadam badannya akan luka-luka, meleleh dan mengakibatkan kematian. Yang dapat mengobati rasa gatal itu adalah Ompu Halto sendiri dengan cara meludahinya.<br />
<br />
“Didia Sisingamangaraja?” tanya orang itu kembali dengan nada tidak sabar.<br />
<br />
“Ndang di ida matangku, alai di ida mata ni rohangku,” begitu jawaban yang selalu diucapkan Ompu Halto setiap ditanya tentang keberadaan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html" target="_blank">Raja Sisingamangaraja XII</a>.<br />
<br />
Ia tidak mau berkhianat, sebab ia tahu benar, di mana Raja Sisingamangaraja berada. Maka siksaan pun semakin kuat dan berjalan sepanjang hari, hingga satu popor senjata remuk tidak membawa hasil.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b><i>Ketika itu, Raja Sisingamangaraja telah dievakuasi ke Simatabo. Setelah sebelumnya berada di Sibongkare selama empat kali bulan Tula. Di Sibongkare, Ompu Halto memilih tempat yang sangat terlindung bagi pasukan Raja Sisingamangaraja yaitu Lobu Sierge. Tempat ini adalah kawasan kebun buah-buahan dengan pohon durian besar-besar dan ambasang, sehingga aktivitas di lingkungan ini tidak menarik perhatian pasukan Belanda. Menurut nasehat Ompu Halto, di Lobu Sierge tidak boleh ada api, karena asap yang membumbung tinggi akan kelihatan dari jarak jauh. Seluruh makanan di masak di luar. Karena Raja Sisingamangaraja dan seluruh garis keturunannya berpantang makan daging babi, maka ia dan seluruh marga Sinambela garis keturunannya menggantinya dengan makan ikan. Ikan di Sibongkare sangat gampang dicari, karena Aek Sisira dan Aek Ardoman merupakan gudang ikan sungai yang melimpah saat itu. Umumnya adalah ikan boyom yang dibungkus dengan daun sungkit lalu dimasukkan ke dalam bara api. Ikan ini bisa tahan dua atau tiga minggu asal benar-benar memasaknya. Tidak perlu piring atau tempat makanan lainnya, sebab bulung langge dan bulung motung di sekitar tempat ini cukup banyak.</i></b></blockquote>
<br />
Setiap pagi, Ompu Halto dan Raja Sisingamangaraja berunding sambil <i>mardemban</i>. Ia sudah lama menjadi penasehat spiritual dan <i>datu bolon</i> bagi Raja Sisingamangaraja.<br />
<br />
“Kekuatan Belanda tidak dapat kita imbangi, Ompu!”<br />
<br />
“Ya, benar. Namun perjuangan ini harus dilanjutkan sampai titik darah penghabisan! Aku sangat tidak rela kalau tanah para leluhur kita ini diinjak-injak oleh orang-orang asing yang bermuat semena-mena.”<br />
<br />
Ompu Halto ingat ketika ia sebagai Rajaihutan memaklumkan perang dengan Belanda kepada rakyat Kalasan Hulu. Ia begitu gigih mengobarkan semangat berjuang kepada rakyatnya. Dan dalam waktu yang sama, Raja Sisingamangaraja telah memaklumkan perang terhadap Belanda, karena ia sangat murka dengan maklumat Belanda tahun 1876 yang menyatakan bahwa seluruh tanah Batak menjadi tanah jajahannya, dan meminta seluruh raja-raja Batak dan rakyatnya untuk meletakkan senjata. Maka rakyat pun bahu-membahu melakukan perlawanan. Seluruh laki-laki dimobilisasi untuk menjadi pasukan siap perang.<br />
<br />
Waktu itu, Belanda sedang melancarkan serangan dari Barus ke Kalasan Hulu. Ompu Halto yang telah berpengalaman melintas ke Barus tahu benar bahwa jalan dari Barus ke Kalasan Hulu, hanya dan harus melewati Gunung Sigurung-gurung. Dan jalan tersebut hanya sebuah jalan setapak dengan kemiringan gunung 75o. Ia dan pasukannya mencegat di puncak gunung itu.<br />
<br />
“Kumpulkan batu sebanyak-banyaknya!” katanya kepada pasukannya.<br />
<br />
“Untuk apa Ompu?” tanya salah satu pasukannya.<br />
<br />
“Saat pasukan Belanda itu naik, maka kita akan menimpuki mereka dengan batu-batu besar itu.”<br />
<br />
Benar! Ketika serdadu penjajah itu mencoba mendaki gunung Sigurung-gurung, maka dengan membabi buta dan tanpa kenal ampun, pasukan Ompu Halto menimpuki mereka dengan batu-batu besar. Banyak diantara mereka yang mati dan tidak sedikit yang terjun langsung ke jurang yang dalam.<br />
<br />
Ketika Sisingamangaraja dan pasukannya akan dievakuasi ke Simatabo, Raja Buntal dan Raja Barita, kedua putra Sisingamangaraja yang masih kecil tidak ikut rombongan dan tinggal di Sibongkare di bawah perlindungan Ompu Halto. Maka, saat Ompu Halto mendapat siksaan dari pasukan Marsose di hari pertama mereka melihatnya. Pada malam harinya, mereka dilarikan ke Tombak Pak-Pak Babo hutan premier di hulu Aek Ardoman agar jauh dari jangkauan musuh.<br />
<br />
Sementara itu, Kapt. Christoffel memerintahkan untuk tidak membunuh Ompu Halto, namun penyiksaan harus terus dilanjutkan sampai ada pengakuan di mana lokasi Sisingamangaraja berada. Di hari kedua, ia disiksa oleh algojo dari Ambon. Karena tetap tidak mau mengaku juga, siksaan dilanjutkan pada hari ketiga dan keempat.<br />
<br />
Penyiksaan pada hari keempat ini lebih kejam dan sadis. Karena alat-alat penyiksaan sudah habis, maka Ompu Halto diseret di tengah halaman. Dua buah andalu ditancapkan. Kedua tangannya direntangkan dan diikat di andalu. Dan penyiksaan tiada tara itu pun berlangsung. Seluruh rakyat, tua-muda dan anak-anak menyaksikan penyiksaan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, termasuk juga kedua istri Ompu Halto. Sedangkan pasukan Marsose mengadakan penyisiran ke seluruh pelosok Sibongkare, Lobu Sierge dan kemudian ke Lobu Toruan. Namun mereka tidak mendapat satu bukti pun yang dapat menyeret Ompu Halto.<br />
<br />
Akhirnya menjelang sundut mataniari sebuah andalu dicabut dan ………. andalu dipukulkan ke punggung Ompu Halto dengan kekuatan penuh, hingga ia terhuyung-huyung dan ambruk tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan seperti tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Raga Ompu Halto kemudian dibuang ke jurang yang tidak terlalu dalam, jurang parlambuhan tak jauh dari tempat penyiksaan. Seluruh rakyat meratapi kepergiannya dengan tangis dan kesedihan yang tak terkira, terlebih kedua istrinya yang merasa sangat kehilangan. Mereka mengutuk atas penyiksaan sadis itu, sebuah kebiadaban yang belum pernah terbayang sebelumnya. Yang lebih memilukan lagi, tidak seorang pun diizinkan untuk menjenguk ataupun merawat korban.<br />
<br />
Pukulan andalu itulah yang menyebabkan kesaktian Ompu Halto sirna. Ia mempunyai kesaktian yaitu badannya kebal terhadap berbagai senjata tajam, seperti pisau, golok, tombak atau alat-alat pemukul lainnya jika benda-benda tersebut bersih (tidak terkena tanah). Keampuhan alat-alat pembunuh itu hanya bertahan sebelum matahari terbenam, sebab alat-alat itu mendapat kekuatan dari sinar matahari.<br />
<br />
Tak terasa sore telah digantikan dengan malam. Para penduduk yang menyaksikan penyiksaan itu segera bubar dan kembali ke rumah masing-masing dengan membawa segala kesedihan sekaligus kebencian yang luar biasa atas perlakuan kejam para penjajah. Sementara itu, jauh di bawah jurang sana tubuh Ompu Halto masih terbujur kaku di antara tetumbuhan talas dan suhat. Menjelang tengah malam, antara sadar dan tidak sadar, ia merasa ada seseorang yang datang membantunya, punggungnya yang sudah patah terkena pukulan alu diurut dengan baik sehingga ada sedikit kekuatan baginya. Dan ketika Subuh menjelang, ia merasakan ada ombun na manorok yang menimpa mukanya dan ia pun meminumnya. Tetesan-tetesan embun dari daun talas inilah yang memberikan kekuatan baginya.<br />
<br />
Di hari kelima, Kapt. Christoffel memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa keadaan sang korban. Utusan tersebut memastikan bahwa Ompu Halto sudah mati. Hari itu juga Kapt. Christoffel dan pasukannya bergegas meninggalkan huta Sibongkare. Dengan demikian, rakyat mempunyai kesempatan untuk menyelematkan Ompu Halto. Rakyat sempat terkejut, ternyata di sekitar korban tergeletak mereka menemukan jejak-jejak harimau yaitu <i>Babiat Sitelpang</i>. Akhirnya jiwa Ompu Halto dapat diselamatkan, namun postur tubuhnya tidak tegap seperti semula, tetapi membungkuk karena tulang punggungnya telah patah.<br />
<br />
Jejak-jejak harimau itulah yang sebenarnya merupakan guru Ompu Halto yang telah menjilati punggungnya agar terhindar dari kerusakan yang parah.<br />
<br />
Sedangkan di tempat lain, pasukan Marsose melanjutkan ekspedisi mengikuti arus sungai Sisira Rambe, terus ke hilir menyusuri daerah Lae Toras, Tarabintang, Gaman, Onggol, Pinim, Buluampa, Napahorsik terus ke Parlilitan. Andaikata mereka belok ke arah kanan, mereka akan tiba di Simatabo.<br />
<br />
Sementara itu, setelah dua bulan rombongan Sisingamangaraja berada di Simatabo, mereka menuju ke Pusuk melewati gunung Tindian Laut dengan kemiringan 75<sup>o</sup>. Di gunung terjal ini kadang-kadang mereka menjumpai ikan lele yang bermigrasi dari bawah ke atas melalui akar-akar kayu dan lumut yang basah, sampai di puncak gunung tinggal 300 m ke bawah sudah ada mata air. Menurut kepercayaan mereka, ikan lele ini tidak boleh diganggu. Dari Pusuk, rombongan dievakuasi melalui desa Siringo-ringo, Kual-kuali, terus ke Sionomhudon tepatnya di Bungus Pearaja.<br />
<br />
Waktu itu, pasukan Marsose tiba di Sionomhudon dan mengobrak-abrik semua desa serta menyiksa rakyat. Mereka mengalami kesulitan, karena rakyat tidak mengetahui bahasa Batak Toba, rakyat desa ini berbahasa Dairi, sehingga semua interogasi yang dilakukan pasukan Marsose tidak dapat dijawab oleh rakyat setempat. Kemudian ekspedisi diintensifkan ke seluruh pelosok dan seorang rakyat biasa tertangkap dan disiksa. Karena tidak tahan atas siksaan itu, ia terpaksa mengeluarkan kata-kata Lae Simonggo. Sehingga pada 13 Mei 1907, jejak Raja Sisingamangaraja yang berada di sekitar Lae Simonggo mulai terungkap.<br />
<br />
Menurut rencana semula, rombongan Raja Sisingamangaraja akan meneruskan perjalanan ke Tele terus ke Harian Boho. Namun, perjalanan tidak dapat dilanjutkan karena hutan rimba yang harus dilalui adalah rawa-rawa setinggi pinggang orang dewasa. Hal ini sangat menyulitkan perjalanan, apalagi persediaan makanan semakin menipis. Ditambah lagi, di sepanjang hutan tidak ditemukan mata air yang dapat diminum. Akhirnya pasukan tetap bertahan di Lae Sibulbulon.<br />
<br />
Ada sungai kecil di hulu Lae Simonggo yaitu Lae Sibulbulon dan di hilir Lae Simonggo bersatu dengan Simpang Kiri yang bermuara di Singkil Aceh. Di sungai Sibulbulon inilah akhirnya perang berkecamuk. Pada perang ini Putri Lopian, putri raja Sisingamangaraja tewas tertembak. Melihat kejadian ini, Raja Sisingamangaraja lari merangkul putrinya. Ternyata darah Putri Lopian melumuri badan Raja Sisingamangaraja. Padahal ia berpantang kena darah untuk memlihara kesaktiannya. Dengan demikian kesaktian Raja Sisingamangaraja pudar dan dapat ditembak oleh Belanda. Dengan gugurnya Raja Sisingamangaraja pada tahun 1907, maka perang dengan Belanda berakhir.<br />
<br />
Banyak yang gugur dalam peperangan di Sibulbulon, termasuk Patuan Anggi dan Patuan Nagari yang keduanya adalah putra Raja Sisingamangaraja. Juga para prajurit, hulubalang dan panglima, termasuk panglima-panglima Aceh. Perang Aceh dan perang Batak bersamaan waktunya, hubungan Aceh dan Batak sangat harmonis sehingga Sultan Aceh mengirimkan beberapa panglima perangnya untuk diperbantukan dalam perang Batak.<br />
<br />
Jenazah Raja Sisingamangaraja dan kedua putranya dibawa ke Tarutung dan dimakamkan secara rahasia di Kompleks Tangsi Serdadu Belanda. Sedangkan jasad Putri Lopian yang masih bernapas dibuang ke jurang, namun kemudian jenazahnya diambil dari jurang dan dihanyutkan ke Lae Simonggo yang bermuara di Singkil.<br />
<br />
Walaupun perang Batak telah berakhir dengan wafatnya <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html" target="_blank">Raja Sisingamangaraja XII</a>, namun di beberapa tempat di Kalasan Hulu perlawaran terus berlangsung secara sporadis. Pemberontakan-pemberontakan ini membuat desa-desa tidak aman, pembangunan terhalang dan rakyat tidak dapat mengerjakan sawah-ladangnya yang mengakibatkan kehidupan terpuruk. Ompu Halto sadar bahwa kekuatan Belanda tidak dapat ditandingi. Ia menganjurkan kepada seluruh rakyat Kalasan Hulu untuk menghentikan perlawanan.<br />
<br />
Sumber: <b>Pardedejabijabi.wordpress.com</b>: <a href="http://pardedejabijabi.wordpress.com/2013/05/01/kesetiaan-pejuang-batak-terhadap-sisingamangaraja-xii/" target="_blank">Kesetiaan Pejuang Batak Terhadap Sisingamangaraja XII</a>Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-33311919919810327032014-05-01T10:56:00.001+07:002014-05-01T10:56:13.848+07:00SISINGAMANGARAJA XII - Raja Yang Membenci Penindasan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-uF9ZtRJcMApKLFyE7BAVY913CoZT7bIy_zBgKSwiYZahlafOMXICi0niojEx9hvu_O894kALpLUEkDFjukPW4MZ4Fqsw1ZSOa8pdipPG2L841ZNwkaKv1n8f0IXPBg_kqtYkTzJz7JE/s1600/SISINGAMANGARAJA+XII.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><br />
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-uF9ZtRJcMApKLFyE7BAVY913CoZT7bIy_zBgKSwiYZahlafOMXICi0niojEx9hvu_O894kALpLUEkDFjukPW4MZ4Fqsw1ZSOa8pdipPG2L841ZNwkaKv1n8f0IXPBg_kqtYkTzJz7JE/s1600/SISINGAMANGARAJA+XII.jpg" height="200" width="148" /></a></div>
Ketika <b>Sisingamangaraja XII</b> dinobatkan menjadi Raja Batak, usianya baru 19 tahun. Di saat yang sama tahun 1886, hampir seluruh Pulau Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan Batak. Belanda saat waktu itu menyebut Batak sebagai <i>De Onafhankelijke Bataklanden</i> atau Tanah Batak yang Merdeka.<br />
<br />
Sisingamangaraja XII yang lahir tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, di sebuah tempat indah di tepian Danau Toba itu memiliki nama kecil Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan <b><i>Ompu Pulo Batu</i></b>. Nama <i>Sisingamangaraja</i> sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu 'singa' dan 'mangaraja'. Naik tahta pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<a name='more'></a><br />
Ayah Sisingamangaraja XII meninggal dunia akibat epidemi kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Sisingamangaraja II, gelar raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Sisingamanaraja XII sempat merantau ke Aceh guna menjalin persekutuan melawan Belanda. Oleh karena itu, ketika perang meletus, perjuangannya dibantu pasukan dari beberapa suku di Aceh. Ada yang menyebut Sisingamangaraja XII bekerjasama dengan Panglima Nali dari Kerajaan Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Kerajaan Aceh. Persekutuan itulah yang menyebabkan Aceh dan Tanah Batak sulit ditaklukkan Belanda.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Penobatannya sebagai raja di negeri Toba tersebut bersamaan pula dengan dimulainya <i>Open Door Policy</i> (politik pintu terbuka) Belanda, dalam rangka mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani <i>Korte Verklaring</i> (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Asal-usul</b></span><br />
<br />
Di awal abad ke-20, penduduk Batak Toba hidup berkelompok dengan marga-marga otonom. Setiap daerah diorganisasi secara teratur tidak jauh dari sumber air. Bius atau sistem irigasi menjadi basis pembagian otonomi.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
Setiap daerah atau clan otonom tersebut mempunyai raja. Sisingamangaraja adalah pemimpin (religius) yang paling disegani saat itu. Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Sosok Kepribadian Sisingamangaraja XII</b></span><br />
<br />
Sebagaimana dengan Sisingamangaraja I sampai XI, Sisingamangaraja XII dikenal sebagai orang yang anti perbudakan dan penindasan (yang memang masih lazim pada masa itu), ia sangat menghargai hak kemerdekaan hidup. Jika ia pergi ke satu desa (huta), ia selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjs_0n-tpCA24J1TodNv1Jfq1pp-R-0HpZKksRUkWxJU1DRvubhQ3W14ms6zTW6xPdet8CY-Dnf5sg0ALLJnqvAeLKhukLvK9pnpnPYa-6_3ls8SKSfbftVBB6ve_AAJMCGYLQKkAcMtk/s1600/Uang+Seribu+Rupiah+Raja+Sisingamangaraja+XII.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjs_0n-tpCA24J1TodNv1Jfq1pp-R-0HpZKksRUkWxJU1DRvubhQ3W14ms6zTW6xPdet8CY-Dnf5sg0ALLJnqvAeLKhukLvK9pnpnPYa-6_3ls8SKSfbftVBB6ve_AAJMCGYLQKkAcMtk/s1600/Uang+Seribu+Rupiah+Raja+Sisingamangaraja+XII.JPG" height="153" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Raja Sisingamangaraja XII pada pecahan uang kertas RI - <br />
Rp. 1000, emisi 1987.</td></tr>
</tbody></table>
Perjuangannya untuk memerdekakan 'manusia bermata hitam' dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional. Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh.<br />
<br />
Dengan dasar itulah, ketika pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun 1883, Sisingamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang antara lain terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas juga bermata hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara mereka dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan dengan sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.<br />
<br />
Raja Sisingamangaraja XII berjuang menentang kekuasaan Belanda di Tapanuli, Sumatera Utara. Dengan dukungan rakyatnya, tahun 1877 ia menyatakan perang kepada Belanda. Perang panjang pun berlangsung selama 3 dasawarsa yang bermula di Bahal Batu, Humbang dan berikutnya meluas di seluruh Tanah Batak bahkan Belanda mengerahkan pasukannya dari Singkil Aceh.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Perang Tapanuli (1878-1907)</b></span><br />
<br />
Bermula tahun 1837, setelah Belanda berhasil menang dalam Perang Padri dibawah kepemimpinan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html" target="_blank">Tuanku Imam Bonjol</a>, itu merupakan awal untuk melapangkan jalan menguasai Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Perlahan Minangkabau jatuh juga, disusul Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus, dan kawasan Sibolga. Akibatnya, Tanah Batak terpecah menjadi dua, yaitu daerah yang telah direbut Belanda menjadi Gubernemen atau disebut <i>Residentie Tapanuli</i> dan <i>Onderhoorigheden</i> yang dipimpin seorang Residen di Sibolga dan secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Daerah yang belum ditaklukkan Belanda masuk wilayah Tanah Batak atau <i>De Onafhankelijke Bataklandan</i> atau Tanah Batak yang merdeka yaitu meliputi wilayah: Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, dan Samosir.<br />
<br />
Pada masa pemerintahannya, kegiatan pengembangan agama Kristen oleh Nommensen dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak lama kemudian, kekuasaan kolonial Belanda mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia mulai mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi.<br />
<br />
Pada tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Sisingamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bakkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada tanggal 6 Februari 1878, pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah, pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan <i>pulas</i> (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu (dekat Truntung).<br />
<br />
Pertempuran yang menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Sisingamangaraja mundur. Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan pasukan Sisingamangaraja masih tetap tinggi, terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige, selaku basis pasukan Sisingamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu.<br />
<br />
Sebaliknya di pihak Belanda, dengan kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan Sisingamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.<br />
<br />
Pada tanggal 14 Maret 1878, datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bakkara yang merupakan pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada tanggal 3 Mei 1878, seluruh Bakkara dapat ditaklukkan, namun Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.<br />
<br />
Walaupun Bakkara telah ditaklukkan, Sisingamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.<br />
<br />
Antara tahun 1883-1884, Sisingamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara offensif menyerang kedudukan Belanda, di antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883, serta Tangga Batu pada tahun 1884.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b>Tahun 1883, Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan pasukan Sisingamangaraja XII di hampir seluruh Tanah Batak. Sisingamangaraja XII kemudian membalasnya dengan menyerang Belanda di Balige dari Huta Pardede menggunakan armada laut dari Danau Toba. Sekitar 40 kapal perang (solu bolon) yang panjangnya 20 meter dikerahkan, sehingga perang pun pecah dengan sengit.</b></blockquote>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR5uSCLy41aeT6mrXPnc4vbxX1ZbCDFJEUnaCkFLQNaM88cO2tWDWh4akt77RAD37tY2t-YxrKNjsMTpY3lCAen7s1U08nxsM-zP84rU7nN8bLYAjVw2aKUGYqmhpWUQKC7vSTsq2yW-w/s1600/Toba_Expedition_1878.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR5uSCLy41aeT6mrXPnc4vbxX1ZbCDFJEUnaCkFLQNaM88cO2tWDWh4akt77RAD37tY2t-YxrKNjsMTpY3lCAen7s1U08nxsM-zP84rU7nN8bLYAjVw2aKUGYqmhpWUQKC7vSTsq2yW-w/s1600/Toba_Expedition_1878.jpg" height="320" width="219" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ekpedisi Toba 1878</td></tr>
</tbody></table>
Dalam pertempuran kedua ini, Sisingamangaraja XII sempat terkena peluru di atas lengan walau lukanya tidak sampai membahayakan nyawanya, namun kuda putihnya Si Hapas Pili mati ketika itu. Ia pun melakukan perang gerilya kedalam hutan. Langit berubah hitam kelam. Gunung Krakatau sedang meletus saat itu. Sisingamangaraja XII pun terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara, kemudian ke Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya (tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara. Ketika untuk kedua kalinya Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba pada tahun 1889.<br />
<br />
Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Sisingamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi dimana selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda.<br />
<br />
Pada kurun waktu itu, Sisingamangaraja XII tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan juga mengunjungi raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk kepada Belanda. Akibatnya, perlawanan oleh raja-raja terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Sisingamangaraja XII.<br />
<br />
Sementara itu, Tentara Belanda di Aceh membentuk korps elit untuk melawan aksi militan. Korps revolusioner ini merupakan ide dari J.B. Heutsz dan islamolog C. Snouk Hurgronje. Tentara gerilya Aceh dan Batak diawasi oleh brigade yang terdiri dari maksimal 16 serdadu pribumi di bawah pimpinan komandan dari Eropa. Mereka dipersenjatai dengan karabin dan klewang. Brigade ini beroperasi amat cepat dan akurat. Posisi Aceh semakin terdesak dan perlawanan Aceh dapat dibendung oleh Tentara Hindia Belanda. Tanah Batak kembali menjadi daerah incaran kolonialisme mulai tahun 1904. Ekspedisi mereka di bawah pimpinan Van Daalen berakhir di Gayo dan Alas.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan atas Tanah Batak oleh Gubernur Belanda, Van Daalen. Bahkan Sang Gubernur sendiri berjanji akan menyambut kehadirannya dengan seremonial tembakan meriam 21 kali. Akan tetapi, Sisingamangaraja XII menolaknya bahkan semakin gencar melakukan perlawanan. Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan.<br />
<br />
Setiap tanah Batak yang mereka lewati dan diperkirakan membahayakan akan dibakar, dijarah dan dibunuh penduduknya. Raja Batak menjadi target terpenting mereka saat itu. Ekspedisi lainnya mulai merambah Pearaja, tempat persembunyian pemimpin perlawanan Bangso Batak itu. Sisingamangaraja XII harus bersembunyi lebih dalam lagi ke hutan belantara bersama keluarga dan pengikutnya.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Gugurnya Sisingamangaraja XII</b></span><br />
<br />
Tentara Hindia Belanda di bawah pimpinan Hans Christoffel dilengkapi empat brigade bertolak ke kawasan Batak Toba di bulan Maret 1907. Brigade tersebut sebagian besar terdiri dari penduduk Jawa dan Ambon. Mereka ditugasi Christoffel untuk menangkap Sisingamangaraja XII, hidup atau mati.<br />
<br />
Meskipun berperawakan kecil, Christoffel dikenal tegas, berani dan tidak mudah ditaklukkan. Selain itu, ia adalah penembak jitu dan berpengalaman melawan gerakan kontra gerilya. Tanpa membuang waktu, ia bersama brigadenya segera menyusuri daerah pesisir barat Danau Toba dan pegunungan di Pusuk Buhit.<br />
<br />
Kondisi alam di sana sukar dan dipenuhi jurang dalam serta bukit terjal. Dalam waktu singkat, Christoffel berhasil mengumpulkan informasi mengenai tempat persembunyian Sisingamangaraja. Taktik search-and-destroy Christoffel berakibat tertangkapnya Boru Situmorang dan beberapa anaknya, namun Sisingamangaraja belum dapat disentuh oleh Christoffel. Sampai akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907, salah satu brigade dari Christoffel bertatap muka langsung dengan Sisingamangaraja di dekat sebuah jurang di daerah Parlilitan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
<i>"Ahu Singamangaraja,"</i> teriaknya. (Akulah Singamangaraja)<br />
<br />
Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini memilih lebih baik mati daripada menyerah.<br />
<br />
Singamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907 (pada usia 62 tahun) dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir bukit Aek Sibolbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon (Disebut Si Onom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu, yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun), sekarang perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup> Sebuah peluru menembus dadanya, setelah bertempur dalam jarak dekat dengan pasukan khusus Belanda yang dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel. Diceritakan bahwa Sisingamangaraja XII kebal peluru, namun ketika ia melihat putrinya, Boru Lopian (srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun) tewas tertembak, ia segera berlari merangkul putrinya. Ternyata darah Putri Lopian melumuri badan Raja Sisingamangaraja. Padahal ia berpantang kena darah untuk memelihara kesaktiannya. Dengan demikian kesaktian Raja Sisingamangaraja XII pudar dan dapat ditembak oleh Belanda. Maka Sisingamangaraja XII pun gugur bersama dua orang putranya yang lain yaitu Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung.<br />
<br />
Jenazah Sisingamangaraja diusung berkeliling desa supaya rakyat tahu raja mereka telah tiada (Ini taktik Belanda untuk menjatuhkan moril Bangso Batak, supaya lebih mudah dikalahkan dan dijajah). Sisingamangaraja XII dimakamkan oleh Belanda pada tanggal 22 Juni 1907 di sebuah garnisun di Tarutung. Belanda ingin menghindari tempat peristirahatan terakhir Sisingamangaraja menjadi semacam tujuan ziarah. Kemudian anak-anak Sisingamangaraja yang lain dibaptiskan oleh misionaris dari Rijn dan dikirim ke Jawa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Sopo Surung, Balige pada tanggal 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga. Sisingamangaraja XII digelari <b>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</b> dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.<br />
<br />
Selain dua putra dan putrinya yang juga gugur, tidak lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika melancarkan perang gerilya. Demikian halnya dengan sang Permaisuri Raja Sisingamangaraja XII, Boru Situmorang, juga telah lebih dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Sisingamangaraja XII, akibat keletihan bergerilya di tengah hutan.<br />
<br />
Bahkan, Pulo Batu, cucu yang sangat disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya. Raja Sisingamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya kelak.<br />
<br />
Raja Sisingamangaraja XII gugur tertembak ketika berhadapan dengan pasukan Kapten Christoffel, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga negara Belanda.<br />
<br />
Kapten Christoffel inilah yang melaporkan gugurnya Raja Sisingamangaraja XII di Tanah Batak kepada Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi disampaikan oleh <i>Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen</i> (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang -red). Piso Gaja Dompak waktu itu diberi tanda nomor 13425.<br />
<br />
Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa kalangan anggota keluarga Raja Sisingamangaraja XII mengklaim, bahwa Piso Gajah Dompak yang sebenarnya masih disimpan oleh anggota keluarga. Sementara yang lain mengatakan bahwa salah seorang dari pihak <i>boru</i> (pihak dari anak perempuan) yang menyimpannya. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu telah menghilang ke langit.<br />
<br />
Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm, dengan pegangan yang menyerupai patung gajah. Menurut keluarga Sisingamangaraja dan berdasarkan hasil penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Sisingamangaraja I, yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari pemerintahan Raja Sisingamangaraja I sampai ke XII.<br />
<br />
Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Sisingamangaraja XII sendiri. Tapi walaupun Sisingamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Sisingamangaraja XII sendiri.<br />
<br />
Di hati rakyat sudah tumbuh semangat kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti yang sudah ditanamkan oleh Sisingamangaraja XII. Namun perlawanan rakyat itu tidak lagi sebesar perlawanan yang dipimpin Sisingamangaraja XII, sebab Belanda sudah semakin banyak menguasai kampung-kampung. Di samping itu, pemimpin perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa menyamai Sisingamangaraja XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di Tapanuli bahkan dari Aceh.<br />
<br />
Saat Sisingamangaraja XII memimpin, daerah Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903 masih belum bisa dikuasai Belanda. Namun sepeninggalnya Sisingamangaraja XII, Sumatera Utara bagian pedalaman akhirnya berhasil dikuasai Belanda. Sejak itu, lengkaplah seluruh wilayah Nusantara menjadi daerah jajahan Belanda, sebab Sumatera Utara bagian pedalaman merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda.<br />
<br />
Perlawanan rakyat Sumatera Utara yang pecah sejak tahun 1878 itu, akhirnya berakhir. Sejarah mencatat, Sisingamangaraja XII gugur ketika Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz menjadi pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah kolonial di Nusantara, sedangkan Gubernur Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kontroversi Agama Sisingamangaraja XII</span></b><br />
<br />
Agama yang dianut oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak. Namun sudah sejak zaman Belanda terdengar isu bahwa menjelang tahun 1880-an Sisingamangaraja XII memeluk agama Islam. Yang pertama menyebarkan desas-desus bahwa Sisingamangaraja XII telah menjadi seorang muslim adalah para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft). Mereka tiba pada kesimpulan tersebut karena pada saat itu Sisingamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan pihak Aceh. Hal itu dilakukannya karena ia mencari sekutu melawan para penginjil RMG yang pengaruhnya di Silindung menjadi semakin terasa dan tengah menjalin hubungan erat dengan pemerintah dan tentara Belanda. Namun alasan utama para misionaris RMG menyebarkan isu bahwa Sisingamangaraja telah menjadi seorang muslim adalah untuk meyakinkan pemerintah Belanda untuk menganeksasi (mengambik paksa) Tanah Batak. Atas permintaan penginjil RMG, terutama I.L. Nommensen, tentara kolonial Belanda akhirnya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara dan memasukkan Toba dan Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Kontroversi perihal agama Sisingamangaraja hingga kini tidak pernah reda. Juga sesudah wilayah Batak menjadi bagian dari Hindia-Belanda desas-desus bahwa Sisingamangaraja XII memeluk agama Islam tidak pernah berhenti, sampai ada yang menulis bahwa<br />
<br />
"Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren"<br />
<br />
"Menurut laporan dari penduduk maka sang raja sekitar lima tahun yang lalu memeluk agama Islam, namun ia tidak menjadi seorang Islam fanatis dan tidak berusaha untuk meyakinkan rakyat supaya turut menggatikan agamanya."<br />
<br />
Kemudian dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan), maka Letnan L. van Vuuren dan Berenschot pada tanggal 19 Juli 1907 menyatakan,<br />
<br />
"Dat het vaststaat dat de oude S.S.M. met zijn zoons tot den Islam waren overgegaan, al zullen zij wel niet Mohamedanen in merg en been geworden zijn"<br />
<br />
"Bahwa sudah pasti S.S.M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keIslaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya."<br />
<br />
Selain laporan oleh para misionaris Jerman dan oleh koran-koran Belanda, petunjuk lainnya bahwa Singamangaraja XII beralih agama ke agama Islam antaralain:<br />
<br />
<ul>
<li>Singamangaraja XII tidak makan babi;</li>
<li>Pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Sisingamangaraja dalam gambar kelewang, matahari dan bulan; dan</li>
<li>Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).</li>
</ul>
<br />
Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Sisingamangaraja XII yang tidak boleh makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Sisingamangaraja sebelumnya. Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam melainkan juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu. Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat terpengaruh ajaran agama Hindu.<br />
<br />
Untuk butir 2, kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam. Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Sisingamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia meminjamkan lambang yang juga digunakan oleh para raja Melayu.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqiBXGWA50akjUnnGvDo92zkSosOHzk-Zfi9aN9trVZaoMlNtZffe5U626bmqdWy6bYqRrl7wx6Iu2iBrYn-Ojk0vXiQ9dNQnQ-UZ-_D-f9d-v0htpjbN25jIqKnU4XCUZUv_zX4IPvR4/s1600/seal-sisingamangaraja.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqiBXGWA50akjUnnGvDo92zkSosOHzk-Zfi9aN9trVZaoMlNtZffe5U626bmqdWy6bYqRrl7wx6Iu2iBrYn-Ojk0vXiQ9dNQnQ-UZ-_D-f9d-v0htpjbN25jIqKnU4XCUZUv_zX4IPvR4/s1600/seal-sisingamangaraja.jpg" height="200" width="125" /></a></div>
Khususnya untuk butir 3, cap Sisingamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok. Selain sebuah teks yang memakai surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi; Inilah cap maharaja di negeri Toba kampung Bakkara nama kotanya Hijrat Nabi 1304. Sedangkan dalam aksara Batak pada cap itu tertulis <i>Ahu ma sap tuan Si Singamangaraja tian Bangkara</i>, artinya "Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara." Berdasarkan analisis empat cap Sisingamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada kesimpulan bahwa keempat cap Sisingamangaraja masih relatif baru, dan diilhami oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatera sehingga sangat masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar capnya dapat dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Sisingamangaraja XII telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya Sisingamangaraja XII memang memeluk agama Islam maka pasti ia akan menghimbau agar rakyatnya juga memeluk agama Islam. Laporan para penginjil seperti I.L. Nommensen bahwa Sisingamangaraja telah memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk mendiskreditkan Sisingamangaraja dan untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Bendera Kerajaan Sisingamangaraja</b></span><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuTUFXmd4CRyk6p5sSdc-8AVdXDOc9kAJlMT3WLiWicpuCRk-tDjQ1BxUmwSPVnSdYDVbfg7XmO0XySJ_BUM-H1aJQZo2Y3_LZySCiQ_mEhyXjYidRmk94tfR8MvjIyKoVt26f321Uej8/s1600/349px-Bendera_Sisingamangaraja_XII.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuTUFXmd4CRyk6p5sSdc-8AVdXDOc9kAJlMT3WLiWicpuCRk-tDjQ1BxUmwSPVnSdYDVbfg7XmO0XySJ_BUM-H1aJQZo2Y3_LZySCiQ_mEhyXjYidRmk94tfR8MvjIyKoVt26f321Uej8/s1600/349px-Bendera_Sisingamangaraja_XII.png" height="200" width="116" /></a></div>
Arti gambar-gambar dalam bendera kerajaan Sisingamangaraja XII:<br />
<br />
<ol>
<li>Warna putih menggambarkan <i>Partondi Hamalimon</i> yakni mengambarkan tentang agama (Beriman Suci).</li>
<li>Warna merah merah disebut <i>Parsinabul Dihabonaran</i> adalah berarti menjunjung tinggi kebenaran, atau pembela keadilan dan kebenaran.</li>
<li>Disebut <i>Sirungnungi na dapot bubu</i> adalah pisau kembar menggambarkan keadilan sosial, juga melepaskan yang terpasung dan memerdekakan yang tertindas.</li>
<li>Bulat warna putih mengambarkan <i>Mataniari Sidompahon</i> adalah matahari yang tidak bisa ditentang yang menggambarkan kekuasaan Sisingamangaraja.</li>
<li>Belapan sudut ini mengambarkan delapan penjuru angin (desa Naualu) dukungan dari delapan desa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote4" name="4">[4]</a></sup></li>
</ol>
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Peninggalan</b></span><br />
<br />
Anda dapat menyusuri jejak sejarah Sisingamangaraja XII dengan mengunjungi Istana Sisingamangaraja yang sudah berumur 103 tahun di Kecamatan Bakti Raja, Humbang Hasundutan. Di areal seluas 100 x 100 meter itu, berdiri istana yang meliputi tiga buah rumah adat, yaitu rumah bolo, sopo parsaktian dan sopo bolon. Ada juga bangunan peninggalan sejarah berupa tempat pemujaan dan lainnya. Temukan juga Batu Siungkap-ungkapan atau Batu Panungkunan Boni di sekitar Istana Sisingamangaraja. Posisinya tepat di sebelah kiri pintu masuk istana. Menurut cerita masyarakat setempat, batu itu digunakan sebagai tempat petani meminta petunjuk untuk waktu turun ke sawah sehingga diharapkan nantinya hasil panen dapat baik dan melimpah.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Terdapat juga Tapak Kaki Gajah Raja Sisingamangaraja dimana menurut cerita masyarakat setempat, Raja Sisingamangaraja menunggangi seekor gajah dan pada titik tertentu, gajahnya menginjak tanah lalu mengakibatkan keluar air. Sampai saat ini air tersebut masih dipercaya oleh sebagian masyarakat (yang masih musyrik -red) dapat membawa berkah dan mengobati berbagai macam penyakit.<br />
<br />
Di Desa Bakkara, Kecamatam Bakti Raja, Kabupaten Humbanghasundutan, ada banyak peninggalan Raja Sisingamangaraja. Tempat tersebut sangatlah indah, sejuk dan nyaman. Ada juga Gua Tombak Sulu-sulu yang dulunya adalah tempat menenun ibu Raja Sisingamangaraja XII dan sempat menjadi tempat persembunyian Sisingamangaraja dan pengikutnya saat dikejar pasukan Belanda. Lokasi gua tersebut sekira 500 meter dari perkampungan terdekat.<br />
<br />
Di Desa Sinambela, Kecamatan Bakti Raja, ada sebuah pohon hariara yang dipercaya masyarakat setempat sebagai tongkat Raja Sisingamangaraja yang ditancapkan di tanah lalu tumbuh menjadi sebuah pohon. Pohon besar itu tingginya 50 meter dengan diameter 5 meter dan usianya sudah ratusan tahun. Pohon hariara adalah sejenis pohon beringin dan banyak terdapat di Pulau Samosir.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNTSgJ8-u56LD4S6h7NrudYYYQPkKhQ60i18cXf4fwiuJTCaXujQLYuVyQurWyJDuofWEHuuMpsAYVDQCCBy479gyH2xcu2FCU3dbeaYq2UlTfcdb0-A2kA4GDDiZ84mFzTYfAquBCLaw/s1600/Monumen_Sisingamangaraja_XII.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNTSgJ8-u56LD4S6h7NrudYYYQPkKhQ60i18cXf4fwiuJTCaXujQLYuVyQurWyJDuofWEHuuMpsAYVDQCCBy479gyH2xcu2FCU3dbeaYq2UlTfcdb0-A2kA4GDDiZ84mFzTYfAquBCLaw/s1600/Monumen_Sisingamangaraja_XII.jpg" height="240" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Monumen Nasional Raja Sisingamangaraja XII di Medan.</td></tr>
</tbody></table>
Untuk menghormati perjuangan Raja Sisingamangaraja XII, tahun 1979 dibangun Monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di Kota Medan. Selain itu, beberapa universitas menggunakan namanya, yaitu: Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan (1984), Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong, Tapanuli Utara (1986), dan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan (1987).<br />
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<b><br /></b>
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sisingamangaraja_XII" target="_blank">Sisinganmangaraja XII</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>TokohIndonesia.com</b>: <a href="http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/249-menolak-dinobatkan-menjadi-sultan" target="_blank">Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>www.IndonesiaTravel</b>: <a href="http://www.indonesia.travel/id/destination/48/danau-toba-keajaiban-alam-menakjubkan-di-pulau-sumatera/article/141/sisingamangaraja-xii-pahlawan-nasional-dari-tanah-batak" target="_blank">Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#4" name="fotenote4">[4]</a> <b>Wikipedia ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bendera_Kerajaan_Dinasti_Sisingamangaraja_XII" target="_blank">Bendera Kerajaan Dinasti Sisingamangaraja XII</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/05/sisingamangaraja-xii-raja-yang-membenci.html#5" name="fotenote5">[5]</a> <b>Napitupulu-Sipakko.blogspot.com</b>: <a href="http://napitupulu-sipakko.blogspot.com/2009/04/hutan-tele-samosir-sitor-situmorang.html" target="_blank">Hutan Tele Samosir - Sitor Situmorang</a><br />
<br />
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.com8Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-10599523617095451022014-05-01T00:38:00.000+07:002014-05-01T00:38:07.903+07:00Pangeran Diponegoro - Tokoh Perang Jawa Yang Termasyur<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0-cWbzIRu4dAVH23kl7WfP6GFy9aKGI41LUlLh7N4oBibtuLjDuIXvkL3cdLUrXYtP6lqHz0e7PtEMoSCVhVWHc9B7DFLkmA0kLg4Mii9cWMVKLNn2V8uncNE8JPNDnQ8MiH-CZ26wGU/s1600/451px-Diponegoro.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0-cWbzIRu4dAVH23kl7WfP6GFy9aKGI41LUlLh7N4oBibtuLjDuIXvkL3cdLUrXYtP6lqHz0e7PtEMoSCVhVWHc9B7DFLkmA0kLg4Mii9cWMVKLNn2V8uncNE8JPNDnQ8MiH-CZ26wGU/s1600/451px-Diponegoro.jpg" height="200" width="150" /></a></div>
<b>Pangeran Dipanegara</b>, juga sering dieja Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<a name='more'></a><br />
<b style="color: #660000; font-size: x-large;">Asal-usul Dipanegara</b><br />
<br />
Dipanegara adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang Raja Mataram (Kasultanan Jogyakarta Hadiningrat) di Yogyakarta, yang berarti cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi). Lahir di kraton Jogyakarta pada hari Jum'at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi dengan nama Raden Mas Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang <i>garwa ampeyan</i> (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan.<br />
<br />
Pada tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi sultan. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri.<br />
<br />
Meskipun dia dibesarkan di luar tembok kraton, namun sebagai seorang pangeran dia tetap mendapat didikkan ksatria Jawa, mengikuti tradisi kejawen, dan menghayati berbagai ritual keraton, tata cara, perilaku dan tutur bahasa yang sangat hierarkhis. Selain itu dia juga mendapat pendidikan perang seperti ulah kanuragan, olah senjata, menunggang kuda, dan juga ilmu pemerintahan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I, Ratu Ageng Tegalrejo daripada di kraton. Pemberontakannya terhadap kraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822) dimana Pangeran Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui oleh Pangeran Dipanegara.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Riwayat Awal Perjuangan</b></span><br />
<br />
Sekitar tahun 1820-an campur tangan Belanda dalam persoalan Kesultanan Yogyakarta makin besar. Peraturan tata tertib yang dibuat Pemerintah Belanda sangat merendahkan raja-raja Jawa, para bangsawan diadu domba sehingga dalam istana terdapat golongan yang pro dan yang anti Belanda. Kedua golongan itu saling curiga mencurigai. Sementara itu, tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belanda. Pangeran Diponegoro mulai memperlihatkan perasaan tak senang dan meninggalkan keraton untuk menetap di Tegalrejo.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono V (1822), Pangeran Diponegoro tidak menyetujui jika sistem pemerintahan dipegang oleh Patih Danurejo bersama Reserse Belanda. Pemberontakan ini memuncak pada tahun 1825, setelah Belanda membuat jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang melewati halaman rumah beliau (sekarang rel kereta api). Belanda yang tidak meminta izin kepada Pangeran mendapatkan perlawanan dari Pangeran dan laskarnya. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote4" name="4">[4]</a></sup><br />
<br />
Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo untuk memanggil Pangeran Diponegoro ke kraton. Semula Pangeran Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Pangeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Pangeran Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Pangeran Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan <i>bai’at</i> (janji setia perjuangan).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi untuk memanggil Pangeran Diponegoro ke kraton, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak. Pada tanggal 20 Juli 1825, sebelum para utusan Belanda itu sampai, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang tengah berunding terpaksa menghentikan perundingan mereka, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Pangeran Diponegoro. Belanda mengepung kediaman beliau di Tegalrejo.<br />
<br />
Dari luar tembok terdengar letusan senjata tiga kali, perang telah dimulai. Sisi utara, timur dan selatan telah dikepung pasukan Belanda. Laskar yang tinggal di sisi barat melakukan perlawanan keras. Di bawah pimpinan Joyomustopo dan Joyoprawiro, laskar terdesak mundur. Kekuatan berbeda jauh. Seorang pria berjubah putih dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya, dengan tenang dan bijaksana memilih menjebol tembok barat puri. Dengan beberapa kali gebrakan tembok itu jebol. Satu komando untuk menyelamatkan keluarga dan laskar yang tersisa. Dengan seluruh pasukannya, pria berjubah putih itu lebih memilih menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi keselamatan keluarga dan laskarnya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote4" name="4">[4]</a></sup><br />
<br />
<b><i>"Perang sesungguhnya baru saja akan dimulai"</i></b> batin Pangeran Diponegoro dalam hati.<br />
<br />
Karena terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran.<br />
<br />
Di Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, menjadi basis Pangeran Diponegoro untuk menyusun strategi gerilya melawan Belanda. Pangeran Diponegoro menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan (beribadah) beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah timur.<br />
<br />
Saat itu, Pangeran Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah <i>Perang Sabil</i>, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "Perang Sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong. Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya, Bupati Gagatan.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqyfu67Nl3bks5WQIxnZVPPQMdrGBE6TH8YITaYdyiAJI-l6-LH3LByLcJV6rW7gXKCjjWWWJBd7dNXNhi9qCxhproPecU1IU6qYWCzxuPKbFUmI49L9QarwQcf3IK4-YntWtNXuHeg_4/s1600/INDONESIA-113F+-+1000+RUPHIA+1975+copy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqyfu67Nl3bks5WQIxnZVPPQMdrGBE6TH8YITaYdyiAJI-l6-LH3LByLcJV6rW7gXKCjjWWWJBd7dNXNhi9qCxhproPecU1IU6qYWCzxuPKbFUmI49L9QarwQcf3IK4-YntWtNXuHeg_4/s1600/INDONESIA-113F+-+1000+RUPHIA+1975+copy.jpg" height="156" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar Pangeran Diponegoro pada pecahan uang kertas RI,<br />
emisi 1975. Sumber: <a href="http://www.banknoteworld.it/indonesia.htm" target="_blank">www.banknoteworld.it</a></td></tr>
</tbody></table>
Perang Diponegoro yang dalam buku-buku sejarah karangan penulis Belanda disebut <i>Java Oorlog</i> (Perang Jawa), berlangsung hingga tahun 1830. Dalam perang ini, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara serta menghabiskan dana hingga 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Perang Diponegoro (Perang Jawa, 1825-1830)</b></span><br />
<br />
Langkah pertama yang ditempuh oleh Pangeran Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi:<br />
<br />
<i>"Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudura-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur." </i><br />
<br />
Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat.<br />
<br />
Seruan ini disambut baik oleh Kyai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘Perang Sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kyai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang Sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak, membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat.<br />
<br />
Pangeran Diponegoro membangun pusat pertahanan baru di Selarong dan perang dilancarkan secara gerilya, gerakan pasukan berpindah-pindah, sehingga sulit dihancurkan. Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Pangeran Diponegoro adalah taktik "serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi", merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal Perang Jawa. Tahun-tahun pertama pasukannya unggul, Belanda menghadapi banyak kesulitan, lalu mengganti siasat. Di tempat-tempat yang sudah dikuasai didirikan benteng-benteng, sehingga gerakan pasukan Diponegoro dapat dibatasi. Selain itu, beberapa orang tokoh perlawanan dibujuk sehingga mereka menghentikan perang.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Berita pecahnya Perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutuskan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia-Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825, Let. Jend. De Kock tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit yang dikirim dari Semarang, di daerah Pisangan dekat Magelang, disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas. Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung menyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Belanda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.<br />
<br />
Oleh karena operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Pangeran Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Pangeran Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zhalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi pun gagal.<br />
<br />
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia-Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta, menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengkubuwono V. Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan melumpuhkan pasukan Diponegoro.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak" melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah (divide at impera) dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Strategi Sistem Benteng Belanda</b></span><br />
<br />
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga dikarenakan Belanda merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia-Belanda melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan sehingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain. Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh (Sultan HB II) yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.<br />
<br />
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang hebat antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro agar tetap berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto. Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten. Tapi, perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Pangeran Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal van Geen.<br />
<br />
Pada tanggal 10 Oktober 1827, diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumenggung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan lain-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827, pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Pangeran Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Dan ketika dalam perjalanan pulang, pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta.<br />
<br />
Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri. Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.<br />
<br />
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Pangeran Diponegoro.<br />
<br />
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda. Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha Belanda berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini. Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828, Kyai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.<br />
<br />
Pada tanggal 31 Oktober 1828, perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan keraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 November 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika perundingan gagal, Kyai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantiasa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kyai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kyai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Bron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kyai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kyai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kyai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.<br />
<br />
Setelah sampai Klaten, Kyai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pasukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kyai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kyai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kyai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan pertempuran, seperti antara lain Kyai Tuku Mojo, Kyai Badren, dan Kyai Kasan Basari. Kyai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kyai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimitY-nMnT2gP09VsU92TSN-_-zfh64paesCV_xIyv7y-d0lLmQ0kgKtrZpfiwNYN9ZZfdxawTADn8g7E3lbzyu-ceXZzrhKOsOnBFnfiXM5O20o_RRMuZqnK018sES1YXXmk5W9GYGIo/s1600/536px-Sentot,_opperbevelhebber_der_rebellen.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimitY-nMnT2gP09VsU92TSN-_-zfh64paesCV_xIyv7y-d0lLmQ0kgKtrZpfiwNYN9ZZfdxawTADn8g7E3lbzyu-ceXZzrhKOsOnBFnfiXM5O20o_RRMuZqnK018sES1YXXmk5W9GYGIo/s1600/536px-Sentot,_opperbevelhebber_der_rebellen.jpg" height="200" width="177" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Raden Alibasyah Sentot <br />
Prawirodirdjo. Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Sentot,_opperbevelhebber_der_rebellen.jpg" target="_blank">Wikipedia</a></td></tr>
</tbody></table>
Tertangkapnya Kyai Mojo dan stafnya dipergunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya. Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kyai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Pangeran Diponegoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829, mereka dapat di terima di markas perjuangan Pangeran Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasyah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan memerintahkan agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.<br />
<br />
Pada bulan Februari 1829, Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasyah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasyah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan berpergian bagi Alibasyah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasyah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai. Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara dan Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan berpergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan. Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasyah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka. Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia-Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia-Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan, pada tanggal 7 Juli 1829 ia meninggal dunia, maka praktis pimpinan tertinggi militer Hindia-Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock.<br />
<br />
Pada akhir bulan Mei 1829, pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829, tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Alibasyah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga pasukan Belanda terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran pasukan Belanda. Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.<br />
<br />
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829, pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Syaikh Haji Ahmad dan Tumenggung Banuja. Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap "kantong-kantong" persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini dipergunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Pangeran Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur Pangeran Diponegoro. Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasyah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Pangeran Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syeikh Muhammad dan Hasan Usman.<br />
<br />
Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro. Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Baisah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold. Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.<br />
<br />
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829, Tumenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pula Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.<br />
<br />
Pada tanggal 21 September 1829, atas nama pemerintah Hindia-Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang 'hadiah besar' bagi siapa saja yang dapat menangkap hidup atau mati Pangeran Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: "Barangsiapa yang berani menyerahkan Pangeran Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia-Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu gulden) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas". Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.<br />
<br />
Bulan September 1829, benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829, Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829, Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta. Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, yang kesemuanya mempunyai hubungan famiIi dengan Pangeran Diponegoro sendiri. Menyerahnya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Pangeran Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro. Apalagi usaha untuk menarik Alibasyah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasyah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan, walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasyah cukup berat; yaitu:<br />
<br />
<ul>
<li>Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000 gulden;</li>
<li>Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasyah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam;</li>
<li>Memberikan 400–500 pucuk senjata api;</li>
<li>Pasukan Alibasyah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia;</li>
<li>Mereka bebas menjalankan agamanya,</li>
<li>Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;</li>
<li>Diizinkan pasukannya memakai surban.</li>
</ul>
<br />
Tawar-menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Alibasyah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia-Belanda di Batavia. Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi:<br />
<br />
"…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasyah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasyah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasyah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita."<br />
<br />
Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia-Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktober 1829, antara lain berbunyi: "Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak."<br />
<br />
Melihat isi surat-surat pemerintah Hindia-Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasyah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- gulden dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasyah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lainnya seluruhnya dipenuhi. Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasyah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829, Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829, Alibasyah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.<br />
<br />
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Alibasyah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kyai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Pangeran Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyak sababat-sahabatnya yang meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan! Setelah menyerahnya Alibasyah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya, Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Pangeran Diponegoro sendiri). Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Pangeran Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830, berikutnya Patih Pangeran Diponegoro menyerah kepada Belanda.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Pada puncak peperangan ini, Belanda telah mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Penangkapan dan Pengasingan</b></span><br />
<br />
Usaha untuk menghentikan Perang Jawa dengan damai tapi licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasyah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830, telah terjadi pertemuan pertama antara Pangeran Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia-Belanda dalam rangka perdamaian di Remo Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo).<br />
<br />
Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Pangeran Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia. Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Pangeran Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang, sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Pangeran Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.<br />
<br />
Pada tanggal 21 Februari 1830, rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai tanggal 5 Maret 1830, Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Pangeran Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda, karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Pangeran Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.<br />
<br />
Menjelang hari raya Idul Fithri, Pangeran Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggangan yang sangat baik dan uang sebesar £ 10.000.- Gulden. Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Pangeran Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Pangeran Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang. Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Pangeran Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap.<br />
<br />
Pada tanggal 28 Maret 1830, perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi, Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Pangeran Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi, Pangeran Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal Marcus De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Pangeran Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Joned, Raden Mas Roub, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kyai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.<br />
<br />
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Perron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock. Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Pangeran Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan, bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.<br />
<br />
Babak pertama jadwal perundingan, menurut Pangeran Diponegoro sebagai pendahuluan ialah menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana menjadi begitu tegang dan panas, sampai-sampai Pangeran Diponegoro terlontar ucapan: "Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari." Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penyerangan yang telah dilakukan oleh Pangeran Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya Pangeran Diponogoro memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain:<br />
<br />
<i>"Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa."</i><br />
<br />
Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Pangeran Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Pangeran Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya. Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika perundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Pangeran Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata metoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: "Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas." Mendengar ucapan ini, Pangeran Diponegoro dengan marah menjawab: "Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal." Jenderal De Kock berkata lagi: "Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi." Pangeran Diponegoro menjawab: "Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?" Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Pangeran Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Pangeran Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.<br />
<br />
Dengan cepat Pangeran Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps, berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Pangeran Diponegoro dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April 1830. Dan pada tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.<br />
<br />
Pada tanggal 30 April 1830 keputusan pun keluar. Sebelum dibuang ke Manado, Pangeran Diponegoro disekap di Penjara Bawah Tanah Stadhuis. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno dipindahkan lagi ke Manado.<br />
<br />
Pada tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro beserta laskarnya diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan laskarnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834, Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya dipindahkan ke benteng Rotterdam di kota Makasar, Sulawesi Selatan. Dan pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama dua puluh lima tahun. Beliau dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.<br />
<br />
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan syariat Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Pangeran Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Kegagalan yang diderita oleh Pangeran Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan metodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkhianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen. Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjle44pkfWbGR4X0loSwDDOaETbkk1SZMwjHYOCpwUYDigVV7oh8iUar67DAM0vqFnfl371QtlFlOv1o_8JBfhamvd5oC9rc8USRcUJhFQKzgO1QwKzWqFxZhwiw4F7vRhB_gHM8xHWhUY/s1600/penangkapan-diponegoro.merdeka.com_raden+Saleh.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjle44pkfWbGR4X0loSwDDOaETbkk1SZMwjHYOCpwUYDigVV7oh8iUar67DAM0vqFnfl371QtlFlOv1o_8JBfhamvd5oC9rc8USRcUJhFQKzgO1QwKzWqFxZhwiw4F7vRhB_gHM8xHWhUY/s1600/penangkapan-diponegoro.merdeka.com_raden+Saleh.jpg" height="199" width="400" /></a></div>
<br />
<div style="text-align: center;">
<i>Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang yang dilukiskan kembali oleh Raden Saleh merupakan karya masterpiece yang pernah dibuat di Indonesia. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Pangeran Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak oleh Pangeran Diponegoro.</i></div>
<br />
Dalam peperangan melawan penjajah ini Pangeran Diponegoro dibantu oleh beberapa putranya. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau Bagus Singlon, Diponingrat, Diponegoro Anom, Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.<br />
<br />
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu Citrawati, Puteri Bupati Madiun, Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.<br />
<br />
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.<br />
<br />
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam-macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Sodewo, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Sedangkan untuk mengumpulkan Keluarga Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo bersama Hasan Budianto membuat facebook grup bernama Klan Diponegoro. Upaya ini berhasil mengumpulkan silsilah anak cucu Pangeran Diponegoro dari 8 putera Pangeran Diponegoro dari seluruh dunia.<br />
<br />
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di seluruh Dunia, termasuk Jawa, Sulawesi, dan Maluku.<br />
<br />
Berakhirnya Perang Jawa, merupakan akhir perlawanan dari bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia-Belanda sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta, Pangeran Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Keraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Pangeran Dipanegara kala itu. Kini anak cucu Pangeran Dipanegara dapat bebas masuk Keraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Penghargaan Sebagai Pahlawan</b></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgD0jAWlFBMLCf8bVXJ027BIy8OCZleMiY3EuS1dQx4ZE7kmrn2cPEXufaVhbnX1iIqz4LvuVguAg-aFABKEgFOL7hkMgqcxUL7ybz2aPOBVEqoqv7RI3DCBFmZgCqLdnEQMKOQcpydqNI/s1600/Indonesia_1952_100_Diponegoro.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgD0jAWlFBMLCf8bVXJ027BIy8OCZleMiY3EuS1dQx4ZE7kmrn2cPEXufaVhbnX1iIqz4LvuVguAg-aFABKEgFOL7hkMgqcxUL7ybz2aPOBVEqoqv7RI3DCBFmZgCqLdnEQMKOQcpydqNI/s1600/Indonesia_1952_100_Diponegoro.jpg" height="242" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Mata uang kertas IDR 100 bergambar Dipanegara, diterbitkan tahun 1952,<br />
setelah kemerdekaan RI.</td></tr>
</tbody></table>
Sebagai penghargaan atas jasa Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan nama beliau antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Diponegoro, Universitas Diponegoro, Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang.<br />
<br />
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari tahun 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai <b>Pahlawan Nasional</b> diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.<br />
<br />
Penghargaan tertinggi diberikan juga oleh Dunia, pada tanggal 21 Juni 2013 Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). <b>Babad Diponegoro</b> merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada tahun 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Isteri-Isteri Pangeran Diponegoro</b></span><br />
<br />
Sepanjang hidupnya, tercatat ada delapan wanita yang pernah dinikahi oleh Pangeran Diponegoro.<br />
<br />
<ul>
<li>Pernikahan pertama, terjadi pada tahun 1803 dengan Raden Ayu (R.A.) Retna Madubrongto, putri Kyai Gedhe Dhadhapan, dari desa Dhadhapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Jogyakarta. </li>
<li>Kedua, tanggal 27 Februari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. </li>
<li>Ketiga, tahun 1808 dengan R.A. Retnodewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta. Baik Madubrongto maupun Retnodewati wafat sewaktu Pangeran Diponegoro masih berada di Tegalrejo. </li>
<li>Dua tahun kemudian di awal tahun 1810, Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah timur dan menikah untuk yang keempat kalinya dengan Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu istri selir. Tidak lama setelah melahirkan anaknya, Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun. Bayi yang baru saja dilahirkan kemudian dibawa oleh Ki Tembi seorang sahabat Pangeran Diponegoro. Oleh Pangeran Diponegoro bayi tersebut diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh. Dan diberi nama Singlon yang artinya adalah nama samaran sehingga bayi tersebut terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.</li>
<li>Isteri Kelima, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton pada tanggal 18 Pebruari 1828. </li>
<li>Keenam, bulan Januari 1828, Pangeran Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. </li>
<li>Ketujuh, R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang, Kepadhangan, </li>
<li>Dan kedelapan, R.A. Retnakumala, putri Kyai Guru Kasongan. </li>
</ul>
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Silsilah Keturunan Pangeran Diponegoro Versi babad Mangkunegaran</span></b><br />
<br />
<ol>
<li>RM. Abdul Madjid atau RM. Muhammad Ngarip atau Diponegoro Anom (lahir 1803) - ibu kandung: RA. Retna Madubrongto</li>
<li>RM. Dipoatmaja atau Dipokusuma atau Pangeran Abdul Aziz (lahir 1805) - ibu kandung: RA. Retna Madubrongto</li>
<li>RM. Suryaatmaja atau Diponingrat (lahir 1807) - ibu kandung: RA. Retnakusuma</li>
<li>RM. Sodewo atau Singlon atau Pangeran Alip (lahir 1810) - ibu kandung: RA. Citrowati</li>
<li>RM. Djonet Dipomenggolo atau RM. Junat atau RM. Jemet (lahir 1815) - ibu kandung: RA. Maduretno atau RA. Ontowiryo</li>
<li>RM. Roub atau RM. Raab (lahir 1816) - ibu kandung: RA. Maduretno atau RA. Ontowiryo</li>
<li>RA. Impun atau RA. Basah - ibu kandung: RA. Retnodewati</li>
<li>RA. Joyokusumo - ibu kandung: RA. Supadmi atau RA. Retnakusuma</li>
<li>RA. Munteng atau RA. Siti Fadilah atau RA. Gusti - ibu kandung: RA. Retnodewati</li>
<li>RA. Herjuminten - ibu kandung: RA. Retnakumala</li>
<li>RA. Herjumerot - ibu kandung: RA. Retnakumala</li>
<li>RA. Hangreni Mangunjaya - ibu kandung: RA. Retnakumala</li>
<li>RM. Kindar (lahir 1832) - ibu kandung: RA. Retnaningsih</li>
<li>RM. Sarkuma (lahir 1834) - ibu kandung: RA. Retnaningsih</li>
<li>RM. Muntawaridin (lahir 1835) - ibu kandung: RA. Retnaningsih</li>
<li>RA. Putri Munadima (lahir 1836) - ibu kandung: RA. Retnaningsih</li>
<li>RA. Dulkabi (lahir 1836) - ibu kandung: RA. Retnaningsih</li>
<li>RM. Rajab (lahir 1837) - ibu kandung: RA. Retnaningsih</li>
<li>RM. Ramaji (lahir 1838) - ibu kandung: RA. Retnaningsih</li>
<li>RA. Mangkukusumo - ibu kandung: RA. Retnaningrum</li>
<li>RA. Padmodipuro - ibu kandung: RA. Retnaningrum</li>
<li>RA. Poncokusumo - ibu kandung: RA. Retnaningrum</li>
</ol>
Sumber: Babad Mangkunegaran<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Peninggalan</b></span><br />
<br />
Bagi yang hendak menikmati pengalaman sejarah Pageran Diponegoro, dapat mengunjungi Museum Sasana Wiratama / Monumen Diponegoro - Jl. HOS Cokroaminoto TR.III/430 Tegalrejo, Yogyakarta.<br />
<br />
Terletak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Jogja, tanah seluas 2,5 hektar yang awalnya dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, diserahkan oleh ahli waris Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Kanjangteng Diponegoro, untuk dijadikan Monumen setelah menandatangani surat penyerahan bersama Nyi Hadjar Dewantara dan Kanjeng Raden Tumenggung Purejodiningrat. Di atas tanah yang kini menjadi milik Keraton Yogyakarta itu mulai pertengahan tahun 1968 hingga 19 agustus 1969, dibangun sebuah monumen pada bangunan pringgitan yang menyatu dengan pendopo tepat di tengah komplek yang diprakarsai oleh Mayjen Surono yang saat itu menjabat Panglima Kodam (PANGDAM) serta diresmikan oleh Presiden Suharto. Tempat ini kemudian dinamakan Sasana Wiratama yang artinya tempat prajurit.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#fotenote4" name="4">[4]</a></sup><br />
<br />
Monumen Pangeran Diponegoro merupakan pahatan relief pada dinding pringgitan dengan panjang 20 meter dan tinggi 4 meter, menceritakan keadaan Desa Tegalrejo yang damai dan tentram, perang Pangeran Diponegoro melawan Pemerintahan Belanda hingga tertangkap di Magelang. Monumen ini dipahat oleh seniman patung Drs. Saptoto dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), dibantu Sutopo, Sokodiharjo, dan Askabul. Di kedua sisi monumen terdapat terdapat lukisan diri Pangeran di sebelah barat dan lukisan Pangeran sedang menunggang kuda hitam siap untuk berperang di sebelah timur.<br />
<br />
Barang-barang peninggalan mendiang Pangeran Diponogero yang menjadi koleksi Museum Diponegoro berjumlah 100 buah, yang terdiri dari berbagai senjata asli laskar Diponegoro mulai dari senjata perang, koin, batu akik hingga alat rumah tangga. Berbagai senjata seperti tombak, keris, pedang, panah, <i>bandil </i>(semacam martil yang terbuat dari besi), <i>patrem</i> (senjata prajurit perempuan), hingga <i>candrasa</i> (senjata tajam yang bentuknya mirip tusuk konde) yang biasa digunakan <i>telik sandi </i>(mata-mata) perempuan. Sedangkan sejumlah alat rumah tangga buatan tahun 1700-an yang terbuat dari kuningan terdiri dari tempat sirih dan <i>kecohan</i>-nya (tempat mebuang ludah), tempat <i>canting</i> (alat untuk membatik), teko "bingsing", bokor hingga berbagai bentuk "kacip" (alat membelah pinang untuk makan sirih).<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Galeri</span></b><br />
<br />
Berikut ini ditampilkan gambar sketsa tentang Pangeran Diponegoro ketika ia masih muda (mungkin masih belasan tahun). Gambar sketsa ini dibuat menggunakan arang (maklum saat itu alat tulis/gambar memang langka dan mahal). Sketsa ini mungkin dibuat oleh seorang seniman Keraton Yogya saat pernikahan Pangeran Diponegoro dengan istri sahnya yang pertama, yakni putri Bupati Yogya untuk wilayah Panolan, Jawa Timur yang bernama Raden Tumenggung Notowijoyo III yang menjabat bupati sejak 1803-1811. Pernikahan itu sendiri dilaksanakan 25 Februari 1807. Inilah satu-satunya sketsa yang menampilkan Pangeran Diponegoro dalam busana keraton Jawa berupa surjan dan blangkon.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRAIA-fRgOVy8xBiEi9lLd4SzJ0KHVMOLtvnL_UR650UBkuW1Lz0U72IGwLKj8XNPpY2MpAYiuYY3GFu2XXlMTSp8m2uFJ40BIV-dBvi0ZQEe36y-h7kG-AVlJ-S0oB4rbbtHacpKjp88/s1600/Diponegoro+muda.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRAIA-fRgOVy8xBiEi9lLd4SzJ0KHVMOLtvnL_UR650UBkuW1Lz0U72IGwLKj8XNPpY2MpAYiuYY3GFu2XXlMTSp8m2uFJ40BIV-dBvi0ZQEe36y-h7kG-AVlJ-S0oB4rbbtHacpKjp88/s1600/Diponegoro+muda.jpg" height="400" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Profil Pangeran Diponegoro Dalam Busana yang Berbeda, 1807: a.sartono.<br />
Sumber: <a href="http://tembi.net/bale-karya-pertunjukan-seni" target="_blank">http://tembi.net/bale-karya-pertunjukan-seni</a></td></tr>
</tbody></table>
Sumber: Peter Carey, 2012, Risalah Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan di Jawa, 1785-1855, Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV-Jakarta, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Aseasuk, Fadli Zon Library, dan Gramedia Printing Group.<br />
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_diponegoro" target="_blank">Pangeran Diponegoro</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>Perang Sabil versus Perang Salib</b> - Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda oleh Abdul Qadir Djaelani, Penerbit: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah - Jakarta, 1420 H / 1999 M<br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>Suara Indonesia Kini</b>: <a href="http://suaraindonesiakini.blogspot.com/2011/09/kegigihan-pangeran-diponegoro-melawan.html" target="_blank">Kegigihan Pangeran Diponegoro Melawan VOC</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pangeran-diponegoro-tokoh-perang-jawa.html#4" name="fotenote4">[4]</a> <b>www.Yogyes.com</b>: <a href="http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/museum-and-monument/sasana-wiratama/" target="_blank">Sasana Wiratama</a> <br />
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-64160023046936657842014-04-30T22:16:00.004+07:002014-04-30T22:16:58.226+07:00Tuanku Imam Bonjol Sang Pemimpin Kaum Padri<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgO0CdqykVvd9S1toONWF6smhkBo52oLDHYZ7G6m8icOfM_FDhJ7t3NczwTDv8GihIimHQp7xXlwUQ8yBSNV0JZOAxdZsvisM2w2vTeQzuuB05l1i4Vu50Dob5nGmNcxqmRUEzaRDFAdO8/s1600/imambonjol.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgO0CdqykVvd9S1toONWF6smhkBo52oLDHYZ7G6m8icOfM_FDhJ7t3NczwTDv8GihIimHQp7xXlwUQ8yBSNV0JZOAxdZsvisM2w2vTeQzuuB05l1i4Vu50Dob5nGmNcxqmRUEzaRDFAdO8/s1600/imambonjol.jpg" height="200" width="141" /></a></div>
<b>Tuanku Imam Bonjol</b> lahir di Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat pada tahun 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai <b>Pahlawan Nasional Indonesia</b> berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.<br />
<a name='more'></a><br />
<b style="color: #660000; font-size: x-large;">Nama dan Gelar</b><br />
<br />
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku Nan Renceh dari Kamang, salah seorang pemimpin dari Harimau Nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi Kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Sebagai Figur Pemimpin</b></span><br />
<br />
Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang santun. Pribadinya yang santun tersebut didapatnya dari pendidikan agama yang diberikan oleh ayahnya sedari kecil. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya kepada beberapa orang ulama lainya di Sumatera Barat, seperti Tuanku nan Renceh, hingga ia menjadi guru agama di Bonjol. Dari sini ia mulai menyebarkan paham Padri di Lembah Alahan Panjang bahkan sampai ke Tapanuli Selatan.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b>Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Padri. Kaum Padri merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syiar agama Islam, dalam tatanan masyarakat yang pada zaman dulu populer di tanah Minangkabau terutama pada masa Perang Padri. Sedangkan para penjuang Padri adalah orang-orang yang sangat taat dalam menjalankan agamanya, yang karena hal inilah yang menjadi modal utama perjuangan Tuanku Imam Bonjol.</b></blockquote>
<br />
Kaum Padri ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum syariah Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Padri dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri (Kaum Ulama).<br />
<br />
Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Padri sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Pemicu Peperangan</b></span><br />
<br />
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan <b><i>Kaum Padri</i></b> (Kaum Ulama) di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan <i>Ahlus Sunnah wal Jama'ah</i> (Salaf) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunah-sunah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam, dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelanggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.<br />
<br />
Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam <i>Harimau Nan Salapan</i> meminta Tuanku Lintau (Pasaman) untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah), seperti kebiasaan berjudi sabung ayam, minum arak, kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat) dan kebiasaan lainnya yang dianggap merusak moral dan tatanan masyarakat. Sayangnya kebiasaan ini sudah membudaya di raja-raja adat.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Perang Padri (1803-1837)</span></b><br />
<br />
Tak dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa Indonesia. Selama sekitar 18 tahun (1803-1821), perang saudara tersebut bergolak antara sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak pada umumnya. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.<br />
<br />
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring hal itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Puncaknya terjadi pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman (nantinya bergelar Tuanku Lintau) menyerang Pagaruyung, dan pecahlah pertempuran di Koto Tengah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.<br />
<br />
Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1821 guna berperang melawan Kaum Padri. Dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi, Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.<br />
<br />
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Serangan ini berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda membangun benteng di Batusangkar dengan nama Fort van der Capellen. Adapun Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada 13 April 1823, Belanda mencoba menyerang Lintau. Namun, Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan sehingga pada tanggal 16 April 1823, Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#fotenote4" name="4">[4]</a></sup><br />
<br />
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Padri cukup tangguh, sehingga sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat <b><i>Perjanjian Masang</i></b> pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Kembali Bersatu Menghadapi Sistem Kolonialisme Belanda</b></span><br />
<br />
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul Kaum Adat. Akhirnya lahir suatu kompromi yang dikenal dengan nama <b><i>Plakat Puncak Pato</i></b> di Tabek Patah, yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#fotenote4" name="4">[4]</a></sup><br />
<br />
Rasa penyesalan yang dirasakan oleh Tuanku Imam Bonjol atas tindakan Kaum Padri terhadap sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya,<br />
<i><br />
</i> <i>"Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?"</i> (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana menurut kalian?).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Darisinilah akhirnya Kaum Adat menyadari bahwa mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Maka sejak awal tahun 1833, Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri serta saling bahu-membahu menghadapi sistem kolonialisme Belanda.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNyi_Ka1Zv4H62ikBPFo44cGm3XfhslzN1UhyphenhyphenpqwBq5qXErlqD4H3J-8LONRf0nmBT5BwfABap4K3QwwXxe9PFcSXJJjZoENvsMei5pJwf6UfuL3fECCbXSObZM7ncAXEMKCbRt1j6Wb8/s1600/Imam+Bonjol-8.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNyi_Ka1Zv4H62ikBPFo44cGm3XfhslzN1UhyphenhyphenpqwBq5qXErlqD4H3J-8LONRf0nmBT5BwfABap4K3QwwXxe9PFcSXJJjZoENvsMei5pJwf6UfuL3fECCbXSObZM7ncAXEMKCbRt1j6Wb8/s1600/Imam+Bonjol-8.gif" height="303" width="400" /></a></div>
<br />
Penyerangan dan pengepungan benteng Kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan berlangsung selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837), dibawah kepemimpinan jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah masih bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, dan <i>Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen</i> (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai dengan orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam barisan penyerangan.<br />
<br />
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut <i>sepoys</i> dan <i>berdinas</i> dalam tentara pemerintahan Hindia-Belanda.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Penangkapan dan Pengasingan</span></b><br />
<br />
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih pantang untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai ketiga kalinya Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Peperangan ini sendiri pada akhirnya dapat dimenangkan oleh pihak Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat lama.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut pada usianya yang ke 92 tahun.<br />
<br />
Perang Padri ini membuktikan satu hal penting tentang kemenangan yang gemilang bagi seorang hamba Allah sejati, yang meninggal sebagai seorang syuhada hingga akhir hayatnya, diusianya yang sudah cukup senja. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati dan membalas setiap usahanya dalam membela bangsa dan tanah air tercinta - Indonesia.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Penghargaan</span></b><br />
<br />
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol adalah apresiasi sikap kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai <b>Pahlawan Nasional Indonesia</b> sejak tanggal 6 November 1973.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTT6ICfz7EVpHaNxt9tLaYJ5sUT7nuPrHHamg-ji9TJr3TiY647ch8s58o0HLXswKfiRx8Y6gZF6GH5cagFwE7XnDANZcGPRCqKjEtVbylBzZJrtof0fhHCc-T2WsViOhe1YSCuqAqczE/s1600/INDONESIA-NEWF-5000R-2010+copy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTT6ICfz7EVpHaNxt9tLaYJ5sUT7nuPrHHamg-ji9TJr3TiY647ch8s58o0HLXswKfiRx8Y6gZF6GH5cagFwE7XnDANZcGPRCqKjEtVbylBzZJrtof0fhHCc-T2WsViOhe1YSCuqAqczE/s1600/INDONESIA-NEWF-5000R-2010+copy.jpg" height="181" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar Tuanku Imam Bonjol pada pecahan uang kertas RI, emisi 2010.</td></tr>
</tbody></table>
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Di Jakarta namanya diabadikan di poros utarna Menteng, yang menghubungkan Jl. Diponegoro dengan Bundaran HI.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijc08Il7Vg7uVY6HDlbjesqla_1se3l8ynnwIt_hyxTOXDR3w1PjQ06KSMOpsYoZgaThq1NPDY1aESzjsPUXkunBd4ZGtyBE6ts4L08czPrAIimS9ZMxMp-2xU3052071DEK9mUzAYkdM/s1600/imam+bonjolhitam.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijc08Il7Vg7uVY6HDlbjesqla_1se3l8ynnwIt_hyxTOXDR3w1PjQ06KSMOpsYoZgaThq1NPDY1aESzjsPUXkunBd4ZGtyBE6ts4L08czPrAIimS9ZMxMp-2xU3052071DEK9mUzAYkdM/s1600/imam+bonjolhitam.jpg" height="391" width="400" /></a></div>
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Imam_Bonjol" target="_blank">Tuanku Imam Bonjol</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>Profil Merdeka.com</b>: <a href="http://profil.merdeka.com/indonesia/t/tuanku-imam-bondjol/" target="_blank">Tuanku Imam Bondjol</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>Suara Indonesia Kini</b>: <a href="http://suaraindonesiakini.blogspot.com/2011/09/erjuangan-tuanku-imam-bonjol-di-sumatra.html" target="_blank">Perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Sumatra</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/tuanku-imam-bonjol-sang-pemimpin-kaum.html#4" name="fotenote4">[4]</a> <b>AgungSetyoBudi7.blogspot.com</b>: <a href="http://agungsetyobudi7.blogspot.com/2013/05/tuanku-imam-bonjol.html" target="_blank">Tuanku Imam Bonjol</a></div>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-85681763294985429222014-04-28T22:14:00.000+07:002014-04-28T22:22:51.645+07:00MARTHA CHRISTINA TIAHAHU<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdNXc2R0opTM2VVX8Uc7Hw-Axse6L8RI3MqXuqM0znk3mhYdxGka7t4AlYteVuayw6syYE6GcXjvtHPC1T2mv9NE0ImJw2bZHeSvEH4u9aHDt4h50JAURidCtP_iUrann7EwG2dRuoqkI/s1600/220px-Martha_Christina_Tiahahu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdNXc2R0opTM2VVX8Uc7Hw-Axse6L8RI3MqXuqM0znk3mhYdxGka7t4AlYteVuayw6syYE6GcXjvtHPC1T2mv9NE0ImJw2bZHeSvEH4u9aHDt4h50JAURidCtP_iUrann7EwG2dRuoqkI/s1600/220px-Martha_Christina_Tiahahu.jpg" height="200" width="157" /></a></div>
<b>Martha Christina Tiahahu</b> (lahir di Nusalaut, Maluku, 4 Januari 1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah. Ia lahir dari keluarga Tiahahu dari kelompok Soa Uluputi. Soa dalam bahasa Maluku berarti 'kelompok yang membagi masyarakat berdasarkan marganya sebagai identitas asal-usul keluarga'.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Riwayat Martha Christina Tiahahu</span></b><br />
<br />
Martha adalah wanita pemberani yang mengangkat tombak untuk melawan Belanda. Seperti yang dituturkan oleh ahli warisnya, Merry Lekahena, berdasarkan kisah turun-temurun yang diceritakan oleh orangtuanya, <br />
<a name='more'></a>Martha dibesarkan oleh ayahnya yang merupakan seorang pemimpin perang karena ibunya meninggal saat ia masih belia. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga membantu <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html" target="_blank">Thomas Matulessy</a> dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b>Martha terkenal sebagai seorang gadis remaja yang memiliki kemauan keras dan pemberani. Parasnya manis, tubuhnya tegap, mata hitam jelita memancarkan berbagai perasaan, garis mulut yang sayu, gigi putih bak mutiara, rambut hitam terurai di punggung, berbaju kain linen biru dan bersarung sampai ke betis, itulah srikandi dari Nusalaut. Ia selalu mengikuti ke mana pun ayahnya pergi, termasuk menghadiri rapat perencanaan perang, sehingga dirinya terbiasa turut mengatur pertempuran dan membuat kubu-kubu pertahanan.</b></blockquote>
<br />
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam Perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya. "Kemampuan, sikap keras kepala, dan tekad yang kuat yang membuatnya sejajar dengan laki-laki. Ia bahkan tidak mau meminta pengampunan Belanda terhadap ayahnya meskipun ia sedih sekali," kata Lekahena.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Perang Pattimura</span></b><br />
<br />
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah), ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran, sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.<br />
<br />
Martha Chistina dan ayahnya, Paulus Tiahahu, bersama-sama dengan Thomas Matulessy alias <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html" target="_blank">Kapitan Pattimura</a> berhasil menggempur kependudukan tentara kolonial yang bercokol di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
"Mereka berhasil membumihanguskan Benteng Duurstede," ujar Lekahena menjelaskan.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b>Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para raja dan patih bergerak ke Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura, sehingga tindakan Belanda yang akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian.</b></blockquote>
<br />
Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatas-namakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 November 1817, Benteng Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.<br />
<br />
Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw. Diantara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja dan Patih dari Nusalaut.<br />
<br />
Tanggal 11 November 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak.<br />
<br />
Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan <i>bercakalele</i>, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.<br />
<br />
Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja <i>bercakalele</i> menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah) terikat di kepala.<br />
<br />
Dengan mendampingi sang ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kaum laki-laki di medan pertempuran.<br />
<br />
Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut bertempur. Pertempuran semakin sengit ketika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Penangkapan</span></b><br />
<br />
Tanggal 12 November 1817, Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.<br />
<br />
Martha Christina dan sang ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya.<br />
<br />
Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman tembak mati di Nusalaut.<br />
<br />
Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang ayah. Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia. Ia pun bersumpah untuk tidak menggulung rambutnya sebelum ia mandi dengan darah kompania.<br />
<br />
Christina Martha Tiahahu diantarkan keluar, namun ia menolak ditempatkan terpisah. Ia ingin berada disisi ayahnya yang dirantai pada tiang besi. Beberapa hari kemudian pada tanggal 16 November 1817, Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya. Meraka tidak diizinkan pamitan dengan Ahmad Lessy dan kawan-kawan seperjuangannya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Detik-Detik Pengeksekusian</b></span><br />
<br />
Tanggal 17 November 1817 pagi, Groot, Verheull dan Residen Neys yang datang bersama Buyskes beberapa hari yang lalu, berangkat dengan sebuah arombai ke Nusalaut. Duabelas kora-kora dengan alifuru Ternate dan Tidore dibawah pimpinan O Tusan dan Dukimi, turut serta tujuhratus orang alifuru berbadan telanjang, bercidaku (cawat) dan berikat kepala disisipi bulu ayam atau bulu burung diturunkan di depan Benteng Beverwijk. Mereka ditugaskan oleh Buyskes untuk melaksanakan hukuman mati dan berjaga-jaga jangan sampai ada serangan yang tidak diduga-duga.<br />
<br />
Dipantai mereka bercakalele dengan parang dan salawaku (perisai); berteriak-teriak seolah-olah berada dalam pertempuran. Ngeri, seram dan ganas. Berduyun-duyun rakyat datang dari segala penjuru ketempat pelaksanaan hukuman. Mereka berdiri disekeliling tempat itu, diam, penuh rasa sedih dan duka, putus asa bercampur dengan kebencian. Airmata mengalir membasahi pipi para ibu dan para <i>jujaro</i>. Sanak-saudara Raja Paulus menangis tersedu-sedu. Lantas datanglah Paulus Tiahahu, tangannya terikat, didampingi oleh putrinya. Serentak rakyat berlutut, menundukkan kepala. Hening, sepi, sunyi mencekam, tanda malak'ul maut akan berlalu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Paulus berhenti, mengangkat kepalanya yang beruban, memandang rakyatnya, hatinya terharu. Paulus maju ketempat yang telah ditunjuk. Seluruh tempat itu dikepung oleh tentara alifuru. Pasukan alifuru lainnya, para algojo, dideretkan pada tempatnya. O Tusan berdiri didepan dengan ujung kelewang tertuju kebawah. Martha Christina Tiahahu ikut mendampingi sang ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru Soselissa.<br />
<br />
Residen Neys maju kedepan lalu mengatakan pada Paulus bahwa saat pelaksanaan hukuman telah tiba. O Tusan, antek penjajah, memandang sekelilingnya bagaikan panglima maut. Sesaat kemudian kelewangnya diangkat. Bedil memuntahkan peluru mautnya. Menyerbulah dengan buas dan ganas pasukan alifuru dan musnahlah tubuh pahlawan Raja Paulus Tiahahu. Ratap-tangis membelah udara, mengiringi nyawa raja yang dicintai.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Detasemen marinir bergerak pulang kebenteng. Sambil melewati jasad Paulus, tubuh yang sudah tidak bernyawa itu ditikam-tikam dengan sangkur. Jenazah pahlawan Nusahalawano, Raja Abubu, Paulus Tiahahu diusung oleh rakyat dan dimakamkan dengan upacara adat sebagai tanda penghormatan dan terima kasih atas pengorbanan yang dipersenbahkannya kepada nusa dan bangsa.<br />
<br />
Martha Christina Tiahahu beserta tigapuluhsembilan orang tawanan lainnya dibuang ke Jawa, diberangkatkan menggunakan kapal perang Eversten pada akhir Desember 1817. Sepeninggal ayahnya, jiwanya menjadi sangat tertekan sehingga ia menolak makan dan diobati ketika berada dalam sel. Tubuhnya semakin lemah dan ketika Eversten baru meninggalkan Tanjung Alang, Christina menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya diturunkan dan diserahkan kepada Laut Banda. Seorang srikandi muda telah berkorban demi kebebasan rakyatnya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Penghargaan</span></b><br />
<br />
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional. Dan tanggal 2 Januari menjadi Hari Martha Christina.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b>Pada hari itu, ribuan kelopak bunga dilemparkan ke Laut Banda dalam sebuah upacara resmi yang diselenggarakan setiap tahun untuk merayakan keberanian dalam perjuangan demi kemerdekaan Indonesia.</b></blockquote>
<br />
Monumennya pun dibangun menghadap ke laut Banda di desa kelahirannya yang diresmikan oleh Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu pada 2 Januari 2008 dalam peringatan Hari Martha Christina yang ke-190 tahun.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPJCYlhCMa4hozFzFVzW8xg0Y4LqLX4Qf2BZW0cHpsE8XTi3S5B-uFQ6c7vY929ttptr7lB5GcQSq9neLGUQVlJfoLNwl1qWQgrWllDzCQ9jsM5HlCSIWnu4jTFiMdOHNevPFsfhM9TSQ/s1600/Monumen+Martha+Christina+Tiahahu.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPJCYlhCMa4hozFzFVzW8xg0Y4LqLX4Qf2BZW0cHpsE8XTi3S5B-uFQ6c7vY929ttptr7lB5GcQSq9neLGUQVlJfoLNwl1qWQgrWllDzCQ9jsM5HlCSIWnu4jTFiMdOHNevPFsfhM9TSQ/s1600/Monumen+Martha+Christina+Tiahahu.jpg" height="320" width="239" /></a></div>
Sedangkan di Ambon, monumen Martha Christina tegar berdiri dengan sebatang tombak di tangan, Bukit Karang Panjang menghadap ke Teluk Ambon, seakan-akan menyiratkan tekadnya menjaga keutuhan Maluku sebagai daerah kaya berbagai potensi sumber daya alam sebagai bagian kekuatan masa depan untuk kesejahteraan masyarakat.<br />
<br />
Konon waktu pendirian patung ini sangat susah diletakkan karena kurang keseimbangan. Telah dicoba beberapa kali ternyata tidak dapat berdiri dengan baik. Patung baru dapat berdiri dengan posisi seimbang ketika menghadap ke Laut Banda, tempat dimana Jenazah Martha Christina Tiahahu dimakamkan ke laut.<br />
<br />
Patung Martha Christina Tiahahu itu terletak di Karang Panjang, daerah bukit yang terlihat jelas dari Kota Ambon. Menuju Karang Panjang dari Kota Ambon melewati jalan menanjak dan beberapa tikungan tajam, baru tiba di lokasi Monumen Martha Christina Tiahahu yang bersebelahan dengan Kantor DPRD Maluku.<br />
<br />
Tertanam di dasar monumen untuk pejuang kemerdekaan wanita berbunyi: <i><b>"Martha C. Tijahahu, mutiara Nusa Laut (Pulau), Pahlawan Nasional RI, yang berjuang untuk mengusir penjajah Belanda dari Maluku, jatuh pada Januari 2, 1818."</b></i><br />
<br />
Dari Patung Martha Christina Tiahahu dapat dilihat secara langsung pemandangan kota Ambon dan lebih indah bila dinikmati pada malam hari. Lokasi ini biasa dijadikan tempat alternatif untuk menikmati suasana santai, terutama para muda-mudi yang ingin menikmati pemandangan kota Ambon.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Meskipun Christina ditampilkan membawa tombak di kedua monumen, dalam pertempuran melawan Belanda, legenda mengatakan bahwa dia benar-benar melemparkan batu ke tentara Belanda ketika pasukannya kehabisan amunisi.<br />
<br />
Karena keberanian besarnya dalam melawan senjata api Belanda hanya dengan batu, masyarakat Maluku menyebutnya seorang wanita kabaressi (berani). Namanya juga digunakan sebagai jalan di Karangpanjang, sementara kapal perang Indonesia telah dibaptis dengan nama KRI Martha Christina Tiahahu.<br />
<br />
Sejarah lengkap dari perjuangan Christina telah ditulis oleh almarhum Yop Lasamahu dalam bukunya, <i>Bunga Karang Bahasa Dari Nusalaut (The Mekar Karang dari Nusalaut)</i>. Penulis adalah mantan ketua Persatuan Wartawan Indonesia Maluku.<br />
<br />
Sekelompok perempuan Maluku di Jakarta juga telah mendirikan Yayasan Martha Christina Tiahahu, sebuah yayasan sosial bagi masyarakat Maluku dipimpin oleh Djaelani Mietje Saimima.<br />
<br />
Sementara itu, sejumlah aktivis perempuan dan jurnalis di Ambon menerbitkan majalah Martha Christina, yang terinspirasi oleh pejuang kemerdekaan Maluku muda. Publikasi ini juga melibatkan beberapa pejabat seperti Kepala Kantor Informasi lokal, dan Fenno Tahalele, Kepala Kantor Urusan Sosial.<br />
<br />
"Nama majalah ini semata-mata dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat perempuan Maluku untuk semangat juang Martha Christina Tiahahu, dan ini memang meliputi urusan perempuan dalam masyarakat," ujar Lies.<br />
<br />
Aktivis Rosa Pentury perempuan Maluku mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa semangat perjuangan Christina harus diwarisi oleh setiap generasi perempuan pada masa kini, terlepas dari kondisi yang berbeda yang berlaku saat ini.<br />
<br />
"Di masa lalu, Christina memimpin pemberontakan bersenjata terhadap penjajah. Hari ini, perempuan Maluku harus melawan ketidakadilan, kemiskinan dan kesenjangan sosial lainnya. Mereka dalam organisasi birokrasi, legislatif dan sosial juga harus meniru semangat besar Christina untuk perjuangan," tegas Rosa, yang mengepalai Yayasan Pelangi.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b>DAFTAR PUSTAKA</b><br />
Soedarmanta, J.B., Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Grasindo, 2007, ISBN 979-759-716-4 ISBN 978-979-759-716-0<br />
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Martha_Christina_Tiahahu" target="_blank">Martha Christina Tiahahu</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>Agama-Islam-Jawa.blogspot.com</b>: <a href="http://agama-islam-jawa.blogspot.com/search/label/MARTHA%20CHRISTINA%20TIAHAHU" target="_blank">MARTHA CHRISTINA TIAHAHU</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>MalukuEyes.com</b>: <a href="http://malukueyes.com/in-depth/publication/1216-kapitan-pattimura?start=33" target="_blank">Kapitan Pattimura</a><br />
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-60.5278328 24.720391599999971 47.882372200000006 -170.04523340000003tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-19677628890315643612014-04-28T21:33:00.000+07:002014-04-28T22:16:02.356+07:00Pattimura - Sang Kapitan Sejati Dari Maluku<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJdZPdRyLp5J_HI6yL1t661cWLTlJEC96eDk6Fz9fk0GClIXkzaOQyUBRo_g2HWX8VEADWgptXOCOPXC785kVJ1g66lWjo_ro-otTNO0Ub7aKl2IQGga9xbcO7H49m_aNGhJTFmIvFtmg/s1600/pattimura.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJdZPdRyLp5J_HI6yL1t661cWLTlJEC96eDk6Fz9fk0GClIXkzaOQyUBRo_g2HWX8VEADWgptXOCOPXC785kVJ1g66lWjo_ro-otTNO0Ub7aKl2IQGga9xbcO7H49m_aNGhJTFmIvFtmg/s1600/pattimura.jpg" height="200" width="151" /></a></div>
<b>Pattimura</b> atau Thomas Mattulessy (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan Pahlawan Nasional Indonesia.<br />
<br />
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M. Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan."<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah rekayasa dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).<br />
<br />
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya "Api Sejarah" bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut <i>Kasimiliali</i>.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b><i>Mansyur Suryanegara berpendapat, bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.</i></b><sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup></blockquote>
<br />
Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan <i>Jaziratul Muluk</i> (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku. Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku “Menemukan Sejarah” (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Awal Perjuangan Pattimura</span></b><br />
<br />
Sebelum melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Hindia-Belanda, Ahmad Lussy pernah berkarier dalam militer sebagai mantan Sersan Militer Inggris. Namun akibat terikat dengan Konvensi London, Belanda kembali lagi menjajah tanah Maluku. Konvensi London (13 Agustus 1814) berisi kesepakatan bahwa Pemerintah Inggris akan menyerahkan wilayah Nusantara kepada Belanda termasuk Maluku.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote4" name="4">[4]</a></sup><br />
<br />
Pada tahun 1816, pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk, serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan <i>Traktat London I</i>, antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa, Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubernur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Perang Pattimura</span></b><br />
<br />
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Pattimura bangkit memimpin rakyat Maluku menghadapi ambisi penjajah yang membawa misi Gold (emas/kekayaan), Gospel (penyebaran Injil), and Glory (kebanggaan). Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah Belanda seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan VOC. Selain itu, Belanda menjalankan praktik-praktik monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi, yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Alasan lainnya, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Pada tanggal 14 Mei 1817 di Saparua, Ahmad Lussy dipilih oleh raja-raja Patih, para kapitan, tua-tua adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sifat kesatria (kabaressi). Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar <b>Kapitan Pattimura</b>. Pada tanggal 15 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama para asistennya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan.<br />
<br />
Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan menunjuk Laksamana Buyskes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Pattimura.<br />
<br />
Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Bergh. Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup> Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya. Dalam Perjuangannya, Patimurra dibantu oleh Paulus Tiahahu dari Nusalaut, Anthony Rhebok wakilnya dari Saparua dan Kapitan Philip Latumahina.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisiC8FZ9yZqTNc7JyszIdTSV0nJgeUFIKy9Nw0U8eGyG2TtiTtopkfNCSqgrqi9M5oL8flWruqDsAIKCCRdiGwKo0K-x3UnukVn-i-G945he4ha8jbo8v_sgdZab_WDsQvf7KnhVkqgso/s1600/Patimura+Park+Ambon.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisiC8FZ9yZqTNc7JyszIdTSV0nJgeUFIKy9Nw0U8eGyG2TtiTtopkfNCSqgrqi9M5oL8flWruqDsAIKCCRdiGwKo0K-x3UnukVn-i-G945he4ha8jbo8v_sgdZab_WDsQvf7KnhVkqgso/s1600/Patimura+Park+Ambon.jpg" height="400" width="360" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pattimura Park di Ambon. Gambar by: Jacob D.C Sihasale</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Melalui pertempuran sengit, benteng Durstede berhasil dikuasai Belanda lagi. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur hingga ke Siri Tori. Namun pada malam tanggal 10 November 1817, Siri Sori telah berhasil dikuasai oleh Belanda.<br />
<br />
Kapitan Pattimura beserta pasukkannya berhasil meloloskan diri dengan mendaki sebuah bukit di hutan Booi. Sementara itu pertempuran di Pantai Ulath dan Ouw antara armada arombai (Belanda) melawan kora-kora (Maluku) berlangsung hingga keesokan harinya. Kapitan Pattimura tidak bisa bergerak bebas karena hutan di Tiouw dan Saparua penuh dengan musuh.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Penangkapan Kapitan Pattimura</span></b><br />
<br />
Pada malam tanggal 11 November 1817, disebuah rumah dihutan Booi-Haria, Kapitan Pattimura beserta pasukannya terkepung dan ditangkap oleh Belanda. Peristiwa itu terjadi dikarenakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Raja Booi yang telah memberitahukan kepada Belanda tempat persembunyian Kapitan Pattimura beserta pasukannya. Kala itu ditempat persembunyian Kapitan Pattimura tidak diadakan penjagaan, karena lokasinya yang diperkirakan aman, tersembunyi diatas hutan.<br />
<br />
Namun berkat petunjuk dari Raja Booi, akhirnya pasukan Belanda berhasil menemukan tempat persembunyian Kapitan Pattimura beserta pasukannya. Raja Booi dengan angkuh berkata: "Pattimura, menyerahlah engkau. Tidak ada gunanya untuk melawan. Rumah ini sudah dikepung, empatpuluh serdadu siap sedia menembak mati kalian." "Terkutuklah engkau, pengkhianat," geram Kapitan Pattimura yang segera digiring keluar, dibawa ke Negeri Booi kemudian diangkut menuju kapal Eversten.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b><i>Sebuah ironi didalam perjuangan rakyat Maluku. Seorang panglima perang nan gagah berani yang dengan setia membela tanah airnya, akhirnya jatuh ketangan musuh dikarenakan sebuah pengkhianatan dari seorang raja yang sebelumnya turut mengangkatnya sebagai pemimpin perang.</i></b> </blockquote>
<br />
Malam itu juga Kapitan Lukas Latumahina, seorang Letnan Pattimura tertangkap dan dibawa ke kapal Eversten. Anthony Rhebok dan Patih Tiouw dapat tertangkap pula pada tanggal 13 November 1817. Di kapal Eversten mereka bertemu muka dengan kapitan mereka. Para kapitan dan raja yang tertangkap di Siri Sori, Ouw dan Ulath dibawa pula ke kapal Eversten.<br />
<br />
Pada hari yang sama guru Risakotta menyerah kepada Groot di Haria. Ia menyerahkan sebuah laporan berupa buku catatan hariannya. Laporan ini dalam sejarah dikenal dengan nama "Rapport porto". Ia juga menyerahkan suatu daftar nama kaum lelaki di Porto dan Haria yang mengangkat senjata melawan Belanda. Laporan dan daftar ini nantinya dipakai oleh Buyskes untuk menangkap orang-orang itu dan dijadikan bukti dalam proses pemeriksaan didepan pengadilan. Beberapa hari kemudian Johannis Matulessia dan Philip Latumahina tertangkap pula. Mereka ditawan dikapal perang Reygersbergen.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Hukuman Mati</span></b><br />
<br />
Di dalam kapal perang Eversten beberapa kali Kapitan Pattimura beserta para kapitan dan raja-raja lainnya dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolak. Konsekuansi akan mereka pikul, sekalipun harus berhadapan dengan maut. Pada tanggal 16 Desember 1817, Pattimurra, Anthony Rhebok, Philip Latumahina mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan di depan benteng New Victoria Ambon. Sementara Paulus Tiahahu (ayah <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/martha-christina-tiahahu.html" target="_blank">Martha Christina Tiahahu</a>), Buyskes menjatuhi hukuman dengan ditembak mati di depan rakyatnya di Nusalaut.<br />
<br />
Sepenggal perkataan puitis yang diucapkan oleh Kapitan Pattimura dengan gagah berani dihadapan rakyat yang dibelanya ketika berhadapan dengan tiang gantungan dan disaat tali gantungan telah terlilit dilehernya:<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
<i><b>"Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa), saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula). Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya."</b></i><br />
<br />
Dari ucapan-ucapannya, tampak jelas bahwa sosok Ahmad Lussy adalah seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis (mengungkapkan bahwa dirinya tak akan pernah kalah oleh penjajah).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#fotenote5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan Jasirah Hatawano, Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan pembumi hangusan oleh Belanda. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai <b><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/search/label/Pahlawan%20Perdjoeangan%20Kemerdekaan" target="_blank">PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN</a></b> oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia diberikan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 087/TK/1973.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Galeri Pattimura</span></b><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXE7EjjoqUxwdXEouhitWLQNOQ67CgT-KTkJJN8vZ7rPoYCIdNjrT0VA-lIe9hzbf-tUBnXV-Mi85RnAJ9PRSQoUgzGJnBXtrtGoKW7mCt0yyh7-YnrUeYW13yrZFsQDqXsSocvOewo88/s1600/capitan_pattimura_by_ngupi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXE7EjjoqUxwdXEouhitWLQNOQ67CgT-KTkJJN8vZ7rPoYCIdNjrT0VA-lIe9hzbf-tUBnXV-Mi85RnAJ9PRSQoUgzGJnBXtrtGoKW7mCt0yyh7-YnrUeYW13yrZFsQDqXsSocvOewo88/s1600/capitan_pattimura_by_ngupi.jpg" height="640" width="576" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Capitan Pattimura by ngupi</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjb-HIyUfWxAK47-1yhkFYHMGvH4xnrzxHNntw7my98khDJmwQmC_6nOwaQhItOZUsyzxqFSQEc7LxXYQD-EkWQnY4PijBOtB3639BvpfU6q_Sz84FLY7bmk6PbllbQuHXPvnq625MnhAA/s1600/pattimura+id.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjb-HIyUfWxAK47-1yhkFYHMGvH4xnrzxHNntw7my98khDJmwQmC_6nOwaQhItOZUsyzxqFSQEc7LxXYQD-EkWQnY4PijBOtB3639BvpfU6q_Sz84FLY7bmk6PbllbQuHXPvnq625MnhAA/s1600/pattimura+id.jpg" /></a></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMBCcus5aTi1YTEDCk22SH57cBkhL_SHmW5-8VYdsP7-bwSdILacPL8x2N-z8cxgOfASeRN4Kn9WxM_4u7_QAhZlFk7oJSm3AItSeFnJmbYtXahWYGXeKGc3dQcgUxrdxv2foXBOt7X0s/s1600/Perangko+bergambar+Kapitan+Patimura+(1782-1817).jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMBCcus5aTi1YTEDCk22SH57cBkhL_SHmW5-8VYdsP7-bwSdILacPL8x2N-z8cxgOfASeRN4Kn9WxM_4u7_QAhZlFk7oJSm3AItSeFnJmbYtXahWYGXeKGc3dQcgUxrdxv2foXBOt7X0s/s1600/Perangko+bergambar+Kapitan+Patimura+(1782-1817).jpg" height="202" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Perangko bergambar Kapitan Patimura (1782-1817). <br />
Gambar: <a href="http://www.scoop.it/t/stamp-collection/p/3999228478/2013/04/02/kapitan-pattimura-1782-1817-colle" target="_blank">www.scoop.it</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiS-dIU6MKv_a7TfEV322qTJEyZ3_nSxt7fde8b3_KnbrXqv0iT5fAW4BBVcszXDkFNqQi0lZBOVotTxWqbhbiV5as98h_rrhZy8autMQn7iIiGSKuX7CPrSRy8ZfEa2MwEjbbO4HsC29s/s1600/seribu+rupiah+emisi+2011.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiS-dIU6MKv_a7TfEV322qTJEyZ3_nSxt7fde8b3_KnbrXqv0iT5fAW4BBVcszXDkFNqQi0lZBOVotTxWqbhbiV5as98h_rrhZy8autMQn7iIiGSKuX7CPrSRy8ZfEa2MwEjbbO4HsC29s/s1600/seribu+rupiah+emisi+2011.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar Pattimura pada uang kertas RI seribu rupiah emisi 2011.</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pattimura" target="_blank">Pattimura</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>KisahLawas.blogspot.com</b>: <a href="http://kisahlawas.blogspot.com/2013/09/pahlawan-pattimura.html" target="_blank">Pahlawan Pattimura</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>www.VOA-Islam.com</b>: <a href="http://www.voa-islam.com/read/mujahid/2011/11/09/16629/pattimura-bukan-kristiani-melainkan-muslim-yang-taat/" target="_blank">Pattimura Bukan Kristiani Melainkan Muslim Yang Taat</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#4" name="fotenote4">[4]</a> <b>BiografiTeladan.blogspot.com</b>: <a href="http://biografiteladan.blogspot.com/2010/10/biografi-kapitan-pattimura.html" target="_blank">Biografi Kapitan Patimura</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#5" name="fotenote5">[5]</a> <b>Zakkiaini.blogspot.com</b>: <a href="http://zakkiaini.blogspot.com/2012/08/biografi-kapitan-pattimura-pahlawan.html" target="_blank">Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad 'Pattimura' Lussy</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/pattimura-sang-kapitan-sejati-dari.html#6" name="fotenote6">[6]</a> <b>MalukuEyes.com</b>: <a href="http://malukueyes.com/in-depth/publication/1216-kapitan-pattimura?start=33" target="_blank">Kapitan Pattimura</a></div>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-41834613194935368142014-04-23T06:26:00.003+07:002014-04-23T06:27:17.681+07:00Daftar Pahlawan Nasional Indonesia<span style="background-color: white; color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 13px; line-height: 20.607999801635742px;">Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas</span><br />
<div style="background-color: white; color: #252525; font-family: sans-serif; margin-bottom: 0.5em; margin-top: 0.5em;">
<span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;"><b>Pahlawan Nasional</b> adalah gelar penghargaan tingkat tertinggi di Indonesia. Gelar anumerta ini diberikan oleh Pemerintahan Indonesia atas tindakan yang dianggap heroik – didefinisikan sebagai "perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya." – atau "berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara."</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Kementerian Sosial Indonesia memberikan tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh seorang individu, yakni:</span></div>
<ol style="background-color: white; color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 1.5em; list-style-image: none; margin: 0.3em 0px 0px 3.2em; padding: 0px;">
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Warga Negara Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya:<ul>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik/ perjuangan dalam bidang lain mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.</li>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.</li>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.</li>
</ul>
</li>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Pengabdian dan Perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.</li>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Perjuangan yang dilakukan mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.</li>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/<a href="http://www.langitbiruband.com/sikap-nasionalis-patriois-demokratis-untuk-kedaulatan-bangsa/" target="_blank">nasionalisme</a> yang tinggi.</li>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Memiliki akhlak dan moral yang tinggi.</li>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Tidak menyerah pada lawan/musuh dalam perjuangannya.</li>
<li style="margin-bottom: 0.1em;">Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.</li>
</ol>
<div style="background-color: white; margin-bottom: 0.5em; margin-top: 0.5em;">
<span style="color: #252525; font-family: sans-serif;"><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Gelar Pahlawan Nasional ditetapkan oleh presiden. Sejak dilakukan pemberian gelar ini pada tahun 1959, nomenklaturnya berubah-ubah. Untuk menyelaraskannya, maka dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 disebutkan bahwa gelar Pahlawan Nasional mencakup semua jenis gelar yang pernah diberikan sebelumnya, yaitu:</span></span></div>
<div style="background-color: white; margin-bottom: 0.5em; margin-top: 0.5em;">
</div>
<ol>
<li><span style="color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Pahlawan Perintis Kemerdekaan</span></li>
<li><span style="color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Pahlawan Kemerdekaan Nasional</span></li>
<li><span style="color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Pahlawan Proklamator</span></li>
<li><span style="color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Pahlawan Kebangkitan Nasional</span></li>
<li><span style="color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Pahlawan Revolusi</span></li>
<li><span style="color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Pahlawan Ampera</span></li>
</ol>
<span style="background-color: white; color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Pemilihan dijalankan dalam empat langkah dan harus mendapatkan persetujuan pada setiap tingkatan. Sebuah proposal dibuat oleh masyarakat di kota atau kabupaten kepada walikota atau bupati, yang kemudian harus membuat permohonan kepada gubernur di provinsi tersebut. Gubernur kemudian membuat rekomendasi kepada Kementerian Sosial, yang kemudian diteruskan kepada Presiden, yang diwakili oleh Dewan Gelar; dewan tersebut terdiri dari dua akademisi, dua orang dari latar belakang militer, dan tiga orang yang sebelumnya telah menerima sebuah penghargaan atau gelar. Pada langkah terakhir, pemilihan dilakukan oleh Presiden, yang diwakili oleh Dewan, yang menganugerahi gelar tersebut pada sebuah upacara di ibukota Indonesia Jakarta. Sejak tahun 2000, upacara diselenggarakan setiap </span><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Pahlawan" style="background-color: white; background-image: none; color: #0b0080; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px; text-decoration: none;" title="Hari Pahlawan">Hari Pahlawan</a><span style="background-color: white; color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;"> pada tanggal 10 November.</span><br />
<div style="background-color: white; color: #252525; font-family: sans-serif; margin-bottom: 0.5em; margin-top: 0.5em;">
<span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Kerangka undang-undang untuk gelar tersebut awalnya menggunakan nama Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dibuat pada saat dikeluarkannya <b>Dekrit Presiden No. 241 Tahun 1958</b>. Gelar pertama dianugerahi pada 30 Agustus 1959 kepada politisi yang menjadi penulis bernama </span><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Muis" style="background-image: none; color: #0b0080; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px; text-decoration: none;" title="Abdul Muis">Abdul Muis</a><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">, yang wafat pada bulan sebelumnya.</span><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;"> Gelar ini digunakan saat pemerintahan Presiden </span><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sukarno" style="background-image: none; color: #0b0080; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px; text-decoration: none;" title="Sukarno">Sukarno</a><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">. </span></div>
<div style="background-color: white; color: #252525; font-family: sans-serif; margin-bottom: 0.5em; margin-top: 0.5em;">
<span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Ketika Jendral </span><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Suharto" style="background-image: none; color: #0b0080; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px; text-decoration: none;" title="Suharto">Suharto</a><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;"> berkuasa pada pertengahan 1960an, gelar tersebut berganti nama menjadi Pahlawan Nasional. Gelar khusus pada tingkat Pahlawan Nasional juga dianugerahkan. Pahlawan Revolusi diberikan pada tahun 1965 kepada sepuluh korban kudeta </span><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September" style="background-image: none; color: #0b0080; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px; text-decoration: none;" title="Gerakan 30 September">Gerakan 30 September</a><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;"> yang gagal, sementara Sukarno dan mantan wakil presiden </span><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta" style="background-image: none; color: #0b0080; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px; text-decoration: none;" title="Mohammad Hatta">Mohammad Hatta</a><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;"> diberikan gelar Pahlawan Proklamator pada tahun 1988, karena peran mereka dalam membacakan </span><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Proklamasi_Kemerdekaan_Indonesia" style="background-image: none; color: #0b0080; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px; text-decoration: none;" title="Proklamasi Kemerdekaan Indonesia">Proklamasi Kemerdekaan Indonesia</a><span style="font-size: 12px; line-height: 11.666666030883789px;">.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #252525; font-family: sans-serif; font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px; margin-bottom: 0.5em; margin-top: 0.5em;">
147 pria dan 12 wanita telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional, yang paling terbaru adalah <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rajiman_Wediodiningrat" style="background-image: none; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; color: #0b0080; text-decoration: none;" title="Rajiman Wediodiningrat">Rajiman Wediodiningrat</a>, <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Lambertus_Nicodemus_Palar" style="background-image: none; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; color: #0b0080; text-decoration: none;" title="Lambertus Nicodemus Palar">Lambertus Nicodemus Palar</a> dan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tahi_Bonar_Simatupang" style="background-image: none; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; color: #0b0080; text-decoration: none;" title="Tahi Bonar Simatupang">Tahi Bonar Simatupang</a> pada tahun 2013. Pahlawan-pahlawan tersebut berasal dari seluruh wilayah di kepulauan Indonesia, dari Aceh di bagian barat sampai Papua di bagian timur. Mereka berasal dari berbagai etnis, meliputi pribumi Indonesia, etnis Tionghoa, dan Eurasia. Mereka meliputi perdana menteri, gerilyawan, menteri-menteri pemerintahan, prajurit, bangsawan, jurnalis, dan seorang uskup.</div>
<div style="background-color: white; margin-bottom: 0.5em; margin-top: 0.5em;">
<span style="color: #252525; font-family: sans-serif;"><span style="font-size: 14px; line-height: 22.399999618530273px;">Berikut adalah daftar 156 tokoh yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Daftar ini disusun berdasarkan data di situs web Kementerian Sosial per Januari 2010 dilengkapi dengan daftar Pahlawan Nasional yang ditetapkan setelahnya. Karena perdebatan yang masih berlangsung mengenai statusnya, Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Ampera tidak dimasukkan ke dalam daftar ini.</span></span></div>
<table class="wikitable sortable jquery-tablesorter"><thead>
<tr>
<th class="headerSort" title="Urutkan menaik" width="25">No.</th>
<th class="headerSort" title="Urutkan menaik" width="300">Nama</th>
<th class="headerSort" title="Urutkan menaik" width="250">Gelar</th>
<th class="headerSort" title="Urutkan menaik" width="150">Tanggal penetapan</th>
<th class="headerSort" title="Urutkan menaik" width="200">Dasar penetapan</th>
</tr>
</thead><tbody>
<tr>
<td>1</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abdoel_Moeis" title="Abdoel Moeis">Abdul Muis</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>30 Agustus 1959</td>
<td>Keppres No. 218 Tahun 1959</td>
</tr>
<tr>
<td>2</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hajar_Dewantara" title="Ki Hajar Dewantara">Ki Hajar Dewantara</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>28 November 1959</td>
<td>Keppres No. 305 Tahun 1959</td>
</tr>
<tr>
<td>3</td>
<td>Raden Mas <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soerjopranoto" title="Soerjopranoto">Soerjopranoto</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>30 November 1959</td>
<td>Keppres No. 310 Tahun 1959</td>
</tr>
<tr>
<td>4</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Husni_Thamrin" title="Mohammad Husni Thamrin">Mohammad Husni Thamrin</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>28 Juli 1960</td>
<td>Keppres No. 175 Tahun 1960</td>
</tr>
<tr>
<td>5</td>
<td>Kiai Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Samanhudi" title="Samanhudi">Samanhudi</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>9 November 1961</td>
<td>Keppres No. 590 Tahun 1961</td>
</tr>
<tr>
<td>6</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Oemar_Said_Tjokroaminoto" title="Oemar Said Tjokroaminoto">Oemar Said Tjokroaminoto</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>9 November 1961</td>
<td>Keppres No. 590 Tahun 1961</td>
</tr>
<tr>
<td>7</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ernest_Douwes_Dekker" title="Ernest Douwes Dekker">Ernest Douwes Dekker</a> (Setiabudi)</td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>9 November 1961</td>
<td>Keppres No. 590 Tahun 1961</td>
</tr>
<tr>
<td>8</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sisingamangaraja_XII" title="Sisingamangaraja XII">Sisingamangaraja XII</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>9 November 1961</td>
<td>Keppres No. 590 Tahun 1961</td>
</tr>
<tr>
<td>9</td>
<td>Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sam_Ratulangi" title="Sam Ratulangi">G.S.S.J. Ratulangi</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>9 November 1961</td>
<td>Keppres No. 590 Tahun 1961</td>
</tr>
<tr>
<td>10</td>
<td>dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soetomo" title="Soetomo">Soetomo</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>27 Desember 1961</td>
<td>Keppres No. 657 Tahun 1961</td>
</tr>
<tr>
<td>11</td>
<td>Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan" title="Ahmad Dahlan">Ahmad Dahlan</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>27 Desember 1961</td>
<td>Keppres No. 657 Tahun 1961</td>
</tr>
<tr>
<td>12</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim" title="Agus Salim">Agus Salim</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>27 Desember 1961</td>
<td>Keppres No. 657 Tahun 1961</td>
</tr>
<tr>
<td>13</td>
<td>Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gatot_Soebroto" title="Gatot Soebroto">Gatot Subroto</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>18 Juni 1962</td>
<td>Keppres No. 222 Tahun 1962</td>
</tr>
<tr>
<td>14</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sukarjo_Wiryopranoto" title="Sukarjo Wiryopranoto">Sukarjo Wiryopranoto</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>29 Oktober 1962</td>
<td>Keppres No. 342 Tahun 1962</td>
</tr>
<tr>
<td>15</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ferdinand_Lumbantobing" title="Ferdinand Lumbantobing">Ferdinand Lumbantobing</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>17 November 1962</td>
<td>Keppres No. 361 Tahun 1962</td>
</tr>
<tr>
<td>16</td>
<td>Kiai Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Zainul_Arifin" title="Zainul Arifin">Zainul Arifin</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>4 Maret 1963</td>
<td>Keppres No. 35 Tahun 1963</td>
</tr>
<tr>
<td>17</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka" title="Tan Malaka">Tan Malaka</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>28 Maret 1963</td>
<td>Keppres No. 53 Tahun 1963</td>
</tr>
<tr>
<td>18</td>
<td>Mgr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Albertus_Soegijapranata" title="Albertus Soegijapranata">Albertus Sugiyapranata</a> S.J.</td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>26 Juli 1963</td>
<td>Keppres No. 152 Tahun 1963</td>
</tr>
<tr>
<td>19</td>
<td>Ir. Raden <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Djuanda_Kartawidjaja" title="Djuanda Kartawidjaja">Juanda Kartawijaya</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>6 November 1963</td>
<td>Keppres No. 244 Tahun 1963</td>
</tr>
<tr>
<td>20</td>
<td>Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Saharjo" title="Saharjo">Saharjo</a> S.H.</td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>29 November 1963</td>
<td>Keppres No. 245 Tahun 1963</td>
</tr>
<tr>
<td>21</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tjoet_Nyak_Dhien" title="Tjoet Nyak Dhien">Cut Nyak Dhien</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>2 Mei 1964</td>
<td>Keppres No. 106 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>22</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tjoet_Nyak_Meutia" title="Tjoet Nyak Meutia">Cut Nyak Meutia</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>2 Mei 1964</td>
<td>Keppres No. 106 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>23</td>
<td>Raden Ajeng <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini" title="Kartini">Kartini</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>2 Mei 1964</td>
<td>Keppres No. 108 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>24</td>
<td>dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tjipto_Mangoenkoesoemo" title="Tjipto Mangoenkoesoemo">Cipto Mangunkusumo</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>2 Mei 1964</td>
<td>Keppres No. 109 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>25</td>
<td>Kiai Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/KH_Fakhruddin" title="KH Fakhruddin">Fakhruddin</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>26 Juni 1964</td>
<td>Keppres No. 163 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>26</td>
<td>Kiai Haji <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mas_Mansur" title="Mas Mansur">Mas Mansur</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>26 Juni 1964</td>
<td>Keppres No. 163 tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>27</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Alimin" title="Alimin">Alimin</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>26 Juni 1964</td>
<td>Keppres No. 163 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>28</td>
<td>dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Moewardi" title="Moewardi">Moewardi</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>4 Agustus 1964</td>
<td>Keppres No. 190 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>29</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wahid_Hasjim" title="Wahid Hasjim">Wahid Hasyim</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>24 Agustus 1964</td>
<td>Keppres No. 206 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>30</td>
<td>Sri Susuhunan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pakubuwana_VI" title="Pakubuwana VI">Pakubuwana VI</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>17 November 1964</td>
<td>Keppres No. 294 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>31</td>
<td>Kyai Haji Mohammad <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Asyari" title="Hasyim Asyari">Hasyim Asyari</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>17 November 1964</td>
<td>Keppres No. 294 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>32</td>
<td>Raden Mas Tumenggung <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ario_Soerjo" title="Ario Soerjo">Ario Suryo</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>17 November 1964</td>
<td>Keppres No. 294 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>33</td>
<td>Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soedirman" title="Soedirman">Soedirman</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>10 Desember 1964</td>
<td>Keppres No. 314 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>34</td>
<td>Letnan Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Oerip_Soemohardjo" title="Oerip Soemohardjo">Urip Sumoharjo</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>10 Desember 1964</td>
<td>Keppres No. 314 Tahun 1964</td>
</tr>
<tr>
<td>35</td>
<td>Prof. Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soepomo" title="Soepomo">Soepomo</a></td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>14 Mei 1965</td>
<td>Keppres No. 123 Tahun 1965</td>
</tr>
<tr>
<td>36</td>
<td>Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kusumah_Atmaja" title="Kusumah Atmaja">Kusumah Atmaja</a> S.H.</td>
<td>Pahlawan Kemerdekaan Nasional</td>
<td>14 Mei 1965</td>
<td>Keppres No. 124 Tahun 1965</td>
</tr>
<tr>
<td>37</td>
<td>Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Yani" title="Ahmad Yani">Ahmad Yani</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>5 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 111/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>38</td>
<td>Letnan Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/R._Suprapto_%28pahlawan_revolusi%29" title="R. Suprapto (pahlawan revolusi)">Suprapto</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>5 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 111/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>39</td>
<td>Letnan Jenderal <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/M.T._Haryono" title="M.T. Haryono">Haryono</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>5 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 111/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>40</td>
<td>Letnan Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Siswondo_Parman" title="Siswondo Parman">Siswondo Parman</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>5 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 111/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>41</td>
<td>Mayor Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/D.I._Pandjaitan" title="D.I. Pandjaitan">Pandjaitan</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>5 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 111/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>42</td>
<td>Mayor Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sutoyo_Siswomiharjo" title="Sutoyo Siswomiharjo">Sutoyo Siswomiharjo</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>5 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 111/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>43</td>
<td>Kapten <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pierre_Tendean" title="Pierre Tendean">Pierre Tendean</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>5 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 111/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>44</td>
<td>AIP <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Karel_Satsuit_Tubun" title="Karel Satsuit Tubun">Karel Satsuit Tubun</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>5 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 114/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>45</td>
<td>Brigadir Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Katamso_Darmokusumo" title="Katamso Darmokusumo">Katamso Darmokusumo</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>19 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 118/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>46</td>
<td>Kolonel <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sugiono" title="Sugiono">Sugiono</a></td>
<td>Pahlawan Revolusi</td>
<td>19 Oktober 1965</td>
<td>Keppres No. 118/KOTI/1965</td>
</tr>
<tr>
<td>47</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Syahrir" title="Sutan Syahrir">Sutan Syahrir</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 April 1966</td>
<td>Keppres No. 76 Tahun 1966</td>
</tr>
<tr>
<td>48</td>
<td>Laksamana Laut <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/R.E._Martadinata" title="R.E. Martadinata">Martadinata</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 Oktober 1966</td>
<td>Keppres No. 220 Tahun 1966</td>
</tr>
<tr>
<td>49</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika" title="Dewi Sartika">Dewi Sartika</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>1 Februari 1966</td>
<td>Keppres No. 252 Tahun 1966</td>
</tr>
<tr>
<td>50</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wilhelmus_Zakaria_Johannes" title="Wilhelmus Zakaria Johannes">Wilhelmus Zakaria Johannes</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>27 Maret 1968</td>
<td>Keppres No. 6/TK/1968</td>
</tr>
<tr>
<td>51</td>
<td>Pangeran <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Antasari" title="Antasari">Antasari</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>27 Maret 1968</td>
<td>Keppres No. 06/TK/1968</td>
</tr>
<tr>
<td>52</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Usman_Janatin" title="Usman Janatin">Usman Janatin</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>17 Oktober 1968</td>
<td>Keppres No. 50/TK/1968</td>
</tr>
<tr>
<td>53</td>
<td>Kopral <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Thohir" title="Harun Thohir">Harun bin Said (Thohir)</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>17 Oktober 1968</td>
<td>Keppres No. 50/TK/1968</td>
</tr>
<tr>
<td>54</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jenderal" title="Jenderal">Jenderal</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Rahmat" title="Basuki Rahmat">Basuki Rahmat</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 1969</td>
<td>Keppres No. 10/TK/1969</td>
</tr>
<tr>
<td>55</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Arie_Frederik_Lasut" title="Arie Frederik Lasut">Arie Frederik Lasut</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>20 Mei 1969</td>
<td>Keppres No. 12/TK/1969</td>
</tr>
<tr>
<td>56</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Martha_Christina_Tiahahu" title="Martha Christina Tiahahu">Martha Christina Tiahahu</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>20 Mei 1969</td>
<td>Keppres No. 12/TK/1969</td>
</tr>
<tr>
<td>57</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Maria_Walanda_Maramis" title="Maria Walanda Maramis">Maria Walanda Maramis</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>20 Mei 1969</td>
<td>Keppres No. 12/TK/1969</td>
</tr>
<tr>
<td>58</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Supeno" title="Supeno">Supeno</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>13 Juli 1970</td>
<td>Keppres No. 39/TK/1970</td>
</tr>
<tr>
<td>59</td>
<td>Sultan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Ageng_Tirtayasa" title="Sultan Ageng Tirtayasa">Ageng Tirtayasa</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>1 Agustus 1970</td>
<td>Keppres No. 45/TK/1970</td>
</tr>
<tr>
<td>60</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wage_Roedolf_Soepratman" title="Wage Roedolf Soepratman">Wage Rudolf Supratman</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>20 Mei 1971</td>
<td>Keppres No. 16/TK/1971</td>
</tr>
<tr>
<td>61</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nyai_Ahmad_Dahlan" title="Nyai Ahmad Dahlan">Nyai Ahmad Dahlan</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>22 September 1971</td>
<td>Keppres No. 42/TK/1971</td>
</tr>
<tr>
<td>62</td>
<td>Kiai Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Mustafa" title="Zainal Mustafa">Zainal Mustafa</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1972</td>
<td>Keppres No. 64/TK/1972</td>
</tr>
<tr>
<td>63</td>
<td>Sultan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hasanuddin" title="Sultan Hasanuddin">Hasanuddin</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 87/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>64</td>
<td>Kapitan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pattimura" title="Pattimura">Pattimura</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 87/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>65</td>
<td>Pangeran <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Diponegoro" title="Pangeran Diponegoro">Diponegoro</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 87/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>66</td>
<td>Tuanku <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Bonjol" title="Imam Bonjol">Imam Bonjol</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 87/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>67</td>
<td>Teungku <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Teungku_Chik_di_Tiro" title="Teungku Chik di Tiro">Cik di Tiro</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 87/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>68</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Umar" title="Teuku Umar">Teuku Umar</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 87/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>69</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wahidin_Soedirohoesodo" title="Wahidin Soedirohoesodo">Wahidin Sudirohusodo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 88/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>70</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Oto_Iskandar_di_Nata" title="Oto Iskandar di Nata">Oto Iskandar di Nata</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 88/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>71</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Robert_Wolter_Monginsidi" title="Robert Wolter Monginsidi">Robert Wolter Monginsidi</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 88/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>72</td>
<td>Prof. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Yamin" title="Mohammad Yamin">Mohammad Yamin</a> S.H.</td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 88/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>73</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Yos_Sudarso" title="Yos Sudarso">Yos Sudarso</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 88/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>74</td>
<td>Prof. Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Suharso" title="Suharso">Suharso</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1973</td>
<td>Keppres No. 88/TK/1973</td>
</tr>
<tr>
<td>75</td>
<td>Marsekal Muda <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abdulrahman_Saleh_%28pahlawan%29" title="Abdulrahman Saleh (pahlawan)">Abdulrachman Saleh</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 1974</td>
<td>Keppres No. 71/TK/1974</td>
</tr>
<tr>
<td>76</td>
<td>Marsekal Muda <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Agustinus_Adisucipto" title="Agustinus Adisucipto">Agustinus Adisucipto</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 1974</td>
<td>Keppres No. 71/TK/1974</td>
</tr>
<tr>
<td>77</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Nyak_Arief" title="Teuku Nyak Arief">Teuku Nyak Arief</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 1974</td>
<td>Keppres No. 71/TK/1974</td>
</tr>
<tr>
<td>78</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nyi_Ageng_Serang" title="Nyi Ageng Serang">Nyi Ageng Serang</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>13 Desember 1974</td>
<td>Keppres No. 84/TK/1974</td>
</tr>
<tr>
<td>79</td>
<td>Hajjah Rangkayo <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rasuna_Said" title="Rasuna Said">Rasuna Said</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>13 Desember 1974</td>
<td>Keppres No. 84/TK/1974</td>
</tr>
<tr>
<td>80</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Halim_Perdanakusuma" title="Halim Perdanakusuma">Halim Perdanakusuma</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 Agustus 1975</td>
<td>Keppres No. 63/TK/1975</td>
</tr>
<tr>
<td>81</td>
<td>Marsekal Madya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Iswahyudi" title="Iswahyudi">Iswahyudi</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 Agustus 1975</td>
<td>Keppres No. 63/TK/1975</td>
</tr>
<tr>
<td>82</td>
<td>Letnan Kolonel <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/I_Gusti_Ngurah_Rai" title="I Gusti Ngurah Rai">I Gusti Ngurah Rai</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 Agustus 1975</td>
<td>Keppres No. 63/TK/1975</td>
</tr>
<tr>
<td>83</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Suprijadi" title="Suprijadi">Suprijadi</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 Agustus 1975</td>
<td>Keppres No. 63/TK/1975</td>
</tr>
<tr>
<td>84</td>
<td>Sultan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Agung_dari_Mataram" title="Sultan Agung dari Mataram">Agung Hanyokrokusumo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 1975</td>
<td>Keppres No. 106/TK/1975</td>
</tr>
<tr>
<td>85</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Untung_Suropati" title="Untung Suropati">Untung Suropati</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 1975</td>
<td>Keppres No. 106/TK/1975</td>
</tr>
<tr>
<td>86</td>
<td>Tengku <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah" title="Amir Hamzah">Amir Hamzah</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 1975</td>
<td>Keppres No. 106/TK/1975</td>
</tr>
<tr>
<td>87</td>
<td>Sultan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Thaha_Sjaifuddin" title="Thaha Sjaifuddin">Thaha Sjaifuddin</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>24 Oktober 1977</td>
<td>Keppres No. 79/TK/1977</td>
</tr>
<tr>
<td>88</td>
<td>Sultan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mahmud_Badaruddin_II" title="Mahmud Badaruddin II">Mahmud Badaruddin II</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>29 Oktober 1984</td>
<td>Keppres No. 63/TK/1984</td>
</tr>
<tr>
<td>89</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno" title="Soekarno">Soekarno</a></td>
<td>Pahlawan Proklamator<br />
<br />
Pahlawan Nasional</td>
<td>23 Oktober 1986<br />
<br />
7 November 2012</td>
<td>Keppres No. 81/TK/1986<br />
<br />
Keppres No. 83/TK/2012</td>
</tr>
<tr>
<td>90</td>
<td>Drs. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta" title="Mohammad Hatta">Mohammad Hatta</a></td>
<td>Pahlawan Proklamator<br />
<br />
Pahlawan Nasional</td>
<td>23 Oktober 1986<br />
<br />
7 November 2012</td>
<td>Keppres No. 81/TK/1986<br />
<br />
Keppres No. 84/TK/2012</td>
</tr>
<tr>
<td>91</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soeroso" title="Soeroso">Suroso R.P</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>23 Oktober 1986</td>
<td>Keppres No. 81/TK/1986</td>
</tr>
<tr>
<td>92</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Radin_Inten_II" title="Radin Inten II">Radin Inten II</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>23 Oktober 1986</td>
<td>Keppres No. 81/TK/1986</td>
</tr>
<tr>
<td>93</td>
<td>Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mangkunagara_I" title="Mangkunagara I">Mangkunagara I</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>17 Agustus 1988</td>
<td>Keppres No. 48/TK/1988</td>
</tr>
<tr>
<td>94</td>
<td>Sri Sultan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_IX" title="Hamengkubuwana IX">Hamengkubuwana IX</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>30 Juli 1990</td>
<td>Keppres No. 53/TK/1990</td>
</tr>
<tr>
<td>95</td>
<td>Sultan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Iskandar_Muda_dari_Aceh" title="Iskandar Muda dari Aceh">Iskandar Muda</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>14 September 1993</td>
<td>Keppres No. 77/TK/1993</td>
</tr>
<tr>
<td>96</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/I_Gusti_Ketut_Jelantik" title="I Gusti Ketut Jelantik">I Gusti Ketut Jelantik</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>15 September 1993</td>
<td>Keppres No. 77/TK/1993</td>
</tr>
<tr>
<td>97</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Frans_Kaisiepo" title="Frans Kaisiepo">Frans Kaisiepo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>14 September 1993</td>
<td>Keppres No. 77/TK/1993</td>
</tr>
<tr>
<td>98</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Silas_Papare" title="Silas Papare">Silas Papare</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>14 September 1993</td>
<td>Keppres No. 77/TK/1993</td>
</tr>
<tr>
<td>99</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Marthen_Indey" title="Marthen Indey">Marthen Indey</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>14 September 1993</td>
<td>Keppres No. 77/TK/1993</td>
</tr>
<tr>
<td>100</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nuku_Muhammad_Amiruddin" title="Nuku Muhammad Amiruddin">Nuku Muhammad Amiruddin</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 Agustus 1995</td>
<td>Keppres No. 71/TK/1995</td>
</tr>
<tr>
<td>101</td>
<td>Tuanku <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tambusai" title="Tambusai">Tambusai</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 Agustus 1995</td>
<td>Keppres No. 71/TK/1995</td>
</tr>
<tr>
<td>102</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Syech_Yusuf_Tajul_Khalwati" title="Syech Yusuf Tajul Khalwati">Syech Yusuf Tajul Khalwati</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 Agustus 1995</td>
<td>Keppres No. 71/TK/1995</td>
</tr>
<tr>
<td>103</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Siti_Hartinah" title="Siti Hartinah">Siti Hartinah</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>30 Juli 1996</td>
<td>Keppres No. 60/TK/1996</td>
</tr>
<tr>
<td>104</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Raja_Haji_Fisabilillah" title="Raja Haji Fisabilillah">Raja Haji Fisabilillah</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>11 Agustus 1997</td>
<td>Keppres No. 72/TK/1997</td>
</tr>
<tr>
<td>105</td>
<td>Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Adam_Malik" title="Adam Malik">Adam Malik</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1998</td>
<td>Keppres No. 107/TK/1998</td>
</tr>
<tr>
<td>106</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tjilik_Riwut" title="Tjilik Riwut">Cilik Riwut</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1998</td>
<td>Keppres No. 108/TK/1998</td>
</tr>
<tr>
<td>107</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/La_Madukelleng" title="La Madukelleng">La Madukelleng</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1998</td>
<td>Keppres No. 109/TK/1998</td>
</tr>
<tr>
<td>108</td>
<td>Sultan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Syarif_Kasim_II" title="Syarif Kasim II">Syarif Kasim II</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 1998</td>
<td>Keppres No. 109/TK/1998</td>
</tr>
<tr>
<td>109</td>
<td>H. <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ilyas_Yakoub" title="Ilyas Yakoub">Ilyas Yakoub</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>13 Agustus 1999</td>
<td>Keppres No. 74/TK/1999</td>
</tr>
<tr>
<td>110</td>
<td>Prof. Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hazairin" title="Hazairin">Hazairin</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>13 Agustus 1999</td>
<td>Keppres No. 74/TK/1999</td>
</tr>
<tr>
<td>111</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Kadir_Raden_Temenggung_Setia_Pahlawan" title="Abdul Kadir Raden Temenggung Setia Pahlawan">Abdul Kadir</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>13 November 1999</td>
<td>Keppres No. 114/TK/1999</td>
</tr>
<tr>
<td>112</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Fatmawati" title="Fatmawati">Fatmawati</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>4 November 2000</td>
<td>Keppres No. 118/TK/2000</td>
</tr>
<tr>
<td>113</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ranggong_Daeng_Romo" title="Ranggong Daeng Romo">Ranggong Daeng Romo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2001</td>
<td>Keppres No. 109/TK/2001</td>
</tr>
<tr>
<td>114</td>
<td>Brigadir Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_Basry" title="Hasan Basry">Hasan Basry</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2001</td>
<td>Keppres No. 110/TK/2001</td>
</tr>
<tr>
<td>115</td>
<td>Jendral Besar <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Harris_Nasution" title="Abdul Harris Nasution">Abdul Harris Nasution</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2002</td>
<td>Keppres No. 73/TK/2002</td>
</tr>
<tr>
<td>116</td>
<td>Gusti Pangeran Harya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Djatikoesoemo" title="Djatikoesoemo">Jatikusumo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2002</td>
<td>Keppres No. 73/TK/2002</td>
</tr>
<tr>
<td>117</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Andi_Djemma" title="Andi Djemma">Andi Jemma</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2002</td>
<td>Keppres No. 73/TK/2002</td>
</tr>
<tr>
<td>118</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pong_Tiku" title="Pong Tiku">Pong Tiku</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2002</td>
<td>Keppres No. 73/TK/2002</td>
</tr>
<tr>
<td>119</td>
<td>Prof. Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Iwa_Koesoemasoemantri" title="Iwa Koesoemasoemantri">Iwa Kusumasumantri</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2002</td>
<td>Keppres No. 73/TK/2002</td>
</tr>
<tr>
<td>120</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nani_Wartabone" title="Nani Wartabone">Nani Wartabone</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2003</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2003</td>
</tr>
<tr>
<td>121</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Maskoen_Soemadiredja" title="Maskoen Soemadiredja">Maskoen Soemadiredja</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>5 November 2004</td>
<td>Keppres No. 89/TK/2004</td>
</tr>
<tr>
<td>122</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Andi_Mappanyukki" title="Andi Mappanyukki">Andi Mappanyukki</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>5 November 2004</td>
<td>Keppres No. 89/TK/2004</td>
</tr>
<tr>
<td>123</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Raja_Ali_Haji" title="Raja Ali Haji">Ali Haji</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>5 November 2004</td>
<td>Keppres No. 89/TK/2004</td>
</tr>
<tr>
<td>124</td>
<td>Kiai Haji <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Rifai" title="Achmad Rifai">Achmad Rifai</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>5 November 2004</td>
<td>Keppres No. 89/TK/2004</td>
</tr>
<tr>
<td>125</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gatot_Mangkoepradja" title="Gatot Mangkoepradja">Gatot Mangkupraja</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>5 November 2004</td>
<td>Keppres No. 89/TK/2004</td>
</tr>
<tr>
<td>126</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Marzuki" title="Ismail Marzuki">Ismail Marzuki</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>5 November 2004</td>
<td>Keppres No. 89/TK/2004</td>
</tr>
<tr>
<td>127</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kiras_Bangun" title="Kiras Bangun">Kiras Bangun</a> (Garamata)</td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2005</td>
<td>Keppres No. 82/TK/2005</td>
</tr>
<tr>
<td>128</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bagindo_Azizchan" title="Bagindo Azizchan">Bagindo Azizchan</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2005</td>
<td>Keppres No. 82/TK/2005</td>
</tr>
<tr>
<td>129</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Andi_Abdullah_Bau_Massepe" title="Andi Abdullah Bau Massepe">Andi Abdullah Bau Massepe</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2005</td>
<td>Keppres No. 82/TK/2005</td>
</tr>
<tr>
<td>130</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Mohammad_Hasan" title="Teuku Mohammad Hasan">Teuku Mohammad Hasan</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2006</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2006</td>
</tr>
<tr>
<td>131</td>
<td>Raden Mas <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo" title="Tirto Adhi Soerjo">Tirto Adhi Soerjo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2006</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2006</td>
</tr>
<tr>
<td>132</td>
<td>Kiayi Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Noer_Alie" title="Noer Alie">Noer Alie</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2006</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2006</td>
</tr>
<tr>
<td>133</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pajonga_Daeng_Ngalie_Karaeng_Polongbangkeng" title="Pajonga Daeng Ngalie Karaeng Polongbangkeng">Pajonga Daeng Ngalie Karaeng Polongbangkeng</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2006</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2006</td>
</tr>
<tr>
<td>134</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Opu_Daeng_Risadju" title="Opu Daeng Risadju">Opu Daeng Risadju</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2006</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2006</td>
</tr>
<tr>
<td>135</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Izaak_Huru_Doko" title="Izaak Huru Doko">Izaak Huru Doko</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2006</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2006</td>
</tr>
<tr>
<td>136</td>
<td>Sri Sultan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_I" title="Hamengkubuwana I">Hamengkubuwana I</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2006</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2006</td>
</tr>
<tr>
<td>137</td>
<td>Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Andi_Sultan_Daeng_Radja" title="Andi Sultan Daeng Radja">Andi Sultan Daeng Raja</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>3 November 2006</td>
<td>Keppres No. 85/TK/2006</td>
</tr>
<tr>
<td>138</td>
<td>Mayor Jenderal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Adenan_Kapau_Gani" title="Adenan Kapau Gani">Adenan Kapau Gani</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 2007</td>
<td>Keppres No. 66/TK/2007</td>
</tr>
<tr>
<td>139</td>
<td>Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ida_Anak_Agung_Gde_Agung" title="Ida Anak Agung Gde Agung">Ida Anak Agung Gde Agung</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 2007</td>
<td>Keppres No. 66/TK/2007</td>
</tr>
<tr>
<td>140</td>
<td>Mayor Jenderal TNI Prof. Dr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Moestopo" title="Moestopo">Moestopo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 2007</td>
<td>Keppres No. 66/TK/2007</td>
</tr>
<tr>
<td>141</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Slamet_Riyadi" title="Slamet Riyadi">Slamet Riyadi</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 2007</td>
<td>Keppres No. 66/TK/2007</td>
</tr>
<tr>
<td>142</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Natsir" title="Muhammad Natsir">Muhammad Natsir</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2008</td>
<td>Keppres No. 41/TK/2008</td>
</tr>
<tr>
<td>143</td>
<td>Kiai Haji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Halim_%281887-1962%29" title="Abdul Halim (1887-1962)">Abdul Halim</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2008</td>
<td>Keppres No. 41/TK/2008</td>
</tr>
<tr>
<td>144</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bung_Tomo" title="Bung Tomo">Sutomo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>6 November 2008</td>
<td>Keppres No. 41/TK/2008</td>
</tr>
<tr>
<td>145</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/John_Lie" title="John Lie">Jahja Daniel Dharma</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 2009</td>
<td>Keppres No. 58/TK/2009</td>
</tr>
<tr>
<td>146</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Johannes" title="Herman Johannes">Herman Johannes</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 2009</td>
<td>Keppres No. 58/TK/2009</td>
</tr>
<tr>
<td>147</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Subardjo" title="Achmad Subardjo">Achmad Subardjo</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>9 November 2009</td>
<td>Keppres No. 58/TK/2009</td>
</tr>
<tr>
<td>148</td>
<td><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/J._Leimena" title="J. Leimena">Johanes Leimena</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>11 November 2010</td>
<td>Keppres No. 52/TK/2010</td>
</tr>
<tr>
<td>149</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Johannes_Abraham_Dimara" title="Johannes Abraham Dimara">Johannes Abraham Dimara</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>11 November 2010</td>
<td>Keppres No. 52/TK/2010</td>
</tr>
<tr>
<td>150</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Syafruddin_Prawiranegara" title="Syafruddin Prawiranegara">Syafruddin Prawiranegara</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2011</td>
<td>Keppres No. 113/TK/2011</td>
</tr>
<tr>
<td>151</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Idham_Chalid" title="Idham Chalid">Idham Chalid</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2011</td>
<td>Keppres No. 113/TK/2011</td>
</tr>
<tr>
<td>152</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah" title="Haji Abdul Malik Karim Amrullah">Haji Abdul Malik Karim Amrullah</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2011</td>
<td>Keppres No. 113/TK/2011</td>
</tr>
<tr>
<td>153</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Sarmidi_Mangunsarkoro" title="Ki Sarmidi Mangunsarkoro">Ki Sarmidi Mangunsarkoro</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2011</td>
<td>Keppres No. 113/TK/2011</td>
</tr>
<tr>
<td>154</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/I_Gusti_Ketut_Pudja" title="I Gusti Ketut Pudja">I Gusti Ketut Pudja</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2011</td>
<td>Keppres No. 113/TK/2011</td>
</tr>
<tr>
<td>155</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pakubuwana_X" title="Pakubuwana X">Pakubuwana X</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2011</td>
<td>Keppres No. 113/TK/2011</td>
</tr>
<tr>
<td>156</td>
<td><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ignatius_Joseph_Kasimo_Hendrowahyono" title="Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono">Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono</a></td>
<td>Pahlawan Nasional</td>
<td>7 November 2011</td>
<td>Keppres No. 113/TK/2011</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<b>Sumber referensi:</b><br />
<br />
<ol>
<li>http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Pahlawan_Nasional_Indonesia</li>
<li>http://anggaiest.blogspot.com/2013/02/beberapa-daftar-pahlawan-nasional.html</li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-49698143225308502702014-04-19T11:33:00.001+07:002014-04-19T11:33:27.940+07:00Kerajaan Bahari Sriwijaya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-A8nHBvUDod-XpS8wcUbkD7DWBmfLp5BI6tJ8an3hjJAP3mL4d-ZjdKXLxLzQsjY65XotPWUOwXIoHqLD79njqV38wppv3C5hQrt3OEF6cV0ihjmwM1Oq_DD26ersfDi3xonhT0S88jA/s1600/skesa+kerajaan+sriwijaya.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-A8nHBvUDod-XpS8wcUbkD7DWBmfLp5BI6tJ8an3hjJAP3mL4d-ZjdKXLxLzQsjY65XotPWUOwXIoHqLD79njqV38wppv3C5hQrt3OEF6cV0ihjmwM1Oq_DD26ersfDi3xonhT0S88jA/s1600/skesa+kerajaan+sriwijaya.jpg" height="153" width="200" /></a></div>
<b>Sriwijaya</b> atau dalam bahasa Sanskerta ditulis Sri Vijaya adalah salah satu kerajaan bahari yang pernah berdiri di Sumatra Selatan, ibu kotanya berada di kota Palembang saat ini, dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya (Malaka), Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, <i>Sri</i> berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan <i>Wijaya</i> berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<a name='more'></a><br />
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 M, dan tinggal selama 6 bulan. Di abad ke-7 ini juga, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu (Indonesia) dan Kedah (Malaysia), yang menjadi bagian kerajaan Sriwijaya.<br />
<br />
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan <b>Balaputradewa</b> (833-856 M). Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 M, serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 M, kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Bukti Arkeologi</b></span><br />
<br />
Kerajaan Sriwijaya telah ada sejak tahun 671 M sesuai dengan catatan I Tsing. Sumber Sejarah kerajaan Sriwijaya yang berupa prasasti antara lain: Prasasti Kedukan Bukit (bertarikh 682 M), Talang Tuwo (bertarikh 684 M), Telaga Batu (bertarikh 683 M), Kota Kapur (bertarikh 686 M), Karang Berahi (bertarikh 686 M), Palas Pasemah dan Amoghapasa (bertarikh 1286 M). Sedangkan prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (bertarikh 775 M), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (bertarikh 1030 M), Canton (bertarikh 1075 M), Grahi (bertarikh 1183 M) dan Chaiya (bertarikh 1230 M). Dan sumber yang berbentuk naskah dan buku antara lain: Kitab Pararaton, kitab Memoir dan Record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Ling-wai-tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou-fu-hua.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis <b><i>George Coedes</i></b> mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedes menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b>Prasasti Kedukan Bukit</b><br />
<br />
Berdasarkan prasasti Kedukan Bukit, yang ditemukan di daerah Kedukan Bukit (Minanga), di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang bertarikh 682 M (604 Saka), di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan <b>Dapunta Hyang</b>. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India dalam penulisannya.<br />
<br />
Isi prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada tahun 1920 M itu, adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<i>"Pada tahun saka 604 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka, dapunta hyang naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa (20.000), dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati, pada ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan."</i><br />
<br />
Isi prasasti itu menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minanga dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.312 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha upang. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.<br />
<br />
<b>Prasasti Talang Tuwo dan Kota Kapur</b><br />
<br />
Sedangkan dalam prasasti Talang Tuwo yang ditemukan pada tahun 1920 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama <i>Sriksetra</i>. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.<br />
<br />
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 M yang ditemukan di pulau Bangka, kerajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa <b>Sri Jayanasa</b> telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanagara</a> di Jawa Barat dan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html" target="_blank">Kalingga (Holing)</a> di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.<br />
<br />
<b>Ibukota Sriwijaya</b><br />
<br />
Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang awal berkembang dan berakhirnya kerajaan Sriwijaya, serta lokasi ibu kotanya. Menurut George Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya, Shih Li Fo Shih merupakan perkataan China untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber China dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. <b><i>Slamet Mulyana</i></b> berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang <b><i>Takakusu</i></b> menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan <b><i>Groeneveldt</i></b> dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-tsi adalah Palembang. Sumber lain, yaitu <b><i>Beal</i></b> mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b>Prasasti Telaga Batu</b><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqVyCkMJM8PHq0m5IOdCWUiXYuznEkh10yPJpJFoT2HLn9n_gB_I-C9uMw1reiSK0vbrBNqcNZP9VRM1fcrOLXFORHjoqppIj89WVE_jY2IPQDD1vot1l126Tl9QaTJgLltcpBgJPwC04/s1600/552px-Telaga_Batu_inscription.JPG" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqVyCkMJM8PHq0m5IOdCWUiXYuznEkh10yPJpJFoT2HLn9n_gB_I-C9uMw1reiSK0vbrBNqcNZP9VRM1fcrOLXFORHjoqppIj89WVE_jY2IPQDD1vot1l126Tl9QaTJgLltcpBgJPwC04/s1600/552px-Telaga_Batu_inscription.JPG" height="320" width="294" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Prasasti Telaga Batu. Gambar: <a href="http://commons.wikimedia.org/wiki/User:Gunkarta" target="_blank">Gunawan Kartapranata</a>.</td></tr>
</tbody></table>
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.<br />
<br />
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.<br />
<br />
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu, oleh karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b>Sumber Berita China dan Arab</b><br />
<br />
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita China dan Arab. Sumber China yang paling sering dikutip adalah catatan <b><i>I-tsing</i></b>. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-tsing pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 M dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa China. Catatan China yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke China, yang terakhir adalah tahun 988 M.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut <i>Sribuza</i>. <b><i>Mas‘udi</i></b>, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.<br />
<br />
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya, Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di China, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Wilayah Kekuasaan</b></span><br />
<br />
Ekspansi kerajaan ini hingga ke Jawa dan Semenanjung Malaya, yang menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Raja <b>Dharmasetu</b> melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kerajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPZSPeYtFsWukkMi8IJryCbG1Jqk8DqNmYSzqQTplQq6Qz7KW_r7SjGnj7owgGmu7P2VlxiiI96JT-bRD2rTZMmvjD-gjNRkNXqxzn0VUePcOeqlQhABrYeT8pX5i36jTgDfkYXRX_uuQ/s1600/468px-Srivijaya_Empire_id.svg.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPZSPeYtFsWukkMi8IJryCbG1Jqk8DqNmYSzqQTplQq6Qz7KW_r7SjGnj7owgGmu7P2VlxiiI96JT-bRD2rTZMmvjD-gjNRkNXqxzn0VUePcOeqlQhABrYeT8pX5i36jTgDfkYXRX_uuQ/s1600/468px-Srivijaya_Empire_id.svg.png" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya pada abad ke-8 Masehi. <br />
<div>
Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Srivijaya_Empire_id.svg" target="_blank">Gunawan Kartapranata</a>.</div>
</td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indochina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan China. Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanegara </a>dan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html" target="_blank">Kalingga</a> berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Setelah Dharmasetu, <b>Samaratungga</b> menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835 M. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825 M.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Dari <b><i>Prasasti Kota Kapur</i></b> yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bhumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanegara</a> di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Struktur Pemerintahan</span></b><br />
<br />
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:<br />
<br />
<ol>
<li><i>Samraj</i>, artinya berdaulat atas rakyatnya.</li>
<li><i>Indratvam</i>, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.</li>
<li><i>Ekachattra</i>. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.</li>
</ol>
<br />
Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden (luar biasa).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadatuan, vanua, samaryyada, mandala dan bhumi.<br />
<br />
Kadatuan dapat bermakna kawasan datu, (tanah rumah) tempat tinggal bini haji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadatuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadatuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyada merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyada-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhumi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadatuan Sriwijaya.<br />
<br />
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan <i>yuvaraja</i> (putra mahkota), <i>pratiyuvaraja</i> (putra mahkota kedua) dan <i>rajakumara</i> (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi haji, dan hulu haji (peniaga, pemimpin, tukang cuci, budak raja).<br />
<br />
Menurut kronik China Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja (putra mahkota kedua). Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Ajaran Agama</b></span><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHV66kUyjAfrhdv2muuRLEYB7_JWTPZP6kQDqHtRjim4_2JXIlXC33FfZMWjB4k27OtzBNiIRAnaxaHJ60mIme5KedhDdh8_Mzq9uO7ScMVmgzwhFwLLlbJxczH_enugSM-zEjr09z2TY/s1600/310px-Buddha_Seguntang_Palembang.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHV66kUyjAfrhdv2muuRLEYB7_JWTPZP6kQDqHtRjim4_2JXIlXC33FfZMWjB4k27OtzBNiIRAnaxaHJ60mIme5KedhDdh8_Mzq9uO7ScMVmgzwhFwLLlbJxczH_enugSM-zEjr09z2TY/s1600/310px-Buddha_Seguntang_Palembang.jpg" height="320" width="165" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Arca Budha dalam langgam <br />
<div>
Amarawati setinggi 2,77 m,</div>
ditemukan disitus <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bukit_Seguntang" target="_blank">bukit </a><br />
<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bukit_Seguntang" target="_blank">Siguntang</a>, Palembang.<br />
Berasal dari abad ke-7 sampai<br />
ke-8 M. Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Buddha_Seguntang_Palembang.jpg" target="_blank">Wikipedia</a>.</td></tr>
</tbody></table>
Ajaran agama Budha telah diperkenalkan di Sriwijaya sejak sekitar tahun 425 M. Sebagai pusat pengajaran <b><i>Budha Vajrayana</i></b>, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 685 M, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Budha aliran Budha Hinayana dan Budha Mahayana (dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah Dharmakirti) juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atisa, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya <i>Durbodhaloka</i> menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan <b>Sri Cudamani Warmadewa</b> penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Peranan Sriwijaya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.<br />
<br />
<i>".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Budha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan China ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".</i> — Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.<br />
<br />
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh berkembang menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Pengaruh Budaya</span></b><br />
<br />
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Budha. Kerajaan Sriwijaya juga ikut membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Borneo Barat. Agama Budha aliran Budha Hinayana dan Budha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan Melayu dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Budha.<br />
<br />
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Vajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti <b><i>Siddhayatra</i></b> abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman <b><i>Sriksetra</i></b>, anugerah Raja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi <i>lingua franca</i> dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghRNNd8vA_AqMwWDbP1RNnYc4F3fdVwjUGkEbAqCvS1kkUkTvpxdQx2UeZ5hjE5quU-mASHKjpAPbC5l9AjsDkBXn08ajRvTYH4CjiPb4ZE5BZsCqrOT4lBrbynoN1FLD7F_Sz4Syp7yw/s1600/candi+muara+takus+riau.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghRNNd8vA_AqMwWDbP1RNnYc4F3fdVwjUGkEbAqCvS1kkUkTvpxdQx2UeZ5hjE5quU-mASHKjpAPbC5l9AjsDkBXn08ajRvTYH4CjiPb4ZE5BZsCqrOT4lBrbynoN1FLD7F_Sz4Syp7yw/s1600/candi+muara+takus+riau.jpg" height="237" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Candi Muara Takus, Riau. Dibangun oleh Maharaja <br />
<div>
Sri Cudamaniwarmadewa pada tahun 1003 M.</div>
</td></tr>
</tbody></table>
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit peninggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.<br />
<br />
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "<b><i>Seni Sriwijaya</i></b>" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).<br />
<br />
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Budha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.<br />
<br />
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja <b>Balaputradewa</b> dari Swarnadwipa (Sriwijaya) yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Budha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Perdagangan</span></b><br />
<br />
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya.<br />
<br />
Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi kerajaan besar adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<ul>
<li>Letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan.</li>
<li>Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara China dan India melalui Asia Tenggara.</li>
<li>Runtuhnya Kerajaan Funan di Indochina. Dengan runtuhnya Funan memberikan kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim menggantikan Funan.</li>
<li>Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di perairan Asia Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.</li>
</ul>
<br />
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Malaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Syailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sejak tahun 670 hingga 1025 M.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwfPA6N_VhiubGNH3BkbJUTaW7hi0HW-y4FDqDvc_ElYB6SYXUYwBrPtGLHjL5x2jC0ufW8r1W4Nqtuxwhrxx5plWZ2-C7aviU4qjuxQ9rT7IB6G7Bd0W4x5g_-2Hys3qDF4Dus8pNTRs/s1600/800px-Borobudur_ship.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwfPA6N_VhiubGNH3BkbJUTaW7hi0HW-y4FDqDvc_ElYB6SYXUYwBrPtGLHjL5x2jC0ufW8r1W4Nqtuxwhrxx5plWZ2-C7aviU4qjuxQ9rT7IB6G7Bd0W4x5g_-2Hys3qDF4Dus8pNTRs/s1600/800px-Borobudur_ship.JPG" height="220" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Model kapal Sriwijaya abad ke8 M yang terdapat pada <br />
<div>
candi Borobudur. Gambar: <a href="http://commons.wikimedia.org/wiki/User:MichaelJLowe" target="_blank">MichaelJLowe</a>.</div>
</td></tr>
</tbody></table>
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Syailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kerajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari China, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang China, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn Al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Raja <b>Sri Indrawarman</b> yang mengantarkan surat kepada khalifah <b>Umar bin Abdul-Aziz</b> dari Bani Umayyah tahun 718 M, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah <i>Zanji</i> (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 M mengirimkan hadiah untuk kaisar China, berupa <i>ts'engchi</i> (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus), yang masuk melalui perdagangan mereka.<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Hubungan dengan Kekuatan Regional</b></span><br />
<br />
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi), Raja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:<br />
<br />
<i>"Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku." </i><br />
— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.<br />
<br />
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUIraqOyj_AjllCTyvED5pEIDRhnhwy3rf5R8xeT462NQ6a0iSWfaI4DRbRYcVpfTDqEZCq8b8f3LBT58AInZrrSwPfdNhs_S9Dph1H7Ua1z3BMoG-djOHtywnVSiuKqFqW4EMedKHCoI/s1600/phra-_borom_that_chaiya.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUIraqOyj_AjllCTyvED5pEIDRhnhwy3rf5R8xeT462NQ6a0iSWfaI4DRbRYcVpfTDqEZCq8b8f3LBT58AInZrrSwPfdNhs_S9Dph1H7Ua1z3BMoG-djOHtywnVSiuKqFqW4EMedKHCoI/s1600/phra-_borom_that_chaiya.jpg" height="200" width="165" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pagoda Borom That.</td></tr>
</tbody></table>
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan perpindahan Wangsa Syailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Syailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Syailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Syailendra di Jawa antara <b>Balaputradewa</b> melawan <b><i>Rakai Pikatan</i></b> dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 M, Balaputradewa menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Syailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada sahabatnya, raja <b><i>Dewapaladewa</i></b>, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja <b><i>Dharmawangsa Teguh</i></b> menyerang Palembang pada tahun 990 M, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 M oleh Raja Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079 M. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Masa Keemasan</span></b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzGs2kE6L1uNhzeQSYNkJ_7pOmd9MOPT8Gia-vaIOGHYxEBswQPylFsBZpHARbzfDUvyEcVXI628Ox5w8f8tpOFJYjZsAsAzN52iSgL2aceSHLmOperVEBwWPAv2PLYQWDiTueBr0JajU/s1600/327px-Avalokite%25C3%25A7vara%252C_Malayu_Srivijaya_style.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzGs2kE6L1uNhzeQSYNkJ_7pOmd9MOPT8Gia-vaIOGHYxEBswQPylFsBZpHARbzfDUvyEcVXI628Ox5w8f8tpOFJYjZsAsAzN52iSgL2aceSHLmOperVEBwWPAv2PLYQWDiTueBr0JajU/s1600/327px-Avalokite%25C3%25A7vara%252C_Malayu_Srivijaya_style.jpg" height="320" width="174" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Arca emas <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Avalokite%C5%9Bvara" target="_blank">Avalokiteswara</a> <br />
<div>
bergaya Melayu-Sriwijaya</div>
ditemukan di Rantaukapastuo,<br />
Muarabulian, Jambi.<br />
Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Avalokite%C3%A7vara,_Malayu_Srivijaya_style.jpg" target="_blank">Wikipedia</a>.</td></tr>
</tbody></table>
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari India. Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara untuk para pendeta Sriwijaya yang belajar agama Budha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda juga disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa dan dengan tegas menunjukkan bahwa Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya.<br />
<br />
Kerajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.<br />
<br />
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.<br />
<br />
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama <i>Sribuza</i>. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainnya.<br />
<br />
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan <b>Zabaj</b> (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.<br />
<br />
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 M tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 M pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Pada musim semi tahun 992 M, duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kepada kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992 M. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991 M. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.<br />
<br />
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 M untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 M kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Raja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003 M, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Budha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu Cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).<br />
<br />
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Raja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa <b><i>Mahapralaya</i></b>, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 M menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Masa Kemunduran Sriwijaya</span></b><br />
<br />
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa (Kerajaan Medang). Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Chola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.<br />
<br />
Tahun 1017 dan 1025, <b><i><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rajendra_Chola_I" target="_blank">Rajendra Chola I</a></i></b>, raja dari dinasti Chola di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Koromandel" target="_blank">Cholamandala</a> (Koromandel), India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya, yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025 M, raja <b>Sri Sanggramawidjaja Tungadewa</b> ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030 M, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke China tahun 1028 M. Semasa dibawah penaklukan Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di <b><i>Kadaram</i></b> (Kedah sekarang).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Kerajaan <b><i>Singasari</i></b> yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088 M, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah Majapahit.<br />
<br />
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.<br />
<br />
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 M, <b><i>Kulothunga Chola I</i></b> (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita China yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 M masih mengirimkan utusan pada masa China di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088 M. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul <b><i>Dharmasraya</i></b> dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 M, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur Semenanjung Malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur Semenanjung Malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut China Selatan. Hal ini karena dalam kitab Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut:<br />
<br />
<ul>
<li>Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.</li>
<li>Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.</li>
<li>Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya di bagian barat.</li>
<li>Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Dharmawangsa Teguh terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992 M) hingga menyebabkan utusan yang dikirim ke China tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 M, kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023-1030 M. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan penaklukkan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah ditundukkan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377 M).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup></li>
</ul>
<br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Silsilah Para Raja-raja Sriwijaya</b></span><br />
<br />
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. <b>Dapunta Hyang</b> yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup> Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:<br />
<br />
<ol>
<li>Tahun 671 M ~ Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa - ibukota: Srivijaya/Shih-li-fo-shih; Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685 M, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa. Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuwo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah.</li>
<li>Tahun 702 M ~ Cri Indrawarman atau Shih-li-t-'o-pa-mo - ibukota: Sriwijaya/Shih-li-fo-shih; Utusan ke Tiongkok 702-716 M dan 724 M.</li>
<li>Tahun 728 M ~ Rudrawikraman atau Lieou-t'eng-wei-kong - ibukota: Sriwijaya/Shih-li-fo-shih; Utusan ke Tiongkok 728-742 M).</li>
<li>-- Tahun 743-774 M - Belum ada berita pada periode ini.</li>
<li>Tahun 755 M ~ Sri Maharaja atau Wisnu - ibukota: Sriwijaya; Prasasti Ligor tahun 775 M di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja)</li>
<li>-- Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta) ~ Wangsa Syailendra mengantikan Wangsa Sanjaya.</li>
<li>Tahun 778 M ~ Dharanindra atau Rakai Panangkaran - ibukota: Jawa; Prasasti Kelurak 782 M di sebelah utara kompleks Candi Prambanan. Prasasti Kalasan tahun 778 M di Candi Kalasan.</li>
<li>Tahun 782 M ~ Samaragrawira atau Rakai Warak - ibukota: Jawa; Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907 M.</li>
<li>Tahun 792 M ~ Samaratungga atau Rakai Garung - ibukota: Jawa; Prasasti Karang Tengah tahun 824, tahun 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur.</li>
<li>-- Tahun 840 M ~ Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan.</li>
<li>Tahun 856 M ~ Balaputradewa - ibukota: Suwarnadwipa; Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa. Prasasti Nalanda tahun 860 M, India.</li>
<li>-- Tahun 861-959 M - Belum ada berita pada periode ini.</li>
<li>Tahun 960 M ~ Cri Udayadityawarman atau Se-li-hou-ta-hia-li-tan - ibukota: Sriwijaya/San-fo-ts'i; Utusan ke Tiongkok 960 & 962 M.</li>
<li>-- Tahun 980 M ~ Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji).</li>
<li>Tahun 988 M ~ Cri Cudamaniwarmadewa atau Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa - ibukota: Sriwijaya/Malayagiri (Suwarnadwipa)/ San-fo-ts'i; 990 M Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atisa, Utusan ke Tiongkok 988-992-1003 M, pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama Cheng tien wan shou, prasasti Leiden 1044 M.</li>
<li>Tahun 1008 M ~ Cri Mara-Vijayottunggawarman atau Se-li-ma-la-pi - ibukota: San-fo-ts'i/Kataha; Prasasti Leiden 1044 M & utusan ke Tiongkok 1008 M).</li>
<li>-- Tahun 1017M ~ Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u (Haji Sumatrabhumi); gelar haji biasanya untuk raja bawahan).</li>
<li>Tahun 1025 M ~ Cri Sangrama-Vijayottunggawarman - ibukota: Sriwijaya/Kadaram; Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan. Prasasti Tanjore bertarikh 1030 M pada candi Raja-raja, Tanjore, India, dan prasasti Chola 1044 M.</li>
<li>-- Tahun 1030 M ~ Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel.</li>
<li>-- Tahun 1079 M ~ Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 M membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton).</li>
<li>-- Tahun 1082M ~ Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088 M.</li>
<li>-- Tahun 1089-1177 M ~ Belum ada berita.</li>
<li>-- Tahun 1178 M ~ Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i.</li>
<li>Tahun 1183 M ~ Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa - ibukota: Dharmasraya; Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 M di selatan Thailand).</li>
</ol>
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Warisan Sejarah</b></span><br />
<br />
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedes pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.<br />
<br />
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekonomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.<br />
<br />
<b>Sumber referensi:</b><br />
<br />
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia ID:</b> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya" target="_blank">Sriwijaya</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>Sunan Kali Jodo:</b> <a href="http://sunankalijodo.wordpress.com/2009/08/06/kerajaan-sriwijaya/" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>Sumatera Selatan:</b> <a href="http://www.sumselprov.go.id/index.php?module=content&id=44" target="_blank">Kerajaan Sriwijaya</a></div>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-58321487449168198722014-04-16T11:08:00.001+07:002014-04-19T11:51:16.031+07:00Kerajaan Kalingga<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSMfNFboC8UUaNJbQ7yHoJnLAWARHB4eqAddQsH_LxExZE2oDtBDNszgt6bAmFCc99fNlqU9MFgVt1lToJJAMzHO-FOq3cb9rmMTKbaxwRTALEtBG9mSaLXS_BoKPtFlj_4amV8eA4JyE/s1600/Ratu+Sima+dari+Kerajaan+Kaling.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Arca Ratu Shima-Batara Guru" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSMfNFboC8UUaNJbQ7yHoJnLAWARHB4eqAddQsH_LxExZE2oDtBDNszgt6bAmFCc99fNlqU9MFgVt1lToJJAMzHO-FOq3cb9rmMTKbaxwRTALEtBG9mSaLXS_BoKPtFlj_4amV8eA4JyE/s1600/Ratu+Sima+dari+Kerajaan+Kaling.jpg" height="200" width="165" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Arca Ratu Shima (Batara Guru)</td></tr>
</tbody></table>
<b>Kalingga</b> atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di <b>Cho-po</b> (Jawa, tepatnya di Jawa Tengah) sekitar abad ke-6 Masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Semenjak dibawah kepemerintahan <b>Ratu Shima</b>, ditetapkan peraturan bahwa barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Letak dan Wilayah Kekuasaan</span></b><br />
<br />
Pada abad ke-5 muncul Kerajaan <b>Ho-ling</b> (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri China. Pada tahun 752 M, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Sriwijaya</a> dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanagara</a> yang sebelumnya telah ditaklukan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Sriwijaya</a>. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Budha.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUq8TLG42m0n1Mdt7lg9-Rx_SnPIgBaK4UbNQY7NXBQ527s-G_9QJX9OuUzJk9xOfmyyTKDYf402MoW46dsU0kGzxho9ySHyc4V7NZ9lhMIruy6J5WF1adfaXoh1mbo5shrA9hACNAd2Y/s1600/344px-Kalingga_Kingdom_id.svg.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Peta Wilayah Kerajaan Kalingga" border="1" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiUq8TLG42m0n1Mdt7lg9-Rx_SnPIgBaK4UbNQY7NXBQ527s-G_9QJX9OuUzJk9xOfmyyTKDYf402MoW46dsU0kGzxho9ySHyc4V7NZ9lhMIruy6J5WF1adfaXoh1mbo5shrA9hACNAd2Y/s1600/344px-Kalingga_Kingdom_id.svg.png" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Peta kerajaan Hindu-Budha Kalingga (Holing), sekitar abad ke-6<br />
sampai ke-7 Masehi. Terletak di suatu tempat di pesisir utara<br />
Jawa Tengah, Indonesia. Gambar: <a href="http://commons.wikimedia.org/wiki/User:Gunkarta" target="_blank" title="User:Gunkarta">Gunawan Kartapranata</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kisah Lokal</span></b><br />
<br />
Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai <b>Ratu Shima</b> yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya.<br />
<br />
Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Carita Parahyangan</span></b><br />
<br />
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama <b><i>Mandiminyak</i></b>, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama <b><i>Sanjaya</i></b> yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).<br />
<br />
Setelah Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/<b><i>Wangsa Sanjaya</i></b> di Kerajaan Mataram Kuno.<br />
<br />
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tedjakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu <b><i>Rakai Panangkaran</i></b>.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Fakta</span></b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-GjJupKesXT0CXuBkl0A3aRt4kqT0E6YnN7Ny68BqvTGIvNNCozvrOIZ_nFWUa1DMP1-DhMfQdnWoMLzxJo7r5L1VmdyPz_pLHnwcRW3e4U61qL0sMTPI7ZJK9kg6ZRraoKnl-pe7wCU/s1600/ratu+shima.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Ratu Shima Wisnu" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-GjJupKesXT0CXuBkl0A3aRt4kqT0E6YnN7Ny68BqvTGIvNNCozvrOIZ_nFWUa1DMP1-DhMfQdnWoMLzxJo7r5L1VmdyPz_pLHnwcRW3e4U61qL0sMTPI7ZJK9kg6ZRraoKnl-pe7wCU/s1600/ratu+shima.jpg" height="320" width="169" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ratu Shima (Wisnu)</td></tr>
</tbody></table>
Di <b>Puncak Rahtawu</b> (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling, Jepara di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof. Gunadi dan empat orang tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Berita China</b></span><br />
<br />
Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari kronik zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.<br />
<br />
<b>Catatan dari zaman Dinasti Tang</b><br />
<br />
Cerita China pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut:<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<ol>
<li>Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak <b><i>Ta-Hen-La</i></b> (Kamboja), di sebelah timurnya terletak <b><i>Po-Li</i></b> (pulau Bali) dan di sebelah barat terletak <b><i>To-Po-Teng</i></b> (pulau Sumatera). Sedangkan Ho-ling disebut dengan istilah <b><i>Cho-Po</i></b> (Jawa). Berdasarkan berita China tersebut dapat disimpulkan bahwa letak Ho-ling ada di Jawa khususnya Jawa Tengah.</li>
<li>Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.</li>
<li>Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.</li>
<li>Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa</li>
<li>Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.</li>
<li>Catatan dari berita China ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674 M, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana, serta patuh dalam menjalankan hukum-hukum kerajaan. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.</li>
</ol>
<br />
<b>Catatan I-Tsing</b><br />
<br />
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Budha Hinayana. Di Ho-ling ada seorang pendeta China bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Budha ke dalam Bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Jnanabhadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Budha Hinayana.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Hubungan dengan Negeri Luar</span></b><br />
<br />
Pada masa <b>Chen-kuang</b> (627-649 M) raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-p’o-teng, menyerahkan upeti ke China. Kaisar China mengirimkan balasan dengan dibubuhi cap kerajaan dan raja To-ho-lo meminta kuda-kuda terbaik dan dikabulkan oleh kaisar China. Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan 768 M. Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan empat budak <i>sheng-chih</i> (jenggi), burung kakatua, dan burung <i>p’in-chiat</i> (?) dan benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan itu mohon supaya gelar tersebut diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan dengan sikap itu dan memberikan gelar kehormatan kepada keduanya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup> Dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke China. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke China diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti China senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.<br />
<br />
Pengiriman duta Ho-ling ke China menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Keagamaan</span></b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYNkJWYU52Oky20taB1YGMr0wiNYewoILhICp__-o2Xabje7C-Xdw8NNkM8JHa1j7cqYOJS3L6sG1jrfTOgVoxafAqvGUe0Fu52e2CEbVqIqq-nzz-LFWIIR5TLJ5hNUaPGRIW93bwt7I/s1600/Alas+Purwo%252C+Holing.gif" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="alas purwo, holing" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYNkJWYU52Oky20taB1YGMr0wiNYewoILhICp__-o2Xabje7C-Xdw8NNkM8JHa1j7cqYOJS3L6sG1jrfTOgVoxafAqvGUe0Fu52e2CEbVqIqq-nzz-LFWIIR5TLJ5hNUaPGRIW93bwt7I/s1600/Alas+Purwo%252C+Holing.gif" height="212" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">AlasPurwo, Holing.</td></tr>
</tbody></table>
Salah satu sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber China yang berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari China dan kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada tahun 664-667 M, pendeta Budha China bernama <b>Hwu-ning</b> dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667 M). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinan besar pelafalan China untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana bagian <i>Nirwana</i>. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke China. Menurut <b>I-tsing</b>, Kitab Suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan Kitab Suci Budha Mahayana.<br />
<br />
Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti T’ang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan Hwu-ning dengan Yun-ki bersama dengan <b>Jnanabhadra</b> itu adalah kitab <i>Nirwana</i> bagian akhir yang menceritakan tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha Hinayana aliran <i>Mulasarastiwada</i>. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah Jnanabhadra.<br />
<br />
Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah.<br />
<br />
Isi prasasti tersebut adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:<br />
<br />
<i>Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.</i><sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kehidupan Masyarakat </span></b><br />
<br />
Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Di Kalingga terdapat sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai <i>bledug</i>. Penduduk setempat menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang disebut sebagai bledug tersebut.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Shima digambarkan sebagai pemimpin yang 'keras' demi menjalankan hukum kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa <i>paterana</i> gading.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Peninggalan</span></b><br />
<br />
Peninggalan Kerajaan Ho-ling antara lain:<br />
<br />
<b>Prasasti Tukmas</b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmfmzH8Fz_XLq3V_-GAqdDxcPRMR776Hp1BRzfMMtVm6aCNLs7gG0bL_weLeb7t7QDLhB_c0V4FtB9NuWk7jp2yvwy-9KRgPPs0FPSXOLjUwKNWwV93Fz777st_TqYSJVzdptzCH96qyk/s1600/prasasti+tukmas.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Prasasti Tukmas Kalingga" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmfmzH8Fz_XLq3V_-GAqdDxcPRMR776Hp1BRzfMMtVm6aCNLs7gG0bL_weLeb7t7QDLhB_c0V4FtB9NuWk7jp2yvwy-9KRgPPs0FPSXOLjUwKNWwV93Fz777st_TqYSJVzdptzCH96qyk/s1600/prasasti+tukmas.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Prasasti Tukmas. <br />
Gambar: <a href="http://deaseptianaputri.blogspot.com/2012/09/kerajaan-kalingga-holing.html" target="_blank">http://deaseptianaputri.blogspot.com</a></td></tr>
</tbody></table>
Prasasti Tukmas ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b>Prasasti Sojomerto</b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNvPqDGjMxfHzevlnY0aTs-eXECTf50G34ggRCr84Pp5F0tmBRQ8hdwM3eL3qfZ_6IfEaaB-vfwzb5W105VttoPzzzZcv5nPD92gnIklGaDeqSbnZDlEsKTRcjV90pOgit-Z_EMVhvMGk/s1600/Prasasti+Sojomerto.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="Prasasti Sojomerto Kalingga" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNvPqDGjMxfHzevlnY0aTs-eXECTf50G34ggRCr84Pp5F0tmBRQ8hdwM3eL3qfZ_6IfEaaB-vfwzb5W105VttoPzzzZcv5nPD92gnIklGaDeqSbnZDlEsKTRcjV90pOgit-Z_EMVhvMGk/s1600/Prasasti+Sojomerto.jpg" height="200" width="150" /></a></div>
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, <b><i>Dapunta Selendra</i></b>, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.<br />
<br />
<b>Candi Angin</b><br />
<br />
Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Karena letaknya yang tinggi tapi tidak roboh terkena angin, maka candi ini dinamakan Candi Angin.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYk53rnCbT4-5_MmplmPUu1QJwoYq6lDGKi7tpbaq7QhsAgdOZDGTlWTMBVOMdhqK5qOX2nTQLdFTcMG7nDDtwukZssnQDNZF6Y0DLljYjxqb9JiZuOL87MoW8bbg0BZ0xFvzJfs4avEI/s1600/Candi+Angin,+Jepara.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Candi Angin Kalingga" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYk53rnCbT4-5_MmplmPUu1QJwoYq6lDGKi7tpbaq7QhsAgdOZDGTlWTMBVOMdhqK5qOX2nTQLdFTcMG7nDDtwukZssnQDNZF6Y0DLljYjxqb9JiZuOL87MoW8bbg0BZ0xFvzJfs4avEI/s1600/Candi+Angin,+Jepara.jpg" height="240" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sisi muka Candi Angin. Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Candi_Angin_Jepara.JPG" target="_blank">http://id.wikipedia.org</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Borobudur" target="_blank" title="Candi Borobudur">Candi Borobudur</a>, Candi Angin di sinyalir adalah peninggalan Kerajaan Kalingga. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.<br />
<br />
<b>Candi Bubrah, Jepara</b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6hkbK0zRnn8PQizsk9e2j1Z67u4Rh8tZI3v6qNMEjllAG1TdFB6MzKVQYb_sqs7B4_2upHyYppc0WJ8YwmsMNq7cpw-1yKoVhBi_nTZkZOoCZ1oQW2dO3TA8KnuA8PoAzIPpJri1Tcpo/s1600/candi-bubrah-small.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Candi Bubrah Kalingga" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6hkbK0zRnn8PQizsk9e2j1Z67u4Rh8tZI3v6qNMEjllAG1TdFB6MzKVQYb_sqs7B4_2upHyYppc0WJ8YwmsMNq7cpw-1yKoVhBi_nTZkZOoCZ1oQW2dO3TA8KnuA8PoAzIPpJri1Tcpo/s1600/candi-bubrah-small.jpg" height="135" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto sisi depan Candi Bubrah.<br />
Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Candi_Bubrah_di_Jepara.JPG" target="_blank">http://id.wikipedia.org</a></td></tr>
</tbody></table>
Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.<br />
<br />
Berjarak sekitar 2 km ke arah puncak, Candi Bubrah bisa dilihat berada di sisi kiri jalur pendakian. Bangunan ini terdiri dari dua kelompok. Satu kelompok di bagian yang lebih rendah, dan satu kelompok lagi berada di bagian yang lebih tinggi. Sedangkan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Angin" title="Candi Angin">Candi Angin</a> sendiri, dengan bentuk dan karakter yang sama seperti candi Bubrah berada di puncak.<br />
<br />
Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak <i>Hindu Siwais</i>. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Syailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#fotenote1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<div class="fotenote">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#1" name="fotenote1">[1]</a> <b>Wikipedia ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kalingga" target="_blank">Kerajaan Kalingga </a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#2" name="fotenote2">[2]</a> <b>Tugas Dari Guru</b>: <a href="http://deaseptianaputri.blogspot.com/2012/09/kerajaan-kalingga-holing.html" target="_blank">Kerajaan Kalingga (Holing)</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html#3" name="fotenote3">[3]</a> <b>Wacana Nusantara</b>: <a href="http://www.wacananusantara.org/kerajaan-kalingga/" target="_blank">Kerajaan Kalingga</a><br />
<br /></div>
<br />
<br />Unknownnoreply@blogger.com1Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-52968146554973832542014-04-15T17:16:00.001+07:002014-06-03T10:44:32.956+07:00Kerajaan Tarumanegara<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguoh-jRqIAeV-9m1OrPHGvLoIx_MfnAafd5uGHFSSVhAFk_0pNH0JB1l8_o8IybOYTKZbwUAeGEn7280sAzX5VdCYfJloOaP1OqhMDrzrvNBEO4fqqYZ4eh6Icqd6iIvdmlrZKajpe9bk/s1600/506px-Vishnu_Cibuaya_Tarumanagara.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Arca Dewa Wisnu" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguoh-jRqIAeV-9m1OrPHGvLoIx_MfnAafd5uGHFSSVhAFk_0pNH0JB1l8_o8IybOYTKZbwUAeGEn7280sAzX5VdCYfJloOaP1OqhMDrzrvNBEO4fqqYZ4eh6Icqd6iIvdmlrZKajpe9bk/s1600/506px-Vishnu_Cibuaya_Tarumanagara.JPG" height="200" width="168" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Dua arca Wishnu dari Cibuaya,<br />
Karawang.</td></tr>
</tbody></table>
<b>Tarumanagara</b> atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, dengan pusat kerajaan terletak di Sundapura (dekat Tugu dan Bekasi). Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang banyak meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanegara meliputi daerah Banten, Jakarta, sampai perbatasan Cirebon, sehingga dapat diartikan bahwa pada masa pemerintahan <b>Raja Purnawarman</b> wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara hampir menguasai seluruh wilayah Jawa Barat.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki2" name="2">[2]</a></sup><br />
<a name='more'></a><br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Etimologi dan Toponimi</span></b><br />
<br />
Kata Tarumanagara berasal dari kata <i>taruma</i> dan <i>nagara</i>. Nagara artinya kerajaan atau negara, sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai (Ci) yang membelah Jawa Barat yaitu Citarum. Pada muara Citarum ditemukan percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Taruma.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab, yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati (wilayah Bekasi). Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara <i>Etimologi</i> (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Awal Sejarah</span></b><br />
<br />
Informasi yang didapat dari naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, halaman 771, antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
<i>Di negeri India dua keluarga atau dua kerajaan yaitu keluarga Calankayana dan Pallawa telah dikalahkan dalam perang oleh Samudragupta Maharaja Maurya. Sang Gupta lalu menjadi yang paling berkuasa di India. Perangai tidak layak, kejam tidak mengenal belas kasihan terhadap musuh yang telah dikalahkannya. Oleh karena itu keluarga, para pembesar dan penduduk dari kedua kerajaan yang kalah perang itu berupaya melarikan diri mencari keselamatan.</i><br />
<br />
Perang itu terjadi pada tahun 267 Saka (345 Masehi). Adapun maharaja Maurya itu, bergelar Samudragupta Mahaprabawa Raja Magada, yang besar kotanya. Sedangkan Raja Calankayana, bergelar Maharaja Hastiwarman dan Raja Pallawa, bergelar Maharaja Wisnugopa. Kedua raja ini bersahabat akrab dan bersatu, lalu bersama‑sama menyerang musuhnya (Samudragupta). Perang itu, berlangsung beberapa bulan lamanya. Akhirnya, kerajaan Pallawa dan Calankayana kalah. Kerajaan Maurya, memperoleh kemenangan.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Sementara itu, rajanya telah kalah, tetapi kerajaannya tidak hilang dari muka bumi. Hanya saja, yang kalah, menjadi bawahan sang pemenang. Semua penduduk Pallawa dan Calankayana, sangat menderita dan banyak yang tewas, karena sang penguasa, yaitu raja Gupta, telah banyak membunuh orang‑orang yang tak berdosa. Telah banyak, tentara dan pemuka negara yang kalah, tewas di medan perang. Oleh karena itu, di kota‑kota negara yang kalah perang, merajalela kaum perampok. Sedangkan raja yang menderita kekalahan, beserta keluarga, pengiring dan para pembesar lainnya, bersembunyi masuk ke dalam hutan atau gunung. Ada juga yang bersama keluarga dan pengiringnya, pergi ke seberang laut, yaitu ke Semenanjung, Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Negeri Yawana, dan sebagainya.<br />
<br />
Salah satu kelompok keluarga Pallawa, yang mengungsi ke Pulau Jawa, dipimpin oleh Darmawirya, kelak setelah menikah dengan Rani Sphatikarnawa Warmandewi, menjadi Dewawarman Vlll (raja terakhir Salakanagara). Keluarga Hastiwarman dan Wisnugopa, tersebar ke berbagai negara, terutama yang dahulu menjadi sahabat keluarga mereka. Dinasti Warman (warmanwamca), akhirnya banyak yang menjadi raja di Nusantara, dan negara-negara lainnya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Naskah Wangsakerta</span></b><br />
<br />
Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon, Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh <b>Rajadirajaguru Jayasingawarman</b> pada tahun 358 M, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395 M). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.<br />
<br />
Dalam tahun 270 Saka (348 Masehi), ada seorang Maharesi (bernama Jayasingawarman) dari Calankayana. Bersama pengikutnya (sebagai pengiring), tentara, penduduk pria dan wanita, ikut melarikan diri. Mengungsi ke pulau‑pulau di sebelah selatan, karena pihak musuh, selalu berusaha menangkap mereka. Sang Maharesi Jayasingawarman bersama para pengikutnya, tiba di Pulau Jawa dan menetap di Jawa Kulwan (barat). Di sebelah barat Sungai Citarum, Sang Maharesi mendirikan perdukuhan, yang kemudian diberi nama Tarumadesya. Wilayah ini (Taruma‑desya), termasuk daerah kekuasaan Sang Prabu Dewawarman VIII. Kelak, Sang Maharesi Jayasingawarman menjadi menantu Sang Prabu Dewawarman VIII.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Kira-kira sepuluh tahun kemudian, desa itu menjadi besar, karena banyak penduduk dari desa-desa lain, datang dan menetap di situ. Beberapa tahun kemudian, desa Taruma itu, telah menjadi nagara. Jayasingawarman terus berusaha, memperbesar negaranya, sampai menjadi sebuah kerajaan, lalu diberi nama: Tarumanagara. la lalu menjadi Rajadirajaguru yang memerintah kerajaannya, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa.<br />
<br />
Sang Maharesi Rajadirajaguru menjadi Raja Tarumanagara selama 24 tahun, yaitu dari tahun 280 sampai 304 Saka (358‑382 Masehi). la wafat dalam usia 60 tahun, dan dipusarakan di tepi kali Gomati. la digantikan putera sulungnya yang bernama <b>Rajaresi Darmayawarmanguru</b>. Ia bergelar demikian, karena selain memegang pemerintahan Tarumanagara, ia pun menjadi pemimpin semua guru agama (Hindu).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Tetapi penduduk di desa‑desa kerajaan Taruma, banyak yang tetap menganut pemujaan roh, yaitu memuja roh leluhur (pitampuja) menurut adat yang diwarisi dari nenek moyangnya. Sang Rajaresi, selalu berusaha mengajarkan agamanya kepada penghulu desa‑desa dan penduduk Tarumanagara. Oleh karena itu, Sang Rajaresi mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Walaupun demikian, tidak semua penduduk mau mengikuti agamanya.<br />
<br />
Waktu itu, kehidupan penduduk dijadikan empat kasta, yaitu: yang pertama kasta Brahmana, yang kedua kasta Ksatriya, yang ketiga kasta Waisya, dan yang keempat kasta Sudra. Dengan demikian, penduduk itu dibeda‑bedakan antara golongan Nista‑Madya ‑ Utama. Penduduk golongan nista, sangat takut terhadap agama Sang Rajaresi.<br />
<br />
Darmayawarmanguru menjadi Raja Tarumanagara hanya 13 tahun, dari tahun 304 sampai tahun 317 Saka (382-395 Masehi). la disebut juga Sang Lumahing Candrabaga (yang mendiang di Candrabaga), karena ia dipusarakan di tepi kali Candrabaga (Cibagasasi atau kali Bekasi). Rajaresi Darmayawarmanguru, digantikan oleh puteranya, yang bernama <b>Sang Purnawarman</b>, yang memerintah dari tahun 317 sampai tahun 356 Saka (395‑434 Masehi).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_rLUvuZMut75NgCAC751r5HbcDGcYU3Deos8g9b0i-9n9YIG7LtdA0WtFNP-hSFHY9HwRj-ee86oDKKQQL3sCrkxTg7FYYvK-hnK5Tyg5yTUVSLH01iZv7GbMlkXvNc5o0KtHXvd1DHQ/s1600/6_TARUMANEGARA.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img alt="Relief Tarumanagara" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_rLUvuZMut75NgCAC751r5HbcDGcYU3Deos8g9b0i-9n9YIG7LtdA0WtFNP-hSFHY9HwRj-ee86oDKKQQL3sCrkxTg7FYYvK-hnK5Tyg5yTUVSLH01iZv7GbMlkXvNc5o0KtHXvd1DHQ/s1600/6_TARUMANEGARA.jpg" height="240" width="320" /></a>Purnawarman, dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diangkat sebagai Raja Tarumanagara ketiga, pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan, untuk hidup di pertapaan menempuh <i>manurajasunya</i> (bertapa setelah turun tahta sampai ajal tiba).<br />
<br />
Tindakannya yang pertama, ialah memindahkan ibukota kerajaan, ke sebelah utara ibukota lama, yang disebut Jayasingapura yang didirikan oleh kakeknya, Jayasingawarman. Ibukota yang baru itu, diberi nama <b><i>Sundapura</i></b> (kota Sunda), dibangun di tepi kali Gomati pada tahun 397 M.<br />
<br />
Kira‑kira tiga tahun setelah ia dinobatkan, Purnawarman membuat pelabuhan di tepi pantai. Pembuatannya, dimulai tanggal 7 bagian terang bulan Margasira (15 Desember 398 Masehi) dan selesai pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya (11 November 399 Masehi). Pelabuhan ini, segera menjadi ramai, oleh kapal-kapal perang kerajaan Tarumanagara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Selama masa pemerintahannya, Purnawarman telah menaklukan kerajaan-kerajaan lain di Jawa Barat, yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang diserangnya, selalu dapat dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai berbagai ilmu dan siasat berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang perkasa dan dahsyat (<i>bhimaparakramoraja</i>). Tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya, karena dalam perang, ia selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala sampai ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan‑lawannya, digelari Harimau Tarumanagara (<i>wyaghra ring tarumanagara</i>).<br />
<br />
Pada tahun 417 M, ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 12 km). Selesai penggalian, sang maharaja mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.<br />
<br />
Sebagai pengganti Sri Maharaja Purnawarman, putera sulungnya, <b>Sang Wisnuwarman</b>, dengan gelar: Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati Sang Purandarasutah. la dinobatkan menjadi Raja Tarumanagara keempat, pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 365 Saka (3 Desember 434 Masehi). Memegang pemerintahan di Tarumanagara hingga tahun 377 Saka (455 Masehi).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Digantikan oleh puteranya, <b>Sang Indrawarman</b>, sebagai Raja Tarumanagara kelima, dengan gelar: Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta Sakti Mahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 437 Saka (515 Masehi).<br />
<br />
Digantikan oleh puteranya, <b>Sang Candrawarman</b>, sebagai Raja Tarumanagara keenam, dengan gelar: Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusakti Suralagawageng Paramarta. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 457 Saka (535 Masehi).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Digantikan oleh puterannya, <b>Sang Suryawarman</b>, sebagai Raja Tarumanagara ketujuh, dengan gelar: Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa Digwijaya. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 483 Saka (561 Masehi).<br />
<br />
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat pada tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535-561 M), Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 536 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.<br />
<br />
Suryawarman digantikan oleh puteranya, <b>Sang Kretawarman</b>, sebagai Raja Tarumanagara kedelapan, dengan gelar: Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Salakabumandala. la, memerintah di Tarumanagara hingga tahun 550 Saka (628 Masehi).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Karena tidak punya keturunan, Kretawarman digantikan oleh adiknya, <b>Sang Sudawarman</b>, sebagai Raja Tarumanagara kesembilan, dengan gelar: Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi Hariwangsa. Ia memerintah di Tarumanagara hingga tahun 561 Saka (639 Masehi).<br />
<br />
Digantikan oleh puteranya, <b>Sang Dewamurti</b>, sebagai Raja Tarumanagara kesepuluh, dengan gelar: Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bimaparakrama. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 562 Saka (640 Masehi).<br />
<br />
Digantikan oleh puteranya, <b>Sang Nagajaya</b>, sebagai Raja Tarumanagara kesebelas, dengan gelar: Sri Maharaja Nagajayawarman Darmasatya Cupujayasatru. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 588 Saka (666 Masehi).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Digantikan oleh puteranya, <b>Sang Linggawarman</b>, sebagai Raja Tarumanagara keduabelas, dengan gelar: Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. la memerintah di Tarumanagara hingga tahun 591 Saka (669 Masehi).<br />
<br />
la digantikan oleh menantunya, <b>Sang Tarusbawa</b>, sebagai penerus tahta Tarumanagara, dengan gelar; Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Sang Tarusbawa dinobatkan pada tanggal 9 bagian terang bulan Jesta tahun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi). Dalam tahun yang sama, menantu Sang Linggawarman lainnya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Sang Tarusbawa bukan keturunan dinasti Warman. Ia dilahirkan di Sunda Sembawa (Sundapura), sebagai raja keturunan pribumi di kerajaan daerah Sunda Sembawa. Ketika ia naik tahta, mengganti nama Tarumanagara, menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa tersebut berakibat fatal. Wilayah timur Tarumanagara, dengan batas sungai Citarum, memerdekakan diri, menjadi Kerajaan Galuh, di bawah pemerintahan Sang Prabu Wretikandayun.<br />
<br />
Mengingat kejayaan Sang Purnawarman, tentu kerajaan bawahannya yang ada di wilayah Banten (Salakanagara, Ujung Kulon, Kosala, dan Rangkas), memegang peranan penting bagi Tarumanagara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Berita dari China</span></b><br />
<br />
Berita dari Cina, menyebutkan bahwa seorang pendeta yang bernama <b>Fa Hien</b> terdampar di pantai utara Pulau Jawa (414 M) ketika ia hendak kembali dari India ke Negeri asalnya di China. Dalam catatan perjalanan Fa Hien, ia menyebutkan bahwa di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat telah ditemukan masyarakat yang mendapat pengaruh Hindu India. Masyarakat yang ditemukan diperkirakan menjadi bagian masyarakat Kerajaan Tarumanegara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<ol>
<li>Dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi, Fa Hien menceritakan bahwa di Ye-po-ti (Jawadwipa) hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Budha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk <b>Jawadwipa</b>, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang sekarang terletak di taman purbakala Pugung Raharjo, meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yangg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa hien.</li>
<li>Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.</li>
<li>Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.</li>
</ol>
<br />
Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.<br />
<br />
Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Taruma.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Wilayah Kekuasaan Tarumanagara</span></b><br />
<br />
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159-162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html" target="_blank">Salakanagara</a> atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang) sampai ke Purbalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg_hCKlu5WbvfG_bBg5mwhGWeoZ-o36i13UWMXiD3Gh40gYHQy7lSAX5fp9BYYYWyYHcnBXTABEIq2dMOUKaHeFtQkphBJUarzm07Nn7XnRTnZTv5WaRNf6jV02VCUyxcZgXw2JL_E8QY/s1600/604px-Tarumanagara_id.svg.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Peta Wilayah Kekuasaan Tarumanagara" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg_hCKlu5WbvfG_bBg5mwhGWeoZ-o36i13UWMXiD3Gh40gYHQy7lSAX5fp9BYYYWyYHcnBXTABEIq2dMOUKaHeFtQkphBJUarzm07Nn7XnRTnZTv5WaRNf6jV02VCUyxcZgXw2JL_E8QY/s1600/604px-Tarumanagara_id.svg.png" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Wilayah Tarumanagara. Gambar: <a arial="" elvetica="" font-family:="" helvetica="" href="http://commons.wikimedia.org/wiki/User:Gunkarta" neue="" sans-serif="" target="_blank" title="User:Gunkarta">Gunawan Kartapranata</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Halwany Michrob, dalam buku Catatan Masa Lalu Banten, mengemukakan pendapatnya: Dengan ditemukannya Prasasti Munjul, yang terletak di tengah Sungai Cidanghiang, Lebak Munjul, Pandeglang, berita tentang Banten dapat lebih diperjelas lagi. Prasasti ini, yang diperkirakan berasal dari abad V, bertuliskan huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman. Ini berarti bahwa daerah kuasa Tarumanagara sampai juga ke Banten, dan diceritakan pula bahwa negara pada masa itu dalam kemakmuran dan kejayaan (Michrob,1993: 37).<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki6" name="6">[6]</a></sup><br />
<br />
Menurut Naskah Wangsakerta, pada saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan‑kerajaan yang menjadi bawahannya, adalah sebagai berikut: Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik (Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang), Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung, Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang (Tasikmalaya).<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kehidupan Politik</span></b><br />
<br />
Berdasarkan tulisan yang terdapat pada prasasti-prasasti, diketahui bahwa raja yang pernah memerintah di Kerajaan Tarumanegara hanyalah Raja Purnawarman. Bahkan, raja-raja yang memerintah sebelum Raja Purnawarman belum diketahui. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya bukti yang menjelaskan mengenai raja-raja yang memerintah selain Raja Purnawarman.<br />
<br />
Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyat Kerajaan Tarumanegara. Hal ini dapat dibuktikan dari Prasasti Tugu yang menyatakan Raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali satu saluran air. Penggalian saluran air ini sangat besar artinya, karena saluran air ini dapat mempermudah jalur air persawahan rakyatnya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki2" name="2">[2]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kehidupan Sosial </span></b><br />
<br />
Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara sudah teratur rapi, hal ini terlihat dari upaya raja Purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman juga sangat memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai tanda penghormatan kepada para dewa.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;"><b>Kehidupan Ekonomi</b></span><br />
<br />
Prasasti Tugu menyatakan bahwa raja Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membangun saluran air di Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau sekitar 12 km. Pembangunan terusan ini mempunyai arti ekonomis yang besar bagi masyarakat, Karena dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah banjir disaat musim penghujan. Selain itu juga digunakan sebagai irigasi pertanian serta sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan antardaerah di Kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar dan daerah-daerah di sekitarnya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kehidupan Budaya</span></b><br />
<br />
Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang ditemukan sebagai bukti kebesaran Kerajaan Tarumanegara, dapat diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu sudah tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti-prasasti tersebut menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan Tarumanegara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki5" name="5">[5]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Prasasti yang Ditemukan</span></b><br />
<br />
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak, Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html" target="_blank">Kerajaan Salakanagara</a>.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA2esDEq1jsjsmB5XFHd6BKBb_CWW3h8APfL5TZGHEkazfkdAfBERt8C7XTB3tHPXvh7cGZyo8E_2scCmn_NZUz4nEY1zsnTFH0A4NJygFcJRfk-IMNi0uyphNvD53stiB6i2rycksJeU/s1600/123c1-kerajaan2btarumanegara.gif" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Denah lokasi ditemukannya prasasti-prasasti Tarumanagara" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA2esDEq1jsjsmB5XFHd6BKBb_CWW3h8APfL5TZGHEkazfkdAfBERt8C7XTB3tHPXvh7cGZyo8E_2scCmn_NZUz4nEY1zsnTFH0A4NJygFcJRfk-IMNi0uyphNvD53stiB6i2rycksJeU/s1600/123c1-kerajaan2btarumanegara.gif" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Denah lokasi ditemukannya prasasti-prasasti Tarumanagara.<br />
Gambar: <a href="http://kelompokenam49.wordpress.com/2013/12/04/kerajaan-tarumanegara-by-rahmadanti/" target="_blank">http://kelompokenam49.wordpress.com</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?<br />
<br />
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html" target="_blank">Salakanagara (kota Perak)</a>, yang disebut <b><i>Argyre</i></b> oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 M menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).<br />
<br />
Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.<br />
<br />
Lahan tempat prasasti-prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.<br />
<br />
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.<br />
<br />
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b>1. Prasasti Ciaruteun</b><br />
<b><br />
</b> <br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZrPNDcJ4ENbalUB7xGebaPYX1pKKSEc7JsbhGgsHFezwPD3u-WtnhFPBX_SRL-Kh-0yzpofIscRuIlT2x58cokM-xsfO9j78CSjEUHj8OelCfekSDCQpDapTjgDD77j5GU-njZLUmAGI/s1600/800px-Prasasticiaruteun.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Prasasti Ciaruteun Tarumanagara" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZrPNDcJ4ENbalUB7xGebaPYX1pKKSEc7JsbhGgsHFezwPD3u-WtnhFPBX_SRL-Kh-0yzpofIscRuIlT2x58cokM-xsfO9j78CSjEUHj8OelCfekSDCQpDapTjgDD77j5GU-njZLUmAGI/s1600/800px-Prasasticiaruteun.jpg" height="221" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Salinan gambar prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda<br />
Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan<br />
Pajajaran with the Royal Center of Bogor.<br />
Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Prasasticiaruteun.jpg" target="_blank">http://id.wikipedia.org</a></td></tr>
</tbody></table>
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran sungai Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Pallawa, berbahasa Sanskerta. Isinya adalah puisi empat baris, dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh yang berbunyi:<br />
<br />
<i>vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam</i><br />
<br />
Terjemahannya menurut Vogel:<br />
<br />
<i>Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.</i><br />
<br />
Selain itu, ada pula gambar sepasang <i>padatala</i> (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan -- fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama <i>Rajamandala</i> (raja daerah) Pasir Muhara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<ol>
<li>Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).</li>
<li>Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.</li>
</ol>
<br />
<b>2. Prasasti Jambu atau Prasasti Pasir Koleangkak</b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkKjwWx8EAZ9EjMSmoEPwNggakZ_yyywPF-Tx_enzovKYA81VLvPuHQ4WBjDQiemDqOw9uOmlRV2keooNlS4ldvImNsmrSP6BhDCgFXqn4TOGnbJXcwbKE-uWUDLu-uwVROBOJ4RQSxjo/s1600/prasasti+jambu.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Prasasti Jambu Tarumanagara" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkKjwWx8EAZ9EjMSmoEPwNggakZ_yyywPF-Tx_enzovKYA81VLvPuHQ4WBjDQiemDqOw9uOmlRV2keooNlS4ldvImNsmrSP6BhDCgFXqn4TOGnbJXcwbKE-uWUDLu-uwVROBOJ4RQSxjo/s1600/prasasti+jambu.JPG" height="240" width="320" /></a></div>
Di daerah Bogor, ditemukan prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:<br />
<br />
<i>shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.</i><br />
<br />
Terjemahannya menurut Vogel:<br />
<br />
<i>Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.</i><sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b>3. Prasasti Kebon Kopi (Prasasti Telapak Gajah)</b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6Ij7HxliwntP_h9m8EMIAgQ85b9bAAKKib6B9zdrSP8Y_jV-Ac1FdZ2GhA_3itEQA1PzqAUMXfQuobARWdRG_DeWSDKbwcQvoZ0_IZNAXYAb0SwXb6VZ7LZ3v_8BlJ94gkDd4aZJ6M5o/s1600/prasastikebonkopi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Prasasti Telapak Gajah Tarumanagara" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6Ij7HxliwntP_h9m8EMIAgQ85b9bAAKKib6B9zdrSP8Y_jV-Ac1FdZ2GhA_3itEQA1PzqAUMXfQuobARWdRG_DeWSDKbwcQvoZ0_IZNAXYAb0SwXb6VZ7LZ3v_8BlJ94gkDd4aZJ6M5o/s1600/prasastikebonkopi.jpg" height="238" width="320" /></a></div>
Prasasti Kebon Kopi atau prasasati Tapak Gajah ditemukan di kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan telapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu,<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki3" name="3">[3]</a></sup> serta keterangan satu baris berbentuk puisi yang berbunyi.<br />
<br />
<i>jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam</i><br />
<br />
Terjemahannya:<br />
<br />
<i>Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.</i><br />
<br />
Menurut mitologi Hindu, <b>Airawata</b> adalah nama gajah tunggangan Batara Indra, dewa perang dan penguasa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.<br />
<br />
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai <i>huruf ikal</i> yang masih belum terpecahkan bacaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang <i>bhramara</i> (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah, harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup><br />
<br />
<b>4. Prasasti Muara Cianten</b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0Ck7R8RkgUrS1JeZNUPYxiqp66i5atf7PRMuoXO8cOdRysOTVDvFxoZmhBziugmRH1i5fL_I6MLNkg9zMBheZpgG30JueYGvid-lRChUZSq8Te0axOyPr9oaWq_7uIT6PY2ik0qnd3dQ/s1600/prasasti+muara+cianten.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Prasasti Muara Cianten Tarumanagara" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0Ck7R8RkgUrS1JeZNUPYxiqp66i5atf7PRMuoXO8cOdRysOTVDvFxoZmhBziugmRH1i5fL_I6MLNkg9zMBheZpgG30JueYGvid-lRChUZSq8Te0axOyPr9oaWq_7uIT6PY2ik0qnd3dQ/s1600/prasasti+muara+cianten.jpg" height="210" width="320" /></a></div>
<br />
Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Ciampea, Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>5. Prasasti Pasir Awi</b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7F5kE8h47NZfqdDQoyEwgiW5iVa_DhvVBE6hk4xlHyB5tGVQROMA_MEIF8bXETrv_nRhOIdFvCrg30Ex8Ec8qTbN1ONB4g6ma_qGSTfYDcIvX6Itww7qdJe__HI7D65hqPGPnA43cPyE/s1600/prasasti-pasir-awi2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Prasasti Pasir Awi Tarumanagara" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7F5kE8h47NZfqdDQoyEwgiW5iVa_DhvVBE6hk4xlHyB5tGVQROMA_MEIF8bXETrv_nRhOIdFvCrg30Ex8Ec8qTbN1ONB4g6ma_qGSTfYDcIvX6Itww7qdJe__HI7D65hqPGPnA43cPyE/s1600/prasasti-pasir-awi2.jpg" height="240" width="320" /></a></div>
<br />
Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang/Citeureup, Bogor, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki3" name="3">[3]</a></sup><br />
<br />
<b>6. Prasasti Cidanghiyang</b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxPW_rXZZ8wlu9VEygvYO1LdWbkH2bY59jboszv5LJMPJCNNaVrPZvhR5JHUjHa0EUModM9g4gqj-kjGXKbEnMuozw9umVFOCeoCzP00jDlu0rvZFFlATq0RLvtOYFsE1Wzj4wqBF-JJs/s1600/b0aea-prasasti-cidanghiyang.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Prasasti Cidanghiyang" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxPW_rXZZ8wlu9VEygvYO1LdWbkH2bY59jboszv5LJMPJCNNaVrPZvhR5JHUjHa0EUModM9g4gqj-kjGXKbEnMuozw9umVFOCeoCzP00jDlu0rvZFFlATq0RLvtOYFsE1Wzj4wqBF-JJs/s1600/b0aea-prasasti-cidanghiyang.gif" height="298" width="400" /></a></div>
<br />
Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, ditemukan di tepi aliran Sungai Cidanghiyang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan pada tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman.<br />
<br />
<b>7. Prasasti Tugu</b><br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiO1NqKlOjjdxa0TRcRWQSljKKlLrlkMtFPY4QQlI8HcITKCg_zmDkx_BfozQq85oUXwVYYsTEO8DSIhu3uYVma6xWHzYB95Hn6YBHlYr2OkaUpWEtkmXC0ZosIJwKJ4QyyiPEL8OZDqE/s1600/450px-Prasasti_tugu.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiO1NqKlOjjdxa0TRcRWQSljKKlLrlkMtFPY4QQlI8HcITKCg_zmDkx_BfozQq85oUXwVYYsTEO8DSIhu3uYVma6xWHzYB95Hn6YBHlYr2OkaUpWEtkmXC0ZosIJwKJ4QyyiPEL8OZDqE/s1600/450px-Prasasti_tugu.jpg" height="320" prasasti="" purnawarman="" tugu="" width="240" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Prasasti Tugu di Museum Nasional.<br />
Gambar: <a arial="" elvetica="" font-family:="" helvetica="" href="http://id.wikipedia.org/wiki/User:Bkusmono" neue="" sans-serif="" target="_blank" title="id:User:Bkusmono">Bkusmono</a> at <a arial="" elvetica="" font-family:="" helvetica="" href="http://id.wikipedia.org/" neue="" sans-serif="" target="_blank">id.wikipedia</a></td></tr>
</tbody></table>
Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut, antara lain:<br />
<br />
<ol>
<li>Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.</li>
<li>Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan Phalguna dan Caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April.</li>
<li>Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja Tarumanagara.</li>
</ol>
<br />
Pada prasasti-prasasti tersebut digunakan bahasa Sansekerta dan Pallawa. Namun, karena pada prasasti tidak ditemukan angka tahun, maka untuk menentukan tahun tulisan itu dilakukan perbandingan melalui huruf-huruf pada prasasti yang ditemukan di India. Dari perbandingan tersebut, diperkirakan prasasti itu ditulis pada abad ke-5 M.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Berakhirnya Masa Pemerintahan Tarumanagara</span></b><br />
<br />
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669 M, <b>Linggawarman</b>, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-bahari-sriwijaya.html" target="_blank">Sriwijaya</a>. Secara otomatis, takhta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.<br />
<br />
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena <b>Tarusbawa</b> pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Seperti yang dijelaskan pada sebuah prasasti (Prasasti Pasir Muara) yang ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan:<br />
<br />
<i>ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda</i><br />
<br />
Terjemahannya menurut Bosch:<br />
<br />
<i>Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan negara dikembalikan kepada raja Sunda.</i><br />
<br />
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat pada tahun 458 Saka atau 536 Masehi.<br />
<br />
Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya kerajaan Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari kerajaan Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Kerajaan Tarumanagara Pecah Menjadi Dua</span></b><br />
<br />
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.<br />
<br />
Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama <b>Mandiminyak</b>, menikah dengan <b>Parwati</b> puteri Maharani Shima dari <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kalingga.html" target="_blank">Kalingga</a>. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan kerajaan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki4" name="4">[4]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Raja-Raja Tarumanegara Menurut Naskah Wangsakerta</span></b><br />
<br />
<ol>
<li>Rajadirajaguru Jaya Singawarman tahun 358 - 382 M</li>
<li>Dhamayawarman tahun 382 - 395 M</li>
<li>Sri Purnawarman tahun 395 - 434 M</li>
<li>Wisnuwarman tahun 434 - 455 M</li>
<li>Indrawarman tahun 455 - 515 M</li>
<li>Candrawarman tahun 515 - 535 M</li>
<li>Suryawarman tahun 535 - 561 M</li>
<li>Kertawarman tahun 561 - 628 M</li>
<li>Sudhawarman tahun 628 - 639 M</li>
<li>Hariwangsawarman tahun 639 - 640 M</li>
<li>Nagajayawarman tahun 640 - 666 M</li>
<li>Sang Linggawarman tahun 666 - 669 M (Raja terakhir Trumanagara)</li>
<li>Tarusbawa tahun 669 - 670 M (menjadi raja di kerajaan Sunda)</li>
</ol>
<br />
<span style="color: #660000; font-size: large;">Kepurbakalaan Masa Tarumanagara</span><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZL_rGxEJn7HtefDBFWWhaipGBd-d_DjRo17MW7XVOFWvgRQA3j4L5__9xj9n-gLX6lgRjD_-mWnpGIufQfOFP0MEfZEPEGPkPirL3x0ECP4DVj9mE6ZKAhbxXHlcWcaWh1dgr7vVhfmY/s1600/Candi_Batujaya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Candi Batujaya Karawang" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZL_rGxEJn7HtefDBFWWhaipGBd-d_DjRo17MW7XVOFWvgRQA3j4L5__9xj9n-gLX6lgRjD_-mWnpGIufQfOFP0MEfZEPEGPkPirL3x0ECP4DVj9mE6ZKAhbxXHlcWcaWh1dgr7vVhfmY/s1600/Candi_Batujaya.jpg" height="265" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya, Karawang.<br />
Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Candi_Batujaya.jpg" target="_blank">http://id.wikipedia.org</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<ol>
<li>Kampung Muara, ditemukan aftefak berbentuk: Menhir (3), Batu dakon (2), Arca batu tidak berkepala, Struktur Batu kali, Kuburan (tua).<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span></li>
<li>Ciampea, ditemukan aftefak berbentuk: Arca gajah (batu) dalam kondisi rusak berat.</li>
<li>Gunung Cibodas, ditemukan aftefak berbentuk: Arca yang terbuat dari batu kapur, 3 arca duduk, arca raksasa, arca (?) Fragmen, Arca Dewa, Arca Dwarapala, Arca Brahma dalam keadaan duduk diatas angsa (Wahana Hamsa) dilengkapi padmasana, Arca (berdiri) Fragmen kaki dan lapik, (Kartikeya?), Arca singa (perunggu) yang sekarang simpan di Musium Nasional No. 771.</li>
<li>Tanjung Barat, ditemukan aftefak berbentuk: Arca Siwa (duduk) perunggu yang sekarang disimpan di Musium Nasional No. 514a.</li>
<li>Tanjungpriok, ditemukan aftefak berbentuk: Arca Durga-Kali Batu granit yang sekarang disimpan di Musium Nasional No. 296a.</li>
<li>Tidak diketahui, ditemukan aftefak berbentuk: Arca Rajaresi yang sekarang disimpan di Musium Nasional No. 6363.</li>
<li>Cilincing, ditemukan aftefak berbentuk: sejumlah besar pecahan (settlement pattern).</li>
<li>Buni, ditemukan aftefak berbentuk: perhiasan emas dalam periuk (settlement pattern), Tempayan, Beliung, Logam perunggu, Logam besi, Gelang kaca, Manik-manik batu dan kaca, Tulang belulang manusia, dan Sejumlah besar gerabah bentuk wadah.</li>
<li>Batujaya (Karawang), ditemukan aftefak berbentuk: Unur (hunyur) sruktur bata berbentu<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> P</span>ercandian, Segaran I, Segaran II, Segaran III, Segaran IV, Segaran V, Segaran VI, Talagajaya I, Talagajaya II, Talagajaya III, Talagajaya IV, Talagajaya V, Talagajaya VI, Talagajaya VII.<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span></li>
<li>Cibuaya, ditemukan aftefak berbentuk: Arca Wisnu I, Arca Wisnu II, Arca Wisnu III, Lmah Duwur Wadon yang berbentuk Candi I, Lmah Duwur Lanang yang berbentuk Candi II, Pipisan batu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#caki1" name="1">[1]</a></sup></li>
</ol>
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Garis waktu kerajaan-kerajaan di Jawa Barat/Banten</span></b><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixwYMGpDKkEII3tjyHsyDc8BYu4x2OARTUlGjzt5noAyuv58PtKCew-L5m_W5L_7D5Y47beva2cga0yTDd3AKcDIbInuBT33A-iYkLMQ3FPiOTq4DCIGAldGhsXQwxMFlTWLx0gE6Uaq8/s1600/Garis+waktu+kerajaan-kerajaan+di+Jawa+BaratBanten.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Garis Waktu Kerajaan di Jawa Barat" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixwYMGpDKkEII3tjyHsyDc8BYu4x2OARTUlGjzt5noAyuv58PtKCew-L5m_W5L_7D5Y47beva2cga0yTDd3AKcDIbInuBT33A-iYkLMQ3FPiOTq4DCIGAldGhsXQwxMFlTWLx0gE6Uaq8/s1600/Garis+waktu+kerajaan-kerajaan+di+Jawa+BaratBanten.png" height="137" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tarumanagara" target="_blank">id.wikipedia</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<br />
<div class="caki">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#1" name="caki1">[1]</a> <b>id.wikipedia.org</b> - <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tarumanagara" target="_blank">Tarumanagara </a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#2" name="caki2">[2]</a> <b>RangkumSejarah.blogspot.com</b> - <a href="http://rangkumsejarah.blogspot.com/2013/05/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Kerajaan Tarumanegara </a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#3" name="caki3">[3]</a> <b>feby27febbay.blogspot.com</b> - <a href="http://feby27febbay.blogspot.com/2012/01/prasasti-kerajaan-kutai-dan-kerajaan.html" target="_blank">Prasasti Kerajaan Kutai dan Kerajaan Tarumanagara</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#4" name="caki4">[4]</a> <b>Sasadaramk.blogspot.com</b> - <a href="http://sasadaramk.blogspot.com/2011/08/kerajaan-salakanagara.html" target="_blank">Kerajaan Salakanagara</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#5" name="caki5">[5]</a> <b>KelompokEnam<span style="color: orange;">4</span><span style="color: lime;">9</span>.wordpress.com</b> - <a href="http://kelompokenam49.wordpress.com/2013/12/04/kerajaan-tarumanegara-by-rahmadanti/" target="_blank">Kerajaan Tarumanegara by Rahmadanti</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html#6" name="caki6">[6]</a> <b>Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda</b></div>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-13312053857236865382014-04-14T13:11:00.001+07:002014-04-15T20:33:31.305+07:00Kerajaan Salakanagara<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4UuLRxBMQNzREX4b7FCtcAnB4vfTVWby2lb47loCCpk-Etpd5X-fZPHQxv8VFY0Tu-yWPDuuu2fF485YPUVYkqbgk4GsL_NW_yge79GTOLm6eVKUGbliY1dJ5odTUmPvRRjQeEDOPRoI/s1600/Salakanagara.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;" target="_blank"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4UuLRxBMQNzREX4b7FCtcAnB4vfTVWby2lb47loCCpk-Etpd5X-fZPHQxv8VFY0Tu-yWPDuuu2fF485YPUVYkqbgk4GsL_NW_yge79GTOLm6eVKUGbliY1dJ5odTUmPvRRjQeEDOPRoI/s1600/Salakanagara.jpg" height="150" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-family: inherit;">Salakanagara</span></td></tr>
</tbody></table>
<b>Salakanagara</b>, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.<br />
<br />
Tentang kerajaan pertama di kawasan Jawa Barat boleh dikatakan bahwa keberadaanya “Timbul-tenggelam” dalam pandangan para ahli sejarah. Bermula dari berita China dari jaman dinasti Han yang memberitakan bahwa “Raja Yeh-Tiao bernama Tiao-pien mengirimkan utusan ke China dalam tahun 132 M”. Pulau Jawa khususnya Jawa Barat mulai memasuki lingkaran sejarah abad kedua Masehi. Ye-Tiao diduga sama dengan Jawadwipa atau Yabadiu, dan nama Tiao-Pien diduga sama dengan Dewawarman.<br />
<a name='more'></a><br />
Sasaran mengarah ke Jawa Barat karena berita itu dihubungkan pula dengan tulisan seorang ahli Ilmu Bumi Mesir bernama <b>Claudius Ptolomeus</b> dalam bukunya <i>Geographia</i> yang ditulis kira-kira tahun 150 M. Berdasarkan berita yang disadapnya dari saudagar-saudagar Arab yang biasa berdagang ke India, ia memberitahukan bahwa di dunia timur terdapat Iabadiou yang subur dan banyak menghasilkan emas. Di ujung barat Iabadiou terletak kota Argyre. Iabadiou dapat dicapai setelah melalui 5 pulau Barousai dan 3 pulau Sabadibai.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhy1GNDGmpbVDuAZeHF-8tyK6Ej3bY0HASgIoPmtl5zn4GFJKi147dpxVq-Ug0d0A8hl3Yr18gQWBHgHGG5NPKpsdmjvSDAYHxWTOwznB5j6rrGy5uOvKmKrLPImzcULMQM6CDiSgDsvjg/s1600/640px-ptolemyworldmap.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" target="_blank"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhy1GNDGmpbVDuAZeHF-8tyK6Ej3bY0HASgIoPmtl5zn4GFJKi147dpxVq-Ug0d0A8hl3Yr18gQWBHgHGG5NPKpsdmjvSDAYHxWTOwznB5j6rrGy5uOvKmKrLPImzcULMQM6CDiSgDsvjg/s1600/640px-ptolemyworldmap.jpg" height="270" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #545454; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M,</span></span><span style="background-color: white; color: #545454; font-size: xx-small; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;"> berdasarkan</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #545454; font-size: xx-small; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;">tulisan geograf Starbo (27 – 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). </span><span style="background-color: white; color: #545454; font-size: xx-small; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;">Dalam peta ini </span></span><br />
<span style="background-color: white; color: #545454; font-size: xx-small; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;">digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Ujung Utara </span></span><br />
<span style="background-color: white; color: #545454; font-size: xx-small; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;">Sumatra, kemudian menyusuri Pantai Barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus </span></span><br />
<span style="background-color: white; color: #545454; font-size: xx-small; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;">melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38). </span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #545454; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Sumber gambar: </span></span><span style="color: #545454; font-size: xx-small;"><span style="line-height: 17.02400016784668px;"><a href="http://mozaikminang.wordpress.com/2011/11/16/kerajaan-koying-antara-kerinci-dan-jalur-perdagangan-selat-sunda/" target="_blank">http://mozaikminang.wordpress.com/</a></span></span></span></td></tr>
</tbody></table>
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Keturunan India</span></b><br />
<br />
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta bangsawan dari Calankayana, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, keturunan keluarga Sungga setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#caki1" name="A">[a]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Sejarah Awal</span></b><br />
<br />
Pasundan (Jawa Barat, Banten dan DKI sekarang) dari tahun 1 sampai dengan 129 M, mungkin belum terdapat kerajaan, yang ada hanyalah satuan kelompok masyarakat yang dipimpin oleh seorang "datu" (kepala masyarakat/penghulu) dan para pembantunya. Pemimpin tersebut merupakan seorang publik figur yang memiliki banyak kelebihan (berilmu dan perkasa), dapat melindungi dan mengayomi, sangat berpengaruh dan kharismatik. Pemimpin pada masa itu mempunyai kekuasaan mutlak selaku pemerintah/penguasa, pemuka agama, pemuka adat dan penentu keadilan/hakim. Keberadaanya ada yang diangkat berdasarkan Musyawarah (Musyawarah untuk mufakat telah ada pada masa itu), karena kelebihanya, atau menjadi pemimpin karena keberhasilanya menaklukan pemimpin satuan/kelompok masyarakat terdahulu.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#caki2" name="B">[b]</a></sup><br />
<br />
Salahsatu wilayah pemukiman masyarakat yang terbesar di Pasundan pada waktu itu adalah Teluk Lada di Pandeglang, Banten, yang merupakan pelabuhan alam yang banyak dikunjungi oleh pendatang dari pulau-pulau lain, seperti pendatang dari Bugis, Maluku, Lampung, Tumasik, Penang/Malaya, dan India.<br />
<br />
Perdagangan di Teluk Lada berupa hasil laut, bumi, hutan, ternak dan ikan darat. Hasil bumi dengan komoditas utama lada, ditanam penduduk di pedalaman Teluk Lada. Hasil pertambangan seperti besi, tembaga, emas dan perak yang dikelola secara tradisional, jarang diperjualbelikan (timbal balik) oleh penduduk kepada pihak luar. Hasil pertambangan itu dipakai sendiri untuk bahan pembuatan alat-alat pertanian, alat keperluan sehari-hari, senjata dan perhiasan.<br />
<br />
Berlangsungnya perdagangan dengan pihak luar disebabkan karena adanya kebutuhan penduduk pada kain (dari India), keramik China dari para pedagang Tumasik dan Penang, dan barang-barang lainya yang belum dapat dibuat oleh para penduduk Teluk Lada. Pemimpin di Teluk Lada saat itu adalah <b>Datu Tirem</b>, yang pada mulanya merupakan seorang pendatang dari Sumatera/Melayu, kemudian menjadi pemimpin masyarakat pada kelompok itu, dan beristrikan wanita pribumi Teluk Lada.<br />
<br />
Sekitar tahun 128 M, datanglah rombongan bangsawan dari India yang dipimpin <b>Dewawarman</b>, kerabat keraton kerajaan Calankayana di India, ia mengemban misi dari rajanya untuk mencari <i>vazal</i> (daerah pengaruh) Calankayana di luar India, dalam rombongan itu dibawa pula para pendeta untuk menyebarkan agama Hindu.<br />
<br />
Keberadaan Dewawarman di Teluk Lada membawa manfaat sangat besar bagi Datu Tirem dan para penduduknya, sosok pangeran itu menarik hati Datu Tirem dan rakyatnya, disamping itu ia berhasil pula mengatasi kesulitan yang dialami para penduduk Teluk Lada, diantaranya mengusir kelompok bajak laut yang selalu mengganas di Selat Sunda, yang menjadi gangguan keamanan bagi para pedagang dan membantu memperbaiki sistem pemerintahan, pertanian, pertambangan dan perdagangan. Para pendeta yang dibawanya dari India menyebarkan agama Hindu kepada penduduk setempat sehingga agama Hindu mulai dianut oleh para penduduk Teluk Lada dan mempengaruhi pola budayanya. Dengan adanya Dewawarman dan para pengikutnya, kemakmuran penduduk Teluk Lada meningkat dengan pesat.<br />
<br />
Dewawarman pun akhirnya menikah dengan putri Aki Luhur Mulya (nama lain Aki Tirem) yang bernama <b>Dewi Pwahaci Larasati</b>. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.<br />
<br />
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Selanjutnya pada tahun 130 M, ia kemudian mendirikan kerajaan <b><i>Salakanagara (Negeri Perak)</i></b> dengan gelar <b><i>Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara</i></b>, dan istrinya menjadi permaisuri dengan gelar Dewi Dwani Rahayu.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Sepak Terjang Kerajaan Salakanagara</span></b><br />
<br />
Dengan inti pasukan yang dibawa dari Calankayana, ditambah dukungan dari penduduk setempat, Dewawarman membentuk balatentara Salakanagara, dan menyatukan satuan-satuan kecil penduduk sampai ke pedalaman-pedalaman di utara, selatan dan timur Salakanagara sekaligus memperluas wilayahnya. Sehingga pada masa pemerintahannya, wilayah kerajaan Salakanagara membentang dari pantai selat Sunda, pantai selatan (Kabupaten Lebak sampai Cianjur sekarang), pantai utara Jawadwipa (sampai tepi barat sungai Citarum), sekaligus dengan pedalamanya.<br />
<br />
Laut di antara pulau Jawa dengan Sumatera (selat Sunda) masuk pula ke dalam wilayahnya. Oleh karena itu daerah sepanjang pantainya dijaga oleh pasukan Dewawarman. Perahu yang berlayar dari timur ke barat dan sebaliknya harus berhenti dan membayar upeti kepada sang Prabu. Pelabuhan-pelabuhan di pesisir Jawa Barat, Nusa Mandala (P. Sangiang), Kerajaan <b><i>Agnynusa</i></b> (Nusa Api) yang berada di Pulau Krakatau dan pesisir Sumatera selatan juga dijaga oleh Dewawarman.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid-0ts318mW_yHvPm-zR8S5m9CxQZyZzjAwWBAYBb2ifd1sewEi-adQtqfMFFN75ObQu1v6uuZ9nzaF1orKFIj_Gp6v7k8mM_BomWMZqndJtLZ4M0ztj8Gy-PIele5s6wvInHLhxVkKyA/s1600/map-ujung-kulon-krakatau.gif" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" target="_blank"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid-0ts318mW_yHvPm-zR8S5m9CxQZyZzjAwWBAYBb2ifd1sewEi-adQtqfMFFN75ObQu1v6uuZ9nzaF1orKFIj_Gp6v7k8mM_BomWMZqndJtLZ4M0ztj8Gy-PIele5s6wvInHLhxVkKyA/s1600/map-ujung-kulon-krakatau.gif" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: xx-small;"><span style="background-color: white; color: #545454; font-family: inherit; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;">Peta perluasan wilayah (lokasi) kekuasaan kerajaan Salakanagara. Pada saat kerajaan Salakanagara</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: xx-small;"><span style="background-color: white; color: #545454; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;">berkuasa </span></span><span style="background-color: white; color: #545454; font-size: xx-small; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;">Gunung Krakatau belum meletus, sehingga tampak lebih besar dari sekarang. </span></span><br />
<span style="font-family: inherit; font-size: xx-small;"><span style="background-color: white; color: #545454; line-height: 17.02400016784668px; text-align: justify;">Sumber gambar: </span><a href="http://mozaikminang.wordpress.com/2011/11/16/kerajaan-koying-antara-kerinci-dan-jalur-perdagangan-selat-sunda/" style="font-size: x-small; line-height: 17.02400016784668px;" target="_blank">http://mozaikminang.wordpress.com/</a></span></td></tr>
</tbody></table>
Perluasan itu dimungkinkan, karena kuatnya balatentara Salakanagara. "Purasaba" (Ibukota) Salakanagara dibangun di Teluk Lada dan dinamainya "<b><i>Rajatapura</i></b>" (tempat/kota kedudukan raja) sebagai pusat pemerintahanya.<br />
<br />
Untuk melancarkan roda pemerintahanya dibentuklah <i>mandala-mandala</i> (daerah-daerah) bawahan/kerajaan mandala, yaitu kerajaan mandala Ujung Kulon di bawah pemerintahannya Raja Bahadura Harigana Jaya Sakti adik pangeran Dewawarman (yang meliputi wilayah Lebak sekarang). Purasaba kerajaan Ujung Kulon kemungkinan berelokasi di sekitar Teluk Penanjung yang memanfaatkan teluk itu untuk prasarana transportasi, komunikasi dan perdagangan sebagai pelabuhan alam karena kurang dan sulitnya jalan darat.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#caki2" name="B">[b]</a></sup><br />
<br />
Kerajaan Mandala lainya adalah Tanjung Kidul, dengan rajanya Sweta Liman Sakti adik Dewawarman. Tanjung Kidul meliputi wilayah pesisir dari pedalaman Sukabumi sampai dengan Cianjur sekarang. Purasaba negara Tanjung Kidul adalah Agrabintapura yang terletak di sekitar gunung Bengbreng daerah antara sungai Citarik dan pantai Cidaun. Pelabuhan-pelabuhan alam membawa manfaat yang besar bagi Tanjung Kidul, yaitu demi kelancaran kegiatan perdagangan, tranportasi dan komunikasi dengan pihak luar melalui jalur laut. Pada masa kerajaan Tanjung Kidul, selain hasil laut, telah dikenal pula tanam padi ladang/tadah hujan yang teratur, dengan memanfaatkan lahan-lahan subur di pedalaman yang sekarang disebut Cianjur dan Sukabumi. Penanaman palawija dan perternakan seperti kerbau, sapi, kuda, ayam dan itik berkembang pula dengan pusat, sejalan dengan luasnya lahan pertanian/ladang serta adanya hasil hutan (kayu, damar, kemenyan dan rotan).<br />
<br />
Adapun Salakanagara pendapatanya dari hasil laut, penanaman lada, peternakan, hasil hutan dan pertambangan besi, tembaga, mas dan perak. Dengan adanya aneka ragam pendapatan tersebut, penguasa Salakanagara dapat memberikan kemakmuran bagi rakyatnya.<br />
<br />
Seperti yang diutarakan dimuka, bahwa Pangeran Dewawarman dan rombonganya mencari <i>vazal</i> bagi kerajaan asalnya, dengan demikian Salakanagara berada di bawah pengaruh Calankayana di India. Sebagai Vazal, Salakanagara memberikan upeti tahunan kepada Calankayana dan kerajaan induk itu mengirimkan kain sutra, permadani, senjata dan kapal laut. Selain dari pada itu, dikirimkan pula para pendeta Hindu ke Salakanagara untuk mendidik masyarakat dalam memahami ajaran agama Hindu, sehingga seterusnya agama Hindu menjadi agama mayoritas penduduk Salakanagara menggantikan kepercayaan semula.<br />
<br />
Pada tahun 150 M, seorang pengembara yaitu Ptolemeus tiba di Salakanagara bersama dengan rombonganya pedagang dari India menetap di purasaba Rajatapura. Ptolemeus sangat mengagumi Salakanagara yang disebutnya <b><i>Argyre</i></b> (kota perak).<br />
<br />
Keberhasilanya Dewawarman dan permaisurnya dalam membesarkan Salakanagara dan membawa rakyat Salakanagara pada kemakmuran dan kesejahteraan, membuat pasangan penguasa tersebut sangat dihormati rakyatnya, dan dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu (Dewa penjaga dan pelindung manusia), dan permaisurinya dianggap sebagai jelmaan Dewi Sri (istri Dewa Wisnu), Dewa wanita pelindung tanaman, ternak dan kesuburan.<br />
<br />
<b>Rajatapura</b> adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 M menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun, yaitu dari tahun 52 sampai tahun 90 Saka (130-168 M) dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 M, karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Cikal Bakal Tarumanegara</span></b><br />
<br />
Salakanagara berlangsung dari tahun 130 sampai tahun 358 M, di bawah pemerintahan Dewawarman I sampai VIII. Adapun raja terakhir, yaitu Dewawarman VIII tidak mempunyai anak laki-laki, hanya memiliki anak perempuan saja, sehingga tidak memiliki putra mahkota (penerus tahta). Pada masa pemerintahan Dewawarman VIII, datanglah seorang maharesi muda dari Calankayana di India, yang memberitahukan pada Dewawarman VIII bahwa Calankayana telah ditaklukan oleh kerajaan Magada di bawah pemerintahan Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya. Pada masa itu, politik ekspansi maharaja Samudragupta berhasil menaklukan hampir seluruh kerajaan di India. Untuk Seterusnya Maharesi muda bernama <b>Jayasingawarman</b> itu tinggal di purasaba Rajatapura dan akhirnya menikah dengan putri Dewawarman VIII. Karena kecakapan dan keperwiraanya, Jayasingawarman diangkat sebagai penerus tahta Salakanagara.<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#caki2" name="B">[b]</a></sup><br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b>Menurut <a href="http://www.jatland.com/home/Samudragupta" target="_blank">Prasasti Allahabad</a>, diceritakan bahwa Raja <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Samudragupta" target="_blank">Samudragupta</a> telah mengalahkan Raja Hastiwarman dari keluarga Salankayana dan mengalahkan Raja Wisnugopa dari keluarga Pallawa. Pada tahun 270 Saka (348 Masehi) seorang Maharsi dari keluarga Salankayana yang bernama Jayasingawarman hijrah ke pulau-pulau sebelah selatan India bersama para pengikutnya yang terdiri dari pengiring, tentara dan penduduk yang melarikan diri dari musuhnya Samudragupta.</b><sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#caki4" name="D">[d]</a></sup></blockquote>
<br />
Sementara itu, Maharaja Samudragupta makin meluaskan wilayah Magada hingga keluar India. Diantaranya mencari daerah jajahan Calankayana atau daerah pengaruhnya (vassal). Untuk menghindari adanya penyerbuan Magada mengingat sangat kuatnya balatentara kerajaan itu, Dewawarman VIII memerintahkan kepada menantunya untuk mendirikan pusat pemerintahan baru (di daerah kecamatan Tarumajaya, Muaragembong, Sukawangi dan Cabangbungin kabupaten Bekasi sekarang), usaha Jayasingawarman berhasil, kemudian Dewawarman VIII menyerahkan tahtanya pada Jayasingawarman. Seterusnya Salakanagara berganti nama menjadi <b><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanagara</a></b> (358 M).<br />
<br />
Di kemudian hari setelah Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.<br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Perputaran Roda Pemerintahan di Salakanagara</span></b><br />
<br />
Kisah keturunan Dewawarman sebagai raja-raja Salakanagara dapat diungkap di antaranya dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1 dan parwa III sarga I. Juga dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa-dwipa parwa I sarga 1 dan Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 1 dan tersebar dalam beberapa sarga lain dalam bentuk urutan raja-raja di Jawa Barat.<br />
<br />
Ringkasan selanjutnya dari kerajaan Salakanagara adalah sebagai berikut: <sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#caki3" name="C">[c]</a></sup><br />
<br />
Dari perkawinannya dengan Pwahaci Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak laki-lakinya yang tertua, yang bernama <b><i>Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra</i></b> menggantikan kedudukannya sebagai raja (Dewawarman II) yang memerintah dari tahun 90-117 Saka (168-195 M). Ia menikah dengan puteri keluarga raja Singala (Sri Langka).<br />
<br />
Dari perkawinan ini lahir seorang putera yang kemudian menjadi Dewawarman III dengan gelar <b><i>Prabu Singasagara Bimayasawirya</i></b>. la menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117 sampai 160 Saka (195-238 M). Dalam masa pemerintahannya terjadi serangan bajak laut dari negeri China yang dapat dihadapi dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan huhunean (painitran) dengan maharaja China dan raja-raja India.<br />
<br />
Permaisuri raja Dewawarman III berasal dari Jawa Tengah. Puteri tertua yang lahir dari perkawinan ini bernama <b><i>Tirta Lengkara</i></b>, yang menikah dengan raja Ujung Kulon bernama Darma Satya-nagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV yang memerintah dari tahun 160 sampai 174 Saka (238-252 M).<br />
<br />
Dari perkawinan ini lahir puteri sulung bernama <b><i>Mahisasuramardini Warmandewi</i></b>. Bersama suaminya yang bernama Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174-198 Saka). Ketika Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut) gugur sewaktu berperang menghadapi bajak laut. Walau pun gerombolan bajak laut itu dapat ditumpas, Dewawarman V gugur karena serangan panah dari belakang. Sang rani Mahisasuramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211 Saka (289 M).<br />
<br />
Penguasa Salakanagara berikutnya adalah <b><i>Ganayanadewa Linggabumi</i></b>, putera sulung Dewawarman V atau sang Mokteng Samudra (yang mendiang di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun dari tahun 211 sampai 230 Saka (289-308 M). Dari perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai beberapa putera dan puteri.<br />
<br />
Putera sulungnya yang kemudian menjadi raja Dewawarman VII memerintah Salakanagara pada tahun 230 sampai 262 Saka (308-340 M) bergelar <b><i>Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati</i></b>. Sedangkan anaknya yang kedua seorang puteri bernama Salaka Kancana Warmandewi yang menikah dengan menteri kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian timur. Puteri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang keempat laki-laki, bernama Ghopala Jayengrana. Ia menjadi seorang menteri kerajaan Calankayana di India.<br />
<br />
Yang kelima seorang puteri bernama Sri Gandari Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan Pallawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skandamuka Dewawarman Jayasatru yang menjadi senapati Salakanagara.<br />
<br />
Puteri sulung Dewawarman VII bernama Spatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Salakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura karena pertalian kerabat permaisurinya. Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan) yang bernama Atwangga putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Magada yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari perkawinan puteri ini dengan Atwangga lahirlah <b>Kudungga</b> yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kutai-martadipura.html" target="_blank">Bakulapura</a>.<br />
<br />
Ketika Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah di Rajatapura Senapati Krodamaruta dari Calankayana bersama beberapa ratus orang anggota pasukannya bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Senapati Gopala Jayengrana yaitu putera Dewawarman VI yang keempat yang menjadi menteri di kerajaan Calankayana. Krodamaruta langsung merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian tahta ia merajakan diri menjadi penguasa Salakanagara.<br />
<br />
Ahli waris tahta yang sah adalah <b><i>Spatikarnawa Warmandewi</i></b> puteri sulung Dewawarman VII. la belum bersuami. Karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekali pun ia masih cucu Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya. Akan tetapi Krodamaruta tidak lama berkuasa karena ia tewas tertimpa batu besar ketika berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi penguasa Salakanagara.<br />
<br />
Kemudian Spatikarnawa Warmandewi dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara menggantikan ayahnya tahun 262 Saka (340 M). Dalam tahun 270 Saka sang rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. Ia bersuamikan panglima angkatan laut (senapati sarwajala) kerajaan Pallawa, India. Lengkaradewi beserta suami dan puteranya datang di Rajatapura dalam tahun 268 Saka (346 M) sebagai pengungsi karena negaranya telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya.<br />
<br />
Setelah pernikahannya, rani Spatikarnawa Warmandewi memerintah bersama-sama suaminya yang sebagai Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya Dewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285 Saka (348-363 M).<br />
<br />
Dalam masa pemerintahan Dewawarman VIII kehidupan penduduk makmur-sentosa. Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara penduduk ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesa dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesa atau Ganapati.<br />
<br />
Mata pencaharian penduduk Salakanagara ialah berburu di hutan, berniaga, menangkap ikan di laut dan sungai, beternak, bertanam buah-buahan, bertani dan sebagainya.<br />
<br />
Sang raja membuat candi dan patung Siwa Mahadewa dengan hiasan bulan-sabit pada kepalanya (mardhacandra kapala) dan patung Ganesha (Ghayanadawa). Juga patung Wisnu untuk para pemujanya. Penduduk selalu berharap agar hidup mereka sejahtera, jauh dari kesusahan dan mara bahaya.<br />
<br />
Dewawarman VIII mempunyai putera-puteri beberapa orang. Yang sulung seorang puteri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Puteri yang amat cantik ini kelak diperisteri oleh Maharesi Jayasingawarman Gurudarmapurusa atau Rajadirajaguru, raja <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanagara</a> pertama.<br />
<br />
Yang kedua seorang putera bernama <b>Aswawarman</b>. Ia diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga, penguasa <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-kutai-martadipura.html" target="_blank">Bakulapura</a>. Kemudian dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga.<br />
<br />
Yang ketiga seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi Santanu, raja Indraprahasta yang pertama. Putera Sang Dewawarman VIII yang lainnya tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara keturunannya kelak adalah Sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain tinggal di Yawana dan Semananjung.<br />
<br />
Puteranya yang bungsu menjadi putera mahkota. Kelak setelah ayahandanya wafat ia yang menggantikannya menjadi penguasa Salakanagara. Akan tetapi ia menjadi bawahan raja Tarumanagara karena kerajaan ini telah menjadi besar dan kuat. Demikian pula Sang Aswawarman menjadi raja yang besar kekuasaannya di Bakulapura.<br />
<br />
Permaisuri Dewawarman VIII ada dua orang. Permaisuri yang pertama ialah rani Spatikarnawa Warmandewi yang menurunkan raja-raja di Jawa Barat dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua bernama Candralocana puteri seorang brahmana dari Calankayana di India. la menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semananjung dan Jawa Tengah.<br />
<br />
Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi penguasa di Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas selama 233 tahun (130-362 M). Dewawarman VIII dianggap sebagai raja Salakanagara terakhir sebab puteranya, Dewawarman IX, sudah menjadi raja bawahan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanagara</a>.<br />
<br />
Sumber: Rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat - Kerta Mukti Gapuraning Rahayu. <sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#caki3" name="C">[c]</a></sup><br />
<br />
<b><span style="color: #660000; font-size: large;">Urutan Raja Salakanagara</span></b><br />
<br />
Daftar nama-nama raja yang pernah memerintah Kerajaan Salakanagara:<sup><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#caki1" name="A">[a]</a></sup><br />
<br />
<ol>
<li>130-168 M: Dewawarman I, nama julukan Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara ~ Bangsawan asal Bharata (India).</li>
<li>168-195 M: Dewawarman II, nama julukan Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra ~ Putera tertua Dewawarman I.</li>
<li>195-238 M: Dewawarman III, nama julukan Prabu Singasagara Bimayasawirya ~ Putera Dewawarman II.</li>
<li>238-252 M: Dewawarman IV, nama julukan Prabu Darmasatyanagara Dewawarman ~ Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon.</li>
<li>252-276 M: Dewawarman V, nama julukan Prabu Darmasatyajaya Dewawarman ~ Menantu Dewawarman IV.</li>
<li>276-289 M: Mahisa Suramardini Warmandewi ~ Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur ketika melawan bajak laut.</li>
<li>289-308 M: Dewawarman VI, nama julukan Prabu Ganayanadewa linggabumi Dewawarman ~ Putera tertua Dewawarman V.</li>
<li>308-340 M: Dewawarman VII, nama julukan Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati Dewawarman ~ Putera tertua Dewawarman VI.</li>
<li>340-348 M: Sphatikarnawa Warmandewi ~ Puteri sulung Dewawarman VII.</li>
<li>348-362 M: Dewawarman VIII, nama julukan Prabu Darmawirya Dewawarman ~ Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara.</li>
<li>Mulai 362 M: Dewawarman IX (putera bungsu Dewawarman VIII) ~ Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan <a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-tarumanegara.html" target="_blank">Tarumanagara</a>.</li>
</ol>
<br />
<b>Referensi:</b><br />
<b><br />
</b> <br />
<div class="caki">
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#A" name="caki1">[a]</a> <b>Wikipedia ID</b>: <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Salakanagara" target="_blank">Kerajaan Salakanagara</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#B" name="caki2">[b]</a> <b>Sunda Nusamulya</b>: <a href="http://sunda-nusamulya.blogspot.com/2013/01/kerajaan-salakanagara.html" target="_blank">Kerajaan Salakanagara</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#C" name="caki3">[c]</a> <b>Sasadara Manjer Kawuryan</b>: <a href="http://sasadaramk.blogspot.com/2011/08/kerajaan-salakanagara.html" target="_blank">Kerajaan Salakanagara</a><br />
<a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/2014/04/kerajaan-salakanagara.html#D" name="caki4">[d]</a> <b>Paco Paco</b>: <a href="http://mozaikminang.wordpress.com/2011/11/16/kerajaan-koying-antara-kerinci-dan-jalur-perdagangan-selat-sunda/" target="_blank">Kerajaan Koying antara Kerinci dan Jalur Perdagangan Selat Sunda</a></div>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-40401948226495432272014-04-10T17:25:00.000+07:002014-04-14T08:57:32.115+07:00Kerajaan Kutai Martadipura<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTBxzaO0nux1NmlQWItFICXWNVHEq8OLa04eeELiSoEkFzF3SB3Z2jfd3NGRxtL8LKyfaKflpUboacRS0Isi8vkSmDNb4e2DNs3JoB0ky6frZQ6xqQfkHhA4oakjG2x-9lcFUE97QJiIE/s1600/Kutai+Martadipura.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTBxzaO0nux1NmlQWItFICXWNVHEq8OLa04eeELiSoEkFzF3SB3Z2jfd3NGRxtL8LKyfaKflpUboacRS0Isi8vkSmDNb4e2DNs3JoB0ky6frZQ6xqQfkHhA4oakjG2x-9lcFUE97QJiIE/s1600/Kutai+Martadipura.png" height="200" width="187" /></a></div>
<b>Kutai Martadipura (Martapura)</b> adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4 Masehi dan terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam dekat kota Tenggarong. Bukti sejarah tentang kerajaan Kutai adalah ditemukannya tujuh prasasti yang berbentuk yupa (tiang batu bertulis untuk peringatan upacara kurban), tulisan yupa itu menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut.<br />
<a name='more'></a><br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Sejarah Awal Berdiri</span></b></h3>
<br />
Kisahnya berawal dari Sang Kudungga putera Sang Atwangga putera Sang Mitrongga. Keluarga itu telah beberapa puluh keturunan berada di di Ratnadwiva (Kalimantan) dan menjadi penguasa. Beberapa ratus tahun sebelumnya keluarga itu datang dari India pangkat sisilah mereka dimulai dari Sang Pusyamitra yang menurunkan wangsa Sungga di Magada. Ketika wangsa Sungga dikalahkan dan dikuasai oleh wangsa Kusan (Kucanawamsa), banyak di antara anggota keluarga ini, laki-laki dan perempuan, yang mengungsi ke berbagai negara. Salah seorang anggota keluarga Sungga bersama keluarga dan pengiringnya tiba di salah satu pulau di Nusantara. Mereka mendirikan desa yang diberi nama Kutai. Setelah berkembang menjadi kerajaan kecil lalu diubah namanya menjadi Bakulapura. Bakula yang berarti pohon tanjung, sedangkan pura memiliki arti kota.<br />
<br />
Puteri Sang Kudungga yang bernama Dewi Gari Gelar Maharatu Sri Gari diperisteri oleh Sang Aswawarman, putera kedua dari Prabu Darmawirya Dewawarman dengan Rani Spatikarnawa Warmandewi (Raja Salakanagara). Kakak perempuan Sang Dewawarman yang bernama Dewi Minawati alias Iswari Tunggal Pertiwi, menjadi permaisuri Jayasingawarman Rajadirajaguru, raja Tarumanagara pertama. Prabu Darmawirya alias Dewawarman VIII talah lama bersahabat dengan penguasa Bakulapura sebab Sang Kudungga adalah saudara sepupu permaisurinya dari pihak ibu. Karena itulah Aswawarman diangkat anak oleh Sang Kudungga dan sejak kecil tinggal di Bakulapura.<br />
<br />
Jadi,Aswawarman dengan isterinya masih saudara satu-buyut. Setelah Sang Kudungga wafat, Aswawarman menggantikannya sebagai penguasa Bakulapura. Dalam masa pemerintahannya Bakulapura menjadi kerajaan besar dan kuat sehingga dialah yang dianggap sebagai pendiri dinasti (wamcakerta).<br />
<br />
Aswawarman memiliki tiga orang putera. Yang sulung bernama Mulawarman yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura. Di bawah pemerintahannya Bakulapura menjadi makin kuat dan besar. Ia adalah raja yang sangat berwibawa dan membawahkan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.<br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Yupa</span></b></h3>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEJJlLFmf9nj5QeLo6VmLLBrPEqybwhGB9GnM_l7hEi9qDPmA30ncr66aJIQ6kQuHYkpdzhVZ0-tApP-xejuqTxHAKHw9l_Ealkn0TXpRrqVV2D_bHgDMPDVnttEmsXK1IPt51WIAqcPo/s1600/Yupa+(Tugu+Batu)+Kutai+Martadipura.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEJJlLFmf9nj5QeLo6VmLLBrPEqybwhGB9GnM_l7hEi9qDPmA30ncr66aJIQ6kQuHYkpdzhVZ0-tApP-xejuqTxHAKHw9l_Ealkn0TXpRrqVV2D_bHgDMPDVnttEmsXK1IPt51WIAqcPo/s1600/Yupa+(Tugu+Batu)+Kutai+Martadipura.jpg" height="320" width="314" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: small; text-align: start;">Salah satu yupa dengan inskripsi, <br />
kini di Museum Nasional Republik Indonesia, <br />
Jakarta.</span></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Informasi yang ada, diperoleh dari Yupa atau prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Dalam agama Hindu sapi tidak disembelih seperti kurban yang dilakukan umat Islam. Dapat diketahui bahwa menurut Buku Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang diterbitkan oleh Balai Pustaka halaman 36, transliterasi prasasti diatas adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<i>“srimatah sri-narendrasya; kundungasya mahatmanah; putro svavarmmo vikhyatah; vansakartta yathansuman; tasya putra mahatmanah; trayas traya ivagnayah; tesan trayanam pravarah; tapo-bala-damanvitah; sri mulavarmma rajendro; yastva bahusuvarnnakam; tasya yajnasya yupo ‘yam; dvijendrais samprakalpitah.”</i><br />
<br />
Artinya:<br />
<br />
<i>"Sang Maharaja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aswawarmman namanya, yang seperti Ansuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.”</i><br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Aswawarman</span></b></h3>
<br />
Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga. Ia disebut sebagai Dewa Ansuman/Dewa Matahari. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar <i><b>Wangsakerta</b></i>, yang artinya pembentuk keluarga. Ditinjau dari namanya sudah mendapat pengaruh Hindu (nama “Warman“ dipakai nama gelar raja Hindu di India).<br />
<br />
Dalam yupa tersebut juga menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan seorang raja yang cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan upacara <i>Asmawedha</i>.<br />
<br />
Informasi tentang upacara sejenis didapat dari negeri India, pada masa pemerintahan Raja Samudragupta ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara <i><b>Asmawedha</b></i> dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai. Dengan kata lain, sampai di mana ditemukan tapak kaki kuda, maka sampai di situlah batas Kerajaan Kutai. Pelepasan kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit Kerajaan Kutai. Setelah meninggal Raja Aswawarman digantikan oleh Raja Mulawarman.<br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Mulawarman</span></b></h3>
<br />
Mulawarman adalah putra Raja Aswawarman dan cucu Raja Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu, sedangkan Raja Mulawarman adalah penganut Hindu Syiwa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bukti dari salah satu prasastinya yang menyebutkan tempat suci Waprakeswara, yaitu tempat suci yang selalu disebut berhubungan dengan <b><i>Trimurti</i></b>, yaitu Brahma, Wisnu, dan Syiwa.<br />
<br />
Dalam kehidupan politik dari informasi yupa diketahui bahwa raja terbesar Kutai adalah Mulawarman. Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai mengalami perkembangan yang pesat karena letaknya yang strategis, yaitu sebagai persinggahan kapal-kapal yang menempuh perjalanan melalui Selat Makassar.<br />
<br />
Isi dari prasasti yupa lainnya yang dikeluarkan oleh Mulawarman berbunyi sebagai berikut:<br />
<br />
<i>Dengarkanlah oleh kamu sekalian, brahmana yang terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi Sang Mulawarman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah berujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata pohon Kalpa (yang memberi segala keinginan), dengan sedekah tanah (yang dihadiahkan). Berhubung dengan semua kebaikan itulah maka tugu ini didirikan oleh para brahmana (buat peringatan).</i><br />
<br />
<i>Tugu ini ditulis buat (peringatan) dua (perkara) yang telah disedekahkan oleh Sang Raja Mulawarman, yakni segunung minyak (kental), dengan lampu serta malai bunga.</i><br />
<br />
<i>Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara. Buat (peringatan) akan kebaikan budi sang raja itu, tugu ini telah dibikin oleh para brahmana yang datang di tempat ini.</i><br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Kehidupan Kerajaan</span></b></h3>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgENyHlUuHWZX3dmRU9lBLGmki93HlOp3PP0G9vjw4k3-zOvSr_DMQRWHw6XFgx7I3u9st7aniY7xkDhhodyoexWg9xf6vWk_V4U66yjib7mDN3oKY8_mxX8xBf1NEPgE_1emMxlB-f-A8/s1600/blogger-image--1340967109.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgENyHlUuHWZX3dmRU9lBLGmki93HlOp3PP0G9vjw4k3-zOvSr_DMQRWHw6XFgx7I3u9st7aniY7xkDhhodyoexWg9xf6vWk_V4U66yjib7mDN3oKY8_mxX8xBf1NEPgE_1emMxlB-f-A8/s1600/blogger-image--1340967109.jpg" height="320" width="240" /></a></div>
Kehidupan sosial di Kerajaan Kutai merupakan terjemahan dari prasasti-prasasti yang ditemukan oleh para ahli. Diantara terjemahan tersebut adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<ul>
<li>Masyarakat di Kerajaan Kutai tertata, tertib dan teratur</li>
<li>Masyarakat di Kerajaan Kutai memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya luar (India), mengikuti pola perubahan zaman dengan tetap memelihara dan melestarikan budayanya sendiri.</li>
</ul>
<br />
Kehidupan ekonomi di Kerajaan Kutai dapat diketahui dari dua hal berikut ini:<br />
<br />
<ul>
<li>Letak geografis Kerajaan Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India. Kerajaan Kutai menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kutai, disamping pertanian.</li>
<li>Keterangan tertulis pada prasasti yang mengatakan bahwa Raja Mulawarman pernah memberikan hartanya berupa minyak dan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.</li>
</ul>
<br />
Kehidupan budaya masyarakat Kutai sebagai berikut:<br />
<br />
<ul>
<li>Masyarakat Kutai adalah masyarakat yang menjaga akar tradisi budaya nenek moyangnya.</li>
<li>Masyarakat yang sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan kebudayaan.</li>
<li>Menjunjung tingi semangat keagamaan dalam kehidupan kebudayaannya.</li>
</ul>
<br />
<br />
<h3>
<span style="color: #660000;"><b>Masuknya Pengaruh Budaya</b></span></h3>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjG0Fu-eT99pMvz-_EGWleUT6FsAQq4losC71tXbIISpmuvnaSftXydtPATvg1Eq-WBlI_NsWhQaPvhhegDYa4A9B4YpR6M5Mxq2Pb6z1IphX5KrnwZCwAZ0vdsOGR7DIJ6D8tUDmkCMgA/s1600/Yupa+Kutai.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjG0Fu-eT99pMvz-_EGWleUT6FsAQq4losC71tXbIISpmuvnaSftXydtPATvg1Eq-WBlI_NsWhQaPvhhegDYa4A9B4YpR6M5Mxq2Pb6z1IphX5KrnwZCwAZ0vdsOGR7DIJ6D8tUDmkCMgA/s1600/Yupa+Kutai.jpg" height="320" width="240" /></a></div>
Masuknya pengaruh budaya India ke Nusantara, menyebabkan budaya Indonesia mengalami perubahan. Perubahan yang terpenting adalah timbulnya suatu sistem pemerintahan dengan raja sebagai kepalanya. Sebelum budaya India masuk, pemerintahan hanya dipimpin oleh seorang kepala suku.<br />
<br />
Selain itu, percampuran lainnya adalah kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia mendirikan tugu batu. Kebiasaan ini menunjukkan bahwa dalam menerima unsur-unsur budaya asing, bangsa Indonesia bersikap aktif. Artinya bangsa Indonesia berusaha mencari dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing tersebut dengan kebudayaan sendiri.<br />
<br />
Bangsa Indonesia mempunyai kebiasaan mendirikan tugu batu yang disebut menhir, untuk pemujaan roh nenek moyang, sedangkan tugu batu (Yupa) yang didirikan oleh raja Mulawarman digunakan untuk menambatkan hewan kurban.<br />
<br />
Pada prasasti itu juga diceritakan bahwa Raja Mulawaraman memerintah dengan bijaksana. Ia pernah menghadiahkan ± 20.000 ekor sapi untuk korban kepada para brahmana / pendeta. Dan dalam prasasti itu pun menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti, dan mengapa bukan ayahnya Kudungga yang menjadi pendiri dinasti tetapi anaknya Aswawarman? Hal itu karena pada saat itu Raja Kudungga belum memeluk agama Hindu, sehingga ia tidak bisa menjadi pendiri dinasti Hindu.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_NaCNFrcJufISwOeVOxQ88ABWzp3nwCCX_f_8E08BboFYg6wZgqNnSkx_fhip1Esow2Baiu2eMpdJ-jPa3hInrly6BQxOQOdPVWEy-iFmqFX5uzWDNXfpnc0ZaylfyVsmoPXv5G1TYAo/s1600/statuekutai.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_NaCNFrcJufISwOeVOxQ88ABWzp3nwCCX_f_8E08BboFYg6wZgqNnSkx_fhip1Esow2Baiu2eMpdJ-jPa3hInrly6BQxOQOdPVWEy-iFmqFX5uzWDNXfpnc0ZaylfyVsmoPXv5G1TYAo/s1600/statuekutai.jpg" /></a></div>
Dari Raja Aswawarman menurunlah sampai Mulawarman, karena Mulawarman pun memeluk agama Hindu. Hal itu diketahui dari penyebutan bangunan suci untuk Dewa Trimurti. Bangunan itu disebut bangunan <i><b>Wapraskewara</b></i> dan di Gua Kembeng di Pedalaman Kutai ada sejumlah arca-arca agama Hindu seperti Siwa dan Ganesa.<br />
<br />
<h3>
<span style="color: #660000;"><b>Berakhir</b></span></h3>
<br />
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya. Mungkin itu sebabnya keberadaan Kerajaan Kutai kurang diperhatikan oleh para penulis <i>tambo</i> di daratan China.<br />
<br />
Berita tertua China yang bertalian dengan salah satu daerah di Kalimantan, berasal dari zaman dinasti Tang (618-906 M). Padahal, berita-berita China yang berhubungan dengan Jawa sudah ada sejak abad ke-5 dan dengan Sumatera pada abad ke-6.<br />
<br />
Kurangnya perhatian dari pihak China mungkin disebabkan Kalimantan tidak terletak pada jalur niaga China yang utama. Begitu pula pada masa sesudahnya, sehingga informasi tentang Kalimantan sangat sedikit<br />
<br />
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu beribukota di Kutai Lama (Tanjung Kute).<br />
<br />
Kutai Kartanegara inilah, pada tahun 1365 M, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 M kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.<br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Nama-Nama Raja Kutai</span></b></h3>
<br />
<ol>
<li>Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)</li>
<li>Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)</li>
<li>Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)</li>
<li>Maharaja Marawijaya Warman</li>
<li>Maharaja Gajayana Warman</li>
<li>Maharaja Tungga Warman</li>
<li>Maharaja Jayanaga Warman</li>
<li>Maharaja Nalasinga Warman</li>
<li>Maharaja Nala Parana Tungga</li>
<li>Maharaja Gadingga Warman Dewa</li>
<li>Maharaja Indra Warman Dewa</li>
<li>Maharaja Sangga Warman Dewa</li>
<li>Maharaja Candrawarman</li>
<li>Maharaja Sri Langka Dewa</li>
<li>Maharaja Guna Parana Dewa</li>
<li>Maharaja Wijaya Warman</li>
<li>Maharaja Sri Aji Dewa</li>
<li>Maharaja Mulia Putera</li>
<li>Maharaja Nala Pandita</li>
<li>Maharaja Indra Paruta Dewa</li>
<li>Maharaja Dharma Setia</li>
</ol>
<br />
Referensi:<br />
<i>Buku Salasilah Kutai terbitan Bagian Humas Pemerintah Daerah Tingkat II Kutai (1979) yang naskahnya berasal dari buku De Kroniek van Koetei karangan C.A. Mees (1935). Sementara buku C.A. Mees sendiri bersumber dari naskah kuno dalam tulisan huruf Arab karya Tuan Chatib Muhammad Tahir pada 21 Dzulhijjah 1285 Hijriah.</i><br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Lain-lain</span></b></h3>
<br />
Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sansekerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.<br />
<br />
<b>Referensi web:</b><br />
<br />
<ol>
<li>http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kutai</li>
<li>http://senasidu.wordpress.com/2012/01/16/sejarah-kerajaan-kutai-di-indonesia-kerajaan-tertua-di-indonesia/</li>
<li>http://feby27febbay.blogspot.com/2012/01/prasasti-kerajaan-kutai-dan-kerajaan-tarumanegara.html</li>
<li>http://www.wacananusantara.org/kerajaan-kutai/</li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-2534518792534301152014-04-10T16:57:00.001+07:002014-04-10T16:57:50.882+07:00Sejarah Kerajaan Hindu-Budha Di Nusantara<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZhkCdiEtCh4-9dwD0aQG3netbo_X27-LpRNwLgLO2YY2DP3ODuDYLS_4IIVSer6OVrrMmRC8YD1ql_AuUu9bgJUkfJPWPV_HCrXB5c6osTzx7SAd5YdmD3cLiKYstFqb4RDB0kj2ShCc/s1600/Stupa+Borobudur.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZhkCdiEtCh4-9dwD0aQG3netbo_X27-LpRNwLgLO2YY2DP3ODuDYLS_4IIVSer6OVrrMmRC8YD1ql_AuUu9bgJUkfJPWPV_HCrXB5c6osTzx7SAd5YdmD3cLiKYstFqb4RDB0kj2ShCc/s1600/Stupa+Borobudur.jpg" /></a></div>
<br />
Sebelum pengaruh Hindu-Budha masuk ke Indonesia, sebenarnya masyarakat sudah mempunyai kepercayaan dan adat istiadat yang dilaksanakan secara turun-temurun. Mereka hidup sangat sederhana dalam kelompok-kelompok kecil maupun besar, dan belum tersentuh kebudayaan apapun selain peninggalan nenek moyangnya sendiri. Komunikasi juga hanya dilakukan di dalam kelompok itu sendiri. Lambat laun terjadi interaksi antarkelompok. Karena tuntutan kebutuhan, akhirnya terjadilah hubungan perdagangan, bahkan berkembang dengan adanya pelayaran antarpulau dan antarbenua. Pada saat itu, masuklah pengaruh Hindu dan Budha ke Indonesia.<br />
<a name='more'></a><br />
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Budha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.<br />
<br />
Proses masuknya pengaruh agama Hindu maupun agama Budha ke Indonesia melalui hubungan perdagangan India dengan Indonesia. Dalam hubungan dagang itu, terjadi pergaulan di antara para pedagang. Pergaulan tersebut berlangsung cukup lama. Dalam pergaulan tersebut, terjadi saling tukar pikiran di antara mereka. Kepada bangsa kita, orang-orang India bercerita tentang agamanya, yaitu agama Hindu dan Budha sehingga agama Hindu dan Budha dikenal bangsa Indonesia. Akibat hubungan dagang tersebut akhirnya pengaruh Hindu-Budha masuk ke Indonesia.<br />
<br />
Masyarakat Indonesia yang paling awal menerima pengaruh dan menganut agama Hindu adalah raja beserta keluarganya, para bangsawan, dan prajurit, karena merupakan kasta yang terhormat, baru kemudian rakyat jelata.<br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Ajarah Agama Hindu</span></b></h3>
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPxU_SaDjHrpSsBNyS2Nr8aYefDck0K-h3VkQ4Yll6pefmygBp_mCSdCHcigCsZX5AL6tDgkw-3nq4BIN4X4Djy9pItjifRCen7mxrkEPDMJAQVnXjYrp5kwHqiZoQazHY5ILNeD7oje8/s1600/Arca+Dewa+Wisnu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPxU_SaDjHrpSsBNyS2Nr8aYefDck0K-h3VkQ4Yll6pefmygBp_mCSdCHcigCsZX5AL6tDgkw-3nq4BIN4X4Djy9pItjifRCen7mxrkEPDMJAQVnXjYrp5kwHqiZoQazHY5ILNeD7oje8/s1600/Arca+Dewa+Wisnu.jpg" height="320" width="196" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Arca Dewa Wisnu</td></tr>
</tbody></table>
Pada sekitar tahun 1500 Sebelum Masehi, bangsa <b>Arya</b> berhasil menaklukkan penduduk asli, yaitu bangsa Dravida di India. Kemudian lahir agama Hindu yang merupakan gabungan antara kepercayaan bangsa Arya dan kepercayaan bangsa Dravida.<br />
<br />
<b><span style="color: #7f6000;">Agama Hindu mempunyai banyak dewa, namun tiga dewa yang senantiasa dipuja, yang lebih dikenal dengan nama Tri Murti, yaitu Dewa Brahmana atau Dewa Pencipta, Dewa Wisnu atau Dewa Pelindung, dan Dewa Syiwa atau Dewa Perusak.</span></b><br />
<br />
Menurut agama Hindu, manusia yang hidup sekarang ini merupakan reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya. Manusia hidup di dunia adalah <i>samsara</i> atau sengsara. Seseorang akan dilahirkan kembali sehingga harus mengalami sengsara, apabila kehidupannya yang dahulu kurang sempurna atau banyak berbuat dosa. Agama Hindu mengajarkan bahwa tujuan manusia adalah menyatu kembali kepada sumber dari segala sumber yang ada, yakni Brahman. Karena hidup merupakan penderitaan, maka tujuan yang hendak dicapai adalah bagaimana agar seseorang terhindar dari dilahirkan kembali supaya tidak mengalami penderitaan. Untuk itu, tujuan yang hendak diraih adalah <b><i>Moksha</i></b>, yaitu terbebas dari dilahirkan kembali. Karena tujuan Hindu adalah supaya seseorang tidak mengalami penderitaan, maka Hindu disebut juga sebagai Ajaran Keselamatan.<br />
<br />
Ada empat kasta dalam agama Hindu, yang membedakan antara golongan satu dengan lainnya. Pembentukan kasta mempunyai tujuan utama untuk menjaga kemurnian ras bangsa Arya yang dianggap ras paling baik, dibandingkan ras bangsa Dravida yang dianggap lebih rendah. Empat Kasta tersebut dijelaskan sebagai berikut.<br />
<br />
<ol>
<li><b>Kasta Brahmana</b>, merupakan kasta tertinggi, bertugas menjalankan upacara-upacara keagamaan. Adapun yang termasuk dalam kasta ini adalah para Brahmana.</li>
<li><b>Kasta Ksatria</b>, yang bertugas menjalankan pemerintahan. Adapun yang termasuk dalam kasta ini adalah para raja, bangsawan, dan prajurit.</li>
<li><b>Kasta Waisya</b>, merupakan kasta dari golongan rakyat jelata, seperti para petani dan pedagang.</li>
<li><b>Kasta Sudra</b>, merupakan kasta yang paling rendah, seperti para budak.</li>
</ol>
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Ajaran Agama Budha</span></b></h3>
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwSNnllimh1UJ76oN8S1mLkbGHskh1azTcIFP_N27Kje1GN7NBMglQeqA7Xk3crf8kOKLpIUUGIOx63F5mHKp9VY4hlcqpvuWBb0UQHeieNXROGzo9J4pphtMyYQpg7vugJifAha1YbTM/s1600/Patung+Budha.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwSNnllimh1UJ76oN8S1mLkbGHskh1azTcIFP_N27Kje1GN7NBMglQeqA7Xk3crf8kOKLpIUUGIOx63F5mHKp9VY4hlcqpvuWBb0UQHeieNXROGzo9J4pphtMyYQpg7vugJifAha1YbTM/s1600/Patung+Budha.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Patung Budha</td></tr>
</tbody></table>
Pada awal mulanya, Budha bukan sebuah agama, tetapi hanya merupakan suatu paham baru dalam agama Hindu, yang disebut Budhisme. Muncul sebagai protes terhadap perbedaan kasta, terutama Kasta Brahmana yang dianggap terlalu banyak mempunyai hak-hak istimewa, dan kasta-kasta lain yang dianggap terlalu membedakan kedudukan seseorang. Semua itu dipandang kurang adil.<br />
<br />
<b><span style="color: #7f6000;">Paham tersebut disebut Budhisme karena dikembangkan dan disebarluaskan oleh Sidharta Buddha Gautama, seorang putra Raja Sudhodana dari Kerajaan Kapilawastu, termasuk keturunan suku bangsa Sakya. Kemudian ajarannya berkembang menjadi agama Budha.</span></b><br />
<br />
Konsep agama Budha mengajarkan bahwa hidup adalah menderita, dan penderitaan itu terjadi karena ketidaktahuan manusia akan kebenaran yang hakiki, kebenaran yang mutlak. Namun ada jalan keluar untuk mengentas manusia dari ketidaktahuan (awidya), yaitu melalui jalan kebenaran yang harus ditempuh manusia selama hidupnya.<br />
<br />
Penganut agama Budha percaya bahwa tujuan hidup manusia di dunia adalah menghentikan reinkarnasi, karena reinkarnasi adalah penderitaan (samsara) yang bersifat sementara. Sedangkan penderitaan sebenarnya adalah apabila seseorang terus-menerus mengalami reinkarnasi, atau selalu dilahirkan kembali ke dunia, yang berarti terus-menerus mengalami penderitaan. Oleh karena itu, konsep agama Buddha mengajarkan bagaimana agar manusia terbebas dari kehidupan yang berulang-ulang, yaitu apabila telah dapat mencapai Nirwana. Seseorang yang dapat masuk Nirwana, dianggap telah terbebas dari ketidaktahuan, terbebas dari penderitaan, terbebas dari kelahiran kembali, dan orang tersebut sudah <i>moksha</i>.<br />
<br />
Seluruh ajaran agama Budha terdapat dalam Buku Tripitaka yang terdiri atas sebagai berikut:<br />
<br />
<ol>
<li><b>Winayapitaka</b>, berisi tentang peraturan dan hukum yang menentukan cara hidup para pemeluk agama Budha.</li>
<li><b>Sutrantapitaka</b>, berisi tentang wejangan-wejangan Sang Budha.</li>
<li><b>Abhidharmapitaka</b>, berisi tentang penjelasan dan uraian mengenai agama Budha. Ada kesamaan konsep antara Hindu/Syiwa dan Budha.</li>
</ol>
<br />
Konsep kebenaran yang hakiki menurut agama Hindu (Syiwa) dan agama Budha ialah meleburkan diri ke dalam <b>Yang Mutlak</b>, berupa kekosongan atau kehampaan (sunyarupa). Meskipun jalan yang ditempuh untuk menuju ke sunyarupa tersebut berbeda antara kedua agama, tetapi tujuan keduanya sama, yaitu moksha atau tidak dilahirkan kembali. Lahir cukup sekali selama hidup untuk selanjutnya sebagai penghuni Nirwana yang kekal abadi.<br />
<br />
Ajaran Budha yang berkembang di Jawa, dimulai dari tahap Mahayana, dan berkembang ke arah Tantrayana. Dalam Mahayana, tujuan penganutnya adalah untuk mencapai Tahap keBudhaan, yang hanya dapat diperoleh melalui perjuangan berat dan waktu yang lama. Sedangkan dalam Tantrayana, tujuan yang sama dianggap dapat diperoleh dalam kehidupan sekarang juga, yakni melalui praktek Yoga, dengan memuja Budha dan kepatuhan total kepada seorang Guru.<br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Penyebaran Agama Buddha dan Hindu di Indonesia</span></b></h3>
<br />
Proses masuknya agama Hindu ke Indonesia dilakukan oleh kaum pedagang, baik pedagang yang berasal dari India ke Indonesia maupun pedagang Indonesia yang berlayar ke India. Akan tetapi, di lain pihak terdapat beberapa teori yang berbeda mengenai penyebaran agama Hindu ke Nusantara. Berikut beberapa teori tersebut:<br />
<br />
<ul>
<li><b>Teori Sudra</b>: Menjelaskan bahwa penyebaran agama Hindu ke Nusantara dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Sudra, karena mereka dianggap sebagai orang-orang buangan.</li>
<li><b>Teori Waisya</b>: Menjelaskan bahwa penyebaran agama Hindu ke Nusantara dibawa oleh orang-orang India yang berkasta waisya. Orang-orang India yang berkasta waisya terdiri atas para pedagang yang datang dan menetap di wilayah Indonesia. Bahkan, diantaranya banyak yang menikah dengan wanita setempat.</li>
<li><b>Teori Ksatria</b>: menjelaskan bahwa penyebaran agama Hindu ke Nusantara dibawa oleh orang-orang India yang berkasta ksatria. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya kekacauan politik di India, sehingga para ksatria yang kalah melarikan diri ke Nusantara. Mereka lalu mendirikan kerajaan-kerajaan dan menyebarkan agama Hindu di Nusantara.</li>
<li><b>Teori Brahmana</b>: menjelaskan bahwa penyebaran agama hindu ke Nusantara dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Brahmana. Kedatangan mereka ke Nusantara untuk memenuhi undangan kepala suku yang tertarik terhadap agama Hindu. Kaum Brahmana inilah yang datang ke Nusantara untuk mengajarkan agama Hindu kepada masyarakat.</li>
</ul>
<br />
Dari keempat teori tersebut, hanya teori Brahmana yang dianggap sesuai. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa bukti. Bukti-bukti tersebut di antaranya:<br />
<br />
<ul>
<li>Agama Hindu bukan agama yang demokratis, karena urusan keagamaan menjadi monopoli kaum Brahmana, sehingga hanya kaum Brahmana yang berhak untuk menyebarkan agama Hindu.</li>
<li>Prasasti yang pertama kali ditemukan berbahasa Sansekerta, sedangkan di India bahasa tersebut hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan. Jadi, hanya kaum Brahmana lah yang mengerti dan menguasai bahasa tersebut.</li>
</ul>
<br />
Agama Hindu tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera. Awal sejarah Hindu di Indonesia terungkap dengan diketemukannya prasasti peninggalan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Dari kedua prasasti tersebut para ahli menyimpulkan bahwa sejak abad ke-4 dan ke-5, pengaruh agama dan kebudayaan Hindu telah masuk ke Indonesia.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSunT4SYhgU9w7e6E4ZAi3OXCxbxJhLADmQlyaU4qMgEB4dXgIOk1ACXxeAg2uonJnpxbmCegjndyc3C8kGjyGtmDNNiFZ6T8zUIKNbIVCThQ2QY7tSA6KNAa-gE3B5-nvPiE8ffOW9BE/s1600/map+kerajaan-kerajaan+hindu-budha.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSunT4SYhgU9w7e6E4ZAi3OXCxbxJhLADmQlyaU4qMgEB4dXgIOk1ACXxeAg2uonJnpxbmCegjndyc3C8kGjyGtmDNNiFZ6T8zUIKNbIVCThQ2QY7tSA6KNAa-gE3B5-nvPiE8ffOW9BE/s1600/map+kerajaan-kerajaan+hindu-budha.jpg" /></a></div>
<br />
Bersamaan dengan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu di Indonesia, datanglah agama Budha ke tanah air. Agama Budha masuk ke Indonesia juga melalui jalur perdagangan, bahkan dilakukan secara damai. Pada awalnya tidak begitu banyak penganutnya karena sudah terlebih dahulu menganut ajaran Hindu. Namun sejak abad ke-7 Masehi, Hindu berkembang pesat dan tersebar luas di wilayah Indonesia, dengan pusat di Kerajaan Sriwijaya.<br />
<br />
Sebelum pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, sebenarnya bangsa Indonesia sudah mempunyai adat istiadat, kebiasaan, maupun kepercayaan yang dipelihara, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nenek moyang bangsa Indonesia waktu itu telah mempunyai kepercayaan animisme dan dinamisme, sampai dengan pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia. Namun animisme dan dinamisme tidak langsung hilang meskipun agama Hindu dan Budha sudah menjadi agama mereka. Mereka tidak menerima begitu saja semua pengaruh yang masuk, namun hanya menerima unsur-unsur yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pengaruh Hindu dan Budha telah membaur menjadi satu dengan kepercayaan dan keyakinan yang telah ada sebelumnya sehingga semakin memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia.<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<b><span style="color: #783f04; font-size: large;">Agama Hindu yang berkembang di Indonesia berbeda dengan agama Hindu yang berkembang di India. Agama dan kebudayaan Hindu disesuaikan dengan kebudayaan dan kepercayaan asli Indonesia yang berintikan pemujaan roh leluhur (animisme dan dinamisme). Dalam bidang sastrapun terjadi penyesuaian, misalnya huruf Pallawa berubah menjadi huruf Kawi dan huruf Jawa kuno. Demikian pula dalam seni bangunan, bentuk candi di Indonesia lain dengan yang ada di India.</span></b></blockquote>
<br />
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.<br />
<br />
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Budha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatera. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukota Sriwijaya di Palembang sekitar tahun 670 M. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364 M, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah Nusantara yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.<br />
<br />
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.<br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Perkembangan Masyarakat, Kebudayaan, dan Pemerintahan pada Masa Hindu-Budha di Indonesia</span></b></h3>
<br />
Pengaruh Hindu-Budha begitu luasnya di Indonesia, dan hampir tidak ada pulau besar yang tidak mendapat pengaruh, kecuali Papua, Maluku dan sekitarnya, serta pulau-pulau di Nusa Tenggara. Penyebab utama tidak masuknya pengaruh Hindu dan Buddha di wilayah Indonesia bagian timur tersebut, karena dianggap terlalu jauh untuk dijangkau pada saat itu. Selain itu, kawasan Nusantara amat luas dan terdiri atas puluhan ribu pulau yang terhampar dari barat sampai ke timur, sehingga sangat memungkinkan untuk tidak terjangkau oleh pengaruh Hindu dan Budha masa itu.<br />
<br />
Daerah yang mendapat pengaruh Hindu-Budha di Indonesia dapat dilihat dari kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, seperti Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Tarumanegara di Jawa Barat, Mataram Kuno di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sriwijaya di Sumatera, Kediri di Jawa Timur, Singasari di Jawa Timur, dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Dari beberapa kerajaan tersebut, kita dapat melihat bagaimana perkembangan masyarakat, kebudayaan, maupun pemerintahan pada masa Hindu-Budha di Indonesia.<br />
<br />
<h3>
<b><span style="color: #660000;">Kronologi</span></b></h3>
<br />
<ul>
<li><b>101 M</b> - Penempatan Lembah Bujang yang menggunakan aksara Sanskrit Pallava membuktikan hubungan dengan India di Sungai Batu.</li>
<li><b>300 M</b> - Kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara telah melakukan hubungan dagang dengan India. Hubungan dagang ini mulai intensif pada abad ke-2 M. Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus, cengkeh. Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.</li>
<li><b>300 M</b> - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok. Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan, barang-barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.</li>
<li><b>400 M</b> - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain prasasti, candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang China.</li>
<li><b>603 M</b> - Kerajaan Malayu berdiri di hilir Batang Hari. Kerajaan ini merupakan konfederasi dari para pedagang-pedagang yang berasal dari pedalaman Minangkabau. Tahun 683 M, Malayu runtuh oleh serangan Sriwijaya. </li>
<li><b>671 M</b> - Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sanskerta, kemudian ia singgah di Malayu selama dua bulan, dan baru melanjutkan perjalanannya ke India.</li>
<li><b>685 M</b> - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa.</li>
<li><b>692 M</b> - Salah satu kerajaan Hindu-Budha di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi oleh pedagang Arab, Parsi, dan Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Jawa. Sriwijaya juga menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut China Selatan. Dengan penguasaan ini, Sriwijaya mengontrol lalu lintas perdagangan antara Tiongkok dan India, sekaligus menciptakan kekayaan bagi kerajaan.</li>
<li><b>922 M</b> - Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok telah datang ke Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan Maharaja Jawa telah menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada Kaisar Tiongkok.</li>
<li><b>932 M</b> - Restorasi kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini muncul melalui Prasasti Kebon Kopi II yang bertanggal 854 Saka atau 932 Masehi.</li>
<li><b>1292 M</b> - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Sumatera dalam perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco Polo berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.</li>
<li><b>1292 M</b> - Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka hutan tarik menjadi permukiman yang disebut Majapahit. Nama ini berasal dari pohon Maja yang berbuah pahit di tempat ini.</li>
<li><b>1293 M</b> - Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol untuk menggulingkan Jayakatwang di Kediri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik takhta sebagai raja Majapahit pertama pada 12 November.</li>
<li><b>1293-1478 M</b> - Kota Majapahit menjadi pusat kemaharajaan yang pengaruhnya membentang dari Sumatera ke Papua, kecuali Sunda dan Madura. Kawasan urban yang padat dihuni oleh populasi yang kosmopolitan dan menjalankan berbagai macam pekerjaan. Kitab Negarakertagama menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual keagamaan.</li>
<li><b>1345-1346 M</b> - Musafir Maroko, Ibnu Battuta melewati Samudra dalam perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok. Ibnu Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra adalah seorang pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.</li>
<li><b>1350-1389 M</b> - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan di Asia Tenggara bahkan jazirah Malaya sesuai dengan "Sumpah Palapa" yang menyatakan bahwa Gajah Mada menginginkan Nusantara bersatu.</li>
<li><b>1478 M</b> - Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur ditinggalkan penduduknya, tertimbun tanah, dan menjadi hutan jati.</li>
<li><b>1570 M</b> - Pajajaran, ibukota Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa dihancurkan oleh Kesultanan Banten.</li>
</ul>
<br />
<b>Referensi web:</b><br />
<ol>
<li>http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Hindu-Buddha</li>
<li>http://rangkumsejarah.blogspot.com/2013/05/teori-masuk-dan-berkembangnya-agama.html</li>
</ol>
<br />
<b>Resensi buku:</b> Mari Belajar IPS 1 untuk SMP/MTs Kelas VII oleh: Muh. Nurdin, Muh. Nursa'ban dan S.W. Warsito<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Unknownnoreply@blogger.com1Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997tag:blogger.com,1999:blog-8188273915959987619.post-3362018941939158682014-03-28T08:47:00.000+07:002014-06-15T23:51:12.575+07:00RADEN DEWI SARTIKA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-P07K1h_5zvX8meSLY6g0iAlqDXtmuXNJJnKRfOZ5hS-NOa4nCZ8gnkmaLCTnR5P0F-g1_efVFiIIb0KINhL5mNNzCODJKTBpgKYGDN1XA1n-ud3GH3yuPYN6CTNe-XcY-FQvZOsWYCM/s1600/Dewi_Sartika-@.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-P07K1h_5zvX8meSLY6g0iAlqDXtmuXNJJnKRfOZ5hS-NOa4nCZ8gnkmaLCTnR5P0F-g1_efVFiIIb0KINhL5mNNzCODJKTBpgKYGDN1XA1n-ud3GH3yuPYN6CTNe-XcY-FQvZOsWYCM/s1600/Dewi_Sartika-@.jpg" height="200" width="153" /></a></div>
Dewi Sartika adalah seorang wanita pejuang pendidikan. Agar anak-anak perempuan bisa memperoleh kesempatan belajar, dia berjuang mendirikan sekolah di Bandung<br />
<br />
<b><i>"Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada negaramu."</i></b> Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan 'pahlawan' di negaranya.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.<br />
<br />
Jiwa patriotisme pasangan Raden Somanagara dan Nyi Raden Rajapermas yang merupakan keturunan priyayi Sunda, memang mengalir di dalam diri wanita kelahiran Cicalengka, Bandung, Jawa Barat, 4 Desember 1884 ini. Sejak kecil, Dewi Sartika telah mendapat pendidikan dasar dari orang tuanya dengan disekolahkan di sekolah Belanda. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana.<br />
<br />
Setelah ayahandanya wafat, Dewi Sartika kecilpun dirawat oleh pamannya (kaka dari ibunya) yang tidak lain adalah seorang Patih di Cicalengka dan melanjutkan pendidikannya di sana. Ketika itulah, bakat sebagai seorang pendidik muncul dalam diri Dewi Sartika kecil, bila ada waktu senggang, biasanya sepulang sekolah, Dewi Sartika kecil sangat senang bermain sekolah-sekolahan sambil mengajari baca-tulis anak-anak pembantu yang berada lingkungan kepatihan, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Dalam pendidikannya, Dewi Sartika banyak pula mempelajari tentang wawasan kesundaan dari pamannya sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhT0BUdgMt3dVLrgruVnp_GtYAuA2Gh4XXTO4PQdKiOXuDfkcn6rVw9XhOTRc7fFP6ieTI65kJ3dz6IkAN6iPAta6N15CmLgu2qDw4eS6FYGFdrLBnHnfEF4rNMtK4c4Tb3ZineGlgdeJw/s1600/dewi-sartika-2.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhT0BUdgMt3dVLrgruVnp_GtYAuA2Gh4XXTO4PQdKiOXuDfkcn6rVw9XhOTRc7fFP6ieTI65kJ3dz6IkAN6iPAta6N15CmLgu2qDw4eS6FYGFdrLBnHnfEF4rNMtK4c4Tb3ZineGlgdeJw/s1600/dewi-sartika-2.jpg" /></a></div>
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.<br />
<br />
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, telah menjadikan semangat dan cita-cita untuk terus berupaya agar anak-anak dan kaum perempuan pribumi bisa mendapat kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan. Semangat dan cita-cita yang besar tersebut, akhirnya Ia upayakan pula ketika kembali lagi menetap di Bandung, dengan dibantu kakeknya R.A.A. Martanegara dan Den Hamer, selaku Inspektur Kantor Pengajaran kala itu, Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah khusus bagi kaum perempuan yang diberi nama “Sakola Istri” pada 1904 yaitu Sekolah Perempuan pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang: Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.<br />
<br />
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.<br />
<br />
<b>Dewi Sartika Menikah</b><br />
<br />
Di saat yang bersamaan dengan perjalanan perjuangannya ingin mengentaskan kebodohan bagi kaum perempuan pribumi, Dewi Sartikapun menemukan jodohnya yaitu Raden Kanduruan Agah Suriawinata seorang Guru di Sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan guru, yang memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Kemudian mereka menikah pada 1906.<br />
<br />
Sekolah Istri terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid-murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas.<br />
<br />
Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Isteri sedikit diperbarui menjadi Sakola Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah. Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya.<br />
<br />
Diakui, pembangunan sekolah ini, sebelumnya sempat menuai pertentangan, terutama karena budaya ‘pengekangan’ kaum wanita masih kuat dijalankan pada saat itu. Namun karena niat baik, cita-cita serta kegigihan Dewi Sartika yang tiada putusnya serta kebijakan dari keluarga, maka sekolah tersebut tetap terwujud.<br />
<br />
Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.<br />
<br />
<b>‘Sekolah Keutamaan Istri’ Banyak Di Dirikan</b><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs1j5Vz6xuZQtxToy2K_ALPZD5GiJsRPvotXM4za1qnRNlIxLxWuVVSVLec8D4mMgUAI1a5dOBFSFUOpn2P-t9MUP1IM8lbkyExsjXQnuW4WGq4ktcIfu6DdTqlq_KBtC8btv_3y7PuL8/s1600/EMy-PictureDewi-SartikaKautamaan-Istri.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs1j5Vz6xuZQtxToy2K_ALPZD5GiJsRPvotXM4za1qnRNlIxLxWuVVSVLec8D4mMgUAI1a5dOBFSFUOpn2P-t9MUP1IM8lbkyExsjXQnuW4WGq4ktcIfu6DdTqlq_KBtC8btv_3y7PuL8/s1600/EMy-PictureDewi-SartikaKautamaan-Istri.jpg" height="286" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sakola Kautamaan Istri</td></tr>
</tbody></table>
Karena penilaian positif terhadap upaya pengembangan sumber daya kaum perempuan pribumi melalui dunia pendidikan yang di rintis Dewi Sartika begitu besar. Akhirnya banyak diantara kaum perempuan Sunda yang memiliki cita-cita dan harapan yang sama mendirikan ‘Sekolah Keutamaan Istri’ di beberapa tempat. Sekitar 9 sekolah berdiri di Kota Kabupaten se- Pasundan, seperti di daerah Garut, Tasikmalaya maupun Purwakarta. Termasuk yang didirikan di Bukit Tinggi Sumatera Barat oleh Encik Rama Saleh.<br />
<br />
<b>Dewi Sartika Dianugrahi Bintang Jasa</b><br />
<br />
Era Perang Dunia I, merupakan masa paling berat bagi Dewi Sartika dalam mengatasi keuangan sekolahnya. Namun upaya kerasnya berhasil mengantarnya melewati itu semua. Bahkan, pada tahun 1929 dalam acara peringatan 25 Tahun berdirinya ‘Sekolah Keutamaan Istri’, Sekolah Keutamaan Isteri sudah memiliki gedung sendiri. Seiring dengan itu, Sekolah Keutamaan Isteri pun berganti nama lagi menjadi Sakola Raden Dewi. Dewi Sartika mendapat penghargaan dari Pemerintah Kerajaan Hindia-Belanda berupa Bintang Jasa (berupa bintang perak -penj) atas jasa-jasanya memperjuangkan hak kaum perempuan pribumi dalam bidang pendidikan terutama di tanah Pasundan. <br />
<br />
Terakhir, pada masa perang kemerdekaan, kota Bandung berhasil diduduki oleh pasukan Belanda. Semua rakyat mengungsi. Dewi Sartika pun terpaksa menghentikan kegiatan dan ikut mengungsi ke Cinean.<br />
<br />
Raden Dewi Sartika beruntung masih sempat menyaksikan kebebasan bangsanya dari tangan penjajah walaupun ia harus menikmatinya lebih banyak di pengungsian. Saat di pengungsian, beliau meninggal dunia pada usia 62 tahun, persisnya tanggal 11 September 19 47 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.<br />
<br />
Mengingat jasa-jasanya dalam membangun putri-putri bangsa, maka pemerintah atas nama negara menganugerahkan gelar kehormatan pada beliau sebagai <b><a href="http://indonesiatempodoeloe.blogspot.com/search/label/Pahlawan%20Kemerdekaan%20Nasional" target="_blank">Pahlawan Kemerdekaan Nasional</a></b>. Gelar kehormatan tersebut diberikan pada tanggal 1 Desember 1966 dan disahkan melalui <b>SK Presiden RI No.252 Tahun 1966. </b><br />
<b><br /></b>
<b>Galeri Dewi Sartika:</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixhKfEoLoFTnWdb9rLoMAXieDOxuwrMz1dEDEB_znEir4JE_GFmWe0KuG7_U7nBYl-evSSC4anNvlQemif_IJ_m6Lhdp4PQtxE_N-cuwuPiHLnN9NNnrELql1TZGfFJqM3HSx_Hck9Ylo/s1600/dewi_sartika_by_embroiderart-d5owaha.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixhKfEoLoFTnWdb9rLoMAXieDOxuwrMz1dEDEB_znEir4JE_GFmWe0KuG7_U7nBYl-evSSC4anNvlQemif_IJ_m6Lhdp4PQtxE_N-cuwuPiHLnN9NNnrELql1TZGfFJqM3HSx_Hck9Ylo/s1600/dewi_sartika_by_embroiderart-d5owaha.jpg" height="640" width="452" /></a></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhR_sglE4PIFqVsY8ajp9oCDF2Imqv2wnlAyiynPJg4ZU_qK31vv4VXc4Ar-nZKwp8oGipYWE3d3dWtP0DzNRSfj99oGi6JHFKxFEldulSSOEbCozB8pBfBY2z-rxI3keW1_BjiaZ06ynM/s1600/Patung+Dewi+Sartika+di+taman+Balai+Kota+Bandung.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhR_sglE4PIFqVsY8ajp9oCDF2Imqv2wnlAyiynPJg4ZU_qK31vv4VXc4Ar-nZKwp8oGipYWE3d3dWtP0DzNRSfj99oGi6JHFKxFEldulSSOEbCozB8pBfBY2z-rxI3keW1_BjiaZ06ynM/s1600/Patung+Dewi+Sartika+di+taman+Balai+Kota+Bandung.jpg" height="640" width="480" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Patung Dewi Sartika di taman Balai Kota Bandung.</td></tr>
</tbody></table>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjldxEjkhCjmY3Az9YTihcA6X8VDoLtwVc2znA4_tzUKjLrNuhLWcyJReHYJkmrjHtjJaHcZQzipQdE2VVm2PmRb5qaEZmom5TDpxACv6fgXL8mjSnQFkngjAtxnoZVMfdF5jPuslrPHMM/s1600/dewi_sartika_20110503_1661448370.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjldxEjkhCjmY3Az9YTihcA6X8VDoLtwVc2znA4_tzUKjLrNuhLWcyJReHYJkmrjHtjJaHcZQzipQdE2VVm2PmRb5qaEZmom5TDpxACv6fgXL8mjSnQFkngjAtxnoZVMfdF5jPuslrPHMM/s1600/dewi_sartika_20110503_1661448370.jpg" height="640" width="490" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Dewi Sartika, creative by <a href="http://wpapcommunity.com/site/index.php/gallery" target="_blank">http://wpapcommunity.com</a></td></tr>
</tbody></table>
<b>Sumber referensi: </b><br />
<ol>
<li><a href="http://tokohindonesia.com/">http://tokohindonesia.com/</a></li>
<li><a href="http://kwarcabkotabandung.or.id/2013/01/raden-dewi-sartika-pejuang-pendidikan-kaum-perempuan-dari-tanah-pasundan/">http://kwarcabkotabandung.or.id/2013/01/raden-dewi-sartika-pejuang-pendidikan-kaum-perempuan-dari-tanah-pasundan/</a></li>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika">http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika</a></li>
</ol>
Unknownnoreply@blogger.com0Karawang, West Java, Indonesia-6.3227303 107.33757909999997-7.3328453 106.04668559999998 -5.3126153 108.62847259999997