Selamat Datang Indonesia

Mengenang sejarah Indonesia di masa lalu, selalu menggugah semangat Nasionalis-Patriotis serta Kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air - Indonesia.

Indonesia, tanah air kuuu...
Tanah tumpah darah kuuu....
Disanalah aku berdiriiii...
Jadi pandu ibu kuuu....

- MERDEKA!!!!

Kerajaan Pakuan Pajajaran

Jumat, 13 Juni 2014

Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Jadi, Kerajaan Pakuan Pajajaran adalah lanjutan dari Kerajaan Tarumanagara dan Sunda-Galuh. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.

Menurut catatan yang dikumpulkan oleh jurutulis Sultan Trenggono (dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 4), pada tahun 1521 Masehi (akhir pemerintahan Sri Baduga Maharaja), penduduk kota Pakuan ada 48.271 orang. Laporan Portugis tahun 1522 Masehi, memperkirakan penduduk Pakuan sebanyak 50.000 orang. Dengan jumlah itu, Pakuan di bawah naungan Sri Baduga Maharaja, merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak (49.197 orang). Pasai, sebagai kota terbesar ketiga, baru berpenduduk 23.121 jiwa.

Sejak abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.

Etimologi dan Toponimi

Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor), R. Ng. Poerbatjaraka (1921) menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar" (aanrijen staande hoven).

Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterusnya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.

Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya: Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.

Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan "Pajajaran" untuk nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.

Lokasi Pakuan

Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana, Madura, Suradipati.

"Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa".

Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Cipakancilan". Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".

Riwayat Kerajaan Pakuan Pajajaran

Sepeninggal Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (1475 M), kawasan bekas Tarumanagara (Kerajaan Sunda-Galuh), kembali terbagi dua, di antara dua putera mahkota pewaris Kerajaan Sunda. Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), putera sulung dari Dewi Sarkati (puterinya Susuk Lampung, Sumatera Selatan), diwarisi wilayah barat dengan batas sungai Citarum, dengan nama yang tetap sama: Kerajaan Sunda, dengan pusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor). Sebelumnya, dari sejak tahun 1382 M, Sang Haliwungan sempat dipercaya oleh ayahnya, menjadi Prabu Anom (Rajamuda atau Yuwaraja), sebagai pemegang tahta perwalian Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan.[1]

Dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Haliwungan tertulis:

"inya sang susuktunggal nu munar na pakwan reujeung sanghi‑ yang haluwesi, nu nyaeuran sanghiyang rancamaya. Yang artinya: Dialah Sang Susuktunggal yang merenovasi (memperindah) kota Pakuan, dan memperteguh dua tempat suci: Sanghiyang Haluwesi dan Sanghiyang Rancamaya."

Artinya: Mengenai tempat suci Sanghiyang Rancamaya, yang terletak di bukit Badigul (Bogor), sempat menjadi "sengketa" yang menghebohkan. Kini Sanghiyang Rancamaya dan bukit Badigulnya, tempat diprabukannya Raja-raja Sunda, sirna tanpa bekas, sudah berubah menjadi perumahan mewah Rancamaya.

Selanjutnya, "sang Susuktunggal inyana nu nyieun palangka sriman sriwacana; nu mikadatwan sri bima‑ punta‑ narayana‑madura‑suradipati." Yang artinya: Sang Susuktunggal yang membuat singasana Sriman Sriwacana dan tinggal di keraton Sri Bima‑Punta‑Narayana‑Madura‑Suradipati.

Lokasi bekas keraton tersebut, kini sudah menjadi bangunan permanen, berupa villa warisan almarhum Bung Karno (Presiden RI pertama), dengan nama: Ing Puri Bima Sakti.[1]

"Kawekasan sang susuktunggal pawwatanna lemah suksi lemah hadi, mangka premana raja utama, lawasnya ratu saratus tahun." Yang artinya: Peninggalan warisan Sang Susuktunggal, adalah tanah yang suci dan tanah baik (subur), sebagai tanda keutamaan raja. Lamanya menjadi raja 100 tahun (1382‑1482 M).

Kemudian Sang Ningrat Kancana, putera sulung Dewi Mayangsari (puterinya Mangkubumi Bunisora Suradipati), diwarisi wilayah timur dengan batas sungai Citarum, dengan nama Kerajaan Galuh. Sang Ningrat Kancana menjadi penguasa Kerajaan Galuh, dengan gelar Prabu Dewa Niskala, dengan pusat pemerintahannya di kota Kawali (Ciamis).[1]

Dalam Kropak 406 Carita Parahiyangan, tokoh Sang Ningrat Kancana, tercatat sebagai pengganti Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kan­cana. la adalah "tohaan di galuh, inya nu surup di guna tiga, lawasnya ratu tujuh tahun, kena salah twah, bogoh ka estri larangan ti kaluaran." Yang artinya: Yang di­ pertuan di Galuh. Dia yang dipusarakan di Guna Tiga. Lamanya menjadi raja hanya 7 tahun (1475‑1482 Masehi). Akibat salah perilaku, memperisteri perempuan terlarang dari luar.

Adapun yang menjadi latar belakang peristiwa, hingga Prabu Dewa Niskala memperisteri estri larangan ti kaluaran, adalah akibat terjadinya perubahan politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam tahun 1473 M, Raden Fatah dihadiahi tanah di Demak oleh ayahnya, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V. Ibu kandung Raden Fatah adalah Siu Ban Ci, puteri Syekh Bentong (Tan Go Hwat), seorang ulama China mazhab Hanafi murid Sunan Ampel.

Siu Ban Ci mengembara ke Palembang, akibat perceraian dengan suaminya, Prabu Kertabumi. Di Palembang, Siu Ban Ci diperisteri oleh Arya Damar, seorang Bupati Majapahit yang ditempatkan di Palembang. Dari ibunya, Raden Fatah mendapat nama Jin Bun, dari ayah tirinya (Arya Damar alias Arya Dillah), diberi nama Raden Praba. Sedangkan nama Fatah (Al Fatah), diterima kemudian dari Sunan Ampel, sebagai guru dan juga mertuanya.[1]

Sunan Ampel sendiri, adalah kemenakan Ratu Darwati, salah seorang isteri Prabu Kertabumi. Sunan Ampel yang bernama Ali Rakhmatullah, untuk kepentingan membuka pesantren, atas permohonan Ratu Darawati, dihadiahi tanah Ampel Denta oleh Raja Majapahit. Karena Demak berkembang menjadi kota yang ramai, maka dalam tahun 1475 Masehi, daerah itu dijadikan kadipaten (kadipatian). Kemudian, Raden Fatah, oleh ayahnya dijadikan Adipati Demak bawahan Majapahit.

Tiga tahun kemudian, Raden Fatah mengerahkan pasukan Demak, menggempur Majapahit. Prabu Kertabumi beserta keluarga keraton Majapahit, meninggalkan ibukota, cerai-berai mengungsi ke berbagai jurusan. Prabu Kertabumi akhirnya tewas di daerah Bukit Sawar, mengakhiri kekuasaan ayahnya. Sebutan Majapahit dirubahnya menjadi Demak, dan Raden Fatah menjadi Sultan yang pertama dengan gelar Sultan Alam Akbar AI Fatah.[1]

Uniknya, peristiwa tragis yang terjadi di Majapahit itu, ada kemiripan dengan kisah proses awal penyebaran Islam Tatar Sunda. Kisah anak ingin mengIslamkan ayahnya, hingga memerangi kerajaan ayahnya, hidup dalam dongeng babad: Prabu Kian Santang.

Kerajaan Majapahit tidak runtuh, karena masih berdiri di bawah Prabu Girindrawardana (Brawijaya VI), dengan ibukota di Keling. Baru kemudian, dalam masa pemerintahan Prabu Udara (Brawijaya VII), Demak berhasil menghancur‑leburkan Majapahit (1517 Masehi). Menurut versi lain, serangan ke Majapahit tahun 1478 Masehi, yang menyudahi kekuasan Kertabumi, dilakukan oleh Girindrawardana.

Dari Wandan Bondri Cemara, Prabu Kertabumi mempunyai anak laki‑laki, diberi nama Raden Bondan Kejawan. Dialah pemimpin rombongan pengungsi Majapahit ke Jawa Tengah. Di sana, Raden Bondan Kejawan menikah dengan Dewi Nawangwulan, yang lebih terkenal dengan nama Nyai Lara Kidul. Dewi Nawangwulan adalah Ratu Mataram yang menganut agama Bhudagotama. Dari pernikahannya, memperoleh seorang puteri, kemudian diberi nama Nyai Mas Ratu Angin‑Angin. Kelak, Nyai Mas Ratu Angin‑angin diperisteri oleh Sutawijaya, yang mendirikan Mataram Islam. Nyai Mas Ratu Angin‑Angin adalah penganut setia agama Budhagotama. Oleh karena itu, ia tersamar dalam cerita rakyat, dan lebih dikenal dengan sebutan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan).[1]

Di antara keluarga keraton Majapahit yang mengungsi, ada juga yang sampai ke Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Rombongan ini dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kertabumi. Raden Baribin, adalah putera Prabu Sengawikramawardana (Brawijaya IV) dari Endang Sasmitapura. Rombongan pengungsiannya, diterima dengan tangan terbuka, oleh Prabu Dewa Niskala penguasa Kerajaan Galuh.

Kemudian, Raden Baribin dijodohkan dengan puterinya, Puteri Ratna Ayu Kirana. Puteri ini adalah adik Banyakcatra (Kamandaka), Bupati Galuh di Pasir Luhur, yang juga adik Banyakngampar, Bupati Galuh di Dayeuh Luhur. Ketiga‑tiganya adalah putera Prabu Dewa Niskala dari isterinya yang lain.

Selain itu, Prabu Dewa Niskala memperisteri salah seorang wanita pengungsi, yang sudah bertunangan. Dalam pengungsian, wanita itu terpisah dari tunangannya. Menurut hukum waktu itu, baik di Kerajaan Majapahit maupun di Kerajaan Sunda (termasuk Kerajaan Galuh), seorang gadis yang telah bertunangan (rara hulanjar), tidak boleh menikah dengan laki‑laki lain, kecuali jika tunangannya meninggal atau membatalkan pertunangan.[1]

Dalam hal ini, ratu Galuh Prabu Dewa Niskala telah melanggar dua buah pantangan (purbatisti‑purbajati Sunda):
1. Prabu Dewa Niskala, telah menjodohkan puterinya dengan Raden Baribin, keluarga keraton Majapahit.
2. Prabu Dewa Niskala, memperisteri seorang estri larangan (rara hulanjar).

Oleh karena itu, Prabu Dewa Niskala, telah dianggap melanggar dua macam tabu (pantangan) keraton. Dari sejak peristiwa tragedi palagan Bubat (1357 Masehi), keluarga keraton Kawali, tabu berjodoh dengan keluarga keraton Majapahit.

Prabu Susuktunggal, penguasa Kerajaan Sunda, yang juga sebagai kakak seayah Prabu Dewa Niskala, sangat marah. Dalam tindakan terhadap ulah adiknya, ia memutuskan hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Galuh. Tentu saja, konflik kedua pemimpin negara, mengguncangkan rakyat Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Konflik berkembang rnenjadi permusuhan. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, sama-sama mengerahkan pasukannya, ditempatkan di daerah perbatasan tepi barat dan timur sungai Citarum.[1]

Untuk menyelamatkan keadaan, para Pembesar dari kedua kerajaan yang bermusuhan, mengadakan gotrasawala (musyawarah kekeluargaan), di wilayah netral, yang diduga di Kerajaan Batulayang (Kabupaten Bandung). Hasil musyawarah disepakati oleh kedua belah pihak, dan memutuskan, bahwa:

1. Prabu Dewa Niskala harus turun dari tahta Kerajaan Galuh;
2. Begitu pula Prabu Susuktungggal, harus turun dari tahta Kerajaan Sunda.

Selanjutnya, tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, harus diserahkan kepada putera mahkota yang ditunjuk. Kedua mantan raja menunjuk orang yang sama Jayadewata, putera sulung Dewa Niskala yang telah dinikahkan dengan Puteri Kentring Manik Mayang Sunda (Ambetkasih), anak perempuan Susuktunggal, sebagai penerus kekuasaan.[2]

Pasasti Batu Tulis

Prasasti Batu Tulis.
Menurut Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, Jayadewata mula‑mula bergelar Prabuguru Dewataprana. Kemudian dalam bulan Caitra tahun 1404 Saka (Maret/April 1482 M), ia menerima tahta kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal.[1]

Peristiwa penobatannya di Pakuan, sekaligus menjadikan Jayadewata seorang Maharaja, karena kekuasaan pemerintahannya, meliputi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Peristiwa tersebut, sesuai dengan isi prasasti Batutulis Kota Bogor, berangka tahun 1533 (1455 Saka), yang memberitakan:

// mwang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diva dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sang sidamokta di gunatiga, incu rahyang niskala waste kancana sang sidamokta ka nusa larang ya siya nu nyian sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun // i sake panca pandawa emban bumi //

Artinya: Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) Prabu Ratu Suwargi. la dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455 'Panca Pandawa Mengemban Bumi' (Danasasmita, 1981: 25).[1]

Prasasti ini dibuat oleh Prabu Sanghyang Surawisesa (putera Sri Baduga Maharaja), berangka tahun 1533 (1455 Saka). Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran. Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno.[2]

Raja-Raja Kerajaan Pakuan Pajajaran

1. Sri Baduga Maharaja (1482-1521)

Sri Baduga Maharaja yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, yang berubah nama resmi menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena pakuan atau pakuwuan merupakan bangunan tempat tinggal raja-raja dari semua gabungan kerajaan Sunda-Galuh. Itulah awal resmi Kerajaan (Pakuan) Pajajaran, dengan raja pertamanya Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Penamaan Pajajaran untuk Kerajaan Sunda, sesungguhnya berasal dari penamaan keraton Sri Bima‑Punta Narayana-Madura‑Suradipati yang bentuknya sebangun dan berjajar. Oleh karena keraton tersebut berada di kota Pakuan, masyarakat sering menyebutnya Pakuan Pajajaran. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama berdasarkan sumber cerita Pantun dan Babad, Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. Sedangkan berdasarkan sumber‑sumber Portugis, nama resmi kenegaraan, tetap menggunakan sebutan Kerajaan Sunda.[1]

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.

Di Jawa Barat Sri Baduga Maharaja ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Prabu Niskala Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Baca juga: SRI BADUGA MAHARAJA (PRABU SILIWANGI)

Menyebarnya Islam

Islam mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru dimulai pada abad ke-13 Masehi.

Sebelum Sri Baduga Maharaja lahir, di Kerajaan Sunda sudah ada penganut agama Islam. Tokoh tersebut adalah Bratalegawa, putera Mangkubumi Bunisora Suradipati. Bratalegawa adalah adik Giridewata alias Ki Gedeng Kasmaya, Raja Cirebon Girang. Bratalegawa lahir tahun 1350 M, dua tahun lebih muda dari Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (kakeknya Sri Baduga Maharaja).[1]

Sebagai saudagar besar yang memiliki banyak kapal layar, Bratalegawa tidak menjadi raja daerah (Ki Gedeng), ia sibuk oleh kegiatan niaga lautnya. Bratalegawa, menikah dengan wanita muslim dari Gujarat, bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian dari Gujarat, bersama isterinya, Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan mendapat nama baru menjadi Haji Baharuddin Al Jawi.

Setelah kembali ke Kerajaan Galuh, ia lebih dikenal sebagai Haji Purwa Galuh (haji pertama di Galuh). Walaupun berbeda agama, ia tetap hidup rukun dengan saudara‑saudaranya. Kelak, cucunya yang bernarna Hadijah, menjadi isteri Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama mazhab Safi'i, yang memimpin pesantren di Bukit Amparan Jati Cirebon, merupakan pesantren tertua kedua di Kerajaan Sunda.[1]

Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He (Cheng Ho) dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, yang juga dikenal sebagai Syekh Qura yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja yang menganut Islam. Ketiga anaknya, yaitu Pangeran Walangsungsang, Larasantang, dan Raja Sangara, diijinkan memeluk agama Islam yang dianut ibunya. Dalam beberapa Naskah Pangeran Wangsakerta, menggambarkan sikap Sri Baduga Maharaja terhadap Islam, dengan kalimat: rasika dharmika ring pamekul agami rasul (bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Islam).[2]

Perjanjian Sunda - Portugis

Sesungguhnya, yang dikhawatirkan oleh Sri Baduga Maharaja perihal pertentangannya terhadap Cirebon, bukan karena "Islamnya". Akan tetapi, hubungan politis yang terlalu akrab, antara Cirebon dengan Demak. Tidak kurang dari 4 orang putera-puteri Syarif Hidayat (Cirebon), dijodohkan dengan putera‑puteri Raden Fatah (Demak).

Karena perkawinan Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor, maka angkatan laut Demak yang dipimpin oleh Sabrang Lor, sebagian ditempatkan di Cirebon. Situasi itulah yang mendorong Sri Baduga Maharaja mengutus Putera Mahkota (Prabu Anom) Ratu Sanghyang Surawisesa, sebagai duta resmi negara, untuk mengadakan hubungan bilateral dengan Alfonso d'Albuquerque (dalam naskah Pangeran Wangsakerta, disebut Laksamana Bungker), raja muda Portugis di Malaka tahun 1512 M.

Misi tersebut diulang tahun 1521 Masehi. Akan tetapi, pada tahun itu, Sri Baduga Maharaja sudah wafat, kesepakatan perjanjian Kerajaan Sunda (Pajajaran) - Portugis, akhirnya ditanda‑tangani di Pakuan, pada tanggal 21 Agustus 1522 M. Duta Portugis dipimpin Hendrique de Leme (Endrik Bule). Kunjungannya ke Pakuan, sekaligus untuk menghadiri upacara penobatan Prabu Sanghyang Surawisesa, sebagai penguasa Kerajaan Sunda (Pajajaran) pengganti Sri Baduga Maharaja.

Hubungan internasional bilateral inilah, yang dicurigai para ahli sejarah, bahwa "Pajajaran adalah kerajaan yang memulai mengundang kaum penjajah" ke tanah air Indonesia. Padahal, pedagang Portugis pada waktu itu, masih sebagai pelaut murni. Berbeda dengan pelaut Belanda, yang selalu berambisi, menguasai wilayah perdagangan (kolonialis) yang disinggahinya.

Persaingan dagang memperebutkan jalur pelayaran Selat Malaka, di antara Kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan Demak, sangat wajar terjadi, karena Pajajaran dengan Demak mempunyai strategi politik dagang masing‑masing. Sangat disayangkan, telaah ke arah itu baru di permukaannya saja, sehingga "sentimen agama Islam"‑lah yang sering dimunculkan.

2. Sanghiyang Surawisesa (1521-1535)

Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Prabu Sanghiyang Surawisesa (putera Sri Baduga Maharaja dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Wafatnya tokoh Sri Baduga Maharaja, menimbulkan persoalan baru, membangkitkan ambisi Cirebon untuk memperluas wllayah kekuasaannya. Ketika Prabu Sanghiyang Surawisesa naik tahta, konflik dengan Pakungwati Cirebon semakin meruncing, sehingga selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.

Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu. Menurut Soekanto (1956), perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".

Adapun terjemahan dari Sertifikat Perjanjian Sunda‑Portugis tersebut, antara lain sebagai berikut:

"Tanggal 21 Agustus 1522 ses. M. hadir di pelabuhan Sunda ini: Amrrique Leme, kapten perjalanan ini, utusan Jorge d'Alboquerque, Kapten Malaka, dengan tugas untuk mengadakan perjanjian dan persetujuan perdamaian serta persahabatan dengan Raja Sunda. Raja Sunda tersebut menyetujui perutusan dan perjanjian persahabatan yang diadakan dengannya oleh A. Leme. Ia (Leme) menganggap baik dan mengerti, bahwa ia diberi izin untuk mendirikan sebuah benteng di atas tanahnya untuk Raja Portugis, Tuan Kami. Untuk maksud ini, ia (Raja Sunda) mengutus pejabat tingkat atas, yang disebut Paduka Tumenggung (mamdarim Padam Tumungo) dan bersama dengannya dua pejabat terhormat (diutus pula), jelasnya yang satu bernama Sang Adipati (Samgydepaty) yang lain Bendahara (Benegar), seperti pula syahbandar dari tempat pabean. Selain itu banyak orang baik. Pejabat-pejabat tersebut diberi kuasa penuh untuk mengambil keputusan, menentukan dan menunjuk tempat, yang dianggap cocok oleh Amrrique Leme tersebut untuk (membangun) benteng bagi Raja Portugis. Paduka Tumenggung bersama pejabat‑pejabat lain dan orang-orang baik yang disebut di atas, bersama dengan Amrrique Leme tersebut pada tanggal itu pada tempat benteng akan dibangun, menegakkan sebatang padrao dari batu; jadi di sebelah kanan muara sungai, seberang awal pelabuhan. Kawasan ini yang disebut Kalapa. Maka, di situ batu peringatan (padrao) ditancapkan dengan lambang Raja, Tuan kami dan dengan sebuah inskripsi."

Padrao Sunda Kelapa.
Maka, Raja Sunda tersebut menyetujui persetujuan dan kontrak yang diadakannya dengan Amrrique Leme, yakni supaya dengan bebas dan rela setiap tahun pada tanggal pembangunan benteng tersebut dimulai, menghadiahkan kepada Raja, Tuan kami, seribu karung lada sebagai tanda perdamaian dan persahabatan. Karung‑karung seperti dipakai lazim di negeri itu, sehingga setiap karung beratnya 10.600 caxas Java. Maka, beratnya seribu karung itu kurang lebih seratus enam puluh bahar.

Tentang seluruhnya itu, Amrrique Leme tersebut di atas itu menyuruh saya, Balthasar Memdes, penulis dari kapal San Sebastian, selaku perwira Raja, Tuan kami, membuat dokumen ini. Dengan demikian, saya memberi kesaksian, bahwa isinya menguraikan apa yang berlangsung dan disetujui.

Untuk buktinya, saya, penulis, mengadakan sertifikat ini dan (kemudian) menyalinnya ke dalam buku saya, yang ditandatangani dengan tandatangan saya yang biasa. Saksi‑saksi adalah Fernco de Almeida, kapten sebuah jung serta pedagang-pedagang pangkat atas Raja. Tuan kami, pada perjalanan ini, dan Franscisco Annes, penulis dan Manuel Mendes dan Sebastian Diaz do Rego dan Francisco Diaz dan Joham Coutinho dan Joham Goncalvez dan Gil Barbosa dan Tome Pinto en Ruy Goncalvez dan Joham Rodriguez dan Joham Fernandez dan Joham da Costa dan Pedro Eannes dan Manuel Fernandez dan Diogo Fernandez, semuanya tentara, dan Diogo Diaz, Afonso Fernandez tentara juga dan Nicolas da Sylva, juru tinggi kapal tersebut dan George de Oliveira, juru mudi dan banyak (orang) lagi.

Dibuat pada hari, bulan dan tahun seperti tercatat pada kepala (surat) ini. (Lalu tandatangan orang‑orang) (Heuken, 1999: 54).

Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).

Perjanjian persahabatan antara Pakuan Pajajaran dengan Potugis ini juga tercantum pada Tugu Pajajaran-Portugis, Prasasti Kebon Kopi, dimana Portugis diizinkan untuk membangun benteng dan gudang dagangnya di pelabuhan Sunda Kalapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).[2]

Awal Peperangan (Perang Cirebon-Pajajaran)

Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak, guna merebut Banten, Cirebon dan Sunda Kalapa, setelah sebelumnya melumpuhkan Majapahit dan sejumlah kerajaan Hindu lainnya.

Fadillah Khan adalah seorang panglima asal Gujarat yang memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).

Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).

Kretabhumi parwa I sarga 2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.

Pasukan Falatehan yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Falatehan menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.

Pangeran Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Falatehan bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Falatehan terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.

Kelak wilayah-wilayah tersebut akhirnya juga memeluk agama Islam, serta nama Sunda Kelapa dirubah menjadi Jayakarta di bawah Banten, yang kemudian lepas dari Pajajaran menjadi Kesultanan Banten, dengan Hasanuddin sebagai Sultan dan Syeh Maulana Yusuf sebagai putra mahkota.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.

Ekspedisi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De Sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.

Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Falatehan. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529, Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.

Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.

Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.

Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak, tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Sumedang Larang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.

Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Falatehan dan Hasanudin (Bupati Banten).

Perjanjian Damai dengan Cirebon

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.

Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya, karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) untuk ayahnya. Ditampilkannya di dalamnya karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.

Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres ini bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC, tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg).

Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.

3. Ratu Dewatabuanawisesa (1535-1543)

Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang vegetarian.

Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.

Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu, karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam, ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.

Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini, terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).

Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Prabu Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya.

Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sanghiyang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan (Kerajaan Sunda) yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni parwa I sarga 2 yang isinya antara lain (artinya saja).

"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran".

Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.

Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. (Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun Sebelum Masehi). Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.

Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon, karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang yang sekarang.

Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.

Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat, karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca):

"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan" Yang artinya: Maka berhati-hatilah yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa.

Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah jaman susah).

4. Ratu Sakti (1543-1551)

Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek, Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.

Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala, yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasuruan dan Panarukan.

5. Ratu Nilakendra (1551-1567)

Nilakendra atau Tohaan di Majaya, naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.

Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sri Kertanegara dari Kerajaan Singhasari juga penganut ajaran ini.

"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"

Artinya: Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan.

Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (dibalay) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.

Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).

Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Maulana Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Syeh Maulana Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Falatehan wafat 2 tahun kemudian).

Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.

6. Raga Mulya (1567-1579)

Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya.

Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).

Dari catatan sejarah yang tersebar, Demak yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung kembali menyusun serangan terhadap Pajajaran, dibantu oleh Cirebon dan Bali. Saat menghadapi Demak dan sekutunya, Pajajaran diserang dari belakang oleh pasukan Maulana Yusuf, Sultan Banten. Akhirnya Kerajaan Pajajaran berakhir pada tahun 1579. Sultan Maulana Yusuf sendiri menganggap dirinya sah meneruskan kekuasaan Pajajaran, karena merupakan keturunan dari salah satu puteri Sri Baduga Maharaja.

Menurut cerita, sisa dari para perwira (punggawa) Pajajaran lainnya akhirnya mengasingkan diri ke hutan di daerah Lebak, Banten. Keturunan dari perwira itu sekarang biasa kita sebut sebagai orang Baduy.[2]

Kerajaan Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka. Peristiwa runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul Awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M, setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.

Dalam Pustaka Nusantara parwa III sarga 1 dan Kretabhumi parwa I sarga 2 disebutkan,

Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Sakakala

"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka." Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.

Naskah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya,

"Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".

Walaupun tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.

Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.

Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Prabu Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.

Akhir Kerajaan Pakuan Pajajaran

Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482-1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:

Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.

"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Kata "palangka" secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti "tahta". Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman.

Silsilah Raja-Raja Penguasa Pakuan Pajajaran

Masa akhir Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut, sepeninggal Sri Baduga Maharaja Jayadewata (1482-1521), kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisesa (1521-1535), kemudian Prabu Dewatabuanawisesa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakendra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Suryakancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

Mengenai raja‑raja penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran, terungkap dalam naskah Kropak 406 Carita Parahiyangan, dari lembar 20 sampai dengan lembar 25, uraiannya adalah sebagai berikut:

Diganti yaitu oleh Prabu Surawisesa yang dipusarakan di Padaren. Raja gagah perkasa, teguh dan pemberani. Lima belas kali perang tak pernah kalah. Dalam melakukan peperangan menggunakan siasat Bala Sarewu (Pustaka Bala Seribu). Perang ke Kalapa dengan Aria Burah (Falatehan). Perang ke Tanjung. Perang ke Ancol Kiji. Perang ke Wahanten Girang. Perang ke Simpang. Perang ke Gunung Batu. Perang ke Gunung Banjar. Perang ke Padang. Perang ke Pagoakan. Perang ke Muntur. Perang ke Hanum. Perang ke Pager Wesi. Perang ke Medang Kahiyangan. Setelah itu, kembali ke Pakuan lagi. Tidak sampai setahun, meninggal dunia. Lamanya menjadi ratu 14 tahun.[1]

Prabu Ratu Dewata, dialah yang dipusarakan di Sawah Tampian Dalem. Menjalankan kehidupan seperti Rajaresi. Puasa, hanya meminum susu. Disunat, supaya bersih suci dari kotoran. Disunat oleh ahlinya, itulah tradisi orang Sunda. Datang bencana serangan musuh kasar, tidak diketahui identitasnya. Perang di Buruan Ageung (Alun‑alun). Gugur Tohaan Sarendet den Tohaan Ratu Sanghiyang. Ada pendeta sakti dianiaya, pandita di Sumedang. Sang pandita di Ciranjang, dibunuh tanpa dosa, tertimpa tapak kikir. Sang Pandita di Jayagiri, ditenggelamkan ke laut. Ada pendeta sakti tak berdosa Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan ke laut, tidak mati, masih hidup, menghilang tanpa meninggalkan jejak di dunia. Terkenal namanya Hiyang Kalingan. Oleh sebab itu, hati‑hatilah yang hidup di kemudian hari, jangan hidup pura‑pura berpuasa. Begitulah keadaan jaman susah. Prabu Ratu Dewata, lamanya jadi raja 8 tahun, kesembilan tahunnya meninggal dunia.

Diganti oleh Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan di Tasik. Yaitu yang dipusarakan di Pengpelengan. Lamanya jadi ratu 8 tahun, karena tindakan ratu celaka oleh wanita larangan dari luar dan oleh ibu tiri. Sering membunuh orang tanpa dosa, merampas tanpa perasaan, tidak hormat pada yang tua, menghina pendita. Jangan diikuti oleh generasi belakangan, tindakan ratu seperti itu. Begitulah riwayat Sang Ratu.[1]

Tohaan di Majaya kalah perang, oleh sebab itu tidak diam di Kedaton. Dialah yang mencipta Sanghiyang Panji, menghiasi Kedaton, di balai diatur berupa taman mihapitkeun panto larangan. Yang membangun bale bobot 17 jajar, diukir berbaris dibentuk berbagai cerita.

Dari zaman manusia sejagat tidak mengalami kejahatan disebut zaman kreta. Tidak ada yang menjadikan hancurnya jagat. Dalam zaman Dopra, zaman perunggu, seterusnya diganti dengan zaman kali, zaman besi, Sang Nilakendra, karena terlalu lama dalam suasana senang memperturutkan hawa nafsu. Mempunyai anak, ke dalam hatinya sudah dirasuki bermacam reka perdaya, menurunkari pertapa, cucu tiri. Minuman keras dianggap seperti air bentuknya godaan nafsu. Manusia yang berhuma rakus makannya, tidak gembira kalau tidak bercocok tanam. Lamanya ratu menuruti hawa nafsu dalam makanan, tidak mengikuti adat kebiasaan, dalam menuruti nafsu kesenangan karena menganggap wajar dengan kekayaannya. Lamanya jadi raja 16 tahun.[1]

Diganti oleh Nusia Mulya. Lamanya jadi ratu 12 tahun. Pertama datangnya perubahan. Dunia halus masuk ke yang kasar, timbul kerusakan dari Islam. Perang dengan Rajagaluh, kalah Rajagaluh. Perang dengan Kalapa, kalah Kalapa. Perang dengan Pakuan, perang dengan Galuh, perang dengan Datar, perang dengan Mandiri, perang dengan Patege, perang dengan Jawakapala, kalah Jawakapala. Perang dengan Gegelang. Perang berlayar ke Salajo, semua kalah oleh orang Islam.

Masa Penurunan Versi Kerajaan Sumedang Larang

Berdasarkan alur cerita Kerajaan Sumedang Larang yang beribukota di Kutamaya, empat bersaudara Panglima Perang Pajajaran yaitu Jayaperkosa, Sanghyang Hawu, Terong Peot dan Nanganan diperbantukan untuk memperkuat dan membawa amanat agar Kerajaan Sumedang Larang meneruskan pemerintahan Pajajaran apabila Pajajaran berakhir. Pangeran Geusan Ulun adalah putra Pangeran Santri, beserta rakyat Sumedang sudah memeluk Islam sehingga tidak menjadi sasaran Demak (Mataram). Namun keempat Panglima yang menjadi tumpuan membuat Raja Sumedang Larang yang merasa juga sebagai calon Raja Pajajaran terjun ke kancah peperangan.[2]

Versi lain menyebutkan bahwa Cirebon menyerang Sumedang Larang dikarenakan Permaisuri Cirebon, Harisbaya, lari ke Sumedang untuk dipersunting Pangeran Geusan Ulun yang tampan, putih dan tinggi. Sampai akhirnya Kerajaan Sumedang Larang diserahkan oleh Pangeran Geusan Ulun kepada Mataram dan pemerintahan diteruskan oleh turunannya dari permaisuri Harisbaya menjadi daerah kebupatian. Versi lainnya adalah Pangeran Geusan Ulun adalah putra Sultan Cirebon yang diculik pada saat bayi oleh keempat Panglima tersebut beberapa tahun sebelumnya. Bayi tersebut adalah anak permaisuri yang Putri China, yang kemudian bernama Harisbaya. Harisbaya berusaha menyusul anaknya ke Sumedang Larang. Pangeran Santri yang dititipi ahli waris Pajajaran yang asal Cirebon, mengangkatnya menjadi Raja Anom Sumedang.

Pada 1578, Cirebon, Demak dan Bali menaklukan Sumedang Larang, Pangeran Geusan Ulun terbunuh. Berakhirlah kerajaan Sumedang Larang tanpa memiliki keturunan. Pusat kerajaan dipindahkan ke kota Sumedang yang sekarang dan pemerintahan sementara dipegang oleh Raja Bali sampai akhirnya Sumedang diserahkan kepada turunan Permaisuri Sultan Cirebon sebagai kabupatian pada 1620.[2]

Pangeran Geusan Ulun terbunuh sebelum Pajajaran jatuh. Apakah juga keempat Panglima terbunuh? Namun rakyat percaya bahwa keempat Panglima menghindar ke Selatan, yang oleh sebagian rakyat Jawa Barat bersama-sama dengan Prabu Suryakencana menghilang (tilem) ke dalam hutan Sancang.

Referensi:
    [1] Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda (Naskah Wangsakerta) [2] Pardede Jabi-Jabi: Kerajaan Arsipelago (Bagian Sunda-Galuh) Bagian I

0 comments:

Posting Komentar